Unduh BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Kamis, 08 November 2018

100 Tahun Timur Tengah



Lebih dari 100 tahun yang lalu di tahun 1917, Revolusi Bolshevik berlangsung hebat di Rusia dan penjarahan kementerian luar negeri pada akhirnya memantik perjanjian oleh dua aparat dari imperium Inggris dan Perancis - Sir Mark Sykes dan Francois Georges-Picot. Mewakili negara mereka, keduanya membuat kesepakatan untuk memecah-belah Timur Tengah untuk memastikan kaum Muslimin tidak pernah menjadi ancaman bagi mereka lagi. Tanah yang tadinya satu dibagi-bagi menjadi bangsa-bangsa; dan monarki-monarkinya dan para otokratnya disebut sebagai pemerintah dan ditimpakan atas massa. Tapi 100 tahun berlangsung, kesepakatan Sykes-Picot mengalami kerontokan dan kekuatan-kekuatan yang seharusnya mereka tindas, muncul di mana-mana. Dua dari negara-negara itu -Irak dan Suriah- tidak punya garis batas sungguhan di antara mereka.

Penting untuk dicatat bahwa bahkan di hari ini, garis-garis batas politis di Timur Tengah tidaklah menunjuk pada kelompok-kelompok orang yang berbeda. Perbedaan di antara orang Irak, Suriah, Yordania, dll. sepenuhnya direkayasa oleh Perancis dan Inggris sebagai cara untuk mengadu-domba antar orang Arab. Batas-batas yang digaris dalam perjanjian Sykes-Picot dibuat tanpa melihat aspirasi penduduk di kawasan itu. Penting untuk digarisbawahi bahwa di hari ini pun, garis-garis batas politis di Timur Tengah tidaklah menunjukkan adanya perbedaan kelompok etnis atau agama. Hak-hak individual model Eropa yang terwujud dalam negara bangsa, tidak dan tidak pernah cocok untuk model budaya mereka. Bagi orang Arab, keluarga –bukan individu- adalah unit fundamental masyarakat, dengan loyalitas pada Khalifah. Keluarga berada dalam klan dan klan berada dalam suku, bukan pada bangsa. Orang-orang Eropa menggunakan konsep negara bangsa untuk mengekspresikan pemisahan di antara “kita” dan “mereka.” Bagi orang Arab, itu adalah kerangka yang asing, yang hingga hari ini masih terus bersaing dengan identitas agama dan suku. Negara-negara di Timur Tengah yang diciptakan oleh Eropa hanya mengikuti hawa nafsu mereka – penduduknya tidak memberikan loyalitas utama padanya. Inilah alasan, dan seharusnya tidak mengherankan, atas gagalnya negara-negara itu. Namun demikian, yang perlu dikupas adalah bagaimana negara-negara itu bisa tetap berlangsung.

Negara-negara itu tetap berlaku karena eksisnya para oportunis loyal yang dipasang sebagai penguasa oleh Perancis dan Inggris, yaitu para diktator yang dicokolkan. Para pemimpin Barat, para pemikirnya, dan medianya sejak dahulu menjustifikasi dan mendukung para diktator dan otokrat di Timur Tengah. Barat terus menyokong para otokrat karena merekalah satu-satunya kekuatan yang mampu membendung gelombang kebangkitan Islam, yang merupakan sistem nilai yang dipeluk di kawasan itu; dan mereka mampu memastikan keamanan suplai minyak. Mendukung para otokrat demi “keamanan,” adalah alasan yang sama yang digunakan oleh para otokrat Arab itu untuk menjaga penduduk domestik mereka tetap tunduk. Di Mesir, setelah kudeta militer yang menggusur Ikhwanul Muslimin dari kekuasaan, militer menjalankan program penindasan ekstrim untuk melawan para rivalnya. Strategi ini tidak hanya menyasar Ikhwanul Muslimin, tapi juga bersasaran untuk membelah sistem politik sedemikian sehingga memastikan dukungan bagi militer dari kalangan urban kelas menengah.

Sementara para penguasa di dunia Barat mendapat dukungan dari rakyatnya dan bisa dicopot dengan mobilisasi massa, di Timur Tengah basis dukungan para penguasanya adalah Barat bukan masyarakat. Para otokrat, monarki dan diktator berkuasa dengan tangan besi, menindas rakyat dan menggunakan intelijen mereka untuk menjaga mahkotanya dan melestarikan status quo.

Sykes-Picot bermaksud mengakhiri Islam sebagai kemungkinan politik dalam hal pemerintahan di Timur Tengah. Tapi sejumlah pemikir Barat melihat bahwa kaum Muslim di kawasan itu berbeda secara kultural dengan Barat. “Kasus Mesir memunculkan pertanyaan menarik dan penting meski apapun hasil akhirnya. Bagaimana jika ada pemilu demokratis dan rakyat memilih suatu rezim yang melanggar prinsip-prinsip hak asasi Barat? Bagaimana jika, setelah banyak upaya Barat untuk mendorong pemilu demokratis, para pemilih memilih untuk menolak nilai-nilai Barat dan berlari ke arah yang sangat berbeda – sebagai contoh, orang yang menganggap nilai-nilai Barat itu secara moral menjijikkan dan bertujuan untuk memeranginya?...Tapi pemahaman umumnya di Barat adalah suatu bentuk narsisisme yang menganggap bahwa semua orang waras, terbebas dari penindasan, ingin meniru kita” [1]. George Friedman melihat bahwa penduduk di Timur Tengah memiliki kebudayaan peradaban yang berbeda dan oleh karenanya tidak mesti memeluk nilai-nilai Barat. Sementara pemilu, keamanan, kepemilikan dan kekuasaan hukum adalah nilai-nilai universal; demokrasi, kebebasan dan sekularisme bukan, dan punya asal-usulnya sendiri di Eropa, pertarungan antara gereja dan masyarakat.  

Perbedaan kebudayaan peradaban ini menyebabkan gagalnya nilai-nilai Barat menjadi diadopsi di Timur Tengah dan di sinilah para otokrat diperlukan – untuk memastikan kawasan itu tidak kembali ke pemerintahannya sendiri sehingga bisa mendominasi salah satu kawasan paling strategis di dunia itu, hingga mengusir Barat.

Timur Tengah berlanjut menjadi sasaran penelitian, analisis, para PhD dan kritikus. Sementara selama seabad terakhir kawasan itu telah ada banyak aktor, negara, dan kekuatan yang membentuknya, 100 tahun ke depan tampak akan sangat berbeda dari sebelumnya. Ada banyak tren yang sudah mulai berjalan yang akan menjadi tantangan-tantangan yang lebih luas cakupannya, lebih dalam, dan lebih umum yang harus dihadapi oleh kerangka yang ada saat ini. Para penguasa di kawasan itu tidak paham banyak soal itu dan secara umum bersikap pragmatis terhadap tren-tren yang telah muncul, atau menggunakan kekuatan brutal untuk memelihara status quo. Tren-tren itu mencakup ekonomi, politik hingga sosial. Dari jangka menengah hingga panjang, Timur Tengah akan mengalami populasi yang lebih besar, terutama kalangan mudanya. Mereka akan perlu pekerjaan, perumahan dan ingin mewujudkan aspirasinya dalam pengurusan negara. Ke depan, represi dan otoritarianisme tidak lagi menjadi alat yang bisa diandalkan oleh para otokrat di kawasan itu karena itu semua tidak lagi berpengaruh pada masyarakat, sebagaimana tampak pada Arab Spring.

Masyarakat di Timur Tengah sekarang bisa mengakses berita-berita yang diblokir dan beragam opini, meski ada upaya-upaya dari pemerintah mereka untuk membatasi arus informasi. Mereka bisa mendiskusikan hal-hal “terlarang,” mengkritik penguasanya, dan memprotes kezhaliman. Ditambah lagi dengan populasi yang tumbuh dan muda – masa depan akan sangatlah berbeda dari sebelumnya di Timur Tengah.

Semua tren, ke depan, menjadi problem serius bagi status quo.

Timur Tengah hari ini berdiri di ujung era baru. Arsitektur hasil rekayasa Perancis dan Inggris mengalami kerontokan dan tidak ada jumlah tambalan yang cukup untuk bisa menghentikannnya. Para penguasa Muslim, yang telah lama memainkan peran sebagai penjaga arsitektur buatan di Timur Tengah, telah kehilangan senjata mereka yang paling ampuh – rasa takut, yang merupakan satu-satunya metode untuk melestarikan Sykes-Picot, juga diri mereka sendiri untuk tetap berkuasa. Melihat ke depan, terdapat kemunculan tren-tren yang sangat signifikan yang belum pernah ada sebelumnya dalam demografi, politik, sosial, teknologi, dan geopolitik yang tidak dipahami oleh para otokrat di kawasan itu. Tren-tren itu akan memukul rata semua yang berdiri di hadapannya dan menghapus mereka yang mencoba melestarikan kerangka buatan status quo.

Bacaan: Situs Hizbut Tahrir wilayah Inggris, “100 Years of the Middle East”

Download BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam