Unduh BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Minggu, 26 September 2010

Kekosongan Kepemimpinan Pakistan Menghasilkan Khilafah

Kekosongan Kepemimpinan Pakistan Menghasilkan Khilafah
Bagian 4 Kembalinya Khilafah

24 Kekosongan Kepemimpinan Pakistan Menetaskan Khilafah
"Pakistan: Tempat paling berbahaya di bumi.” –- Newsweek Magazine

Setelah hampir 8 tahun kekuasaan militer, Pakistan menghadapi seabrek tantangan yang mengancam eksistensi vitalnya. Berbagai ancaman aksi unilateral di area kesukuan oleh Amerika, pemberontakan yang didukung India di Baluchistan, peningkatan dramatis dalam pengeboman bunuh diri, dan perekonomian sekarat adalah beberapa musibah Pakistan. Tapi mungkin, isu yang paling signifikan adalah kekosongan kepemimpinan yang melanda semua segmen masyarakat. Manifestasi kehampaan ini sebenarnya adalah barang antik yang dipelihara selama masa pemerintahan koalisi, yang selama 6 bulan terakhir telah berjuang mendefinisikan tujuannya dan menggoreskan program konkret untuk meghadapi berbagai tantangan itu. Para politisi bukanlah tersangka satu-satunya. Para pentolan militer, bos-bos birokrasi, para industrialis dan pemimpin sipil sama-sama bersalah. Dengan kata lain, semua telah melepas tanggung jawab atau menanam kepala mereka di tanah. Satu-satunya hal yang sama di antara para pemimpin negeri itu adalah usaha mengemis pada kekuatan asing.

Para politisi tidak malu menggandeng para pejabat Amerika dan Inggris untuk secara rutin merancang dan melaksanakan perjalanan ke Dubai, London dan Washington untuk hal-hal remeh sekalipun. Seproporsi besar dari itu, secara terbuka ingin melayani berbagai kekuatan Barat dan tanpa malu mempromosikan berbagai kepentingan mereka. Kemudian terdapat para politisi Islami palsu, yang kontribusinya hingga hari ini tidak lain kecuali menambah korupsi di ranah politik, melegitimasi tindakan-tindakan busuk para penguasa dan menghancurkan kepercayaan publik pada Islam politik.

Perilaku para pentolan militer sama-sama parah. Baik Musharraf maupun Kayani seperti para penipu pendahulu mereka telah melakukan segala yang mereka bisa untuk mengamankan berbagai kepentingan Amerika di Pakistan. Pencekalan Abdul Qadeer Khan, pengabaian rakyat Kashmir, pembantaian di Lal Masjid dan penjagalan Umat Islam di Waziristan, Bajaur dan Hangu adalah beberapa pencapaian mereka yang menonjol.

Komunitas bisnis dan para industrialis tidaklah kebal dari kritik ini. Sejarah menjadi saksi bahwa mereka puas menjadi pasangan main dengan pemerintah apapun – sipil atau militer – selama tagihan pajak tetap minim dan mereka diberi kekebalan dari kredit macet. Ketika berbagai capaian komunitas bisnis diukur dalam hal transfer teknologi dan kontribusinya pada kemandirian negeri, skor mereka parah. Ringkasnya – kepemimpinan Pakistan sejak pembentukannya di 1947 telah gagal berulang kali untuk menyelamatkan Pakistan dari kekuasaan intelektual, politik dan ekonomi kekuatan-kekuatan Barat.

Akar penyebab permasalahan kepemimpinan Pakistan bisa diatribusikan pada satu faktor tunggal – yang disebut sistem politik dan ekonomi yang diwariskan oleh orang Inggris – yang di kemudian hari dimodifikasi oleh AS. Sistem ini telah secara rapi dan terencana membudidayakan segunung pemimpin sipil dan militer yang kalah, korup dan cinta Barat. Dalam kegairahan mereka untuk melayani kekuatan-kekuatan Barat – berbagai solusi Barat tak henti dipinjam dan diaplikasikan untuk segala macam hal di kehidupan orang Pakistan. Mentalitas ‘cut and paste’ ini membawa sifat dasar gagal, karena berbagai solusi yang diadopsi itu terputus dari masalah-masalah Pakistan dan bertentangan dengan keyakinan dan nilai-nilai yang dipeluk rakyat. Akibatnya, Pakistan menyaksikan bertahun-tahun gejolak dan polarisasi yang telah mencapai klimaks kacau hari ini.

Satu-satunya penyelamatan Pakistan adalah bagi satu kepemimpinan dinamis Islam baru untuk berkuasa dan membalik kemerosotan Pakistan. Kepemimpinan ini harus secara radikal berbeda dengan yang akan digantikan dan tidak bisa menjadi salah satu pemain di dalam sistem-sistem dan institusi korup negara itu. Ia harus memiliki kepekaan mendalam terhadap berbagai masalah Pakistan dan satu visi ideologis yang merefleksikan keyakinan dan nilai-nilai rakyat. Ia harus membuang kekerasan, tapi cukup berani untuk memimpin massa untuk revolusi komprehensif melawan kekuasaan sekular saat ini dan menghapus semua jejak dominasi Barat. Barat telah mendeskripsikan tren politik ini sebagai gerakan untuk mendirikan-kembali Khilafah.

Akhir dari krisis kepemimpinan ini bergantung pada seberapa cepat rakyat Pakistan bangkit dari kubangan lumpurnya dan memeluk fenomena ini (pendirian kembali Khilafah Islamiyah).

Maret 8, 2008

“Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu, menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah. Mereka akan menafkahkan harta itu, kemudian menjadi sesalan bagi mereka, dan mereka akan dikalahkan. Dan ke dalam neraka Jahanamlah orang-orang yang kafir itu dikumpulkan,” [Terjemah Makna Qur’an Surat (8) al-Anfaal: 36]

[ Kekosongan Kepemimpinan Pakistan Menghasilkan Khilafah ]

Sabtu, 25 September 2010

Obama Memimpin Perang Melawan Umat Islam


Obama Memimpin Perang Melawan Umat Islam

Bagian 4 Kembalinya Khilafah

23 Obama Si Panglima Salib dan Dunia Muslim
"Biarkan saya menyatakan ini sejelas-jelasnya… Amerika Serikat tidak dan tidak akan perang dengan Islam.” –- Presiden AS Barrack Obama

Pada 9 Oktober 2009, Presiden AS Barrack Obama dianugerahi Penghargaan Nobel Perdamaian atas pelayanan hebat atas nama perdamaian dunia. Dalam pernyataannya, Komite Nobel mengatakan dia telah “menciptakan iklim baru dalam politik internasional… Jarang seseorang setingkat Obama meraup perhatian dunia dan memberi rakyatnya harapan untuk masa depan lebih baik.” xxxiii Itu berlanjut, “Diplomasinya didirikan dalam konsep bahwa mereka yang akan memimpin dunia harus melakukannya atas dasar nilai-nilai dan sikap-sikap bersama-sama dengan mayoritas populasi dunia.” xxxiv Biasanya penghargaan diberikan pada orang ketika mereka telah menyelesaikan sesuatu yang nyata dan tidak untuk sekedar janji sumpah untuk mencapai hasil-hasil berharga. Dalam kasus Obama, dia tidak mencapai, tidak juga melakukan usaha-usaha untuk mendirikan pondasi-pondasi untuk perdamaian dunia. Sebaliknya, Obama adalah pecandu perang dan seorang panglima yang menjadi ujung tombak perang Amerika melawan Islam dan dunia Muslim.

Secepat Obama memperoleh penghargaan untuk perdamaian dia mengadakan pertemuan dewan perangnya untuk mendiskusikan bagaimana cara terbaik menjalankan perang di Afghanistan. “Presiden melakukan pembahasan lengkap tentang berbagai tantangan keamanan dan politik di Afganistan dan pilihan-pilihan untuk membangun pendekatan strategis ke depan” xxxv seorang pejabat memberitahu AFP. Salah satu usaha yang akan digunakan Obama adalah meningkatkan jumlah tentara AS yang diberdayakan di Afghanistan. Ini akan menambah jumlah dari sejumlah besar kontraktor keamanan swasta yang sudah bekerja untuk Pentagon dan bertanggung jawab untuk kebanyakan kehancuran dan pembantaian penduduk sipil Afghanistan.

Dewan perang Obama juga menetapkan pilihan-pilihan untuk memperluas perang Amerika ke Pakistan. Para pejabat Amerika secara terbuka berdebat tentang apakah akan meluncurkan serangan-serangan misil atas Quetta – kota terbesar Baluchistan. Jika anggukan diberikan, ini akan menandai fase baru dalam perang Amerika melawan Pakistan dan berarti bahwa pembentengan kedutaan AS di Islamabad – salah satu yang terbesar di dunia Muslim – akan digunakan sebagai pusat syaraf untuk merencanakan dan mendalangi pembunuhan kaum Muslimin. Selain itu, Amerika telah memberi mandat pada 2 perusahaan keamanan swasta Blackwater dan InteRisk untuk memburu dan menteror orang-orang Pakistan.

Di Irak, kebijakan Obama yang disebut kebijakan menggambar – draw down menyelubungi rencana jahat sejenis yang banyak mengandalkan para kontraktor keamanan swasta untuk memperkuat kehadiran militer Amerika di negeri itu dan untuk mengkompensasi penarikan pasukan AS. Para kontraktor keamanan swasta beroperasi dengan kebebasan sepenuhnya, menumpahkan darah Muslim dan menghina penduduk sipil Irak.

Menurut statistik baru yang diterbitkan oleh Pentagon tahun ini, terdapat kenaikan 23% dalam jumlah kontraktor swasta yang bekerja untuk Departemen Pertahanan di Irak selama perempat kedua 2009. Angka untuk periode yang sama di Afghanistan adalah naik 29%. Keseluruhan, para kontraktor (bersenjata dan tidak bersenjata) sekarang merupakan sekitar 50% dari “kekuatan total dalam Centcom AOR (Area of Responsibility).” Ini berarti ada 242.657 kontraktor bekerja di 2 perang AS di bawah kepemimpinan komandan Barack Obama. Ini melebihi jumlah pasukan saat ini yang ada di Irak dan Afghanistan yang berjumlah 132.610 dan 68.197 berurutan.

Di bawah pengawasan Obama perang sipil di Somalia sedang menjamur dengan kecepatan yang mengkhawatirkan. Perang itu dikobarkan oleh Washington melalui suplai senjata dan senapan AS ke pemerintahan boneka antek AS Syarif Ahmad. Bulan lalu, Obama memberi sinyal ke militernya untuk secara langsung mengintervensi di Somalia dan menjalankan serangan-serangan udara melawan para militan – sangat mirip invasi Amerika atas Somalia di 1993.

Melawan Iran, Obama tidak mengkampanyekan perdamaian, tapi mendesakkan sanksi-sanksi yang membuat cacat yang pasti akan menyakiti penduduk sipil Iran dan mengembangkan kebencian terhadap Amerika untuk puluhan tahun yang akan datang. Demikian pula, dukungan berlanjut Obama untuk para penguasa otokratis dunia Muslim telah meyakinkan banyak Umat Muslim bahwa Obama tidaklah berbeda dengan pendahulunya yaitu George Bush.

Namun, tidak ada tempat yang lebih jelas bagi kegagalan Obama memberikan perdamaian daripada di Palestina. Sebagai pendahuluan untuk penobatannya, Obama menampilkan pendirian teguh untuk tidak mengecam kebrutalan Israel di gaza. Faktanya, penolakan Obama untuk mengutuk Israel atas berbagai kejahatan perang telah menghadirkan standar baru yang memurahkan nilai nyawa, darah dan kehormatan Muslim. Di kantor, pengabaian Obama atas kekeraskepalaan negara Yahudi itu untuk menghentikan resolusi telah menjatuhkan semua usaha untuk menyerukan dialog perdamaian palsu.

Maka jelas, petualangan perdamaian Obama sama dengan mencabik-cabik negeri-negeri Muslim melalui perang dan penumpahan darah. Iklim politik yang dijalankan Obama adalah intimidasi dan tirani. Nilai-nilai yang digandeng Obama didasari atas penipuan dan ketidakadilan, komite Nobel telah menyatakan bahwa berperang melawan Umat Islam dan Islam di bawah selubung perdamaian adalah tindakan mulia. Obama mungkin telah menguasai hati komite Nobel, tapi di antara Kaum Muslimin dan banyak bagian dunia, Obama menjadi simbol imperium imperialistik yang merupakan musuh Islam.

Oktober 10, 2009

[ Obama Memimpin Perang Melawan Umat Islam ]

Sabtu, 18 September 2010

Memajukan Umat Islam Sedunia dengan Khilafah – Prediksi CIA tentang Khilafah

Memajukan Umat Islam Sedunia dengan Khilafah – Prediksi CIA tentang Khilafah

Bagian 4 Kembalinya Khilafah

21 CIA 20:20 Pandangan Kabur bagi Khilafah Masa Depan
"Mereka bicara tentang ingin mendirikan-kembali apa yang bisa kamu sebut sebagai Khilafah Abad Ke-7. Ini adalah dunia sebagaimana diatur 1200, 1300 tahun, berefek, ketika Islam mengendalikan segalanya dari Portugal dan Spanyol di Barat; semuanya hingga Mediterania ke Afrika Utara; keseluruhan Afrika Utara; Timur Tengah; hingga Balkan; berbagai republik Asia Tengah; pucuk Rusia Selatan; segepok India; dan sekitarnya hingga Indonesia hari modern. Singkatnya bisa dibilang dari Bali dan Jakarta di satu ujung, ke Madrid di ujung yang lain.” – Mantan Wakil Presiden AS Cheney

Pada Desember 2004, The National Intelligence Council – Dewan Intelijen Nasional CIA memprediksi bahwa di tahun 2020 sebuah Khilafah baru akan muncul di kancah dunia. Temuan itu dipublikasikan dalam laporan 123-halaman berjudul “Mapping The Global Future – Memetakan Masa Depan Global”. Tujuan laporan itu adalah untuk mempersiapkan pemerintahan Bush selanjutnya untuk tantangan-tantangan yang ada di depan dengan memproyeksikan tren-tren yang mungkin menjadi ancaman bagi kepentingan AS. Laporan itu disajikan kepada presiden AS, para anggota Kongres, para anggota kabinet dan para pejabat kunci yang terlibat dalam pembuatan keputusan.

Apa yang menyolok tentang laporan itu adalah bahwa itu penuh referensi tentang Islam politik dan beragam tantangan yang dimilikinya bagi kepentingan-kepentingan AS di masa depan dekat. Bahkan juga terdapat skenario fiksional menggambarkan munculnya negara Khilafah di 2020 dan dampaknya pada situasi internasional.

Namun, laporan itu diprediksi atas asumsi-asumsi yang merusak validitas laporan itu di berbagai bagiannya, khususnya bagian tentang Khilafah. Di bawah ini adalah kritik beberapa argumen yang dirumuskan dalam skenario fiksional itu: -

Laporan itu menyatakan bahwa kekuatan Khilafah baru akan diperoleh dari usaha-usaha gerakan Islam global yang mengambil kekuasaan. Sementara itu mungkin benar bahwa gerakan Islam global akan memicu ketidakpatuhan sipil atau menginisiasi suatu kudeta untuk menciptakan Khilafah, kekuatan dan keberlangsungannya adalah dependen atas sesuatu yang sepenuhnya berbeda.

Keyakinan intelektual terhadap satu set nilai-nilai bersama di antara warga negara itu adalah ukuran kekuatan negara itu dan bukannya gerakan itu, yang mendirikan negara. Uni Soviet runtuh bukan karena kekurangan teknologi, tapi karena rakyatnya meninggalkan komunisme dan partai komunis tidak berdaya untuk meyakinkan sebaliknya.

Penilaian akurat berbagai keyakinan massa Muslim terhadap berlanjutnya jalan hidup Islam melalui pendirian-kembali Khilafah adalah faktor tunggal yang paling penting dalam menentukan apakah Khilafah akan sukses atau gagal di abad ke-21. Ini lebih penting dari teknologi dan sumberdaya, yang keduanya bisa dengan cepat diperoleh selama Khilafah mampu mempertahankan dirinya sendiri dan mendasari kemajuannya secara eksklusif dengan ideologi Islam.

Kapanpun gerakan-gerakan Islam diambil sebagai tolok ukur satu-satunya untuk mengestimasi tingkat kebangkitan Islam di negeri-negeri Muslim, gambaran kabur akan selalu muncul. CIA tidaklah sendirian dalam mempergunakan standar keliru ini. Praktek itu menyebar luas dan telah mengkontaminasi analisis berbagai pemikir terpandang dan tulisan-tulisan beberapa komentator papan atas seperti Francis Fukuyama dan Samuel P. Huntington.

Arus ini bukanlah hasil dari kebencian mereka terhadap Islam, tapi adalah karena patuhnya mereka pada filosofi individualisme, yang telah menodai pemahaman mereka terhadap masyarakat dan mereduksinya menjadi sekelompok individu.

Pemahaman yang tepat terhadap masyarakat mengungkap bahwa ia terdiri dari para individu, yang diikat bersama-sama oleh pemikiran dan emosi / perasaan bersama, dan hidup di bawah sistem tertentu. Derajat dukungan di antara rakyat terhadap sistem pemerintahan yang ada atau terhadap sistem pemerintahan alternatif hanya bisa dipastikan melalui evaluasi berbagai pemikiran dan perasaan umum itu.

Ikatan individualisme telah menggiring Barat kepada penilaian rendah penetrasi pemikiran dan sentimen Islam di negeri-negeri Muslim, dan juga kepada kesalahan kalkulasi dukungan luas bagi pendirian-kembali Khilafah.

Poin lain argumentasi di dalam laporan itu adalah klaim bahwa munculnya Khilafah tidak akan menyebabkan rezim-rezim di negeri-negeri Muslim runtuh berurutan – efek domino.

Lagi-lagi pemahaman ini diturunkan dari pemahaman yang salah terhadap masyarakat. Studi sepintas terhadap dunia Muslim menunjukkan bahwa terdapat polarisasi besar dalam berbagai sudut pandang di antara rezim-rezim dan rakyat yang mereka atur. Sebelum runtuhnya rezim Baath, Saddam seorang atheist memberikan pidato yang dipoles dengan istilah-istilah Islami. Dia melakukan ini, karena dia sadar bahwa rakyat tidak lagi termotivasi oleh Baathisme, sekularisme atau Arabisme dan hanya merespon Islam. Demikian juga, ketika Musharraf bersanding dengan perang Amerika melawan Afghanistan dia harus mengutip alinea-alinea panjang dari kehidupan Rasulullah Saw. untuk menjustifikasi pendiriannya.

Konflik antara mempertahankan kekuasaan sekular dan mencegah Islam politik dari berkuasa adalah kejadian harian di kebanyakan dunia Muslim. Rezim-rezim di dunia Muslim dipandang sebagai budak berbagai kepentingan Barat dan antagonistik terhadap Islam. Kaum Muslimin jelas membenci para rezim itu dan bergairah untuk menghapus eksistensi mereka. Alasan satu-satunya rezim-rezim itu tetap hidup adalah karena dukungan penuh dari para pemerintah Barat.

Hari ini, Umat Islam berdiri di atas tepi perubahan monumental, sebagaimana negara-negara pakta Warsawa sekitar 18 tahun yang lalu. Tirai besinya turun karena rakyat telah mengubah pandangan mereka dari komunisme ke kapitalisme. Demikian pula Umat Muslim telah meninggalkan komunisme dan kapitalisme, dan sedang menunggu munculnya Khilafah, yang akan menyebabkan rezim-rezim itu runtuh dengan cara spektakuler, hanya untuk ditarik oleh Khilafah.

Akhirnya laporan itu mengklaim bahwa Umat Islam akan merasakan godaan materialisme Barat terlalu berat untuk ditahan, menyebabkan mereka lari dari pantai-pantai Khilafah baru. Pandangan ini jelas didirikan atas persepsi umum Barat bahwa Khilafah adalah antitesis dari modernisasi. Faktor lain yang meningkatkan persepsi ini di antara orang Barat adalah arus Kaum Muslim dari dunia Islam ke Barat sekarang ini.

Tidak ada yang bisa lebih jauh dari kebenaran. Pertama, Khilafah yang diinginkan Kaum Muslimin untuk didirikan adalah Khilafah berdasar petunjuk yang lurus, yang tadinya ada pada puncak peradaban manusia. Suatu fakta historis yang sangat dikenali oleh beberapa ahli terkemuka mengenai Islam – utamanya Bernard Lewis.

Kedua, migrasi massal Umat Islam ke Barat adalah konsekuensi dari kebijakan luar negeri Barat di dunia Muslim dan bukan karena kecintaan Muslim pada nilai-nilai Barat. Kebanyakan imigran, jika tidak semuanya merupakan imigran ekonomi atau para pencari perlindungan politik yang kabur dari tirani rezim-rezim yang sering didukung oleh para pemerintah Barat.

Bahkan Muslim itu, yang telah tinggal di Barat, belum memeluk nilai-nilai sekular karena takut merusak Islam mereka.

Usaha Eropa akhir-akhir ini untuk menghukum populasi Muslim mereka untuk mengadopsi nilai-nilai Barat mengungkapkan banyak tentang obsesi Eropa dengan mensekularkan umat Muslim dan bertolak belakang dengan citra stereotipan yang diproyeksikan oleh media Barat bahwa negeri-negeri Muslim ingin diwesternisasi.

Pensifatan umat Islam itu didasarkan pada pemahaman rusak perasaan anti-Barat yang menjangkiti dunia Muslim. Seringkali di lingkar barat, sentimen-sentimen anti-barat disamakan dengan penolakan total peradaban barat dan dikelompokkan dalam tenda fundamentalis.

Untuk memperparah masalah, keinginan di antara Kaum Muslim untuk memiliki produk-produk Barat diinterpretasi sebagai bernafsu menginginkan jalan hidup Barat. Orang-orang Barat seringkali mengklasifikasi mereka yang menunjukkan kekaguman terhadap barang-barang barat ke kelompok moderat.

Membagi-bagi umat Muslim ke dalam kedua kelompok itu berdasarkan interpretasi semacam itu adalah salah. Ini karena retorika anti-Barat yang ditemukan di antara kaum Muslimin adalah sebuah penghinaan atas budaya Barat dan bukan atas barang-barang barat. Demikian juga, ekspresi kekaguman terhadap produk-produk Barat adalah pengakuan tentang kualitas barang-barang yang lebih unggul dan bukannya persetujuan untuk budaya Barat.

Untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, dunia Muslim telah melalui transformasi radikal dalam menentukan aspek-aspek cara hidup Barat mana yang bisa diterima dan mana yang harus ditolak Islam. Kaum Muslimin hari ini menerima barang-barang Barat seperti DVD, Satelit, dan TV hanya karena benda-benda itu tidak berkontradiksi dengan pandangan Islami mereka. Di sisi lain berbagai konsep Barat seperti kebebasan, demokrasi dan individualisme dibuang karena dianggap berkontradiksi dengan Islam.

Sebelumnya, dunia Muslim disobek antara dua faksi yaitu para modernis yang ingin mengadopsi segalanya dari Barat dan para tradisionalis yang berniat menolak semua aspek peradaban Barat. Mentalitas ini menghambat kemajuan dan membuat Barat bisa membangun hagemoninya atas tanah-tanah Muslim.

Hari ini, bukanlah Kaum Muslimin yang menahan diri mereka sendiri dari kemajuan manusia dan mencapai tuntutan abad ke-21, tapi adalah Barat yang memilih untuk menekan perkembangan itu dan bersikeras menimpakan nilai-nilainya atas massa Muslim berkolusi dengan para rezim dunia Muslim.

Sikap ini tidak hanya berkontribusi pada kesalahpahaman Barat terhadap Islam, tapi telah mendorong Barat untuk mendefinisikan hubungan tak seimbang dengan dunia Muslim. Selain itu, pola pikir itu telah mendorong Barat untuk melecehkan segala yang terkait Islam. Penjajahan Barat atas Irak dan Afghanistan telah menggarisbawahi penyiksaan rakyat Muslim, penggarongan tanah mereka dan pencercaan Islam.

Jika sikap ini tidak dibalik maka Barat akan menyadari dirinya berada dalam posisi sulit di dua garis. Pertama, Khilafah akan menjadi negara kuat, maju menggambar nasib baru bagi rakyat Muslim setelah membebaskan mereka dari hagemoni politik, militer dan ekonomi Barat. Barat yang terlemahkan dengan hilangnya kendali secara tiba-tiba ini akan berjuang untuk menjaga dominasinya atas urusan-urusan dunia. Yang kedua, Khilafah akan dengan sigap memberdaya-gunakan sinergi antara Islam dan sains, sehingga mengungguli Barat dalam hal penciptaan, teknologi dan penemuan saintifik baru. Dengan sikap negatif Barat terhadap semua hal Islami semacam itu, ia akan berada dalam kondisi menutup pintu-pintu pengetahuan dan mengungkung rakyatnya dari kemajuan dan berbagai tantangan abad ke-21.

Januari 23, 2005

[ Memajukan Umat Islam Sedunia dengan Khilafah – Prediksi CIA tentang Khilafah ]

Barat Kalah Perang Ideologi Melawan Kaum Muslim

Barat Kalah Perang Ideologi Melawan Kaum Muslim

Bagian 4 Kembalinya Khilafah

21 Mengapa Barat Kalah Dalam Perang Ideologi Melawan Kaum Muslimin
"Barat memenangi dunia tidak dengan superioritas ide-idenya atau nilai-nilainya atau agamanya tapi dengan superioritasnya dalam mengaplikasikan kekerasan terorganisasi. Orang-orang Barat sering melupakan fakta ini, orang-orang non-Barat tidak pernah.” – Samuel P. Huntington

Selama kunjungannya ke Eropa, George Bush menekankan kepada para tuan rumah Eropanya bahwa menyebarkan kebebasan dan demokrasi adalah satu-satunya cara untuk mengalahkan terorisme di Timur Tengah dan dunia Muslim yang lebih luas. Pernyataannya menggaungkan doktrin familiar kepresidenannya – kebebasan menang atas terorisme.

Tapi, dengan menentukan perjuangannya sebagai kebebasan versus terorisme, pemerintahan Bush telah menghindari menjawab beberapa pertanyaan tepat seperti – Apa itu terorisme? Siapakah para teroris? Siapakah musuh di mata Bush dan para pendetanya yaitu para neo-konservatif?

Komisi 9/11 menekankan bahwa istilah perang terhadap terorisme adalah menyesatkan dan merekomendasikan bahwa itu harus dinamai ulang untuk menempatkan penekanan ideologis lebih besar melawan Islam. Pada Oktober 2001 Jenderal AS Wesley Clark, mengatakan bahwa perang AS melawan terorisme “adalah perang melawan Islam” yang akan mendefinisikan Islam sebagai kekuatan “damai atau militan” dalam masyarakat xxvii. Tapi yang lain berargumen bahwa itu harus dilabeli secara tepat perang melawan Islam politik.

Perbedaan apapun yang ada di antara para elit politik Amerika atas penamaan perang itu, terdapat sedikit ditemukan di antara orang umum Amerika. Terima kasih kepada korporat media yang takut-Islam, kebanyakan orang Amerika tak pandang orientasi politik mereka memandang perang terhadap teror sebagai pertarungan melawan Islam.

Kondisi yang sama ada di Eropa. Kurangnya keberanian di sisi kelas politik Eropa untuk mengkonfrontasi Bush mengenai pertanyaan-pertanyaan itu bersama dengan media yang Islamophobic telah meyakinkan orang-orang umum Eropa bahwa musuh baru mereka adalah Islam dan kaum Muslimin yang tinggal di tengah mereka.

Sebelum 9/11 umat Islam memandang bahwa intervensi Amerika di tanah-tanah mereka adalah bagian dari pertarungan berlanjut antara Islam dan Barat. Masa setelah 9/11 hanya memperkuat pandangan ini. Hari ini mayoritas luar biasa luas umat Muslim serempak yakin bahwa perang terhadap terorisme adalah perang melawan Islam dan kaum Muslimin.

Maka di balik parade Bush memerangi terorisme benturan antara Islam dan Barat terjadi dan benar-benar berlangsung. Pertarungan ini sedang dipertarungkan di beberapa level. Yang terpenting dari semuanya adalah pertarungan ideologi. Pemenang perang ini akan menentukan apakah masa depan milik Islam atau liberalisme sekular Barat.

Jadi pertanyaannya yang sekarang muncul adalah siapa yang memenangkan perang ide-ide ini? Jawabannya adalah Barat kalah perang ideologi melawan Islam sejak lama. Ini karena beberapa alasan berikut:

1.   Barat telah membelanjakan 200 tahun terakhir memerangi pemikiran Islam dengan harapan memisahkan Kaum Muslimin dari Islam. Kampanye ini mulai dengan para orientalis yang mempelajari Islam dan menyerang kepercayaannya dan aturan-aturannya.

Sebagai contoh mereka menyerang sumber ketuhanan Qur’an, jihad, poligami, sistem hukuman Islam dan Khilafah. Tapi biarpun usaha terorganisasi untuk mengalienasi umat Islam dari Islam ini, Barat menghadapi kebangkitan kembali Islam baik di rumah maupun di luar negeri.

Di Barat, Islam adalah agama yang paling cepat tumbuh baik di kalangan imigran maupun komunitas asli. Antara 1989 dan 1998 populasi Islam di Eropa tumbuh lebih dari 100%, menjadi 14 juta (sekitar 2% dari populasi), menurut statistika PBB, xxviii “Dalam 20 tahun kedepan jumlah orang Inggris yang berganti agama akan menyamai atau mengalahkan komunitas imigran Muslim yang membawa keyakinan itu ke sini”, kata Rose Kendrick si penulis textbook guide to the Koran xxix – buku teks panduan untuk Qur’an. Amerika tidaklah kebal dari fenomena ini. Seorang ahli mengestimasi bahwa 25.000 orang setahun menjadi Muslim di AS; beberapa pendeta mengatakan mereka melihat tingkat konversi berlipat 4 sejak 11 September xxx.

Selain angka konversi, sikap kaum Muslim yang tinggal di Barat terhadap liberalisme sekular sama-sama mengutuk. Polling ICM akhir-akhir ini yang mensurvei sikap Umat Muslim di Inggris mempublikasikan hasil berikut: 81% memandang kebebasan berbicara sebagai suatu cara untuk menghina Islam, 61% mendukung syariat, 88% menginginkan Islam di sekolah-sekolah, dan 60% tidak berpikir mereka perlu berintegrasi.

Jika ini adalah gambaran kaum Muslimin di salah satu benteng utama pencerahan maka seseorang hanya bisa menduga pendirian dunia Muslim terhadap nilai-nilai sekular liberal. Cukup untuk mengatakan bahwa Barat telah gagal untuk meyakinkan massa Muslim bahwa budaya Barat lebih baik daripada Islam.

2.   Di masa lalu Barat mempergunakan jasa-jasa para modernis seperti Rifa’a at-Tahtawi (1801-1873), Jamal Ad-Din Al-Afghani (1838-1897), Muhammad Abduh (1849-1905), Taha Hussein  (1889,1973), Rasyid Rida (1865-1935) dan Syed Ahmad Khan (1817-1898) untuk menjadi ujung tombak kampanye mereka mengintroduksi budaya Barat di bawah selubung Islam. Dampak dari para reformis ini tidak hanya dinihilkan tapi juga dibalik.

Hari ini para modernis menemukan diri mereka sendiri di dalam situasi sulit. Mereka ditolak oleh Kaum Muslimin dan dipandang sebagai instrumen imperialisme budaya mengerjakan perintah Barat untuk merendahkan Islam.

Di mata Barat mereka dipandang sebagai terlalu Islami dan tidak lagi dipercayai dengan tanggung jawab memalingkan Umat Islam dari Islam. Keputusan Amerika untuk membatalkan visa Tariq Ramadan dan kebencian media pada kunjungan Al-Qardawi ke Inggris memadatkan ketidakpercayaan Barat terhadap para modernis. Secara keseluruhan mereka didiskreditkan dan telah menjadi tidak relevan dalam perang ide antara Barat dan Islam.

3.   Hantaman terbesar yang dilakukan oleh Barat melawan dunia Islam terjadi pada 3 Maret 1924 ketika Inggris melalui kaki tangannya, Mustafa Kamal, menghancurkan Khilafah. Lord Curzon berbicara di House of Commons mengatakan, “Poin yang menjadi perhatian adalah bahwa Turki telah dihancurkan dan tidak akan pernah bangkit lagi, karena kita telah menghancurkan kekuatan spiritualnya: Khilafah dan Islam.” Dengan demikian, berbagai kekuatan Eropa mengukir tanah-tanah Islam dan membagi-baginya di antara mereka, mendirikan penguasaan kolonial langsung atas rakyat Muslim.

Massa Muslim untuk pertama kalinya terekspos pada solusi-solusi Barat mulai dari solusi ekonomi yang menggarong kekayaan mereka hingga silabus pendidikan yang memisahkan mereka dari sejarah mereka, mereduksi Islam menjadi hanya satu set ritual dan mengajari mereka bagaimana berpikir seperti orang Barat.

Selain itu, Islam dihapus dari kehidupan temporer hanya untuk diganti dengan aturan sekular. Kemudian Barat memberi kemerdekaan semu kepada negeri-negeri Muslim yang telah mereka ciptakan dan menancapkan para budak setia untuk menjaga kepentingan-kepentingan Barat dan untuk berkuasa atas rakyat Muslim mewakili Barat.

Jika Barat berpikir bahwa 8 tahun pemaksaan sekularisme telah cukup untuk menjauhkan massa Muslim dari Islam politik maka mereka salah sejauh-jauhnya. Kekuatan dan arah kebangkitan Islam hari ini telah menarik perhatian para pemimpin Barat. Vladimir Putin, Tony Blair dan Donald Rumsfeld telah bergabung dengan daftar panjang para pemimpin Barat pendahulu di 2004 memberi peringatan tentang bahaya bangkitnya Khilafah. Ini diringkas secara singkat oleh Kissinger yang mengatakan, “… apa yang kita sebut terorisme di Amerika Serikat, tapi yang sebenarnya adalah kebangkitan Islam radikal melawan dunia sekular, dan melawan dunia demokrasi, mewakili pendirian-kembali semacam Khilafah xxxi”.

4.   Terdapat cacat bawaan dalam ideologi sekularisme, yang telah mengakibatkan penolakan yang bisa dipastikan oleh dunia Muslim. Ini karena sekularisme bersikeras membatasi peran Islam dalam masyarakat pada sembahyang pribadi saja. Berbagai keputusan politik tentang mengatur masyarakat dilimpahkan kepada manusia. Sekularisme ini secara langsung berkontradiksi dengan doktrin umat Islam, yang menganggap politik sebagai bagian tak terpisahkan dari Islam yaitu bagi Umat Muslim Islam adalah politik. Bernard Lewis memberi penilaian yang mirip dan mengatakan, “Ketiadaan sekularisme dalam Islam dan penolakan luas sekularisme imporan yang diinspirasi oleh contoh Kristen, bisa diatribusikan pada perbedaan-perbedaan besar keyakinan dan pengalaman kedua budaya religius itu xxxii“.

Selain itu, sekularisme selalu membiarkan kekosongan spiritual, khususnya ketika umat manusia dikonfrontasi dengan masalah-masalah, yang tidak mampu mereka pecahkan. Memisahkan Tuhan dari hal-hal temporal hanya mempertegas perasaan ini. Adalah kelemahan intelektual yang telah berkontribusi pada naiknya Islam politik secara dramatis di bawah kekuasaan otokratis sekular, yang menjangkiti banyak dunia Muslim.

Barat harus mengambil pelajaran dari ketidakmampuan komunisme memisahkan kaum Muslimin dari Islam. Komunisme ideologi yang jauh lebih dalam daripada sekularisme juga gagal untuk meyakinkan massa Muslim akan paham materialisme dan hukum-hukum buatan manusia.

5.   Duplikasi Barat dalam mempromosikan nilai-nilai Barat di seantero dunia Muslim telah sangat merusak kredibilitasnya. Khususnya, setelah 11 September, ketika standar ganda Barat mencapai ketinggian baru. Itu adalah episode Abu Ghraib yang mengungkap tingkat sifat hipokrit barat yang sebenarnya dan kebenciannya terhadap kaum Muslimin.
Ide-ide Barat seperti kebebasan, demokrasi, hak-hak manusia diberi hantaman menghancurkan tidak oleh Umat Islam, tapi oleh Amerika yang disebut-sebut pembela kemerdekaan. Bahkan para penguasa antek di dunia Muslim dibiarkan menganga heran dan tidak bisa membentengi Amerika dari kriminalitas jahat yang dilakukannya sendiri.

Dalam satu ayunan, Amerika oleh hasil perbuatannya sendiri telah merusak secara permanen kedudukannya di dunia Muslim dan telah sangat melemahkan ide-ide yang mewakili pondasi peradaban Barat. Sebegitunya, hingga banyak non-Muslim yang mempertanyakan validitas ide-ide itu dan peran penipuan yang dimainkan oleh para pemerintah mereka di luar negeri.

Maka untuk pertama kalinya, para pemerintah Barat berhadapan dengan tantangan untuk meyakinkan warganya sendiri bahwa nilai-nilai itu harus ditekan di rumah, sementara ditimpakan secara paksa atas dunia Muslim. Mungkin orang-orang Barat harus mencari naungan pada kata-kata Oscar Wilde yang mengatakan, “Demokrasi artinya hanya sekedar pemaksaan rakyat, oleh rakyat untuk rakyat.”

Itu adalah beberapa alasannya, yang telah berkontribusi pada penolakan dunia Muslim atas budaya Barat dan filosofi sekular liberalnya.

Realitas menyolok di hadapan para pemerintah Barat hari ini adalah bahwa Umat Muslim telah memenangkan perang ide. Bab pertarungan ideologi antara Umat Islam dan Barat sedikit atau banyak ditutup. Tapi bab pertarungan politik antara Umat Islam dan Barat masih terbuka – meski untuk periode tertentu. Ini karena Barat dan para anteknya tidak punya sisa legitimasi di dunia Muslim. Para antek itu hanya hidup karena dukungan teguh dari kekuatan-kekuatan Barat.

Oleh karena itu Barat dan para bonekanya berdiri sendiri dalam menyiksa Umat untuk menerima nilai-nilai Barat. Sementara Umat berdiri tegar menolak budaya Barat dan menyerukan kembalinya Negara Islam global. Kedua posisi itu tidak bisa dikompromikan dan polarisasi sudut pandang antara para rezim dan rakyatnya tidak bisa berlangsung selamanya.

Hanyalah masalah waktu sebelum Kaum Muslimin menggulingkan kekuasaan sekular, yang telah secara zalim ditimpakan atas mereka. Merasakan kegagalan para anteknya dalam menghadapi Islam politik, Barat di bawah alasan memerangi terorisme berusaha menjajah-kembali tanah-tanah Muslim dalam taruhan putus asa untuk memperkuat nilai-nilainya dan untuk melindungi kepentingan-kepentingan materialnya.

Perilaku Barat terhadap dunia Muslim bisa diibaratkan dengan seorang guru sekolah yang gagal. Seorang guru sekolah yang gagal adalah seseorang yang terus memukul murid-muridnya dalam harapan kosong menanamkan dalam diri mereka nilai-nilai sekolah. Sebaliknya, si guru tidak hanya kehilangan kendali atas kelas tapi juga meruntuhkan institusi yang dia coba untuk lindungi itu.

Malahan orang-orang Barat punya lebih sedikit untuk ditakuti dari para Islamis dan lebih banyak untuk ditakuti dari para pemerintah mereka sendiri yang atas nama kebebasan dan demokrasi perlahan tapi pasti meruntuhkan pondasi-pondasi peradaban mereka sendiri.

Maret 1, 2005

[ Barat Kalah Perang Ideologi Melawan Kaum Muslim ]

Hagemoni Amerika Melemah – Kekuasaan Amerika atas Dunia Jatuh

Hagemoni Amerika Melemah – Kekuasaan Amerika atas Dunia Jatuh

Bagian 4 Kembalinya Khilafah

20 Abad Amerika 21 Akan Berakhir
"Sangat mirip masa-masa yang membuat Perang Dunia I terjadi, berbagai koalisi dan blok regional bisa dibentuk untuk menyaingi supremasi Amerika. Jika salah satu entitas itu bisa mengkonsolidasi kekuatannya dengan cukup cepat, dunia bipolar yang baru bisa muncul. Secara potensi, China, koalisi pan-Arab, atau Uni Eropa bersatu bisa menjadi superpower baru ini.” – Robert DeYeso

Nyata 6 tahun telah berlalu sejak Presiden Bush berkuasa dan abad 21 yang sangat diinginkan milik Amerika akan menuju akhir seketika. Superiorias Amerika di keempat sudut dunia sedang ditantang oleh para kawan maupun lawan.

Di halaman belakang Amerika sendiri – Amerika Latin – Presiden Venezuela Hugo Chavez memimpin pasukan salib untuk menjegal berbagai kepentingan AS di seantero daerah itu. Dia telah berhasil menghimpun dukungan para pemimpin Cuba, Bolivia dan Ekuador untuk mempropagandakan misinya. Bersama-sama, mereka menantang supremasi Amerika dengan mengarungi kampanye untuk mengambil kembali ladang-ladang minyak dan gas dari berbagai perusahaan Barat dan menguasainya di bawah kendali langsung negara.

Di seberang Atlantik, Eropa yang terkungkung perang Irak dan sangat menentang agenda unilateralis pemerintahan Bush paling maksimal menawarkan asistensi nominal. Namun, dengan kesempatan orang-orang Eropa – utamanya orang Perancis, Jerman, dan Inggris telah bersikap lebih sebagai lawan daripada kawan Amerika. Kekeraskepalaan Perancis di Lebanon, penolakan Eropa untuk mendedikasikan pasukan yang cukup di Irak dan Afghanistan, interferensi Inggris di Palestina, dan permusuhan Perancis dan Inggris terhadap penyelesaian Darfur telah melukai kedudukan Amerika di dunia dan mengerosi legitimasinya.

Rusia dan Cina yang ditekan dengan 20 tahun atau lebih kekuatan Amerika telah bangun kembali untuk melawan berbagai revolusi menyapu Asia tengah yang diinspirasi oleh Amerika. Uzbekistan kembali ke naungan pengaruh Moscow, Kyrgistan dan Belarus berhasil mengalahkan gerakan-gerakan yang didukung AS; Amerika gagal memberitakan ke dalam negeri hasil politik yang dibuat di Ukraina, dan Georgia menyaksikan pukulan balik parah dari Rusia atas hubungan-hubungannya dengan Washington.

Selain itu, Kyrgistan dan Tajikistan yang merupakan negara-negara biasa Shanghai Cooperation Organization (SCO) – Organisasi Kerjasama Shanghai telah menjadi cukup berani untuk menginginkan pembubaran basis-basis Amerika. Berbagai perolehan Amerika di daerah ini hampir berpendirian menentang.

Lebih buruk lagi adalah perang terhadap teror tanpa diduga telah mempersolid hubungan Cina dengan Rusia – menihilkan bertahun-tahun rencana strategis Amerika untuk menjaga kedua mantan musuhnya itu pisah. Aliansi Cina-Rusia yang terkuatkan kembali dengan pertumbuhan ekonomi dan keinginan yang sama untuk melihat dunia yang bipolar telah melebarkan tentakelnya ke seantero globe melukai berbagai kepentingan AS.

Rusia yang terbulatkan oleh ancaman-ancaman Amerika sedang mempersenjatai Venezuela dan Iran dengan persenjataan modern xxv. Perusahaan-perusahaan energi Cina menandatangani berbagai persetujuan di tempat-tempat yang tradisionalnya terjaga untuk para raksasa minyak Amerika xxvi. Di Timur Tengah, baik Rusia maupun Cina telah melakukan penolakan kuat terhadap posisi Amerika atas Iran. Di Semenanjung Korea, dukungan besar Beijing untuk Pyongyang telah mengekspos ketidakmampuan Washington mencegah Korea Utara dari menjadi nuklir.

Di seantero dunia Muslim kredibilitas Amerika telah leleh hingga tingkat terendah. Keganasan perlawanan di Irak dan Afghanistan telah mematahkan punggung pasukan Amerika dan memaksa Presiden Bush meninggalkan rencana-rencananya memajukan demokrasi. Bush tidak mampu mengurai Amerika dari cekikan Irak dan Afghanistan harus membalik ‘Doktrin Truman’ dan mencari pertolongan berbagai otokrasi sekular seperti Syria, Iran dan Pakistan. Bukannya membentuk kembali dunia Muslim dalam citra Amerika, berbagai kebijakan jahat pemerintahan Bush telah mengislamisasi daerah itu, mempolitisasi massa Muslim untuk bangun dari kubangan keterbelakangan spiritual dan memicu para ulama elit menjadi energi kuat atau Islam politik – untuk meringkas 6 tahun terakhir – adalah cukup untuk mengatakan bahwa Amerika sedang menyebabkan lahirnya Khilafah.

Setelah 2 dekade mendominasi urusan-urusan dunia, Amerika menemukan dirinya sendiri berada di bawah ampunan para kawan dan lawannya. Graham Fuller, mantan wakil komisaris National Intelligence Council – Dewan Intelijen Nasional, mendeskripsikan komplikasi Amerika dengan tepat ketika dia menulis dalam edisi terakhir the National Interest, “beragam negara telah memberdayakan bermacam strategi dan taktik yang didesain untuk melemahkan, mengalihkan, mengubah, mempersulit, membatasi, menunda atau memblokir agenda Bush melalui kematian oleh seribu potongan.”

Jadi apa yang terjadi setelah Amerika jatuh dari kedudukannya sebagai satu-satunya superpower dunia? Eropa terlalu terpecah untuk mengambil mantel sebagai negara pemimpin. Rusia belum menerjemahkan kekuatan ekonominya menjadi modal politik untuk memposisikan dirinya sendiri sebagai kekuatan terunggul. Baik Cina maupun India kekurangan kemauan politik dan pengalaman untuk mempengaruhi politik dunia. Untuk masa depan yang bisa dilihat, kedua negara itu akan dibatasi pada ranah pengaruh mereka masing-masing.

Negara yang ingin menggantikan Amerika harus memiliki populasi besar, sumberdaya melimpah, ideologi universal dan kemauan politik untuk bisa sukses. Kandidat yang paling jelas adalah dunia Muslim di bawah Khilafah, yang oleh Bush sering dibicarakan.

Desember 4, 2006

[ Hagemoni Amerika Melemah – Kekuasaan Amerika atas Dunia Jatuh ]

Islam Menolak Sistem Politik Barat

Islam Menolak Sistem Politik Barat

Bagian 4 Kembalinya Khilafah

19 Timur Tengah: Kemajuan Demokrasi Amerika Membuat Sekularisme Tergusur
"65% ingin menyatukan semua negeri Islam menjadi satu Negara tunggal Islam atau Khilafah.” –- WorldPublicOpinion.org

Tidak seberapa lama yang lalu, Presiden Bush mengumumkan Greater  Middle  East  Initiative – Inisiatif Timur Tengah Lebih Besar yang banyak diinginkan sebagai bagian dari perang terhadap terorismenya. Tujuan rencana itu adalah untuk melestarikan kekuasaan sekular saat ini di seantero daerah itu melalui promosi kebebasan dan demokrasi. Tapi hari ini, dalam masyarakat Timur Tengah, inisiatif Bush mendapatkan efek sebaliknya. Para Islamis seantero daerah itu telah menunjukkan perolehan yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam pemilu baru-baru ini dan sekarang menjadi tantangan langsung bagi berbagai kediktatoran dan monarki yang makmur di bawah dukungan Amerika.

Selama pemilu parlementer Mesir di 2005, Muslim Brotherhood – Persaudaraan Muslim mengamankan 20% xxii dari semua kursi. Jika Mubarak tidak mengandalkan intimidasi di ronde kedua dan ketiga pemilu, angkanya akan jauh lebih tinggi. Tapi meski berbagai taktik para rezim brutal untuk menekan para Islamis, Muslim Brotherhood memberdayakan slogan ‘Islam adalah solusi’ dan mengalahkan para saingan sekular dalam mengumpulkan dukungan lebih besar di antara para elektorat Mesir. Dalam pemilu parlementer Irak 2005, partai-partai religius mengambil kebanyakan voting Irak. Dari 275 kursi di Council of Representatives – Dewan Perwakilan, Syiah yang mendominasi United Iraqi Alliance – Aliansi Bersatu Irak memenangkan 128 kursi. Aliansi itu termasuk the Dawa Party – Partai Dakwah yang dipimpin oleh Perdana Menteri Ibrahim al-Jaafari dan the Supreme Council for Islamic Revolution in Iraq – Dewan Agung untuk Revolusi Islam di Irak, dipimpin oleh Abdul Aziz  al-Hakim. Aliansi itu kalah 10 voting dari mayoritas absolut. Para fundamentalis Sunni dari Iraqi Accord Front – Front Kesepakatan Irak mengamankan 44 kursi, sementara para Islamis Kurdi mengambil 5 kursi. Jika Amerika dan para anteknya tidak mengintervensi secara langsung dalam proses pemilihan, kekuatan voting para Islamis akan sepenuhnya memarjinalisasi para sekularis. Dalam kasus apapun, Iraqi Council of Representatives akan didominasi oleh para wakil yang memiliki mental religius yang kuat dan diharapkan membuang berbagai kebijakan yang mereka nilai nyata-nyata sekular. Hasil pemilu Palestina yang dijadwalkan 15 Januari 2006 mungkin akan meniru hasil pemilu di Mesir dan Irak.

Para penyurvei memprediksi kuatnya Hamas yang terang-terangan anti-Israel dan telah menjanjikan kehancurannya. Hamas dengan 62 kandidat diproyeksikan mengambil lebih dari 1/3 dari 132 kursi yang tersedia dalam Legislative Council – Dewan Legislatif Palestina. Ancaman-ancaman dari Israel untuk menyingkirkan organisasi itu dari berlomba dalam pemilu dan ketidaksukaan Amerika atas pendiriannya yang bergaris-keras telah mendongkrak popularitas kelompok itu. Selain Fatah, partai sekular lainnya tidak bisa menghimpun tantangan efektif melawan pengaruh Hamas dan para Islamis lainnya yang semakin berkembang. Fatah yang berkisar seputar perpecahan internal dan dipandang luas sebagai korup akan menjadi pecundang utamanya.

Pola para Islamis mengalahkan para sekularis dalam pemilu diulangi di tempat lain di dunia Arab. Sebagai contoh pada pemilu municipal – publik Saudi tahun lalu, para Islamis memenangkan 6 dari 7 kursi di Riyadh dan menyapu pemilu-pemilu di Jeddah dan Makkah. Para kandidat yang didukung oleh para Islamis Sunni juga memenangkan kendali dewan publik di sejumlah kota di Yaman, the Yemeni Reform Group (Islah) – Kelompok Islah Yaman, suatu kombinasi para Islamis dan elemen-elemen suku, memenangkan 46 dari 301 kursi dan sekarang membentuk oposisinya. Tahun itu, para Islamis bergabung untuk memenangkan 17 dari 50 kursi di parlemen Kuwait, di mana mereka membentuk blok ideologis dominan. Di Yordania, Bahrain dan Maroko juga, para Islamis telah memperoleh hasil seringkali mengalahkan para sekularis xxiii.

Kehadiran serempak para Islamis dan penurunan cepat para sekularis telah merubah medan politik dunia Arab. Berbagai indikasi awal menunjukkan bahwa transformasi ini akan menjadi permanen. Menurut polling 2004 oleh Zogby International-Sadat Chair, dari mereka yang disurvei di Jordan, Arab Saudi, dan UAE mengatakan bahwa ulama harus memainkan peran lebih besar dalam sistem politik mereka. 50% orang Mesir yang disurvei mengatakan bahwa para ulama tidak boleh mendikte sistem politik, tapi sebanyak 47% mendukung peran lebih besar bagi mereka. Jadi tren politiknya jelas; semakin demokratis dunia Arab, semakin mungkin para Islamis mendapatkan kekuasaan xxiv.

Tidak hanya laju demokrasi Bush di Timur Tengah memperkuat Islam politik, ia juga gagal meredakan ombak Islam militan yang tumbuh semakin kasar setiap hari. Pada April 2005, Departemen Negara AS memutuskan untuk menghentikan publikasi laporan tahunan terorisme internasional setelah kantor pusat tertinggi terorisme pemerintah menyimpulkan bahwa terdapat lebih banyak serangan teroris di 2004 daripada di tahun lain sejak 1985, tahun pertama yang dilaporkan. Efek lain inisiatif ini adalah pertarungan hati dan pikiran. Menurut poll Zogby 2005 mengenai sikap Arab terhadap Amerika, 63% orang Yordania, 85% Mesir, 89% orang Saudi, 66% orang Lebanon, dan 69% rakyat di UAE memiliki opini yang menunjukkan tidak suka Amerika.

Runtuhnya rencana Bush untuk melajukan demokrasi di Timur Tengah tidak lepas dari perhatian para pembuat kebijakan di dalam negeri. Perseteruan yang lebih tajam terjadi antara para suporter Bush dan pengkritik rencananya. Penentang berargumen bahwa Bush tidak cukup bertindak untuk mengisolasi para Islamis dan mempromosikan kemoderatan sebagai bagian dari dorongan demokrasi di Timur Tengah. Mereka juga memegang pendirian bahwa para Islamis, khususnya mereka yang lantang anti-Amerika tidak bisa dipercaya dan harus disingkirkan dari eksperimen demokrasi. Pandangan mereka didasarkan ide bahwa penolakan dunia Muslim untuk menerima nilai-nilai Barat ada pada ideologi Islam. Dalam opini mereka teks Islam harus diubah secara fundamental sebelum dunia Arab bisa diterima oleh Barat.

Para suporternya di sisi lain menyarankan pendekatan yang lebih pragmatis. Mereka percaya bahwa dengan mengkooptasi para Islamis dalam proses demokrasi, dunia Arab akan bisa dibentuk menjadi daerah yang menerima nilai-nilai Barat, jauh lebih tidak anti-Amerika dan mau menerima hagemoni Amerika. Keyakinan mereka berdasar pada premis bahwa dengan menjaga para Islamis tetap di luar proses demokrasi hanya akan membiakkan kemarahan dan kekerasan terhadap Barat. Mereka mengutip Turki sebagai model ideal bagi dunia Arab untuk diikuti. Pendukung utama pandangan ini adalah si neokonservatif Marc Gerecht yang akhir-akhir ini berargumen di dalam artikel berjudul ‘Devout Democracies’ bahwa penguasaan sendiri di dunia Muslim akan memiliki komponen religius dan Barat seharusnya tidak takut akan fenomena ini.

Yang manapun dari kedua pandangan itu yang berhasil membimbing eksperimen demokrasi Amerika di Timur Tengah, itu akan memiliki dampak yang bisa diabaikan dalam menghambat bangkitnya Islam politik. Ini karena rakyat di Timur Tengah tidak akan melupakan atau memaafkan dukungan sebesarnya Amerika terhadap Israel, dukungan sekuatnya terhadap berbagai kediktatoran brutal Arab, eksploitasi sumberdaya alam mereka, penimpaan berbagai solusi dan nilai kapitalis, dan usaha-usaha sengaja untuk mengadakan perang melawan rakyat Irak dan umat Islam lainnya. Berbagai realita menyakitkan itu tertanam secara permanen pada pikiran orang Arab dan terus mendesak populasi Arab untuk mencari naungan dalam Islam politik.

Timur Tengah adalah jantung dunia Islam dan sekarang ia berdenyut dengan Islam politik yang pasti akan menghasilkan munculnya-kembali Khilafah. Mempromosikan demokrasi atau menghindari implementasinya, mengganti interpretasi teks Islam dengan interpretasi sekular, mengisolasi para Islamis dan mendorong para moderat, menghancurkan rezim-rezim dan mengganti mereka dengan antek AS yang patuh tidak akan mengubah hasilnya. Berbagai hubungan masa lalu Amerika dengan orang Arab telah menyegel nasibnya dengan Arab sekarang ini. Waktunya telah tiba bagi para pembuat kebijakan AS untuk memikirkan tentang masa depan – jenis hubungan seperti apa yang diinginkan AS dengan Khilafah?

Januari 23, 2006

[ Islam Menolak Sistem Politik Barat ]

Download BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam