Unduh BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Kamis, 31 Januari 2013

Arti Sabar Menurut Bahasa

Arti Sabar Menurut Bahasa



SABAR ATAS UJIAN

Secara literal/bahasa, sabar adalah habsu al-nafs ‘an al-jaza’ [menahan diri dari keluh kesah (ketidaksabaran). [Abu Bakar Al-Raziy, Mukhtaar al-Shihaah, hal.354, bab shabara). Apabila seseorang mampu menahan dirinya dari keluh kesah, kegelisahan, dan kegundahan akibat berbagai macam cobaan, maka ia tergolong orang-orang yang sabar. Sebaliknya, tatkala seseorang suka mengeluh, mengaduh, dan selalu merasa jengah dan khawatir atas berbagai macam musibah, maka ia bukanlah termasuk bagian orang-orang yang sabar. Jamaluddin al-Qasimi menyatakan, “Barangsiapa yang tetap tegak bertahan sehingga dapat menundukkan hawa nafsunya secara terus-menerus, orang tersebut termasuk golongan orang yang sabar.” [Al-Qasimi, Mau’idlaat al-Mukminiiin].

Pahala kesabaran sangatlah besar dan agung. Dalam sebuah hadits qudsiy telah dituturkan:

    “Apabila telah Kubebankan kemalangan (bencana) kepada salah seorang hambaKu pada badannya, hartanya, atau anaknya, kemudian ia menerimanya dengan sabar yang sempurna, Aku merasa enggan menegakkan timbangan baginya pada kiamat atau membukakan buku catatan amalan baginya.” [HR. al-Dailamiy, dari Anas ra].

    Dalam al-Quran Allah menyatakan:

    “Sesungguhnya Kami akan uji kalian dengan suatu cobaan berupa ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar. Yaitu, orang-orang yang ketika ditimpa kesusahan (musibah) mereka berkata, ”Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepadaNya pula kami akan kembali.”  Mereka adalah orang-orang yang mendapatkan karunia, kehormatan, dan rahmat dari Allah dan merekalah orang-orang yang memperoleh hidayah.” [al-Baqarah:155-157]

    Masih banyak nash-nash al-Quran yang bertutur tentang kesabaran serta pahala yang diberikan Allah kepada orang-orang yang sabar.    

    Kesabaran merupakan perhiasan hati yang sangat agung dan mulia. Kesabaran akan menjadikan seseorang menjadi qana’ah, mulia dan dihormati oleh siapapun. Selain itu, kesabaran juga merupakan syarat-syarat yang harus dipenuhi seseorang untuk mendapatkan sebuah kemenangan. Dalam sebuah ayat, Allah swt berfirman,

    “Hai orang-orang yang beriman, berlakulah sabar dan perkuat kesabaran di antara sesama kalian, dan bersiagalah kalian serta bertaqwalah kepada Allah, supaya kalian memperoleh kemenangan.” [Ali Imran:200]

    Kesabaran yang dimaksud di sini adalah kesabaran dalam menghadapi segala bentuk kesulitan dan penderitaan tatkala menjalankan perintah Allah swt.

Kesabaran dalam peperangan harus diwujudkan dengan cara menjalankan seluruh kausalitas peperangan, misalnya mempersiapkan strategi yang jitu, melengkapi diri dengan persenjataan yang memadai, serta mentaati instruksi-instruksi dari kepala pasukan. Selanjutnya, ia berserah diri kepada Allah swt atas semua hal yang akan menimpanya, baik menang maupun kalah.

Kesabaran dalam bekerja harus direfleksikan dengan cara mengorganisasikan seluruh hal yang bisa menunjang keberhasilan pekerjaan. Ia mempersiapkan seluruh potensi dirinya untuk meraih rejeki yang halal, dan berserah diri kepada Allah atas semua hasil yang diterimanya.

Kesabaran dalam berdakwah Islam harus diwujudkan dengan cara berjalan sesuai dengan manhaj dakwah Rasulullah saw walaupun jalan itu terasa sulit, panjang, berliku dan penuh dengan cobaan dan musibah. Selanjutnya, ia membuat rencana-rencana program yang terarah, realistis, dan jelas. Dirinya juga kreatif dalam menciptakan uslub-uslub/cara-cara yang sesuai dengan kondisi dan fakta yang ada, dan secara logis akan mengantarkan kepada keberhasilan. Ia juga selalu mencari dan menciptakan cara-cara baru yang bisa mempermudah akses dakwahnya di tengah-tengah masyarakat.

Atas dasar itu, kesabaran harus diwujudkan dengan cara mempersiapkan diri menghadapi segala macam kesulitan dan derita dalam menjalankan seluruh perintah Allah swt.    

Secara umum, kesabaran dibagi menjadi dua. Pertama, kesabaran dalam menghadapi cobaan yang bersifat fisik. Kedua, kesabaran dalam menghadapi cobaan yang bersifat non fisik.

Kesabaran dalam menghadapi cobaan bersifat fisik adalah tabah dalam memikul tugas-tugas yang berat , tabah dalam menghadapi kemiskinan, cacat, atau menderita rasa sakit (akibat penyakit maupun siksaan).

Kesabaran dalam menghadapi cobaan yang bersifat non fisik terbagi menjadi beberapa hal:

Pertama, sabar dalam menahan hawa nafsu dan kecenderungan seksual. Kesabaran semacam ini disebut dengan ‘iffah.’

Kedua, teguh dalam menghadapi musibah, kesulitan, dan bencana tanpa ada keluh kesah, mengumpat, tidak menunjukkan rasa kekesalan dan sebagainya. Kesabaran semacam ini sering dianggap sebagai bentuk kesabaran secara umum.

Ketiga, menahan diri dari kehidupan mewah di waktu dirinya kaya.

Keempat, syaja’ah (keberanian), yakni mampu menahan diri dari sifat kepengecutan di medan peperangan. Lawan dari sifat syaja’ah adalah jubun (pengecut).

Kelima, tasamuh (toleran), yakni sikap untuk menahan diri dan lapang dada terhadap musuh atau orang yang berbeda pendapat.

Keenam, kitman, yakni menahan diri untuk tidak menyampaikan suatu aib atau rahasia – baik rahasia diri sendiri, orang lain dan negara - kepada orang lain.

Ketujuh, zuhud, yakni menahan diri dari kenikmatan dan kesenangan dunia untuk memperoleh kesenangan akherat.   

Kedelapan, qana’ah, yaitu, menahan diri hidup yang berlebih-lebihan dan merasa puas dengan kehidupan yang diusahakannya.
Kesabaran akan membuahkan keberhasilan dan kebahagiaan.  Sebaliknya, sifat tergesa-gesa, gelisah dan berlebihan akan menjatuhkan seseorang ke dalam kegagalan dan kemurkaan Allah swt.   

Arti Sabar Menurut Bahasa - Dari buku Bunga Rampai Pemikiran Islam


Rekomendasi buku:
Taqarrub ILALLAH

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=236693160852776&id=100035362820806




Kewajiban Taat Pada Khalifah Dalam Kebenaran

Kewajiban Taat Pada Khalifah Dalam Kebenaran


PEMIMPIN YANG HARUS DITAATI

Salah satu kewajiban seorang muslim adalah taat kepada pemimpin/Khalifah/Imam. Ini didasarkan pada suatu kenyataan bahwa, ketaatan merupakan sendi dasar tegaknya suatu kepemimpinan dan pemerintahan. Tanpa ketaatan dan kepercayaan kepada pemimpin, kepemimpinan dan pemerintahan tidak mungkin tegak dan berjalan sebagaimana mestinya.

Jika rakyat tidak lagi mentaati pemimpinnya maka, roda pemerintahan akan lumpuh dan akan muncul fitnah di mana-mana. Atas dasar itu, ketaatan kepada pemimpin/Khalifah/Imam merupakan keniscayaan bagi tegak dan utuhnya suatu negara. Bahkan, dasar dari ketertiban dan keteraturan adalah ketaatan.

Rasulullah saw selalu menekankan kepada umatnya untuk selalu taat kepada pemimpin/Khalifah/Imam dalam batas-batas syari’atnya. Nash-nash syara yang berbicara tentang ketaatan kepada pemimpin jumlahnya sangat banyak. Di dalam al-Quran Allah swt berfirman:

Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kamu sekalian kepada Allah dan RasulNya, serta pemimpin (ulil amri) di antara kalian.” [al-Nisaa’:59]

Ketaatan kepada pemimpin/Khalifah/Imam juga banyak disinggung di dalam sunnah. Rasulullah saw bersabda:

    “Dari Ibnu ‘Umar ra dari Nabi saw, beliau saw bersabda: “Seorang muslim wajib mendengar dan taat (kepada pemimpin) baik dalam hal yang disukainya maupun hal yang dibencinya, kecuali bila ia diperintah untuk mengerjakan maksiyat. Apabila ia diperintah untuk mengerjakan maksiyat, maka ia tidak wajib mendengar dan taat.” [HR. Bukhari dan Muslim]

    “Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata: ”Saya mendengar Rasulullah saw bersabda: ”Barangsiapa yang melepaskan tangannya dari ketaatan, maka kelak di hari akhir ia akan bertemu dengan Allah swt tanpa memiliki hujjah. Barangsiapa mati, sedangkan di lehernya tidak ada bai’at maka, matinya seperti mati jahiliyyah.” [HR. Muslim]

    “Dari Anas ra, ia berkata: ”Rasulullah saw bersabda: ”Dengarkanlah dan taatilah olehmu, walaupun yang memimpin kamu adalah seorang budak dari Ethiopia yang bentuk kepalanya seperti biji kurma.” [HR. Bukhari]

    “Dari Ibnu ‘Abbas ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda: ”Barangsiapa yang membenci sesuatu dari tindakan penguasanya, hendaklah ia bersabar, karena sesungguhnya orang yang meninggalkan penguasanya walaupun hanya sejengkal, maka ia mati seperti mati jahiliyyah.” [Imam Nawawiy, Riyaadl al-Shaalihiin]

    “Rasulullah saw bersabda: ”Barangsiapa yang taat kepada penguasa maka, ia benar-benar telah taat kepadaku, dan barangsiapa yang durhaka kepada penguasa maka ia benar-benar telah durhaka kepadaku.” [HR. Bukhari Muslim]

    Akan tetapi, ketaatan kepada pemimpin/Khalifah bukanlah ketaatan yang bersifat mutlak tanpa ada batasan. Ketaatan harus diberikan kepada pemimpin/Khalifah, selama dirinya taat kepada Allah swt dan RasulNya. Jika pemimpin/Khalifah tidak lagi mentaati Allah dan RasulNya, maka tidak ada ketaan bagi dirinya. Al-Quran telah memberikan batasan yang sangat jelas dan tegas dalam memberikan ketaatan. Allah swt berfirman:

Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami.” [Qs.18:28]

    “Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir.” [QS.35:52]

    “Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah.” [QS.68:8]

    “Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina.” [QS.68:10]

    “Dan janganlah kamu mengikuti orang yang berdosa dan orang yang kafir di antara mereka.” [QS.76:24]

    Meskipun ayat ini dari sisi khithab (seruan) ditujukan kepada Rasulullah saw, akan tetapi khithab untuk Rasul juga merupakan khithab bagi umatnya. Atas dasar itu, kaum muslim dilarang mengikuti atau mentaati pemimpin-pemimpin yang kafir, mendustakan ayat-ayat Allah swt, serta banyak melakukan maksiyat di sisi Allah swt. Dalam sebuah hadits Rasulullah saw bersabda:

    “Seorang muslim wajib mendengar dan taat (kepada pemimpin) baik dalam hal yang disukainya maupun hal yang dibencinya, kecuali bila ia diperintah untuk mengerjakan maksiyat. Apabila ia diperintah untuk mengerjakan maksiyat, maka ia tidak wajib mendengar dan taat.” [HR. Bukhari dan Muslim]

    Bahkan, Rasulullah saw mengijinkan umatnya untuk memerangi penguasa-penguasa yang telah menampakkan kekufuran yang nyata.

Dari ‘Auf ibnu Malik, dituturkan: "...ditanyakan oleh para sahabat: 'Wahai Rasulullah tidakkah kita serang saja mereka itu dengan pedang?', Beliau menjawab: 'Tidak, selama mereka masih menegakkan shalat di tengah-tengah masyarakat (maksudnya menegakkan hukum-hukum syara')."

Dalam hadits riwayat Ubadah Ibnu Shamit disebutkan:
“Dan hendaknya kami tidak menentang kekuasaan penguasa kecuali, 'Apabila kalian melihat kekufuran yang terang-terangan, yang dapat dibuktikan berdasarkan keterangan dari Allah SWT.”

    Makna sholat pada hadits riwayat ‘Auf bin Malik adalah hukum-hukum syari’at. Pengertian hadits-hadits di atas adalah, jika penguasa-penguasa itu telah menampakkan kekufuran yang nyata, alias menerapkan hukum-hukum kufur di negeri-negeri kaum muslim, maka kaum muslim diijinkan untuk menentang dan memisahkan diri dari mereka. Bahkan, apabila kita ridho dan menyetujui tindakan-tindakan sang penguasa maka, kita akan berdosa di sisi Allah swt. Rasulullah saw bersabda:

    “Akan ada pemimpin-pemimpin, yang kalian ketahui kema’rufannya (kebaikannya) dan kemungkarannya. Maka, siapa saja yang membencinya dia bebas (tidak berdosa), dan siapa saja yang mengingkarinya dia akan selamat. Tetapi, siapa saja yang rela dan mengikutinya (dia akan celaka)”. [HR. Muslim]

    Hadits ini menuturkan dengan sangat jelas agar kaum muslim menjauhi dan berlepas diri dari pemimpin-pemimpin yang telah menampakkan kekufuran yang nyata. Siapa saja yang membenci penguasa-penguasa yang tidak menerapkan Islam, dirinya akan terbebas dari siksaan Allah swt. Sebaliknya, siapa saja yang meridhoi dan mendiamkan kedzaliman, dan kekufuran yang dilakukan oleh penguasa maka, dirinya akan mendapatkan siksaan di sisi Allah swt.

    Demi Allah, masalah memberikan ketaatan kepada pemimpin/Khalifah bukanlah masalah sepele. Apabila kita salah memberikan ketaatan, taruhannya adalah siksa dan pahala dari Allah swt. Ketaatan kepada pemimpin/Khalifah yang menjalankan syariat Allah adalah kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan oleh seorang muslim. Namun, ketaatan pada penguasa yang menolak dan menjauhi aturan Allah adalah larangan yang tidak boleh dilanggar oleh setiap muslim. Atas dasar itu, ketaatan yang diberikan kepada pemimpin/Khalifah akan memberikan implikasi pahala dan siksa.

    Seorang mukmin tidak boleh menyatakan, “Kami ini adalah rakyat yang hanya mengikuti pemimpin. Walhasil, jika apa yang ditetapkan oleh pemimpin itu salah maka pemimpinlah yang salah, sedangkan kami hanya orang yang mengikuti keputusan pemimpin, jadi kami tidak berdosa”. Sungguh, perkataan semacam ini telah ditangkis oleh al-Quran. Allah swt berfirman:

    “Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikkan dalam neraka, mereka berkata,”Alangkah baiknya, andaikan kami taat kepada Allah dan taat kepada Rasul. Dan mereka berkata,”Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar). Ya Tuhan kami, timpakanlah kepada mereka adzab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukann yang besar.” [al-Ahzab:66-68]

    Para penghuni neraka selalu mengiyakan dan mengikuti tingkah polah sang pembesar dan pemimpin. Padahal, pembesar dan pemimpin itu telah menyesatkan mereka. Atas dasar itu, setiap orang akan diminta pertanggungjawaban di sisi Allah, ketika dirinya memberikan ketaatan kepada sang pemimpin. Siapa saja yang mengikuti dan mengiyakan pemimpin-pemimpin yang meluputkan diri dari aturan-aturan Allah, kelak mereka akan mendapat siksa yang sangat pedih. Sementara itu, pemimpin dan pembesar yang menyesatkan rakyatnya, mereka akan mendapatkan siksa dua kali lebih berat daripada orang yang disesatkannya. Na’udzu billahi min dzalik.

Kewajiban Taat Pada Khalifah Dalam Kebenaran - Dari buku Bunga Rampai Pemikiran Islam

Senin, 14 Januari 2013

Bagaimana Menyikapi Perbedaan Pendapat Menurut Islam

Bagaimana Menyikapi Perbedaan Pendapat Menurut Islam



PENETAPAN AWAL AKHIR RAMADHON, DAN PERSATUAN UMAT ISLAM

MELIHAT PERBEDAAN

Islam telah meletakkan batasan-batasan dalam melihat perbedaan.

Pertama, dalam hal apa mereka boleh berbeda dan dalam hal apa mereka tidak boleh berbeda (ikhtilaf).

Perbedaan pendapat bisa ditolerir selama perbedaan tersebut menyangkut masalah-masalah yang dzanniyyah (dugaan kuat).  Bila perbedaan pendapat tersebut telah menyangkut dalil-dalil yang bersifat qath’iy, maka berbeda pendapat pada perkara semacam ini tidak dibenarkan. Kata quru’  misalnya, merupakan lafadz musytarak yang bisa diartikan suci (thaharah) atau haid (haid). Kata lamasa, bisa diartikan menyentuh (hakiki) atau bersetubuh. Perbedaan pendapat pada nash-nash yang dalalahnya (penunjukannya) tidak qath’iy adalah perbedaan yang masih bisa ditolerir. Namun bila berkaitan dengan ayat-ayat yang muhkam, kaum muslim tidak dibenarkan berbeda pendapat. Misalnya, nash-nash yang menyangkut masalah ‘aqidah, dan hukum-hukum hudud, atau mu’amalat yang qath’iy, semisal rajam, potong tangan, larangan riba, dan lain sebagainya. Dalam kasus-kasus semacam ini kaum muslimin tidak dibenarkan berbeda pendapat (ikhtilaf).

Kedua, wacana Islam dalam membangun pendapat adalah al-Quran, Sunnah, Ijma’ Shahabat, dan Qiyas.

Pendapat selemah apapun harus dibangun berdasarkan al-Quran dan Sunnah. Dalam kacamata Islam, apabila pendapat yang diketengahkan tidak dibangun berdasar dalil-dalil syara’, maka pendapat itu tidak bernilai ilmiah sama sekali. Al-Quran telah menyatakan hal ini dengan tegas,

Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syari'at (peraturan), dari urusan agama itu, maka ikutilah syari'at itu, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. Sesungguhnya mereka sekali-kali tidak akan dapat menolak dari kamu sedikitpun dari (siksa) Allah, dan sesungguhnya orang-orang yang dzalim itu sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain, dan Allah adalah pelindung orang-orang yang bertaqwa". (al-Jatsiyah:18-19).

"Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu, dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya)" (QS al-A'raf:3).

"Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya" (QS al-A’raf:3).

    Ketiga,  jika terjadi perbedaan pendapat, maka tolok ukur untuk menyatakan suatu pendapat itu layak diadopsi atau tidak adalah al-Quran dan Sunnah. Bukan dikembalikan kepada hawa nafsu maupun alasan-alasan non syar’iyyah, misalnya untuk mempertahankan status quo kelompoknya, gengsi, atau tendensi-tendensi politis lainnya.

Al-Quran menyatakan hal ini dengan sangat jelas pula,

"Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan rasul-Nya (sunnah)" (QS al-Nisaa’:59).

Dan ada celaan bila mereka mengambil hawa nafsu sebagai parameter penentu kebenaran,

"Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya" (QS al-A’raf:3).

Keempat, kenyataannya, tatkala seorang muslim mengerjakan satu perbuatan, maka ia harus mengambil satu hukum saja.

Tidak mungkin ia mengerjakan satu perbuatan dengan dua hukum yang berlawanan pada saat yang bersamaan. Ia harus memilih salah satu pendapat untuk satu perbuatannya. Ketika ia hendak memilih salah satu hukum, ia harus menggunakan kaedah-kaedah quwwatul dalil (kekuatan dalil), hingga ia bisa menentukan mana pendapat yang lebih rajih dan kuat. Ia tidak boleh memilih suatu pendapat karena alasan sejalan dengan kehendaknya, memudahkan dirinya, atau sesuai dengan kehendaknya.

    Inilah point-point mendasar dalam melihat perbedaan pendapat. Kebenaran suatu pendapat dapat ditentukan berdasarkan kekuatan dalil dan metodologi istinbathnya. Jika suatu pendapat dibangun berdasarkan dalil yang kuat dan metodologi istinbath yang tangguh, maka pendapat itu layak dan harus diikuti. Sedangkan pendapat yang dibangun berdasarkan dalil-dalil yang lemah harus ditinggalkan ketika telah terbukti kelemahannya.

    Perbedaan penetapan awal dan akhir Ramadhan masih menyisakan persoalan di kalangan kaum muslim. Meskipun harusnya tidak menjadi masalah, akan tetapi tidak urung muncul pro dan kontra tengah-tengah masyarakat. Untuk itu, kami merasa perlu untuk menjelaskan perbedaaan pendapat itu, sekaligus teknik untuk mentarjih, mana pendapat yang selayaknya diikuti oleh masyarakat. Semoga tulisan ini bisa memperkecil perbedaan pendapat mengenai penetapan awal akhir Ramadhon dan Iedul Adha.

Bagaimana Menyikapi Perbedaan Pendapat Menurut Islam - Dari buku Bunga Rampai Pemikiran Islam

Download BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam