Unduh BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Jumat, 30 Juni 2017

dr. Zakir Naik: Khilafah Akan (Tegak) Kembali

dr. Zakir Naik bersama MUI

Di tengah gempuran opini negatif oleh musuh-musuh Islam terhadap ide khilafah, dr Zakir Naik menguatkan perjuangan menegakkan khilafah. Ia menyatakan, khilafah adalah representasi sistem terbaik dari Al-Qur’an dan hadits. Menurutnya, itulah yang dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad SAW dan para khalifah setelahnya.

Oleh karena itu, ia berkeyakinan khilafah mesti ditegakkan. Bahkan, di daerah asalnya, India, tidak sedikit masyarakat yang tergabung dalam pergerakan untuk mengembalikan khilafah. "Saya yakin khilafah akan tegak sebelum kiamat. Itu sudah merupakan janji Allah. Artinya, diinginkan atau tidak diinginkan oleh kita, khilafah akan (tegak) kembali," ujarnya di GH Universal, Bandung.

Namun demikian, ia menekankan pentingnya persatuan umat Islam. Sebab, umat Islam mesti belajar dari sejarah kelam runtuhnya khilafah terakhir di Turki pada 1924. Mengapa umat Islam mesti belajar, karena justru yang meruntuhkan khilafah adalah sebagian umat Islam sendiri. Musuh Islam tidak dapat menghancurkan Islam ketika umat Islam bersatu dalam naungan khilafah.

"Oleh karena itu, musuh Islam memecah-belah persatuan umat Islam sehingga mereka dapat meruntuhkan khilafah dengan bantuan sebagian umat Islam yang sudah terpecah-belah. Umat Islam saling memusuhi dan saling menyerang sampai akhirnya mereka tidak memiliki pemersatu lagi," tutur Zakir.

Ia menekankan perlunya kesadaran umat Islam untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah, dan untuk memperkuat persatuan.

“Jangan sampai masyarakat terhasut oleh apa yang disampaikan oleh pihak yang memusuhi Islam. Mereka (musuh Islam) melabeli sekelompok orang bersenjata yang gemar membunuhi orang dengan sebutan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Padahal mestinya, sekelompok orang bersenjata tersebut bukan dinamakan ISIS, tapi Anti Islamic State (Anti Negara Islam). Karena yang mereka lakukan tidak mencerminkan Islam,” ujarnya.

Menurut pandangannya, khilafah berasal dari Islam dan khilafah mesti ditegakan dan pasti akan tegak. Akan tetapi, ISIS bukanlah representasi dari Islam dan ISIS bahkan bukan berasal dari Islam. Khilafah yang benar adalah khilafah yang berdasarkan manhaj atau jalan kenabian. Yang dicontohkan oleh khulafaurrasyidin. Dirinya juga meyakini, apa yang berasal dari Islam akan dapat diterapkan baik dulu, saat ini, dan di masa yang akan datang.

“Indonesia sebagai negeri Muslim terbesar sudah selayaknya menjadi contoh bagi negeri Muslim lainnya, termasuk negara lain di dunia. Akan tetapi, masyarakat di Indonesia mesti lebih dekat kepada Al-Qur’an dan hadits. Dengan demikian, Indonesia dapat menjadi contoh masyarakat Islam yang baik yang dapat memberikan inspirasi bagi negara lain," ujarnya.

Demokrasi Berbeda dengan Islam

Adapun dalam melihat fenomena saat ini, Zakir merasa prihatin atas aplikasi demokrasi yang diterapkan terhadap sejumlah negeri-negeri Muslim. Ia menuturkan, pada 1970 dan 1980an, homoseksual dilarang di hampir seluruh negara di dunia. Akan tetapi, ia sangat terkejut ketika pada 1996 mendapati gambar sebuah pria berciuman dengan pria di halaman depan sebuah surat kabar.

"Mengapa hal itu bisa terjadi, tentu saja karena demokrasi. Ketika suara mayoritas menyatakan homoseksual boleh, maka homoseksual menjadi dipersilakan. Bahkan, mereka yang menentang homoseksual justru yang akan dipenjara,” ujarnya.

Oleh karena itu, secara prinsip, demokrasi berbeda dengan Islam. Prinsip demokrasi adalah suara terbanyak menang. Adapun prinsip Islam, kebenaranlah yang menang, yakni yang berasal dari Al-Qur’an dan Sunnah.

Kedatangan Zakir Naik ke Indonesia yakni untuk menyampaikan pesan kedamaian. Kedua, untuk menghilangkan citra negatif Islam yang disebarkan oleh media massa yang anti terhadap Islam. Sebab, propaganda oleh media massa anti Islam tersebut dipercayai oleh masyarakat dan memengaruhi pola pikir masyarakat. Ketiga, untuk meyakinkan para intelektual sains bahwa Islam aplikatif baik itu ketika berada di zaman Rasulullah, saat ini, dan hingga di masa yang akan datang. []tachta rizqi yuandri

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 194
---

video terkait:
"Pemerintahan Islam, itu adalah khilafah, bukan demokrasi"


Kamis, 29 Juni 2017

Felix Siauw: Pertahankan Sekulerisme, Anda Sehat?



Semua orang tahu bahwa sekulerisme itu tidak pernah menjadi bagian daripada ajaran Islam. Malah sebenarnya antitesis daripada Islam adalah sekulerisme. Mengapa? Sederhananya, bila dalam Islam manusia senantiasa diajarkan bahwa tiap-tiap aktivitas harus dihubungkan dengan Allah, sekulerisme sebaliknya, jangan bawa-bawa tuhan dan agama dalam kehidupan.

Dan dari segi kemunculannya, sangat bisa dipahami mengapa masyarakat Barat sangat mengagung-agungkan sekulerisme dan “membenci agama". Karena ini adalah hasil pengalaman buruk ratusan tahun, dipelihara dari generasi ke generasi, yang akhirnya berakhir.

Sekulerisme atau pemisahan antara agama dan kehidupan sebenarnya adalah ide asing. Apalagi sejak Romawi menjadikan agama Kristen sebagai agama resmi negara pada awal abad ke-4. Sejak itu, gereja dengan "aturan agamanya" atau yang mereka klaim sebagai aturan agama, memegang peranan penting dalam kehidupan sosial.

Misal, saat itu gereja menganggap bahwa tuhan telah memilih raja, oleh karenanya titah raja sama nilainya dengan firman tuhan. Konsekuensinya, tiap yang keluar dari lisan raja adalah hukum yang sama dengan hukum tuhan. Gereja memberikan backup legitimasi ini pada kerajaan, dan kerajaan pun melaksanakan hukumnya.

Pada prakteknya, yang berkembang adalah kesewenang-wenangan. Raja boleh memerintahkan apa saja dan itu diamini atas nama agama. Di lain sisi, kaum mayoritas yang dikenal dengan nama proletar dieksploitasi habis-habisan, dan dalil agama diberikan pada mereka agar mereka tidak protes dan tetap taat pada kerajaan di saat itu.

Di sisi lain, para cendekiawan juga dihambat atas nama agama. Ilmu pengetahuan yang dianggap bertentangan dengan gereja dilarang. Praktek ilmuwan dianggap bagian kesesatan dalam agama. Agama jadi momok menakutkan pada saat itu.. Mereka menyebutnya Dark Ages atau Age of Faith. Keimanan malah menyebabkan kegelapan di masa itu.

Cukup lama semuanya berlangsung, hingga akhir abad ke-15 baru semuanya berakhir. Para cendekiawan mencerahkan masyarakat dengan ide kesamaan, kebebasan, common sense, dan ide-ide lainnya, maka terjadilah Rennaisance di masyarakat Barat.

Kesimpulannya? Agama harus dipisahkan dari kehidupan, sebab pengalaman ratusan tahun yang sangat menyengsarakan itu tak boleh terulang. Tidak boleh ada orang yang memiliki kekuasaan absolut dari tuhan (divine power), dan kekuasaan pun harus dibagi-bagi agar ada check and balance. Lahirlah sekulerisme modern.

Pada gilirannya, sekulerisme ini akan merusak kehidupan dengan caranya sendiri. Tapi kita tidak akan membahasnya dalam kesempatan ini. Yang kita bahas adalah, lihatlah sejarah, bahwa sekulerisme itu muncul sebab kejumudan karena agama Kristen, dan tak ada hubungannya dengan Islam.

Islam justru sebaliknya, ketika dipegang oleh bangsa Arab, ia mengubah mereka menjadi umat yang satu, umat Muslim. Islam menyatukan dan membangkitkan manusia dengan aturan-aturan yang bersumber dari tuhan yang benar dan konsep yang sempurna.

Aturan Islam ini memberikan ketentraman dan kesejahteraan bagi umatnya selama lebih dari 13 abad, yang akhirnya hancur oleh serangan luar negeri dan kelemahan dalam negeri. Tapi apa yang bisa kita lihat? Ini kesimpulannya.

Kaum Barat merasa diperdaya agama, selama 11 abad sengsara, lalu bangkit dengan sekulerisme setelah meninggalkan agama. Arab bangkit setelah Islam mereka peluk, lalu menjadikan umat Muslim sebagai umat terkuat sekira 13 abad, lalu meninggalkan agamanya, lalu terpuruk.

Sekarang Anda ingin mempertahankan sekulerisme, padahal tahu yang menyebabkan Barat bangkit dan kita terpuruk adalah hal itu. Anda sehat?

Felix Y. Siauw
Member @YukNgajiID

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 194
---

Rabu, 28 Juni 2017

Felix Siauw: Peradaban Khayal Hollywood



Tanyalah pada anak Anda, menurut mereka siapakah superhero yang paling hebat. Maka kemungkinan besar jawabannya antara lain; Superman, Batman, Ironman, Spiderman, The Flash, Hulk, Thor, Kapten Amerika, atau bahkan lebih mengerikan lagi kalau jawabannya Deadpool atau Wonder Woman.

Bagi anak-anak, itulah referensi yang mereka dapat tentang yang namanya “superheroes” dan apa kesamaan dari semua superheroes hari-hari ini? Ya, betul, mereka sama-sama berasal dari Amerika, mereka diciptakan di sana.

Pertanyaannya, mengapa kebanyakan (kalau tidak dikatakan hampir semua) superheroes itu dibuat di Amerika dan populer lewat Hollywood? Jawabannya sederhana, sebab memang itulah yang mereka rindukan, sebuah kehidupan ada superheroes yang membuat situasi menjadi aman, ada penolong dalam setiap kejahatan.

Sebab adanya suatu film, biasanya menunjukkan kalau mereka justru tidak memiliki cerita di film itu dalam kenyataan, maka untuk itulah film dibuat, sebab tidak ada kenyataannya, sebab itulah cita-cita orang-orangnya. Untuk kasus Amerika, banyaknya superheroes justru karena Amerika adalah negeri yang paling tidak aman sedunia.

Dalam tulisannya The Most Dangerous Place on Earth di tahun 2007, Dr Shahid Qureshi memublikasikan bahwa di Amerika terjadi pembunuhan setiap 22 menit, perkosaan terjadi setiap 5 menit, perampokan terjadi setiap 49 detik, pencurian terjadi setiap 10 detik, dan menghabiskan 674.000.000.000 dolar Amerika setiap tahunnya untuk menangani kriminalitas di negaranya.

Sama seperti di Jepang dan Korea Selatan, film-film yang mereka buat super romantis, jelas-jelas membuat remaja-remaja Indonesia galau dan baper saat menontonnya, sambil berkomentar ”so sweet”, “Ya Allah pengen banget dapet cowok kayak gitu..", dan membuat idola-dola bermata sipit ramai di Indonesia. Kenyataannya? Jepang dan Korea selatan berkompetisi memperebutkan piala dunia dalam kategori tingkat bunuh diri tertinggi di dunia.

Peradaban khayal, kebahagiaan semu, kehidupan tipu-tipu, kemajuan artifisial, itulah yang kita lihat pada peradaban yang tidak dibangun atas dasar ketakwaan, rapuh dan hanya fatamorgana saja, terlihat dari jauh sempurna namun ketika didekati hanya hawa panas dan udara saja. Amerika, Korea Selatan, dan Jepang, ternyata hanya indah di layar saja, tak seindah aslinya.

Lihatlah bagaimana kemajuan peradaban Barat meminta korban, memerlukan tumbal, Jepang dan Korea Selatan punya problem bunuh diri, Cina problemnya atheis, Amerika problemnya sex, drugs, crime. Tiap majunya peradaban, adalah mundurnya akhlak.

Tidak begitu dengan yang ditawarkan ulslam. Peradaban Islam adalah peradaban yang riil tanpa polesan atau pencitraan. Peradaban Islam tegak di atas akidah Islam yang muncul dari pengakuan sempurna akan adanya Allah dalam setiap aspek kehidupan, karena semua Muslim sadar bahwa Allah adalah asal dan tempat kembalinya.

Dan Muslim tak perlu contoh khayalan untuk menyemangatinya, Islam tak kehabisan tokoh-tokoh yang menginspirasi dan bukan fiksi, tapi nyata dan memang terbukti adanya. Pribadi Muhammad SAW takkan pernah habis digali, dicontohi dan diteladani. Di belakangnya juga banyak tokoh yang tak lekang dimakan zaman semisal Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali.

Saat peradaban lain memerlukan "tumbal” untuk kemajuan bangsanya, Islam justru menawarkan kesempurnaan hidup dunia dan akhirat. Kebahagiaan sejati di dunia dan juga tanpa batas di akhirat. Bukan hanya memajukan kualitas hidup, tapi juga manusia yang hidup di dalamnya. Begitulah peradaban Islam.

Sekarang mana yang kita harapkan, dinina-bobokan peradaban khayal Barat yang kuat dalam hal pencitraannya tapi rapuh rusak di dalamnya, ataukah peradaban Islam yang terbukti mampu menghasilkan generasi-generasi emas yang sudah mewarnai peradaban?

Felix Y. Siauw
Tim @YukNgajiID

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 193
---

Jumat, 23 Juni 2017

Felix Siauw: Sampai Ke Akar-Akarnya



Dulu, saat saya masih belasan tahun, ibu saya senantiasa mengingatkan saat saya diminta untuk melakukan tugas rutin pekanan, membersihkan rumput taman dari gulma pengganggu. ”Lix, kalau nyabut gulma yang bersih, sampai ke akar-akarnya, kalau hanya atasnya percuma, nanti 2-3 hari tumbuh lagi."

Mencabut gulma pengganggu memang tidak semudah mencabut daunnya saja, sebab perlu tenaga lebih, teknik mencabut yang baik, dan tentu waktu yang lebih lama, tapi hasilnya tentu jauh lebih menghemat energi, ketimbang hanya mencabut bagian atasnya saja.

Hanya saja, tak semua mau sabar untuk mengerjakannya, bahkan lebih banyak lagi yang tidak awas, bahwasanya gulma sebenarnya itu adalah akarnya, bukan saja daunnya, sebab gulma pengganggu akan menyerap unsur hara yang harusnya diperuntukkan bagi tanaman utama, tumbuh besar dan akhirnya dengan daunnya dia menghalangi sinar matahari yang Seharusnya bagi tanaman utama.

Kekufuran itu persis seperti gulma pengganggu, keberadaannya menghisap dan menjadi benalu, merusak dan mematikan, karenanya harus disingkirkan dan dikendalikan, itulah namanya nahi munkar.

Hanya saja, tidak semua memahami akar kekufuran itu ada di mana, hingga bisa menghancurkan maksiat dari dasarnya, hingga runtuhlah bangunan-bangunan yang dibangun di atasnya, agar kita bisa membangun kebenaran dan kebaikan di sana, di atas puing-puing kekufuran yang sudah dihancurkan.

Sebagaimana gulma pengganggu tadi, yang tampak memang hanya daunnya tapi permasalahan sebenarnya ada pada akarnya. Sederhananya, ada sebab ada akibat. Pada gulma, daun yang terlihat hanya akibat masalah, dan akarnya adalah sebab masalahnya, sebabnya yang harus dicabut, maka tercabut pula akibat masalahnya.

Adanya problematika kaum Muslim terancam dipimpin oleh orang kafir, ini juga akibat, bukan sebab. apa yang menjadi sebabnya? Yaitu tidak diterapkannya hukum Islam, karena itu orang kafir boleh dicalonkan, boleh didukung, boleh memimpin dan menguasai.

Artinya, bila kali ini pun sang penista agama tidak jadi penguasa karena kalah dalam Pilkada, bukan berarti masalahnya selesai, karena belum dicabut sampai ke akarnya, sebabnya masih ada. Bila sang penista agama besok kalah, besok-besok bisa ada lagi kafir yang mencalonkan jadi gubernur, atau bahkan presiden, lalu sampai kapan kita akan selesai dari akibat masalah?

Tapi bila sistem kapitalisme sekuler ini dicampakkan, lalu umat menerapkan sistem Islam, maka barulah masalahnya selesai, karena dalam sistem Islam, orang kafir jangankan boleh dipilih, mencalonkan saja tidak bisa. End of problem.

Kita masih lebih suka fokus pada akibat masalah, seperti bagaimana caranya supaya semua Muslim memilih pasangan Muslim, atau bagaimana caranya agar tidak golput. Tapi kita lupa, bahwa semua ini terjadi karena sistemnya memperbolehkan, karena sistemnya bukan sistem Islam.

Hanya, memahamkan sebab masalah ini memang perlu waktu, perlu kesabaran dan energi ekstra. Memahamkan bahwa Allah mewajibkan 2 hal bagi kita, yaitu pemimpin Muslim dan sistem Islam sebagai satu paket, juga bukan pekerjaan mudah. Tapi karenanya kita akan diganjar dengan balasan terbaik, yaitu ridha dan ampunan Allah saat berjumpa kelak.

Tugas kita masih jauh dari selesai, yaitu mendekatkan umat pada solusi yang hakiki, penerapan aturan Allah dalam kehidupan secara total, yang pasti akan memberikan kebaikan dan kesejahteraan bagi seluruh umat. Sebab hari-hari ini, kebanyakan kita masih melihat lebih kepada akibatnya bukan pada sebabnya.

Apa yang bisa menjadi jembatan untuk memahamkan pada umat tentang sebab dan akibat dari masalah? Tidak lain dan tidak bukan, tentunya pemahaman tentang akidah yang benar. Karena Islam itu mencerahkahkan dan memberi pengertian, termasuk bagaimana cara menyelesaikan masalah dengan benar, yaitu dengan mencabut sampai ke akar-akarnya. []

Felix Y. Siauw
Member @YukNgajiID
---

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 191

Rabu, 21 Juni 2017

Felix Siauw: Mereka yang Takut Allah


Pernah suatu hari saya ditanya oleh kolega, ”Siapa yang berhak menyandang gelar ustadz atau ulama?” Terus terang, saya selalu sulit bila ditanya pertanyaan model begini. Sebab bila salah jawabannya, maka bukan hanya sesat jadinya tapi juga menyesatkan.

Apalagi di tengah-tengah kondisi seperti ini, banyak yang dikatakan ulama tapi jelas-jelas menentang hukum Islam, bahkan kecenderungannya kepada orang kafir. Jawaban yang sangat menentukan bagaimana sikapnya terhadap Islam.

Sekejap, saya langsung teringat firman yang Allah sampaikan dalam Al-Qur’an Surah Fathir ayat 28 yang berbunyi (artinya), ”Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha Pengampun."

Ulama artinya adalah orang yang alim, orang yang berilmu. Dan dalam ayat tersebut, yang dikatakan sebagai ulama adalah yang ilmunya mampu mengantarkan dia untuk takut kepada Allah, khawatir akan amal-amalnya dan juga amal-amal orang lain yang belum pas atau tidak diridhai Allah.

Maka semua manusia yang takut hanya kepada Allah, maka mereka sudah mendapatkan sejatinya ilmu, dan merekalah yang disebut dengan ulama. Sebab saat orang sudah takut kepada Allah, maka senantiasa ia akan menaati perintah Allah dan menjauhi larangannya, dan ini adalah takwa.

Sengaja Allah memberikan pada kita firman-Nya dengan mendahulukan lafadz Allah dan mengakhirkan lafadz ulama, sebab memberikan kesan mendalam bagi kita bahwa semua yang takut akan Allah pastilah berilmu, sementara yang berilmu belum tentu takut pada Allah.
Atau, semua yang ulama pastilah berilmu, walau tidak semua yang berilmu pasti ulama. Sebab ilmu yang dimiliki yang menjadikan dia ulama adalah takut kepada Allah.

Inipun disampaikan oleh Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Majmu Al-Fatawa, ”Hal ini menunjukkan bahwa setiap yang takut kepada Allah maka dialah orang yang alim, dan ini adalah haq. Dan bukan berarti setiap yang alim akan takut kepada Allah.”

Dan tentu takut kepada Allah ini tidak muncul secara tiba-tiba, tapi didapatkan melalui perenungan mendalam tentang alam semesta, manusia dan kehidupan, sehingga ia mengetahui hakikat kehidupan ini dari mana, akan ke mana, dan apa yang harus dilakukan. Saat semua jawaban itu sudah mengemuka, maka seseorang akan muncul rasa takut terhadap Allah, sebab keagungan dan kebesaran-Nya.

Di sisi yang lain dia akan merasa lemah dan tak berdaya, harus diatur dan diberitahu. Inilah ilmu para ulama, takut pada Allah. Maka dia akan dengan senang hati mengikuti segala arahan yang Allah berikan, meninggalkan apapun yang Allah cegah atasnya dengan rela meskipun dia melihat itu enak dan nikmat dilakukan, semua karena takut pada Allah.

Dari situ, kita bisa membedakan mana yang ulama mana yang bukan. Mereka yang justru cenderung pada orang kafir, padahal kafir itu kalau tidak dimurkai Allah ya tersesat, ini pasti bukan ulama.

Atau mereka yang sibuk memutarbalikkan ayat atau memelintir tafsir demi kepentingan politik praktis, mencegah syiar-syiar dakwah dengan mengadu antara sesama Muslim. Mereka ini yang ilmunya tidak mengantarkan kepada rasa takut pada Allah.

Sebaliknya, mereka yang takut hanya pada Allah akan konsisten menyuarakan penerapan Islam dalam seluruh sendi kehidupan. Dan mereka takkan pernah bisa diam saat melihat kezaliman di depan mata mereka. Mereka akan terus melawan dan menyampaikan kebenaran walau nyawa adalah taruhannya, apalagi hanya sekadar di-bully atau difitnah. Karena mereka takut hanya pada Allah, bukan manusia.

Begitulah ulama pewaris para Nabi, bukan yang panjang titelnya atau jubahnya, bukan yang besar namanya atau surbannya; tapi yang terpenting adalah mereka yang paling takut pada Allah.

Felix Y. Siauw
Member @YukNgajiID

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 190
---

Senin, 19 Juni 2017

Felix Siauw: Dakwah Rasulullah


ilustrasi dakwah ideologi Islam

Pernahkah kita bertanya, mengapa seorang Muhammad yang sangat dicintai oleh kaumnya, tinggi nasabnya, indah perangainya, jujur lisannya dan semua mengenalnya sebagai al-amin (yang terpercaya), lantas bisa sangat dibenci oleh kaumnya sendiri setelah Beliau membawa Islam?

Apa yang sebenarnya Beliau dakwahkan sehingga perlakuan yang Beliau terima dari kaumnya sangat bertolak belakang dengan sebelum Beliau diutus menjadi Nabi dan Rasul?

Seandainya Rasulullah hanya mengajarkan berpakaian sorban dan jubah saja, apakah Beliau dibenci? Tentu tidak. Seandainya Rasulullah hanya membawa ajaran tentang janggut dan akhlak saja, apakah Beliau akan dibenci? Tentu tidak. Lalu apa yang membuat Beliau begitu dibenci?

Jawabannya sederhana, sebab Rasulullah membawa pemikiran Islam, yang pemikiran itu berbeda secara diameteral dengan apa yang diyakini oleh kaum kafir Quraisy pada saat itu. Pertarungannya adalah pertarungan pemikiran.

Pertarungannya antara pemikiran bathil yang diemban kafir Quraisy pada masa itu yang sudah melembaga dan lama, dengan Islam yang Rasulullah bawa, yang menghancurkan sendi-sendi yang paling prinsip yang selama ini dipraktekkan kaum Quraisy.

Rasul misalnya mengkritik sesembahan palsu yang saat itu diyakini, bahkan disembah di dalam Ka'bah. Tidak hanya itu, Rasulullah juga banyak memberikan koreksi terhadap struktur sosial, tentang strata masyarakat, tentang muamalah yang hanya berpihak pada yang kaya, tentang penguasa yang zalim, juga perbaikan posisi wanita.

Hal-hal inilah yang akhirnya membuat kafir Quraisy naik pitam lalu memutuskan melakukan tindakan fisik, seperti penganiayaan dan pemboikotan melengkapi propaganda yang tadinya mereka lakukan, sebab mereka merasa terancam.

Mereka terancam akan pengikut Nabi Muhammad yang semakin banyak, yang pada gilirannya akan mengubah tatanan masyarakat, yang bila itu terjadi, artinya mereka yang sudah nyaman dalam kemaksiatan dan menjadi raja dalam ketidakadilan, akan hilang pula posisinya.

Maka mereka melakukan apa saja agar Rasulullah dan para sahabatnya menghentikan dakwahnya. Sebab keberhasilan Islam sama saja kejatuhan mereka. Nilai-nilai yang selama itu ada dalam masyarakat yang menguntungkan baginya hendak diubah oleh Islam, tentu mereka tak suka.

Dan dari Al-Qur’an kita belajar, bahwa kisah Rasulullah melawan kezaliman yang melembaga itu bukan kisah yang pertam-tama, tapi kisah rutin yang terjadi pada Nabi dan Rasul yang Allah utus untuk umat manusia.

Begitulah para Nabi dan Rasul diutus untuk menghentikan kezaliman. Dan kezaliman terbesar itu adalah mengufuri Allah, enggan beriman kepada-Nya. Juga mengentikan ketidakadilan, lalu membawa manusia pada penghambaan total pada Allah dengan terikat pada syariah-Nya.

Kita lihat bagi Namrudz, ada Ibrahim yang Allah utus untuk menghentikan kezalimannya. Saat muncul Firaun, maka Allah utus Musa untuk menghentikan kesombongannya. Bagi Raja Romawi yang pongah, Allah utus Isa Almasih untuk meruntuhkan keangkuhannya.

Setiap kezaliman dan kesombongan pasti akan dihentikan, pertanyaanya jika sekarang Nabi sudah tidak lagi Allah utus, maka siapakah yang mengemban amanah dakwah ini?

Alhamdulillah, inilah beda kita dengan yang lainnya. Islam adalah satu-satunya agama yang masih Allah persilakan untuk memiliki mukjizat dari-Nya, yaitu Al-Qur’an. Maka kita adalah pewaris-pewaris Nabi, dan yang Rasul wariskan adalah dakwah di jalan Islam.

Berarti bila kita benar-benar mengikuti Rasulullah, bukankah seharusnya kita mengemban sesuatu yang menjadikan Quraisy itu murka? Pemikiran Islam yang menyeluruh? Dan bila ada yang tidak suka, bukankah memang inilah namanya perjuangan?

Yang sudah kita tahu pasti, kebenaran akan dimenangkan, dan setiap kezaliman akan ditumbangkan. []

Felix Y. Siauw: Member @YukNgajiID
---

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 186

Minggu, 11 Juni 2017

Demokrasi Dan Penjajahan Politik



Demokrasi di Dunia Islam erat kaitannya dengan penjajahan politik. Pasalnya, demokrasi sering menjadi pintu masuk intervensi Barat imperialis terhadap Dunia Islam.

Fakta Penjajahan di Dunia Islam

Menggunakan istilah ‘penjajahan’ dalam konteks saat ini, untuk menunjukkan betapa besarnya hegemoni dan intervensi Amerika Serikat (AS) dan Barat atas Dunia Islam, sesungguhnya masih dikatakan tepat -meski masih banyak kalangan di masyarakat yang memandang penggunaan istilah tersebut terlampau ekstrim. Betapa tidak. Dunia Islam yang seharusnya saat ini mengambil peran untuk “mengatur dunia” sebagai representasi khayr al-ummah dan rahmatan lil ‘alamin dengan aturan Ilahi masih tidak dapat berbuat banyak. Kendali Barat atas sistem hidup Dunia Islam masih sangat kental dan sukar sekali ditinggalkan. Posisi Dunia Islam yang masih termarjinal dan kurang aktif dapat dibaca sebagai dampak penjajahan politik Barat.

Untuk menyamakan persepsi tentang penjajahan, tampaknya definisi yang disodorkan Syaikh Taqiyyudin an-Nabhani dalam Kitab Mafahim Siyasiyah masih memiliki relevansi yang tinggi. Beliau menyebutkan bahwa penjajahan adalah dominasi (intervensi) politik, militer, kebudayaan, dan ekonomi terhadap bangsa-bangsa yang dikalahkan untuk kemudian dieksploitasi.

Intervensi politik atas Dunia Islam sulit untuk dikatakan tidak ada. Bahkan Barat menggunakan dua jenis pendekatan dalam melancarkan intervensinya itu. Sebut saja, yang pertama, adalah pendekatan hard power. Dengan pendekatan ini Barat menjadikan keunggulan teknologi militernya sebagai modal untuk menanamkan investasinya di Dunia Islam. Serangan militer AS yang segera atas Afganistan dan Irak, misalnya, menjadi posisi tawar yang tinggi untuk menggertak negeri-negeri Islam yang vokal dalam mengkritisi kebijakan luar negeri AS.

Pendekatan hard power inilah yang sebenarnya harus ditafsirkan oleh publik Muslim sebagai bentuk penjajahan meski pemerintahan AS mempropagandakan tindakannya tersebut sebagai war on terror, war against terrorism, atau pre-emptive strike (serangan mendahului). Apapun propaganda itu, semangat di balik pendekatan hard power sejatinya tetaplah penjajahan.

Pendekatan kedua, yaitu soft power, lebih ditujukan untuk mengubah persepsi Dunia Islam terhadap keyakinannya (baca: ideologi Islam). Clash of civilization yang diakibatkan oleh adanya perbedaan diametral dan asasi antara keyakinan Islam dan Barat, dicitrakan hanyalah sebagai mitos dan out of date. Apabila masih ada ulama yang menyebutkan Islam sebagai din wa dawlah (agama dan negara), maka ia dicitrakan Barat sebagai sosok yang konservatif, puritan, dan tidak layak untuk diikuti, atau -jika menggunakan istilah propaganda hitam- sebagai pengikut Osama bin Laden yang melancarkan teror dan konflik.

Pendekatan soft power tetap bermuara pada intervensi politik Barat atas persepsi Dunia Islam, dengan tujuan agar umat Islam pasrah menerima apa yang dikehendaki Barat atas mereka. Dengan kalimat lain, Barat memerlukan penerimaan Dunia Islam secara utuh atas upayanya menguasai sumber-sumber ekonomi dunia dan menancapkan Kapitalisme secara kukuh.

Realitas Penjajahan Politik Barat atas Dunia Islam

Kasus Afganistan dan Irak sesungguhnya dapat menjadi contoh yang baik untuk melihat bagaimana Barat menjajah daerah tersebut. Dua negara ini dulunya memiliki tipikal yang sama, yaitu diperintah oleh penguasa yang tidak disenangi Barat, mayoritas Muslim, kaya minyak, dan memiliki geopolitik yang cukup strategis di Timur Tengah. Kedua negara tersebut juga memiliki nasib akhir yang relatif sama: mereka digempur oleh invasi militer dengan alasan yang tidak pemah jelas dan tidak dapat dibuktikan. Pemerintah Taliban dituding telah melindungi Osama bin Laden dan kelompok Al-Qaida, sedangkan pemerintah Saddam Hussein dituduh menyembunyikan senjata pemusnah massal. Dua operasi militer atas negara-negara ini disimbolkan sebagai serangan mendahului (pre-emptive strike) melawan terorisme.

Drama dua invasi tersebut diakhiri dengan ending yang hampir sama, yaitu penggulingan pemerintahan yang lama dan penunjukkan pemerintahan baru, pembentukan majelis perwakilan, undang-undang dasar yang baru, serta persiapan Pemilu yang semuanya telah direkayasa sedemikian rupa. Pemerintahan baru tersebut tentu saja akan menginduk pada negara yang telah mengangkatnya. Ia tak lebih menjadi penguasa boneka yang siap melayani keinginan tuannya dan siap mengorbankan rakyatnya. Begitupun undang-undang dasar (konstitusi negara) yang akan dilegislasi oleh parlemen yang diangkat oleh penguasa tidak akan jauh beda. Mereka akan memproduksi konstitusi sekular sebagai alat untuk memaksakan sistem sekular ke tengah-tengah publik Islam.

Setiap ada upaya penolakan dari kelompok Islam, maka hal tersebut dicitrakan sebagai tindakan teror dan memicu konflik sosial. Di tengah-tengah situasi ini, penduduk sipillah yang menjadi korban, menyusul kacaunya aktivitas perekonomian dan instabilitas politik. Walhasil, kondisi ini dimanfaatkan Barat untuk lebih mencengkeramkan pengaruhnya dalam bentuk bantuan keamanan dan ekonomi. Sudah barang tentu, uluran tangan Barat ini diimbangi dengan pemberian konsesi berupa proyek eksplorasi minyak atau proyek pembangunan lainnya. Bahkan lebih dari itu, keberadaan pasukan AS juga difungsikan untuk melumpuhkan kekuatan Islam yang berupaya mendirikan Khilafah.

Dalam konteks Indonesia, intervensi asing dalam setiap separatisme cukup terasa. Sebagai contoh, pasca penandatanganan MoU Helsinski antara Pemerintah RI dan GAM yang dianggap banyak pengamat lebih menguntungkan kelompok separatis, pihak mediator Barat mengambil kendali. Kehadiran Aceh Monitoring ini diduga merupakan kepanjangan tangan dari pihak Barat yang ingin mengambil keuntungan dari perdamaian RI dan GAM. Dalam kasus separatisme lainnya, seperti RMS, keterlibatan asing cukup terlihat; dari mulai pengadaan persenjataan yang relatif canggih yang dimiliki RMS hingga kaburnya pemimpin RMS ke Washington DC. Bahkan disinyalir, menurut laporan intelijen TNI, jumlah intelijen asing yang melakukan spionase dan terlibat langsung dalam konflik cukup banyak. Hal ini sangat memungkinkan, mengingat banyak sekali pulau-pulau kecil di gugusan kepulauan Maluku yang dapat dijadikan tempat persembunyian.

Strategi Aktif Barat

Membaca realitas penjajahan politik Barat atas Dunia Islam setidaknya kita dapat memahami bahwa Barat menjadikan beberapa isu digunakan untuk mengintervensi (baca: menjajah) Dunia Islam. Pertama: perang melawan terorisme. Kampanye ini telah memuluskan Barat, khususnya AS, menguasai berbagai negeri Islam dengan cara merusak pranata politiknya, menggulingkan penguasanya -yang dianggap tidak sejalan dengan kepentingan Barat- sekaligus mengangkat penguasa boneka, serta mengklasifikasikan mana negeri yang pro terhadap Barat dan negeri yang kontra.

Selain itu, derivat dari kebijakan ini telah mengubah paradigma dunia terhadap Islam dan umatnya. Islam disebut sebagai agama teror dan Umatnya disebut teroris. Tidak hanya itu, kampanye ini berupaya cara pandang umat Islam terhadap aktivitas jihad, seiring dengan munculnya tudingan bahwa jihad adalah terorisme. Pemahaman salah inilah yang telah mengkooptasi benak sebagian umat Islam.

Kedua: isu demokratisasi dan Hak Asasi Manusia (HAM). Kampanye Barat dengan menggunakan isu ini ditujukan untuk mengubah cara memahami konsep Islam. Islam yang seharusnya dipahami sebagai sebuah ideologi dan sistem hidup yang khas, dengan isu demokratisasi dan HAM, diubah menjadi sistem nilai (values) yang hanya menjadi spirit dalam aktivitas religi. Artinya, konsep Islam yang pada awalnya khas dan vis a vis dengan konsep Barat kemudian bisa dikompromikan.

Tentu saja penyesuaian ini memiliki maksud untuk membuang konsep Islam yang tidak sejalan dengan semangat demokratisasi dan HAM. Lalu dipromosikanlah di dunia Islam konsep Islam modern yang di dalamnya telah terjadi “penyesuaian” atas konsep Islam. Kelompok yang sejalan dengan Barat ini kemudian disebut Islam moderat, sedangkan yang berseberangan dengan kelompok ini disebut Islam garis keras. Menyikapi isu ini, Menlu Hassan Wirayuda menyebutkan bahwa Islam moderat adalah modal dasar bagi Indonesia dalam upaya memperbaiki hubungan internasional dengan negara-negara Barat.

Ketiga: politik pecah-belah dengan pendekatan stick and carrot. Modus ini digunakan untuk membelah-belah tubuh umat Islam. Terjadinya dikotomi antara Islam moderat dan Islam garis keras, betapapun sederhananya, tetap saja akan membingungkan umat Islam secara umum. Bahkan tidak hanya itu, isu ini jika disikapi secara emosional, dapat memancing pertikaian sesama umat Islam. Betapa besar energi yang harus terkuras untuk masalah ini, padahal pada saat yang sama, Barat telah mengeksploitasi kekayaan Dunia Islam dan mencengkeramkan Kapitalismenya.

Politik stick and carrot pun kemudian digunakan Barat untuk memukul kelompok Islam yang menentang agenda dan ideologinya pada satu sisi dan membiayai kelompok yang mengkampanyekan ide-ide kebebasan Barat -yang dibungkus dengan religiusitas- pada sisi lain. Konsekuensinya, jika kelompok moderat menang tentu saja penjajahan Barat atas Dunia Islam seakan-akan mendapatkan legitimasi dari kelompok Islam. Namun sebaliknya, jika kelompok moderat kalah, Barat harus berhadapan dengan umat Islam. Wallahu a’lam.

Bacaan: Buku Ilusi Negara Demokrasi
---

Minggu, 04 Juni 2017

Kelemahan Negara Sistem Republik



Sistem republik adalah mesin politik yang digunakan oleh kaum kapitalis. Ia dijadikan instrumen untuk memastikan berjalannya sebuah sistem yang dikenal dengan Negara Budak. Segelintir elit memastikan seluruh mayoritas sebagai budak. Karena itu kita harus mengetahui apa itu kapitalisme,

Tak bisa dipungkiri para politisi dalam sistem republik lebih mengedepankan politik kepentingan dibandingkan politik pelayanan. Para politisi hanya gelisah pada saat Parpolnya atau kader Parpolnya dicopot dari jabatan menteri atau pejabat tinggi negara. Sayangnya ketika harga sembako meroket, kian merebaknya pornografi dan pornoaksi, tingginya biaya pendidikan dan sejuta problematika sosial lainnya, hampir semua politisi yang berpaham demokrasi memalingkan wajah alias masa bodoh. Agenda kunjungan para politisi ke konstituen atau rakyat mungkin hanya sekadar menjadi rutinitas seremonial.
Kasus-kasus korupsi yang bersentuhan dengan pejabat tinggi negara tampaknya hanya sekadar dijadikan komoditas politik bagi pihak oposisi namun proses hukumnya hanya jalan di tempat atau berakhir dengan ketidakpastian.

dalam sistem republik, negara justru menjadi instrumen penjajahan untuk memeras rakyat. Seluruh sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai para pemilik modal. Peranan negara dipreteli. "Subsidi" dihapus dan rakyat ditindas dengan pajak. Dalam situasi kehidupan yang begitu berat lantaran eksploitasi oleh kaum kapitalis terjadinya kezaliman negara dan orang per orang semakin merajalela.

sistem republik melahirkan banyak kebijakan liberal yang justru menambah beban masyarakat. Contoh gamblang: kebijakan pemerintah menaikan harga BBM yang memberatkan rakyat dan menguntungkan investor asing. Contoh lain: kebijakan privatisasi BUMN, yang juga mengorbankan rakyat dan menguntungkan asing. Muncul pertanyaan, mengapa penguasa lebih memilih untuk memuaskan kepentingan pengusaha/korporasi, bahkan pengusaha/korporasi asing, daripada rakyat? Hubungan erat sistem republik dengan negara korporasi adalah jawabannya.
Sudah diketahui oleh umum, partisipasi dalam sistem republik membutuhkan dana besar. Dalam konteks inilah politisi kemudian membutuhkan dana segar dari kelompok bisnis. Penguasa dan pengusaha pun kemudian menjadi pilar penting dalam sistem republik. Bantuan para pengusaha tentu punya maksud tertentu. Paling tidak, untuk menjamin keberlangsungan bisnisnya; bisa juga demi mendapatkan proyek dari pemerintah. Akibatnya, penguasa didikte oleh pengusaha.
Negara korporasi tak ubahnya perusahaan yang hanya memikirkan keuntungan. Dalam negara korporasi, subsidi terhadap rakyat, yang sebenarnya merupakan hartanya rakyat, dianggap pemborosan. Aset-aset negara yang sejatinya milik rakyat pun dijual. Itulah negara korporasi, yang tidak bisa dilepaskan dari sistem politiknya: sistem republik.

Dampak paling buruk dari penerapan sistem republik tentu saja adalah tersingkirnya aturan-aturan Allah (syariah Islam) dari kehidupan masyarakat. Selama lebih dari setengah abad, negeri yang notabene berpenduduk mayoritas Muslim ini menerapkan sistem republik. Selama itu pula syariah Islam selalu dicampakkan.
belum saatnyakah kita mencampakkan sistem republik yang terbukti buruk dan menjadi sumber keburukan? Belum saatnyakah kita segera beralih pada aturan-aturan Allah, yakni syariah Islam, dan menerapkannya secara total dalam seluruh aspek kehidupan? Belum tibakah saatnya kita bertobat?

pemimpin eksekutif pemerintahan tidak bisa berbuat banyak untuk rakyat; bahkan sering membuat rakyat menderita. Mengapa? Sebabnya acapkali seragam: tiga tahun pertama sibuk mengembalikan utang atas modal kampanye; dua tahun terakhir sibuk mempersiapkan Pemilu; selama 5 tahun pemerintahannya harus membuat kebijakan-kebijakan “pro pasar” (baca: pro pemilik modal) karena keberhasilannya terpilih tak lepas dari peran serta mereka. Inilah realitas dalam kehidupan sistem republik.

Secara historis, kemunculan sistem republik pada akhir abad ke-18 sebenarnya tidak bisa dipisahkan dari tiga pemikiran lainnya: sekularisme, liberalisme, dan Kapitalisme. Keempatnya muncul sebagai satu paket
dengan melihat fakta bahwa “rakyat yang paling kuat” adalah kaum borjuis (kaum kapitalis, para pemilik modal) maka otomatis rakyat berada dalam kekuasaan kaum borjuis. Kedaulatan rakyat berarti kedaulatan pemilik modal (korporatokrasi).
Di mana-mana negara sistem republik selalu didominasi para pemodal.
Di India saat ini juga sangat kelihatan bahwa para pengusaha sangat menentukan perpolitikan negeri itu.
Indonesia dulu hanya menyerahkan perkebunannya pada satu korporasi, VOC (yang juga sebesar negara). Sekarang negeri ini telah menyerahkan pertambangan dan perminyakannya pada beberapa VOC baru. Rakyat pun harus membeli berbagai kebutuhannya pada mereka dengan harga tinggi.

Implikasi logis dari sistem republik adalah jauhnya kaum Muslim dari aturan-aturan Islam, terutama dalam masalah publik (kemasyarakatan). Hal ini disebabkan karena sistem republik telah menetapkan garis tegas, bahwa agama tidak boleh terlibat untuk mengatur masalah publik. Jadilah kaum Muslim sekarang hanya terikat dengan aturan Allah (itu pun kalau dia mau) dalam masalah-masalah individu, ritual dan moral; sementara dalam masalah publik banyak yang maunya asas manfaat sesuai dengan hawa nafsu mereka.
Atas nama untuk kepentingan rakyat, sejak tahun 60-an Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan UU Penanaman Modal Dalam Negeri (UU No.6/1968). UU ini memberikan peluang kepada perusahaan swasta untuk menguasai 49 persen saham di sektor-sektor milik publik, termasuk BUMN. Tahun 90-an Pemerintah mengeluarkan PP No.20/1994. Isinya antara lain ketentuan bahwa investor asing boleh menguasai modal di sektor-sektor milik publik, termasuk BUMN, hingga 95 persen. Kini, pada masa yang disebut dengan ‘Orde Reformasi’, privatisasi dan liberalisasi atas sektor-sektor milik publik semakin tak terkendali. Minyak dan gas, misalnya, yang seharusnya menjadi sumber utama pendapatan negara, 92%-nya sudah dikuasai oleh asing.

Faktanya adalah bahwa di Amerika dan di manapun, Sistem republik tidak pernah menepati janjinya. Kuatnya pengaruh uang adalah kecacatan Sistem republik, suatu sistem pemerintahan yang memihak golongan kaya dan istemewa saja.
Di pemilu 2004, capres saat itu GW Bush menerima donasi 292 juta dollar, sedangkan lawannya John Kerry dari partai democrat menerima 253,9 juta dollar. Kandidat independen, Ralph Nader menerima 4,5 juta dolar. Total biaya pemilihan Presiden dan kursi perwakilan rakyat di Congress berkisar sebesar 3,9 milyar dollar.
Inilah cacat yang mendasar dari sistem republik, di mana ia menghasilkan hukum dan kebijakan buatan manusia yang akan menguntungkan pihak-pihak yang bisa memenangkan pengaruh, dengan tumbal rakyat biasa.

Justru lewat proses sistem republik, DPR mengeluarkan UU yang lebih berpihak kepada kelompok bisnis bermodal besar terutama penguasa asing. UU Migas, UU Sumber Daya Air, UU Kelistrikan, UU Penanaman Modal, semuanya berpihak pada asing. Dan itu secara resmi dan legal disahkan oleh partai-partai politik di DPR.
Memang sistem republik secara natural akan membentuk negara korporasi. Pilar negara korporasi ini adalah elit politik dan kelompok bisnis. Kelompok bisnis mem-backup politisi dengan dana, maklum saja biaya politik sistem republik memang mahal. Setelah terpilih sang politisi "terpaksa" balas budi, membuat kebijakan untuk kepentingan kelompok bisnis. Lagi-lagi kepentingan rakyat disingkirkan.

Melalui jalan sistem republik inilah, asing mendapatkan jaminan operasi di Indonesia karena sepak terjang mereka mengeruk kekayaan alam Indonesia mendapatkan legalitas melalui perundang-undangan. Makanya asing sangat berkepentingan dalam proses demokratisasi di Indonesia. Mereka membantu merancangkan draft perundang-undangan kepada pemerintah dan "wakil rakyat" seraya mengucurkan dana —yang bagi kalangan Indonesia dianggap besar. Hasilnya, produk sistem republik itu menjadi landasan hukum bagi usaha mereka merampok penduduk Indonesia.

Ketika sistem republik mengklaim Vox populi, vox Dei (Suara rakyat, suara tuhan), klaim itu nyata bathil dan bohong. Demikian pula bahwa sistem republik katanya pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat, ternyata juga bathil dan bohong. Yang berkuasa adalah para cukong. Ketika sistem republik mengklaim kedaulatan di tangan rakyat, nyatanya rakyat tidak berdaulat. Yang berdaulat ternyata pemilik modal dan asing.

sistem republik dengan kapitalismenya dalam hal ekonomi terbukti gagal mewujudkan pemerataan kesejahteraan. Sebaliknya jurang kesenjangan dalam hal kekayaan justru makin menganga lebar. Kekayaan lebih dikuasai oleh segelintir kecil orang.

akar masalah dari kerusakan yang ada di Indonesia bahkan di dunia khususnya negeri-negeri Muslim adalah sistem yang rusak dan bertentangan dengan sistem dari Allah yaitu sistem republik/ demokrasi.


Download BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam