Unduh BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Selasa, 28 Juli 2020

IMF: Penolong atau Penyolong?



Semenjak keruntuhan komunisme dan berakhirnya Perang Dingin di penghujung tahun 80-an, menurut Didin S. Damanhuri (Problem Utang dalam Situasi “Hegemoni Ekonomi Global, 2000), praktis secara politik dunia memasuki periode Pax Americana. Artinya, yakni semua negara, mau tidak mau, harus melakukan political adjustment terhadap kekuatan politik dan militer AS dan sekutu-sekutunya. Kenyataan ini membawa konsekuensi secara ekonomi, yakni masuknya dunia secara monolitik ke dalam sistem perekonomian global neoliberal yang terlembagakan ke dalam perjanjian-perjanjian internasional seperti WTO. Keadaan ini membawa pengaruh dan perubahan-perubahan yang sangat dahsyat, di antaranya adalah di bidang finansial.

Pada awal tahun 1980, kalangan MNC, yang bermula berpangkalan di AS dalam rangka meningkatkan kapasitas permodalan, memanfaatkan dana-dana nganggur semisal yang berada di lembaga-lembaga dana pensiun, asuransi, dan sebagainya. Mereka juga memburu dana murah di pasar modal atau bermain valas dalam pasar uang. Cara ini lantas menjalar ke negara-negara industri lainnya di Eropa dan Jepang, kemudian ke negara-negara industri baru: Singapura, Hongkong dan seterusnya, hingga menghinggapi semua negara dan menjalar ke semua level perusahaan. Keadaan itu membuat terjadinya peningkatan arus moneter yang luar biasa dahsyatnya tanpa diimbangi oleh peningkatan arus barang dan jasa yang setara.

Pakar manajemen dunia, Peter Drucker, menyebut gejala ketidakseimbangan antara arus moneter serta arus barang dan jasa tersebut sebagai “decoupling”. Apalagi, bersamaan dengan itu, marak pula fenomena kegiatan ekonomi dan bisnis spekulatif (terutama di dunia pasar modal, pasar valas, dan properti). Akibatnya, dunia terjangkit penyakit ekonomi balon (bubble economy); sebuah ekonomi yang besar dalam perhitungan kuantitas moneternya, tetapi tidak diimbangi oleh sektor real, bahkan sektor real itu amat jauh ketinggalan. Sebagai perbandingan, dana yang berputar di sektor non-real dalam satu tahun berjumlah sekitar 700 triliun dolar AS, sementara di sektor real hanya sekitar 7 triliun dolar AS atau hanya seper-seratusnya. Hal ini menunjukkan bahwa uang kini makin tidak lagi sekadar sebagai alat tukar, tetapi telah menjadi komoditas yang diperjualbelikan atau dispekulasikan. Dengan itu, orang dapat meraup keuntungan miliaran dolar dalam waktu sekejap, tetapi dalam sekejap lagi kemudian bisa rugi miliaran dolar juga.

Satu lagi fenomena dalam hegemoni ekonomi global adalah bahaya jebakan utang atau debt trap. Dengan utang yang kini berjumlah lebih dari 140 miliar dolar AS. Indonesia misalnya, praktis menjadi negara pengutang terbesar di dunia. Bila sebelumnya utang dianggap sebagai jalan keluar pintas untuk memburu target pertumbuhan, sejak tahun 80-an, utang telah dipersepsikan sebagai bentuk baru kolonialisme dan imperialisme.

Bukan hanya Indonesia, krisis utang terjadi di banyak negara berkembang lainnya, dan itu sangat mempengaruhi dunia ekonomi. Di negara berkembang saat ini, tidak ada faktor lain yang lebih besar pengaruhnya terhadap perubahan ekonomi dan politik selain utang luar negeri. Lantas, apa penyebab utama utang ini dalam arti yang luas? Apa pula pengaruhnya dalam proses pembangunan sebuah negara?

Jebakan Mematikan

Menurut Rudolf H. Strahm (Kemiskinan Dunia Ketiga, 1999), sebab utama utang negara-negara berkembang adalah politik negara-negara industri yang menjual produk ekspornya dengan kredit yang diobral ke negara-negara tersebut. Motto mereka adalah, “BeIi sekarang bayar belakangan.” Hanya dengan politik ini, negara-negara industri bisa mengatasi krisis penjualan barang-barang produk dunia industri mereka. Pada prinsipnya, negara maju hanya menjadikan negara berkembang sebagai tempat sampah untuk membuang kelebihan industrinya. Defisit neraca pembayaran ini, mau tidak mau, harus ditutup dengan pinjaman luar negeri.

Sementara itu, bank-bank asing saling berlomba untuk memberikan kredit dan pinjaman kepada negara-negara berkembang. Akibatnya, utang semakin membengkak karena tagihan yang jatuh tempo, sementara jumlah bunga yang harus dibayarkan telah melampaui kredit baru yang akan didapat.

Didik J. Rachbini (Risiko Pembangunan yang dibimbing Utang, 1995) mengatakan bahwa utang luar negeri yang tidak terkendali adalah beban yang berat bagi sistem ekonomi. Dalam jangka panjang, utang luar negeri akan membahayakan pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Faktor-faktor seperti itulah yang sesungguhnya merupakan titik kritis dari pengelolaan ekonomi secara makro, meskipun lembaga-lembaga internasional seperti IMF dan World Bank selalu memprediksikan pertumbuhan ekonomi secara optimis.

Pertumbuhan ekonomi sangat ditentukan oleh seberapa besar pengeluaran pembangunan yang diputuskan pemerintah setiap tahun. Pada sisi pengeluaran rutin, APBN NKRI dijebak oleh pengembalian utang pokok dan bunganya.

Dari tahun ke tahun, upaya rezim adalah dengan peningkatan penerimaan pajak dan sektor migas, minerba. Akan tetapi, jumlah yang dikumpulkan dari keringat rakyat dan eksploitasi sumber alam tidak cukup untuk membayar cicilan utang pokok dan bunganya setiap tahun. Jadi, jika NKRI tidak mendapat utang baru dari negara donor, praktis tidak dapat membangun, karena tidak ada dana yang tersisa untuk pembangunan langsung. Semua dana yang diperoleh habis digunakan untuk membayar cicilan utang dan bunganya.

Cicilan utang pokok dan bunganya cenderung meningkat dan cenderung lebih besar daripada perolehan utang baru. Transfer negatif mulai terjadi sejak tahun 1986/1987, karena utang yang diperoleh waktu itu sebesar 3,795 triliun rupiah jauh lebih kecil daripada cicilan sebesar 5,059 triliun rupiah. Pada tahun 1988, defisitnya meningkat karena utang yang didapat hanya sekitar 6,2 triliiun, sementara cicilan dan bunganya mencapai 8,2 triliun rupiah. Pada tahun-tahun berikutnya, defisit itu makin membesar. Pada tahun 1993/1994, utang yang didapat hanya 9,126 triliun, sementara cicilan dan bunga yang harus dibayar sebesar 16,712 triliun rupiah.

Sementara itu, pada tahun 1990, terjadi aliran modal keluar (negative out-flow) sebesar 2 miliar dolar AS, karena pinjaman yang didapat hanya sekitar 4,8 miliar dolar AS. Pada tahun 1991/1992, kewajiban membayar cicilan dan bunga utang luar negeri ini mencapai 9 miliar dolar AS, sementara utang baru yang didapat dari CGI hanya sekitar 4,9 miliar dolar AS. Andaikata utang yang didapat lebih besar dari utang yang harus dibayar tetaplah sangat merugikan penduduk negeri ini.

Pola pembangunan yang dibimbing utang luar negeri lebih banyak didikte negara-negara donor dan sebagian besar aliran uang tersebut kembali ke negara asalnya. Untuk kasus ODA Jepang, menurut Prof. Murai, sekitar 70 persen dari nilai total pinjaman kembali ke negara asalnya melalui perusahaan-perusahaan yang menjadi pelaksana proyek pembangunan tersebut. Melalui mekanisme pelaksanaan yang diatur, kontraktor dan segala penyediaan kebutuhan pembangunan lewat jalur utang di negara peminjam didominasi oleh negara donor.

Walhasil, negara berkembang harus membayar lebih banyak daripada yang mereka dapatkan. Menurut Didik J. Rachbini, selama periode sembilan tahun, aliran dana dari negara donor ke negara pengutang sebesar 927 miliar dolar AS. Akan tetapi, pada periode yang sama, negara-negara pengutang itu mengalirkan balik 1.345 miliar dolar AS ke negara-negara pemberi utang. Artinya, melalui mekanisme utang luar negeri ini, negara-negara Dunia Ketiga kini malah justru memberi subsidi kepada negara maju.

IMF: Penolong atau Penyolong?

Negara-negara berkembang yang sedang dalam kesulitan, seperti Indonesia, harus tunduk patuh pada kemauan IMF. Oleh karena itu, IMF tampak seperti pencekik berdarah dingin. Tuntutan-tuntutan di bidang politik dan ekonomi yang diajukan IMF biasanya berjalan seperti ini: menghapus subsidi bahan pokok -Indonesia telah menghapus sebagian subsidi BBM yang membuat harganya menaik- sehingga akan meningkatkan harga bahan pokok; mengurangi pengeluaran sosial sehingga akan merugikan pusat kesehatan, sekolah, dan badan-badan sosial; membolehkan laba ditarik ke luar negeri melalui kebijakan rezim devisa bebas sehingga akan menguntungkan perusahaan multinasional.

Pil pahit dari IMF yang harus ditelan ini, secara sistematis akan mengurangi daya beli kaum lemah masyarakat tersebut, karena negara yang bersangkutan harus menghemat pengeluarannya guna membayar utang dan bunga. Tindakan pengencangan ikat pinggang tanpa pandang bulu ini selalu menimbulkan penolakan sosial. Tanpa campur tangan aparat keamanan dan militer, keputusan politik tadi tidak akan bisa dijalankan. Pendek kata, mekanisme utang ini hanya akan menyebabkan makin terinjaknya kaum lemah hingga terdesak jauh di bawah garis kemiskinan. Oleh karenanya, proses ini lebih pantas disebut sebagai pembangunan yang salah arah.

Akibatnya, krisis utang membawa keruntuhan sistem ekonomi dan kekacauan politik. Bunga dan cicilan yang harus dibayar memaksa rakyat negara tersebut terus-menerus mengencangkan ikat pinggang. Sementara itu, kebijaksanaan ekonomi yang didikte oleh pihak luar pada dasarnya hanya akan semakin menyengsarakan kalangan bawah bangsa tersebut.

Ironisnya lagi, orang yang menikmati keuntungan dari utang ini biasanya hanyalah kalangan atas yang jumlahnya sangat sedikit. Sementara itu, beban berat untuk melunasi utang dan membayar bunganya harus dipikul oleh rakyat secara umum.

Oleh karena itu, tidak ada satu negarapun di bawah strategi Bank Dunia dan IMF yang menunjukkan prestasi baik dalam pembangunan ekonominya. Kebanyakan negara-negara yang mengadopsi strategi dan berutang pada lembaga-lembaga multilateral tersebut terjerembab ke dalam jebakan utang yang membahayakan, demikian simpulan dari seminar ekonomi di Universitas Boston AS.

Sikap Menghadapi Utang

Apakah ada penyelesaian yang tepat untuk menanggulangi krisis utang di negara-negara Dunia Ketiga? Benyamin Weiner, presiden perusahaan Probe Internasional Stanford, menjawab, “Tidak ada." Jumlah utang, yang telah mencapai lebih dari setengah triliun dolar AS pada pertengahan tahun 1980-an, tidak akan pernah terbayar kembali, bahkan cenderung membengkak dari waktu ke waktu. Sampai tahun 1990, akumulasi utang, negara-negara berkembang telah mencapai lebih dari 900 miliar dolar AS.

Bahkan, Henry Kissinger juga merasa pesimis terhadap upaya-upaya untuk menyelesaikan masalah krisis utang negara-negara berkembang, karena setiap utang baru yang diperoleh harus dibayarkan kembali untuk pembayaran cicilan plus bunga. Cara yang terakhir inilah yang disebut “gali lubang tutup lubang”. Celakanya, lubang yang digali selalu lebih dalam dari tanah untuk menutupnya. Akhirnya, lubang yang digali, kian hari kian dalam. Inilah cara penyelesaian paling buruk dan memeras Dunia Ketiga. Kissinger mengatakan, “Kita berada di dalam suatu periode yang rumit dari apa yang boleh Anda sebut sebagai kapitalisasi bunga, yakni peminjaman uang baru yang kemudian kembali lagi dalam bentuk bunga, yang selalu membuat utang selalu bertambah.”

Menghadapi problematika utang luar negeri, paling tidak, ada tiga kelompok sikap umat:
Pertama, kelompok progresif radikal. Kelompok ini melihat bahwa utang luar negeri sekarang bukan lagi sekadar sebagai instrumen ekonomi belaka, tetapi lebih sebagai alat politik untuk melanggengkan dominasi ekonomi global, khususnya terhadap Dunia ketiga yang kebanyakan merupakan negeri Muslim. Oleh karena itu, mengharapkan ada penyelesaian rasional atas problematika utang tak ubahnya seperti meminta kepada lawan untuk mengubah strategi di saat ia tahu sedang di atas angin, itu hal yang mustahil. Oleh karena itu, harus ada tindakan yang sangat berani untuk menolak sama sekali pembayaran bunga karena bunga itu haram, menyetop pinjaman berikutnya, dan memaksakan penjadwalan pembayaran utang-utang pokok.

Kedua, kelompok progresif-realistik. Kelompok ini menyadari bahayanya jebakan utang, tetapi menganggap bahwa meninggalkannya sama sekali adalah suatu yang tidak mungkin. Belum lagi memperhitungkan reaksi dari negara maju yang mungkin saja melakukan sanksi ekonomi berupa embargo atau bahkan tindakan militer kepada negara yang dinilainya tidak kooperatif.

Ketiga, kelompok kompromistik. Kelompok ini menilai bahwa masalah ini adalah suatu kenyataan yang -sekalipun pahit- harus dihadapi, sambil terus mencari formula penyelesaian yang menguntungkan semua pihak. Akan tetapi, mungkinkah, di saat dunia telah dirasuki oleh adagium might is right?
Bacaan: Majalah al-Wa’ie edisi 3

Sabtu, 25 Juli 2020

Allah SWT Menjaga al-Qur'an dan Umat yang Memperjuangkan al-Qur'an

Al-Qur'an Senantiasa Terjaga



Allah Rabbul 'Âlamîn menyatakan dalam al-Qur'an:
"Sesungguhnya Kami menurunkan adz-Dzikr (al-Qur'an) ini dan sungguh Kamilah Penjaganya." (TQS. al-Hijr [15]: 9)

Imam Ibnu Katsir menyatakan, makna ayat di atas adalah bahwa Allah SWT. menjadi penjaga al-Qur'an dari perubahan atau pergantian (Tafsîr al-Qurânil 'Azhîm, II, hlm. 666). Karenanya, secara i'tiqadi, al-Qur'an senantiasa akan terjaga dari perubahan, penggantian, perombakan, atau peniruan apapun. Semuanya dijamin oleh Allah Zat Yang Menurunkannya. Sekalipun demikian, bukan berarti upaya untuk memanipulasi dan menggerogoti akidah umat dibiarkan saja melainkan Umat Islam harus memenuhi kewajiban menjaga al-Qur'an, menjaga Islam. Ketika ada orang bernama Musailamah mengaku menerima wahyu, Rasul menyebutnya sebagai Musailamah al-Kadzdzab, yang dalam bahasa Indonesianya berarti Musailamah si Tukang Bohong.

Karena itu, sudah selayaknya kaum Muslim menyadari bahwa upaya untuk menghadang tegaknya Islam dan upaya mengembalikan mereka kepada kekufuran terus berlangsung hingga detik ini. Selain itu, upaya 'halus' menyesatkan kaum Muslim dengan cara memalsukan al-Qur'an merupakan kemungkaran. Padahal Nabi Saw. menyatakan:

"Barangsiapa di antara kalian melihat suatu kemungkaran apapun, maka ubahlah dengan tangan (kekuatan); jika tidak mampu maka ubahlah dengan lisan; dan jika tidak mampu maka ubahlah dengan hati (tidak setuju dengan kemungkaran tersebut). Itu adalah selemah-lemahnya iman." (HR. Ashabussunan)

Hal itu berlaku bagi siapapun. Namun, sebenarnya dalam syariat Islam, yang sangat bertanggung-jawab atas persoalan ini adalah penguasa. Rasulullah Saw. menegaskan:

"Pemimpin (Imam) itu adalah penggembala, dan dialah yang bertanggungjawab atas rakyat yang digembalakannya"

Dalam hadits tadi jelas bahwa penguasalah wajib memelihara dan menjaga rakyatnya dalam segala hal, termasuk dalam hal akidahnya.

Sayangnya, di negara sekular seperti yang kini eksis di negeri-negeri Muslim, agama dipandang sebagai urusan pribadi. Negara tidak boleh mencampuri urusan agama warganya. Karena itu, tidaklah mengherankan apabila kasus pemalsuan al-Qur'an yang jelas-jelas untuk menyesatkan kaum Muslim itu dapat terjadi. Padahal, membiarkan hal itu terjadi sadar atau tidak berarti berkontribusi dalam penggerusan akidah umat dan penghadangan terhadap laju kebangkitan Islam.
Berdasarkan hal tersebut, ada beberapa hal yang dapat dipetik oleh kaum Muslim, yaitu:

  1. Musuh-musuh Islam akan senantiasa berupaya untuk mengeluarkan umat Islam dari agamanya menuju kesesatan dan kekafiran. Mahabenar Allah SWT yang menyatakan:

"Mereka tidak henti-hentinya memerangi kalian hingga mereka dapat mengembalikan kalian dari agama kalian (kepada kekafiran) seandainya mereka sanggup…" (TQS al-Baqarah [2]: 217).

"Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian mengikuti sebagaian dari orang-orang yang diberi al-Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kalian menjadi orang kafir setelah beriman." (TQS. Ali Imrân [3]: 100).
 

  1. Sejak puluhan tahun silam digembar-gemborkan dialog peradaban dan dialog antar agama. Sekarang, hakikat dari semua itu nampak di depan mata. Kenyataan menunjukkan bahwa di balik itu semua terdapat upaya untuk menghalang-halangi tegaknya Islam bahkan menyesatkan kaum Muslim terutama dengan sekularisme. Dengan demikian, sudah sepatutnya kaum Muslim semakin meyakini bahwa apa yang difirmankan oleh Allah SWT itulah yang benar. Sebab, Dialah Zat yang Mahatahu. Berkaitan dengan masalah ini Allah Pencipta Alam memberitahukan:

"Tidak akan pernah ridha kepada engkau kaum Yahudi dan Nashrani hingga engkau mengikuti golongan (millah) mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk". (TQS al-Baqarah [2]: 120).
 

  1. Tanpa penguasa muslim yang menegakkan syariat Islam, kehidupan bahkan 'aqidah umat tidak betul-betul terjaga. Berbagai ide kufur dapat dengan mudah merasuki tubuh umat tanpa adanya rintangan berarti. Hal ini berbeda sekali dengan kepemimpinan Islam yang digambarkan oleh Nabi Saw. bahwa pemimpin itu sebagai tameng, kita berperang di belakangnya dan dilindungi olehnya. Untuk itu, realitas menuntut semakin urgennya diterapkan aturan Allah SWT. Bila tidak, berbagai racun 'aqidah akan dengan sangat mudah makin menyerbu darah dan jantung kaum muslim.

  1. Kelemahan kaum muslim dalam memahami agamanya semakin memudahkan musuh-musuh Islam menjauhkan Islam dari diri umat. Karena itu, upaya menggelindingkan gerakan tsqafiyah merupakan suatu keharusan.

  1. Kepemimpinan umat yang bertumpu pada pribadi secara tidak sistem Islam kaffah tidak akan dapat menghadapi kenyataan racun 'aqidah yang terus menggebu. Karenanya, kepemimpinan yang harus dibangun adalah kepemimpinan pemikiran dan ideologis (qiyâdah fikriyyah). Sehingga umat akan dapat mengikuti mana yang benar sebagai benar dan yang salah sebagai salah.

  1. Persoalan pemalsuan al-Qur'an seakan hanya merupakan masalah 'agama'. Padahal, itu merupakan persoalan politik untuk menghancurkan Islam. Untuk itu, umat perlu semakin memahami politik (siyâsah). Tentu saja, politik Islam.


Wahai Para Ulama yang bertaqwa,

Anda adalah pewaris Nabi Saw., janganlah berdiam diri terhadap kemungkaran. Apalagi, terhadap kemungkaran yang hendak mematikan Islam dan umatnya.

Wahai Kaum Muslimin, 

Begitulah realitas musuh-musuh Islam. Karenanya, berpeganglah kepada tali agama Allah (al-Qur'an, Islam), janganlah terpecah-belah, dan jangan biarkan generasi Islam dijauhkan dari aqidah dan syariat Islam yang mereka anut.

"Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut mereka, namun Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir benci." (TQS ash-Shaff [61]: 8)

Jumat, 24 Juli 2020

Fungsi Intelijen Menurut Syariah Islam



Mewaspadai Fungsi dan Kewenangan Intelijen Negara Sekularisme Demokrasi

Patut diwaspadai oleh kaum Muslim kewenangan intelijen untuk: 
Pertama, melakukan aktivitas mata-mata secara sah terhadap rakyatnya sendiri guna mencari orang-orang yang diduga "mengancam keselamatan Negara".

Kedua, melakukan penangkapan secara non-yudisial, yang berarti diperbolehkan melakukan penculikan; apalagi ketika orang yang diduga melakukan tindakan yang "membahayakan" bagi keselamatan negara ditangkap, yang mengetahuinya hanyalah intelijen semata, sedangkan instrumen hukum negara yang lain tidak tahu persoalan ini. Ini semacam polisi rahasia savak pada masa rezim syah Iran yang terkenal melakukan penculikan, penghilangan orang, penganiayaan/penyiksaan, penahanan, interogasi dengan sistem inkusisi (interogasi intensif dan lama), dan sejenisnya.

Ketiga, melakukan pemeriksaan dengan sistem inkuisisi, tersangka tidak berhak didampingi advokat, dan tersangka tidak boleh diam atau tidak menjawab pertanyaan. Bukankah ini bertentangan dengan prinsip-prinsip umum dalam hukum manapun, karena seorang tersangka berhak membela diri atau didampingi pembela.

Dengan demikian, kewenangan semacam ini dapat mengarah pada legitimasi akan adanya sejenis polisi rahasia, yang di negeri manapun, dalam sejarahnya, hanya berujung pada penciptaan ketakutan dan kesengsaraan rakyat.

Sangat mungkin intelijen menebarkan ketakutan dan ancaman terhadap masyarakatnya sendiri, dan itu berarti intelijen justru menjadi ancaman. Mengikuti kepentingan politik yang ada, apabila dianggap merugikan kepentingan penguasa saat itu maka lawan-lawan politiknya bisa dihancurkan melalui jalur intelijen dengan dakwaan mengganggu keselamatan negara.

Setelah peristiwa 11 September 2001, AS melalui George W. Bush langsung menabuh genderang perang terhadap Islam dan kaum Muslim, dengan memproklamirkan The Crusade (Perang Salib), yaitu istilah yang khusus digunakan raja-raja Kristen Eropa untuk memerangi kaum Muslim pada abad pertengahan. Pada tanggal 20 September 2001, Bush yunior menebar ancaman ke seluruh dunia: "Every nation in every region, now has a decision to make either you are with us, or you are with the terrorist" (Setiap negara di wilayah mana saja, sejak saat ini, harus memutuskan apakah bersama kami, yaitu AS, atau bersama teroris, yaitu Islam dan kaum Muslim).

Dengan ultimatum AS, negeri-negeri Muslim diharuskan menentukan sikapnya, apakah bersama AS ataukah bersama ‘teroris’ (baca: pihak yang mengancam kepentingan imperialisme AS). Tidak terkecuali, dunia intelijen pun diharuskan memilih, apakah bersama AS ataukah bersama ‘teroris’.
Karena itu, tidak aneh apabila kewenangan intelijen diarahkan pada pihak-pihak yang oleh AS didefinisikan sebagai "teroris". Jika itu juga bisa digunakan untuk menjaga penguasa di kursi kekuasaannya dengan memukul lawan-lawan politiknya, hal itu adalah wajar di sistem bukan-Islam.

Intelijen dalam Pandangan Islam

Intelijen, yang di negeri-negeri Islam selalu menakutkan masyarakat, biasa dikenal dengan mukhâbarât. Institusi ini menjadi tangan kanan penguasa untuk memata-matai rakyatnya sendiri. Pada masa syah Iran, institusi intilejen ini dikenal dengan polisi rahasia savak.

Bolehkah menurut hukum Islam aktivitas memata-matai rakyat yang notabene adalah kaum Muslim? Allah Swt. telah melarang aktivitas memata-matai (tajassus), baik yang dilakukan oleh individu terhadap individu Muslim lainnya, maupun oleh negara terhadap individu kaum Muslim. Allah Swt. berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa, dan janganlah kalian mencari-cari kesalahan (dengan memata-matai) orang lain.” (TQS. al-Hujurat [49]: 12).

Ayat di atas melarang berprasangka buruk, termasuk menyangka orang atau pihak tertentu sebagai "teroris"; juga melarang aktivitas memata-matai masyarakat dengan dalih apapun. Ayat di atas berbentuk umum, yakni aktivitas tajassus (memata-matai) dalam hal apa saja. Dengan kata lain, dengan dalih atau tujuan apa pun tidak dibenarkan (haram hukumnya) memata-matai masyarakat kaum Muslim maupun kafir ahlu dzimmah.

Di dalam sistem hukum dan kehidupan Islam, aktivitas tajassus (mata-mata) hanya ditujukan terhadap negara-negara kafir (dâr al-harb). Bahkan, adanya aktivitas tajassus atau intelijen yang ditujukan terhadap manuver negara-negara kafir adalah wajib. Dalilnya adalah as-Sunnah.

Hal itu dapat dipahami dari tindakan Rasulullah Saw. yang mengutus ‘Abdullah bin Jahsy untuk memata-matai kafir Quraisy. Al-Waqidi mengisahkan isi surat Rasulullah Saw. yang diberikan kepada Abdullah bin Jahsy tersebut sebagai berikut:

"Berjalanlah engkau sampai ke jantung daerah Nakhla -dengan nama Allah- dan sampai ke kolam (sumur)-nya. Janganlah engkau mencegah seorang pun dari sahabat-sahabatmu untuk turut bersamamu. Laksanakanlah perintahku beserta orang-orang yang mengikutimu sampai di jantung daerah Nakhla (terletak antara Makkah dan Thaif). Lalu amatilah gerak-gerik orang-orang Quraisy." (Muhammad Hamidullah, Majmû‘ah al-Watsâ’iq as-Siyâsiyah, hlm. 68).

Dalam setiap peperangannya, Rasulullah Saw. juga selalu menjalankan aktivitas intelijen terlebih dulu untuk mengetahui kekuatan dan strategi musuh. Dengan begitu, akan diperoleh informasi tentang titik-titik kelemahan mereka. Keterangan tentang aktivitas intelijen tersebut banyak dijumpai dalam buku-buku sirah.

Walhasil, Allah Swt. mengharamkan secara mutlak individu atau negara untuk memata-matai atau melakukan aktivitas intelijen terhadap kaum Muslim ataupun kafir dzimmi yang menjadi warga negaranya. Sebaliknya, boleh bagi warga negara negeri-negeri Islam, dan wajib bagi negara untuk melakukan aktivitas intelijen yang ditujukan terhadap negara-negara kafir.

Apa yang Seharusnya Dilakukan?

Institusi intelijen dalam Islam seharusnya memiliki sarana-sarana pokok maupun penunjang agar dapat melakukan aktivitas intelijen baik di dalam negeri maupun di luar negeri, yang dapat memata-matai manuver-manuver politik, militer, ekonomi, dan perdagangan dari negara-negara kafir. Sebab, manuver-manuver negara kafir harbi tidak lebih merupakan upaya untuk melanggengkan hegemoni serta memperluas eksistensi dan menjaga kepentingan mereka di seluruh dunia, termasuk di negeri-negeri Muslim.

Dengan demikian, institusi intelijen Islam mampu mengungkap taktik, strategi, dan tipudaya negara-negara kafir, sehingga negara mampu menjaga eksistensi dan kemaslahatan penduduknya dari intervensi ekonomi, perdagangan, politik, maupun militer asing. Jika hal itu dilakukan maka pasti seluruh warga negara akan mendukung institusi intelijen Khilafah, bahkan mereka akan berpartisipasi menjadi mata dan telinga tambahan bagi intsitusi intelijen dalam memata-matai aktivitas negara-negara kafir, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Untuk itu umat Islam harus berupaya:

Pertama, memiliki kesadaran ideologi dan politik Islam. Kesadaran ideologi Islam artinya kesadaran bahwa Islam bukanlah sekadar ajaran ritual dan moral semata, melainkan sebuah sistem kehidupan yang mengatur seluruh aspek kehidupan yang harus disampaikan ke seluruh dunia. Sementara itu, kesadaran politik adalah kesadaran untuk senantiasa mengikuti politik internasional dan aktivitas politik serta selalu mengamati dunia melalui sudut pandang akidah Islam. Tanpa kesadaran ideologi dan politik Islam, kaum Muslim hanya akan tergilas oleh arus informasi yang sebagian besar dikuasai oleh musuh-musuh Islam. Lama-kelamaan, tidak mustahil jika seorang Muslim yang tidak berkesadaran ideologi Islam dan politik Islam akan membenci Islam dan umatnya sendiri.

Kedua, perlu disadari bahwa kegiatan intelijen oleh kepentingan Barat dan sekutu-sekutunya merupakan senjata pemusnah dan racun mematikan bagi umat Islam dan ideologinya yang harus dihentikan. Untuk menghentikannya perlu adanya kesadaran dan kewaspadaan umat agar tidak terjebak oleh tipu-tipu muslihat yang licik lagi kejam dari AS dan sekutu-sekutunya. Ingatlah firman Allah Swt:

“Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan daya upaya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka memikirkan tipudaya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik Pembalas tipu daya.” (TQS. Al-Anfâl [8]: 30).

Bacaan: Majalah Politik Dan Dakwah Al-Wa’ie

Kamis, 23 Juli 2020

Alasan Perlunya Negara Khilafah Islam



Mengapa Kita Perlu Khilafah?

Banyak sekali argumentasi rasional (baik secara politis, historis, maupun sosial) yang dapat diajukan namun kami ingin mengajak para pembaca pada visi keharusan kaum Muslim menegakkan negara Khilafah Islamiyah berdasarkan dalil syar‘î yang memang seharusnya menjadi landasan bagi kaum Muslim dalam aspek hukum dan keterikatan terhadap syariat Islam.

Cukuplah kiranya hujjah itu berdasarkan hujjah Allah (al-Qur'an), Rasul-Nya (as-Sunnah) maupun Ijma' Sahabat -yang meniscayakan kewajiban untuk menegakkan institusi negara yang berfungsi untuk menerapkan hukum-hukum Allah dan menyebarluaskan risalah Islam ke seluruh penjuru dunia. Dalil-dalil yang dimaksud adalah:

Pertama, firman Allah, antara lain adalah ayat berikut:

“Hendaklah kamu menghukumi mereka berdasarkan apa yang telah Allah turunkan kepadamu dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.” (TQS al-Maidah [5]: 49).

“Siapa saja yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan, mereka adalah orang-orang kafir.” (TQS. al-Maidah [5]: 44).

Pada faktanya hukum-hukum Allah, bahkan hukum-hukum buatan manusia sekalipun, tidak pernah bisa dijalankan tanpa adanya institusi -yaitu berbentuk negara- yang melaksanakan. Apakah mungkin hukum-hukum sekular bisa ditegakkan tanpa ada institusi (negara) sekular yang melaksanakannya? Jelas tidak mungkin. Begitu pula hukum-hukum Islam tidak mungkin bisa ditegakkan tanpa adanya institusi negara Islam, atau Daulah Khilafah Islamiyah yang melaksanakannya.

Kedua, hadits Rasulullah Saw., antara lain adalah sabdanya berikut:

“Siapa saja yang mati, sementara di atas pundaknya tidak ada baiat (ketaatan kepada seorang khalifah), maka matinya bagaikan mati Jahiliyah (dengan menanggung dosa besar).” (HR. Muslim)

“Kelak akan ada para khalifah yang banyak jumlahnya.” Para sahabat bertanya, “Lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Rasulullah menjawab, “Penuhilah baiat pertama; hanya yang pertama saja.” (HR. Muslim)

Dalam hadits lain Rasul bersabda:

“Apabila terjadi baiat atas dua orang khalifah, bunuhlah orang yang terakhir dibaiat dari keduanya.” (HR. Muslim)

Hadits-hadits shahih yang berkenaan dengan baiat di atas secara pasti dan jelas mengandung perintah yang tegas, yakni kewajiban untuk mewujudkan pihak yang akan dibaiat oleh kaum Muslim, yakni seorang Khalifah/Imam, yang tidak lain adalah kepala negara kaum Muslim. Artinya, kaum Muslim jelas diwajibkan untuk mewujudkan negara Islam, yakni Daulah Khilafah Islamiyah. Sebab, tidak mungkin ada khalifah/imam/kepala negara tanpa ada negara yang dipimpinnya.

Ketiga, Ijma' Sahabat, antara lain ditunjukkan oleh tidak adanya perbedaan pendapat di kalangan para sahabat Rasulullah Saw. mengenai wajibnya mengangkat pengganti (Khalifah) Beliau setelah Beliau wafat. Tindakan para sahabat yang menunda pengurusan jenazah Rasulullah saw. -yang tidak diingkari kewajibannya oleh mereka sendiri- dan malah sibuk di Saqifah Bani Sa‘idah untuk mengurusi pemilihan Khalifah, menunjukkan betapa wajib dan urgennya mewujudkan Kekhilafahan Islam bagi kaum Muslim. Kalaupun sempat terjadi perselisihan di kalangan mereka, hal itu tidak berkaitan dengan wajib-tidaknya pengganti (Khalifah) Rasulullah Saw., tetapi berkaitan dengan siapa yang pantas menjadi Khalifah setelah wafatnya Rasulullah. Realitas sejarah ini jelas tidak mungkin dipungkiri oleh mereka yang cerdas dan jujur.

Dalil-dalil di atas, meski hanya sebagian, telah cukup menjadi bukti mengenai wajib dan perlunya umat Islam menegakkan kembali Kekhilafahan Islam.

Hari Raya Idul Adha, Momentum Introspeksi

Bulan Dzulhijjah ini tampaknya bisa dijadikan momentum yang tepat bagi umat Islam untuk melakukan instrospeksi (muhâsabah), setidaknya dengan menjawab beberapa pertanyaan berikut:

Apakah dari tahun ke tahun kondisi umat Islam semakin baik?

Sudahkah umat Islam mampu mengalahkan dan melenyapkan dominasi kekuatan kufur yang dipimpin oleh Amerika, China dan negara-negara Barat saat ini?

Sudahkah kita berusaha menunaikan kewajiban untuk mewujudkan kembali institusi Kekhilafahan Islam sekaligus membaiat seorang Khalifah bagi seluruh kaum Muslim?

Sudahkah seluruh hukum-hukum Allah diterapkan di tengah-tengah umat Islam?

Jika jawabannya, “Tidak,” jelas pergantian waktu demi waktu harus semakin memicu umat Islam untuk meningkatkan iman dan amal shalih. Pergantian waktu jangan sampai hanya akan menjadi saksi atas keterpurukan demi keterpurukan umat Islam yang semakin dalam. Kita mesti mengingat firman Allah SWT:

"Kemuliaan itu hanyalah milik Allah, Rasul, dan orang-orang Mukmin." (TQS al-Munafiqun [63]: 8)

Allâhumma a‘iz al-Islâm wa al-Muslimîn!

Bacaan: Majalah Politik Dan Dakwah Al-Wa’ie

 

Selasa, 21 Juli 2020

Cara Membangkitkan Umat Islam


Bagaimana Membangkitkan Umat Islam

Kondisi umat Islam di seluruh dunia hari ini sangat memprihatinkan. Belum kering darah dan airmata kaum muslimin Irak yang dibombardir dan diduduki negerinya oleh ratusan ribu pasukan "Rambo AS" dkk yang dikerahkan untuk menguasai ladang-ladang minyak di sana (dengan cadangan sekitar 8 triliun dolar AS), dan masih terngiang di telinga kita ancaman AS kepada kaum Muslimin Suriah, kini AS pun berpacu dengan China dalam penjajahan. Sementara kebrutalan penjajah Israel di Palestina semakin meningkat. Negeri-negeri Muslim lain telah lama tunduk menjadi sapi perahan AS dan kawan-kawannya yang menjajah dunia Islam melalui utang-utang luar negeri yang mereka kucurkan, pendiktean kebijakan ekonomi yang mereka paksakan, maupun operasi agen-agen mereka dalam berbagai bidang kehidupan dan pos-pos strategis.

Walhasil, boleh dikatakan seluruh negeri Islam kini dalam keadaan terjajah, dimiskinkan, dieksploitasi, dan ditindas kehidupannya. Di negeri penjajahan militer langsung seperti Irak, Chechnya, dan Palestina, kaum Muslimin dalam ketakutan. Di negeri “merdeka dan berdaulat”, kaum Muslimin diberi sedikit ruang untuk mengekspresikan diri dalam koridor penjajahan itu. 

Dalam bidang ekonomi, kaum Muslimin dililit utang yang bunganya (ribanya) saja, satu negeri Islam seperti Indonesia, harus membayar puluhan triliun tiap tahun ke negara-negara penjajah. Kekayaan mereka yang melimpah di berbagai negeri Islam menjadi “bancakan” negara-negara penjajah dan segelintir orang kepercayaan mereka di negeri-negeri Islam. Sementara mayoritas umat yang pemilik sebenarnya kekayaan itu, hidup susah sebagai buruh dan pengangguran, dengan beban ekonomi yang berat. Harga berbagai kebutuhan, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain keperluan hidup serba mahal. Uang susah dicari, tapi rendah nilai daya belinya. 

Dalam bidang politik, mereka dipaksa minum obat tidur yang namanya demokrasi dan kebebasan dengan batas koridor: jika dan hanya jika menguntungkan para penjajah Barat. Dalam demokrasi, semuanya boleh kecuali Islam. Sehingga berbagai manipulasi politik yang hakikatnya “pemerkosaan suara rakyat” dari rezim ke rezim hanya untuk kepentingan penjajahan. 

Dalam bidang pemikiran dan budaya, pemerkosaan Islam dan labelisasi sebagai agama yang terbelakang dan faktor pemecah-belah yang harus ditinggalkan dipropagandakan sedemikian rupa untuk memisahkan Islam dari para pemeluknya sendiri. Agama Islam yang memenuhi ruang privat maupun publik, kini disembelih, hanya disisakan ke ruang privat. Reduksi aqidah Islam dilakukan dengan berbagai sarana, baik melalui dalih pertolongan ekonomi dan sosial, melalui pendidikan, budaya, maupun hiburan dan pemberitaan media massa.

Sampai kapankah umat ini terus terjajah? Kapankah umat ini bangkit membebaskan diri dari seluruh belenggu penjajahan ekonomi, politik, pemikiran, budaya, bahkan -di beberapa negeri— militer? Kapankah umat ini tampil dalam format kesatuan umat Islam di seluruh dunia yang terhormat?

Perubahan dari dalam Diri Kita

Jika kita mengamati perkembangan sejarah dari masa ke masa, jatuh bangunnya suatu bangsa, maka kita akan dapat melihat bahwa itu semua disebabkan adanya perubahan dalam diri bangsa itu. Bahkan kenyataan ini ditunjuk dengan jelas oleh al-Qur'an. Allah SWT berfirman:

“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (TQS. Ar-Ra’d: 11).

Keadaan umat Islam pada masa lalu penuh dengan keberkahan dan kesejahteraan, serta kekuatan dan ketahanan di bawah naungan bendera Lailahaillallah Muhammadur Rasulullah. Para khalifah sebagai pengayom agama dan keduniaan kaum Muslimin melaksanakan kewajiban agama ini dengan sebaik-baiknya. Umat Islam sebagai warga negara Islam melaksanakan tugas-tugas agamanya yang meliputi seluruh aspek kehidupan itu, baik dalam kewajiban personalnya maupun kewajiban sosial atau komunalnya menurut syariah Islamiyah. Namun, keadaan itu bisa berubah 180 derajat manakala umat melakukan kemaksiatan dan melalaikan kewajiban dan ketaatan kepada agamanya.

Pada tahun 1924, institusi penjaga umat itu runtuh dan umat Islam bagaikan ayam kehilangan induknya. Kehidupan sekular yang dipaksakan para penjajah dan kader-kader penerusnya pasca kemerdekaan melahirkan situasi dan kondisi masyarakat yang tidak Islami. Jauh dari ketaatan dan justru semakin ramai dengan kemaksiatan. Bahkan dalam iklim reformasi yang mestinya umat bisa menentukan sistem negara dan pengelolaannya sendiri, ternyata masih jauh dari perjuangan Islam kaffah. Bahkan dengan menguatnya sistem demokrasi dan liberalisasi dalam bisnis hiburan dan informasi, serta propaganda HAM, umat Islam masih semakin diarahkan kepada bentuk kehidupan yang jauh dari bangunan syariah Islam. Celakanya, ada saja ulama su' yang mau atau merasa tidak ada masalah dengan arus yang mengarah kepada kebobrokan moral, kebobrokan ekonomi, kebobrokan politik, kebobrokan pendidikan, bahkan kebobrokan aqidah. Maka wajarlah, kalau krisis ini menjadi-jadi dan kondisi umat Islam masih buruk.

Bagaimana umat bisa bangun dan membebaskan diri dari kondisi yang memprihatinkan ini? Tentu harus ada reformasi dalam diri umat, bahkan harus ada revolusi, satu perubahan total dalam diri umat ini. Sebagaimana pesan Allah SWT dalam ayat di atas. Apanya yang harus diubah secara mendasar dalam diri umat ini? Tidak lain adalah pemikiran mereka.

Kenapa? Sebab, selama ide-ide yang menyebabkan krisis dan keterpurukan umat ini masih bercokol dalam diri umat, mereka tidak akan pernah bangkit membebaskan diri dari belenggu realitas rusak yang ada. Sekalipun mereka telah merasakan derita dengan cara hidup yang ada hari ini, tapi kesadaran mereka tidak pernah sampai menemukan jalan keluar yang benar. Harus ada perubahan dalam benak pikiran umat ini. Pikiran yang menganggap wajar sebuah penyimpangan dari syariah (kezhaliman) harus diganti dengan pikiran bahwa setiap penyimpangan dari syariah harus dicegah dan diatasi. Tentu ini membutuhkan pelurusan dan penguatan pemikiran dasar. Umat ini harus bersih dari akidah sekularisme dan paham-paham sesat lainnya. Mereka harus bertanya kembali: dari mana hidup mereka? Untuk apa mereka hidup? Bagaimana kesudahannya setelah mereka mati? Tentu umat Muslim mesti menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar itu dengan aqidah Islam. Jawaban yang akan menjadi pandangan dan pemahaman hidup (mafaahim 'anil hayah) yang akan menentukan tingkah laku mereka.

Jika pemahaman bahwa aqidah Islam mengharuskan kembali kepada syariat -sebagai metode memecahkan seluruh permasalahan kehidupan umat- sudah tertanam dalam diri umat, maka bangkitnya umat ini dari kondisi berbagai keterpurukan tinggal tunggu waktu. Persoalannya adalah bagaimana menanamkan pemahaman itu dan siapa yang menanamkannya?

Bangkitnya Para Penegak Agama Allah

Pemahaman yang jernih tentang syariat Islam sebagai solusi atas seluruh problematika kehidupan adalah modal utama untuk bangkit dan tampil menjadi umat terbaik. Dan meratanya pemahaman itu ke seluruh kalangan, atau paling tidak pada sebagian besar tubuh umat ini adalah syarat bangkitnya umat itu. Untuk itu diperlukan upaya terus-menerus melakukan proses penyadaran itu. Dengan itu akan muncul individu-individu di kalangan umat, sedikit atau banyak, yang memiliki kesadaran tersebut. Di sinilah kunci perubahan bakal terjadi.

Kesadaran tersebut harus dikristalkan pada pribadi-pribadi yang siap berjuang mengembalikan Islam kepada posisinya, yakni sebagai penyuluh dan pengatur kehidupan manusia. Kesadaran perjuangan itu mengkristal dalam diri para pejuang itu manakala dalam diri mereka terdapat proses penyadaran posisi mereka sebagai Muslim dan kewajiban agama yang harus mereka pikul. 

Masing-masing individu umat yang telah menyadari dan memahami kedudukannya sebagai muslim yang bakal menghadap Allah SWT, dia akan bangkit, dan bertekad mengubah cara pandangnya (yang selama ini sekular atau tidak jelas, menjadi cara pandang Islam yang jelas) dan bertekad untuk mengubah kebiasaan-kebiasan (pola) dalam sikap dan tingkah lakunya. 
Pribadi-pribadi muslim yang sadar itu akan memegang prinsip dasar hidup: (1) Menjadikan aqidah Islam sebagai asas berpikir dan pembentukan pemahamannya tentang kehidupan (asasul hadharah). Dengan kata lain dia akan senantiasa menambah pemahamannya terhadap al-Qur'an dan as-Sunnah sebagai sumber petunjuk dalam memandang dunia dan dirinya, dan dalam memandang hak-hak dan kewajibannya sebagai hamba Allah. Dengan kekuatan aqidah atau keimanan itu dia akan terdorong maju tampil dalam kehidupan dengan membawa visi dan misi seorang muslim yang jelas. 

(2) Menjadikan halal-haram yang ditetapkan Allah dan rasul-Nya sebagai standar perbuatannya (miqyasul amal), baik dalam masalah ibadah, makanan, pakaian, akhlaq, muamalah, dalam hubungan-hubungan sosial, ekonomi, politik, dan lain sebagainya. Dengan garis batas hukum Islam untuk kehidupan pribadi, bermasyarakat, dan bernegara, akan dapat dinilai dengan jelas sesungguhnya apa yang terjadi dan apa yang harus dilakukan sesui tuntutan dan tuntunan syar’i. 

(3) Menjadikan ridha Allah sebagai arti kebahagiaan (ma’na as-sa’adah) dalam menjalani seluruh aktivitas hidupnya, yang didasari poin 1 dan distandarisasi dengan poin 2. Tujuan dan cita-cita mendapat ridha Allah semata inilah dasar dari keikhlasan perjuangan pribadi-pribadi muslim yang sadar itu. Kombinasi kesungguhan dan gambaran hidup yang jelas, pengetahuan tentang gambaran ideal syariat Allah, dan keikhlasan, adalah energi yang luar biasa bagi sebuah perubahan.

Khatimah

Dengan prinsip dan pemahaman seperti itu, pribadi-pribadi yang sadar itu akan bangkit menjadi para penegak agama Allah yang dengan perjuangan mereka umat ini akan bisa dibangkitkan kembali. Dengan penyuluhan dan bimbingan mereka umat ini akan bisa digerakkan untuk meninggalkan pola kehidupan yang rusak yang deritanya telah mereka rasakan, lalu bersama-sama dengan para pejuang yang ikhlas itu berjuang melanjutkan kehidupan yang pernah digariskan dan dijalani oleh Rasulullah Saw., dan insyaAllah akan mampu memenuhi kewajiban mengulangi kejayaan sebagaimana yang pernah diperoleh generasi awal umat ini dengan Daulah Islamiyah mereka. WalLaahu a’lam.

Download BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam