Unduh BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Kamis, 28 Januari 2021

Pemerintahan Rezim Pemalak Pro Asing



Ketua Lajnah Maslahiyah DPP Arim Nasim mengatakan, ”Karena pola pikir pemerintah dan para pendukung pemerintah baik DPR ataupun kalangan intelektualnya sudah terjajah dengan pemikiran liberalisme dan kapitalisme. Yang ada di otak mereka adalah pemikiran neoliberalisme dan kapitalisme," katanya.

Dalam pandangan sistem neoliberalisme dan kapitalisme, kata Arim, sumber utama pendapatan negara untuk membiayai kegiatan negara atau memberikan pelayanan kepada rakyat itu adalah dengan jalan memungut kepada rakyat atau memalak rakyat baik dalam bentuk pajak ataupun berbagai pungutan lainnya.

Maka, lanjutnya, tak aneh jika sumberdaya itu diserahkan pengelolaannya kepada swasta. Sementara negara untuk membiayai kegiatannya mencari dengan jalan memungut pajak. ”Jadi bukan tidak bisa tapi memang yang ada di otaknya itu adalah memungut dari rakyat,” jelas doktor ekonomi Islam ini.

Sejak kemerdekaan, Indonesia memang terjebak dalam jerat kapitalisme global. Para penguasa di Indonesia mau tidak mau mengikuti arahan Barat dalam mengambil kebijakan negara. Para ekonom menyebut, kebijakan ekonomi Indonesia sama dan sebangun dengan paket kebijakan Konsensus Washington. Implementasinya kian kental setelah lndonesia masuk di era Reformasi.

Konsensus Washington ini dalam garis besarnya terdiri atas, pertama, pelaksanaan kebijakan anggaran yang ketat, termasuk penghapusan subsidi negara dalam berbagai bentuknya. Kedua, pelaksanaan liberalisasi sektor keuangan. Ketiga, pelaksanaan liberalisasi sektor perdagangan. Keempat, pelaksanaan privatisasi BUMN. Kebijakan ini dikontrol sepenuhnya oleh IMF dan Bank Dunia.

Dalam paradigma liberal inilah, swasta seolah menjadi raja sehingga mereka bisa menentukan arah kebijakan. Apatah lagi, kini para pengusaha itu sendiri duduk di kursi kekuasaan. Mereka menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan bisnisnya masing-masing. Ini yang kini telah menjadi rahasia umum.

Dikuasai Komprador

Kandisi ini, menurut Ketua Lajnah Faaliyah DPP M. Rahmat Kurnia, tak lepas dari kenyataan bahwa Indonesia sedang dikuasai oleh para komprador. Penguasa komprador adalah penguasa yang menjadi kaki tangan negara asing, khususnya negara besar, dalam hubungannya dengan rakyat.

Di antara tanda-tandanya, kata Rahmat, mengikuti kebijakan asing, mengeluarkan undang-undang (UU) yang lebih pro-asing daripada pro-rakyat, mengangkat pejabat yang merupakan kader-kader asing, dan dalam bekerjasama dengan asing lebih menjaga kepentingan asing daripada kepentingan bangsa sendiri.

Dalam praktiknya, jelasnya, para komprador itu berkolaborasi dengan para pengusaha. Bahkan saat ini penguasa itu adalah pengusaha itu sendiri. Sistem demokrasi akhirnya melahirkan apa yang disebut para ahli politik sebagai negara perusahaan (corporate state).

Corporate state ini merupakan negara yang penguasanya berkolaborasi dengan para pengusaha, baik dari dalam maupun luar negeri, atau penguasa sekaligus pengusaha. Jangan heran jika di mana-mana terjadi kapitalisasi pendidikan, privatisasi sumberdaya alam, BUMN dijual, kapitalisasi layanan publik dan kapitalisasi politik.

”Negara menjadi instrumen kepentingan bisnis dan mengabdi kepada pemilik modal yang sebagian besar merupakan perusahaan asing dari negara besar seperti AS. Penguasa menjadi pelayan bagi kepentingan asing, sembari mereguk manfaat bagi dirinya dan kelompoknya,“ jelasnya.

Menurut M. Ismail Yusanto, "Kita boleh curiga pemerintah sedang bertindak untuk kepentingan korporasi swasta, baik asing maupun domestik. Dengan kata lain, pemerintah telah nyata-nyata memperkaya korporasi dengan cara menindas rakyat," katanya.

Rezim Pemalak, Cukup!

Saat membuka perdagangan di Bursa Efek Jakarta di awal tahun 2016, Presiden Joko Widodo menegaskan sikap pemerintah terkait proteksi kepada rakyat di era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Ia menyatakan, tak ada lagi proteksi dan pemberian subsidi.

”Jangan berharap bahwa negara ini akan memproteksi, melindungi dan memberikan subsidi yang besar-besaran," ujarnya. Menurutnya, proteksi dan pemberian subsidi akan melemahkan daya saing Indonesia dengan negara-negara lain di Asia Tenggara.

Pernyataan Jokowi tersebut kian menegaskan arah kebijakan ekonomi Indonesia yang membebek kepada kepentingan asing. Ekonomi Indonesia kian liberal, bahkan bisa jadi lebih liberal dibandingkan negara liberal yang masih memproteksi produsen dalam negerinya.

Di sisi lain, rezim Jokowi terus memalak rakyat dengan pajak. Di awal pemerintahannya, ia langsung meningkatkan target pajak gebesar 40 persen. Ini artinya, rakyat harus menyubsidi pemerintah lebih besar lagi.

Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengakui, target penerimaan pajak dalam APBN Perubahan 2015 yang naik sekira 40 persen di luar kebiasaan.

Biasanya paling besar 20 persen. Pemalakan besar-besaran ini pun memakan “korban” yakni Direktur Jenderal Pajak Sigit Pradi Pramudito mengundurkan diri dari jabatannya, karena tidak sanggup untuk memenuhi target penerimaan pajak yang dibebankan dalam APBN-P 2015 sebesar Rp1.294 trilyun. Rakyat pun kian berat dengan tagihan-tagihan pajak.

Kini pemerintah menargetkan pendapatan dari pajak lebih tinggi lagi, mencapai Rp1.546,7 trilyun. Padahal, tahun lalu saja, target yang lebih rendah hanya tercapai sekitar 84 persen. Maka, dengan target yang demikian besar, pasti rakyat kian dipalak. Semua sektor akan dikejar pajaknya. Semua harus bayar kepada negara.

Harus Diakhiri

Maka, tidak ada jalan lain kecuali menghentikan rezim pemalak ini. Caranya? M. Ismail Yusanto menjelaskan, mesti ada perubahan total dan menyeluruh baik menyangkut pemimpinnya maupun sistemnya, karena kedua hal inilah yang menjadi faktor utama pengaturan ekonomi khususnya yang sangat liberal.

Untuk itu, lanjut Ismail, masyarakat harus diajak mengerti bahwa semua problematika yang ada saat ini, yang telah nyata-nyata membuat rakyat menderita, terjadi akibat diberlakukannya sistem Sekuler, khususnya di bidang ekonomi dan politik. ”Oleh karena itu, bila ingin semua persoalan itu tak lagi muncul, maka sistem tersebut harus dihentikan segera, dan sekaligus diganti dengan sistem yang lebih baik,” tandasnya.

Tak cukup ganti rezim, tandasnya. Sistem yang baik itu harus berasal dari Dzat yang Maha Baik, itulah Allah SWT dengan syariah-Nya. "Di sinilah pentingnya seruan bagi tegaknya syariah dan khilafah, karena hanya dengan keduanyalah bakal terwujud rahmat atau kebaikan bagi semua atau yang kita kenal sebagai rahmatan lil 'alamin,” tegas Ismail.

Bacaan: Tabloid Media Umat edisi 166
---

Rabu, 27 Januari 2021

Kebijakan Khilafah Terhadap Tenaga Kerja Asing



Oleh: KH. Hafidz Abdurrahman, Lajnah Tsaqafiyah 

Sumber utama ekonomi sebuah negara, termasuk negara khilafah, ada empat yakni perdagangan, jasa, pertanian, dan industri. Perdagangan, baik domestik maupun luar negeri, terkait dengan arus pertukaran barang [jual-beli]. Sedangkan jasa terkait dengan manfaat yang diberikan oleh orang [manfaat syakhsh] atau pekerjaan [manfaat 'amal). Adapun pertanian terkait dengan pengelolaan lahan sawah dan perkebunan. Sementara industri terkait dengan pengolahan bahan menjadi barang lain, baik yang terkait dengan barang milik pribadi, umum, maupun milik negara.

Dalam konteks tenaga kerja asing, masalahnya jelas terkait dengan jasa yang diberikan, baik oleh orang [manfaat as-syakhsh] atau pekerjaan [manfaat al-'amal]nya. Jasa ini semuanya bersumber dari manusia, bukan barang. Karena itu, yang dihukumi dalam hal ini adalah orang yang memberikan jasa tersebut, baik pribadi maupun keahliannya.

Status Warga Negara Pekerja

Status orang yang berada di wilayah negara khilafah bisa dibagi menjadi dua: (1) Warga negara Negara Khilafah; (2) Warga negara asing [bukan khilafah]. Warga Negara Khilafah bisa dipilah lagi menjadi dua: (1) Muslim; dan (2) Ahli dzimmah. Warga negara asing [bukan khilafah] bisa dibagi menjadi dua: (1) Kafir harbi fi'lan; (2) Kafir harbi hukman, baik yang terikat perjanjian dengan khilafah, disebut mu'ahad atau yang tidak.

Status masing-masing orang ini mempunyai konsekuensi hukum yang berbeda, antara satu dengan yang lain.Warga negara khilafah, baik Muslim maupun ahli dzimmah, sama-sama mempunyai hak sebagai warga negara, yang wajib dijamin sandang, papan, pangan, pendidikan, kesehatan dan keamanannya. Karena itu, selain mereka mempunyai kewajiban bekerja, bagi laki dewasa, berakal dan mampu, juga dijamin oleh negara. Negara wajib menyediakan lapangan kerja untuk mereka, sehingga mereka bisa menunaikan kewajibannya. Ini berlaku sama, baik untuk Muslim maupun non-Muslim.

Berbeda dengan warga negara asing. Bagi warga negara kafir harbi fi'lan, seperti Cina, Rusia, AS, dan Israel, misalnya, keberadaan mereka di wilayah khilafah hanya boleh untuk mempelajari Islam, bukan untuk berdagang atau bekerja. Karena itu, mereka tidak boleh melakukan aktivitas lain di wilayah khilafah, baik yang terkait dengan perdagangan maupun jasa. Ini karena visa [al-aman] yang diberikan oleh negara khilafah hanya untuk belajar, bukan yang lain.

Sedangkan warga negara asing kafir harbi hukman, baik yang terikat perjanjian dengan khilafah [mu'ahad], maupun bukan, seperti Jepang, Korea, dan negara-negara yang tidak terlibat langsung dalam memerangi Islam dan kaum Muslim, maka mereka boleh keluar-masuk wilayah khilafah tanpa visa khusus, tidak sebagaimana kafir harbi fi'lan. Mengenai boleh dan tidaknya mereka berdagang atau bekerja, bergantung pada perjanjian antara negara mereka dengan negara khilafah. Jika perjanjiannya meliputi perdagangan dan jasa, maka mereka boleh berdagang dan bekerja di wilayah negara khilafah. Jika tidak, maka tidak boleh.

Tindakan Terhadap TKA

TKA yang berasal dari wilayah kafir harbi fi'lan jelas tidak diperbolehkan berdagang dan bekerja di wilayah khilafah. Karena itu, ketika mereka berdagang atau bekerja di wilayah negara khilafah, ini dianggap sebagai pelanggaran hukum, dan merupakan tindak kriminal [jarimah]. Karenanya, negara akan menindak dengan tegas pelanggaran atau tindak kriminal seperti ini. Bisa dideportasi, bisa dipenjara atau sanksi lain yang dianggap tepat oleh hakim, disesuaikan dengan tingkat kejahatannya.

Adapun TKA yang berasal dari wilayah kafir harbi hukman, jika dalam klausul perjanjian antara negaranya dengan negara khilafah meliputi kebolehan untuk berdagang dan bekerja, maka mereka tidak dilarang bekerja di wilayah negara khilafah. Namun, jika klausulnya tidak mencakup kebolehan berdagang dan bekerja, maka mereka dilarang berdagang dan bekerja di wilayah khilafah. Jika mereka melakukan pelanggaran, maka pelanggaran ini akan ditindak tegas oleh negara. Karenanya, negara akan menindak dengan tegas pelanggaran atau tindak kriminal seperti ini.

Bisa dideportasi, bisa dipenjara atau sanksi lain yang dianggap tepat oleh hakim, disesuaikan dengan tingkat kejahatannya. Selain itu, membuka masuknya TKA, apalagi dari negara kafir harbi fi'lan, jelas mengancam kedaulatan negara, baik dalam aspek keamanan, daya beli dan daya saing ekonomi, maupun yang lain. TerIebih, ketika warga negaranya sendiri membutuhkan lapangan kerja, dan seharusnya lapangan kerja itu menjadi hak mereka, lalu diserobot oleh warga negara lain. Kebijakan seperti ini jelas tidak akan dilakukan oleh khalifah, sebagai pemangku khilafah, karena akan mengancam ketahanan negaranya sendlri.

Terlebih, ketika TKA dari negara kafir harbi fi’lan itu jelas-jelas musuh kaum Muslim, yang di wilayahnya, kaum Muslim mengalami serangan dan diskriminasi. Mereka juga mempunyai kepentingan untuk menguasai sumber daya alam, energi dan kekayaan alam lainnya. Bahkan, terbukti mereka juga melakukan berbagai tindak kriminal yang merusak, seperti produksi dan perdagangan narkoba. Terhadap negara kafir harbi fi'lan negara khilafah akan menutup rapat pintunya, dan ekstra hati-hati. Karena hukum asalnya, negara seperti itu, begitu juga rakyatnya, adalah musuh negara khilafah.

Hubungan negara khilafah dengan negara kafir harbi fi'lan adalah hubungan perang. Karena itu, tidak mungkin negara khilafah membuka ruang baik kepada negaranya maupun rakyatnya untuk keluar masuk wilayahnya, baik berdagang maupun bekerja. Dalam kondisi perang seperti ini, sangat riskan karena bisa jadi mereka melakukan aksi spionase terhadap negara khilafah.

Membahayakan Negara

Warga negara kafir harbi fi'lan, di luar izin untuk mempelajari Islam, tidak diperbolehkan melakukan aktivitas lain. Jika ini mereka lakukan, maka tindakan ini bisa dianggap sebagai pelanggaran hukum. Karena itu, selain tindakan tegas sebagaimana yang dilakukan negara khilafah terhadap mereka di atas, negara juga bisa memata-matai semua aktivitas mereka dengan warga negara khilafah, yang dikenal dengan istilah ahl ar-raib [orang yang dicurigai melakukan persekongkolan dengan musuh].

Jika terbukti, maka bukan hanya warga negara kafir harbi fi'lan yang akan ditindak dengan tindakan tegas oleh negara khilafah, tetapi juga ahli ar-raib, yang notabene warga negara khilafah. Bagi warga negara kafir harbi fi'lan, bisa dideportasi, bisa dipenjara atau sanksi lain yang dianggap tepat oleh hakim, disesuaikan dengan tingkat kejahatannya. Sedangkan bagi warga negara khilafah, mereka bisa dikenai takzir, baik dipenjara, didenda maupun dibunuh. Semuanya diserahkan kepada keputusan hakim, dengan mempertimbangan berat dan ringan tingkat kejahatannya.

Begitulah cara negara khilafah menjaga ketahanan negaranya, dan kebijakannya terhadap warga negara asing, khususnya Kafir harbi fi'lan. Dengan cara seperti itu, negara khilafah akan menjadi negara yang sangat kuat, kompetitif, dan bukan saja mempunyai daya saing yang tinggi, tetapi memimpin dunia dan menjadi adidaya. []

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 188
---

Selasa, 26 Januari 2021

Budi Pekerti ala Sekuler Selamatkan Bangsa?



Pendidikan Indonesia tidak beres, sudah banyak diketahui. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pun prihatin atas kuallitas pendidikan tersebut. Makanya, memasuki tahun pelajaran baru 2015-2016, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Anies Baswedan mencanangkan secara resmi Program Penumbuhan Budi Pekerti (PBP). PBP adalah pembiasaan sikap dan perilaku positif di sekolah, yang dimulai sejak masa orientasi peserta didik baru sampai dengan kelulusan, dari jenjang Sekolah Dasar (SD), sampai dengan Sekolah Menengah Atas (SMA) atau Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan sekolah pada jalur pendidikan khusus. Persoalannya, akankah program tersebut memberikan efek nyata bagi peningkatan kualitas output pendidikan saat ini hingga mampu mengeluarkan bangsa ini dari keterpurukan?

Membentuk Perilaku Shalih

Bisa jadi program peningkatan kualitas peserta didik, terutama budi pekerti adalah upaya perbaikan untuk menutup rusaknya kurikulum pendidikan sekuler yang selama ini dijalankan pemerintah. Hanya saja, perbaikan tersebut memang terkesan setengah-setengah, tidak menyeluruh. Beberapa kalangan menyangsikan jika hal ini akan efektif untuk meningkatkan kualitas moral peserta didik apalagi menyelamatkan bangsa dari keterpurukan.

Sesungguhnya perilaku (budi pekerti) seseorang dipengaruhi oleh akidah dan pemahamannya terhadap hukum syariat. Pada titik ini, penguasaan tsaqafah Islam menjadi salah satu kunci terwujudnya keshalihan pribadi. Sebab, pribadi yang shalih harus tercermin dari perilaku yang tidak menyalahi ajaran agama (Syariah Islam) dalam seluruh sisi kehidupan. Masalahnya, apakah aspek ini sudah tercakup dalam program perbaikan yang dicanangkan pemerintah tersebut? Sebab, budi pekerti yang dimaksud pun belum jelas, apakah berstandar pada akidah Islam ataukah moral kemanusiaan semata.

Selanjutnya, keshalihan pribadi yang telah terwujud itu akan tertanam kuat dan memberikan pengaruh pada masyarakat jika dipelihara oleh sebuah sistem. Karenanya topangan negara dia butuhkan untuk mengawal keshalihan pribadi yang sudah sudah mulai terbentuk. Inilah rangkaian dan komponen pembentukan pribadi yang shalih dalam sebuah masyarakat. Pada titik ini, semakin jelas, bagaimana efektivitas sebuah program peningkatan budi pekerti di sekolah dalam sistem yang tidak Islami seperti sekarang. Dengan demikian tampaklah kelemahan program tersebut, yaitu di samping ketidakjelasan arah, juga lemahnya hasil yang diperoleh.

Sesungguhnya, bangsa ini membutuhkan perubahan besar, tidak hanya dalam perubahan kurikulum pendidikan, misalnya dengan program penumbuhan budi pekerti, atau yang lainnya. Paradigma pendidikan Islam diperlukan untuk mengubah paradigma pendidikan konvensional yang nyata-nyata hanya menghasilkan manusia pintar tapi 'bodoh'. Peningkatan budi pekerti menjadi tidak ada artinya jika tidak didasarkan pada akidah dan pemahaman hukum syariah.

Islam telah menggariskan prinsip umum pendidikan Islam yang bertujuan membentuk kepribadian Islam, yang bersandar pada kekuatan akidah dan pemahaman hukum syariah. Sehingga, output pendidikannya adalah manusia yang menegakkan hukum Allah SWT, yang menjadikan hawa nafsunya sejalan dengan aturan Allah SWT dan Rasul-Nya. Firman Allah SWT:

”Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan." (TQS. Al-Mujadillah [58] :11)

”Tidak sempurna iman seseorang di antara kamu, sehingga aku lebih dicintai dari ayahnya, atau anaknya, atau manusia seluruhnya.” (HR. Bukhari, Muslim).

Tentu saja, tujuan pendidikan tersebut hanya akan terwujud sempurna dalam sistem kehidupan yang Islami, yaitu Khilafah Islam. Sebab, pendidikan tidak akan lepas dari aspek lain kehidupan manusia. Ia berkait dengan aspek politik, ekonomi, keamanan, sosial, dan sebagainya. Karenanya, memperbaiki pendidikannya saja tak cukup. Namun, keseluruhnya harus diperbaiki agar sesuai dengan Islam. Inilah urgensi kehadiran Khilafah Islam. Oleh karena itu, memperjuangkannya menjadi kewajiban yang tak bisa ditunda-tunda lagi bagi seluruh komponen umat, terlebih saat generasi dan bangsa ini makin terpuruk. Mari bergerak! []noor afeefa

Paradigma Sistem Pendidikan Islam

Dalam kerangka membangun kepribadian (character building) dan sikap-mentalitas masyarakat suatu negara, keberadaaan ideologi sebagai asas dan landasan sebagai fakta yang tidak dapat ditolak. Ideologi merupakan way of life; berfungsi sebagai unifying force dan driving integrating motive yang memberikan nilai dasar (basic values) kehidupan masyarakat dan negara.

Sistem pendidikan yang ditegakkan berdasarkan ideologi sekulerisme-kapitalisme atau sosialisme-komunisme berkeinginan mewujudkan struktur masyarakat sekuler-kapitalis atau sosialis-komunis. Sebaliknya, sistem pendidikan yang berbasiskan ideologi Islam berkehendak untuk membangun struktur masyarakat Islam, yang tentu saja akan berbeda dengan dua sistem ideologi di atas.

Berkenaan dengan hal itu, pemahaman terhadap karakter sebuah ideologi merupakan langkah awal dan mendasar ketika membicarakan sistem pendidikan. Ketidakpahaman terhadap basis sistem pendidikan dan karakteristik manusia yang hendak dibentuknya hanya akan membuat program-program pendidikan sebagai sarana trial and error dan menjadikan peserta didik bagai kelinci percobaan.

Pendidikan dalam Islam adalah upaya sadar, terstruktur, terprogram, dan sistematis dalam rangka membentuk manusia yang memiliki: (1) Kepribadian Islam; (2) Menguasai pemikiran Islam dengan handal; (3) Menguasai ilmu-ilmu terapan (pengetahuan, Ilmu/sains, dan teknologi/PITEK); (4) Memiliki ketrampilan yang tepat guna dan berdayaguna.

Pembentukan kepribadian Islam harus dilakukan pada semua jenjang pendidikan yang sesuai dengan proporsinya melalui berbagai pendekatan. Salah satu di antaranya adalah dengan menyampaikan pemikiran Islam kepada para siswa.

Tsaqafah (pemikiran) Islam adalah ilmu-ilmu yang dikembangkan berdasarkan akidah Islam yang sekaligus menjadi sumber peradaban Islam. Muatan inti yang kedua ini diberikan pada seluruh jenjang pendidikan sesuai dengan proporsi yang telah ditetapkan.

Sementara kurikulum dibangun berlandaskan akidah Islam sehingga setiap pelajaran dan metodologinya disusun selaras dengan asas itu. Konsekuensinya, waktu pelajaran untuk memahami tsaqafah Islam dan nilai-nilai yang terdapat di dalamnya mendapat porsi yang besar, tentu saja harus disesuaikan dengan waktu bagi ilmu-ilmu lainnya. Ilmu-Ilmu terapan, diajarkan sesuai dengan tingkat kebutuhan dan tidak terikat dengan jenjang pendidikan tertentu (formal).

Secara struktural, kurikulum pendidikan Islam dijabarkan dalam tiga komponen materi pendidikan utama, yang sekaligus menjadi karakteristiknya, yaitu: (1) pembentukan kepribadian Islami); (2) penguasaan tsaqafah Islam; (3) penguasaan ilmu kehidupan (PITEK, keahlian, dan ketrampilan).

Dalam proses pendidikan, keberadaan peranan guru menjadi sangat penting; bukan saja sebagai penyampai materi pelajaran (transfer of knowledge), tetapi sebagai pembimbing dalam memberikan keteladan (uswah) yang baik (transfer of values).

Dalam Islam, negaralah yang berkewajiban untuk mengatur segala aspek yang berkenaan dengan sistem pendidikan yang diterapkan, bukan hanya persoalan yang berkaitan dengan kurikulum, akreditasi sekolah/PT, metode pengajaran, dan bahan-bahan ajarnya, tetapi juga mengupayakan agar pendidikan dapat diperoleh rakyat secara mudah. Rasulullah SAW bersabda:

“Seorang imam (khalifah/kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya. (HR. al-Bukhari dan Muslim). []fl

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 155
---

Senin, 25 Januari 2021

Cara Khilafah Menangani Rekayasa Kasus, Kasus Kadaluwarsa Dan Dendam



Oleh: KH Hafidz Abdurrahman, Lajnah Tsaqafiyah

Meski khilafah adalah negara Islam, yang tegak di atas pondasi akidah Islam yang kokoh, dan menerapkan sistem Islam yang terpancar dari akidah tersebut, tetapi khilafah adalah negara manusia, bukan negara malaikat. Manusia tetaplah manusia, yang tidak maksum, dan berpotensi melakukan maksiat. Meski akidah dan sistem Islam yang ada berhasil membentuk ketakwaan individu, tetapi ketakwaan itu sendiri tidak bersifat konstan. Sebaliknya, bisa naik dan turun.

Itulah mengapa di dalam sistem khilafah sekalipun ditemukan adanya rekayasa kasus, kasus kadaluwarsa yang diungkit kembali, termasuk dendam yang mencuat di pengadilan. Karena memang, senyatanya khilafah adalah negara manusia, bukan negara malaikat. Hanya saja, bedanya khilafah dengan negara manapun yang ada adalah, di dalam Khilafah ada tiga benteng tegaknya keadilan. Pertama, ketakwaan individu. Kedua, kontrol masyarakat. Ketiga, negara yang menerapkan sistem Islam secara kaffah, termasuk dalam pengangkatan dan pemberhentian hakim.

Pengadilan Sumber dan Benteng Keadilan

Lembaga peradilan sebagai lembaga independen, tidak bisa diintervensi oleh kekuasaan. Bahkan, ketika lembaga ini harus memutuskan perkara yang melibatkan khalifah sekalipun. Ini bisa direalisasikan, ketika kedaulatan di tangan syara'. Semuanya harus tunduk kepada hukum syara', mulai dari khalifah, hakim hingga rakyat jelata. Ketundukan kepada hukum syara' ini menjadi identitas khalifah, hakim termasuk rakyat jelata. Dengannya, ketakwaan mereka bisa ditakar.

Ketakwaan inilah yang menjadi benteng tegaknya keadilan. Karena itu, syarat ini melekat pada khalifah, juga hakim yang memvonis perkara. Ketika 'Umar menjadi khalifah, beliau menulis surat kepada Mu'ad bin Jabal dan Abu 'Ubaidah al-Jarrah, “Perhatikanlah oleh kalian lelaki yang shalih [bertakwa], lalu angkatlah untuk menjadi hakim.” [Ibn Qudamah, al-Mughni, Juz IX/37]. Tidak hanya bertakwa, dia juga harus ikhlas, jauh dari sikap riya', apalagi penjilat, ”Urusan Allah ini tidak akan bisa tegak, kecuali oleh orang yang tidak mengada-ada, suka menunjukkan kebolehan, dan ambisius.” [Ibn Qudamah, al-Mushannaf, Juz VIII/299]. Ketakwaan dan keikhlasan inilah yang membentuk kekuatan pribadi seorang hakim.

Dengan ketakwaan, keikhlasan dan kekuatan pribadinya, seorang hakim tidak akan bermain mata, apalagi ikut merekayasa kasus. Selain ketiga faktor ini, faktor kekayaan dan strata sosial juga menjadi perhatian khalifah, ketika mengangkat hakim. Ini juga penting untuk menutup celah agar hakim tidak bisa disuap atau dijatuhkan kredibilitasnya. Pesan 'Umar, “Janganlah kalian meminta keputusan kecuali kepada orang yang mempunyal harta dan kedudukan. Orang yang mempunyai harta tidak membutuhkan harta orang lain. Sedangkan orang yang mempunyai kedudukan tidak akan takut terhadap konsekuensi.” [Akhbar al-Qudha', Juz I/76].

Selain itu, hakim pun menjaga diri dari berbagai hal yang bisa mempengaruhi keputusannya. Selain suap, hadiah, termasuk relasi bisnis dan sejenisnya juga dilarang oleh khalifah. 'Umar pernah menulis surat kepada Abu Musa al-Asy'ari, ”Kamu jangan sekali-kali berjual beli, melakukan mudharabah, dan menerima suap dalam pemerintahan [keputusan].” ['Abdurrazzaq, al-Mushannaf, Juz VIII/300].

Dengan semua kriteria seperti itu, hakim di zaman khilafah benar-benar menjadi benteng keadilan, hatta bagi rakyat yang bersengketa dengan khalifah. Qadhi Syuraih pernah menjatuhkan vonis atas sengketa yang terjadi antara orang Yahudi dengan 'Ali bin Abi Thalib, yang nota bena adalah khalifah. 'Ali yang mengklaim baju besi milik Yahudi sebagai miliknya akhirnya harus kalah, karena tidak bisa membuktikan klaimnya, baik dengan saksi maupun yang lain.

Kasus Rekayasa dan Rekayasa Kasus

Kasus rekayasa adalah kasus yang tidak ada, tetapi direkayasa sehingga seolah-olah ada. Seperti tuduhan zina, mencuri dan sebagainya. Dalam hal ini, Islam menetapkan, bahwa hukum asal manusia itu tidak bersalah. Nabi menyatakan, “al-Bayyinatu 'ala al-Mudda'i wa al-yaminu 'ala man ankara.” [Bukti itu wajib diberikan oleh orang yang menuduh, sedangkan sumpah wajib diberikan oleh orang yang mengingkari tuduhan].

Dalam sistem peradilan Islam hanya mengenal empat pembuktian: Pertama, saksi [syahadah]. Kedua, sumpah [yamin]. Ketiga, pengakuan [iqrar]. Keempat, dokumen tertuiis [watsaiq]. Jika keempat alat bukti ini dan atau salah satunya tidak ada, maka kasus tidak bisa dilanjutkan. Terlebih, jika tuduhan itu bisa mencemarkan nama baik, maka tidak mustahil tuduhan itu bisa berbalik kepada pihak penuduhnya jika dia bersikeras tidak mau mencabut tuduhannya, sementara dia tidak bisa membuktikan tuduhannya.

Abu Bakrah radhiya-Llahu 'anhu pernah melaporkan kasus yang menimpa Mughirah bin Syu'bah, yang rumahnya berhadapan dengan Abu Bakrah. Ketika didapati Mughirah tidur dengan seorang wanita. Abu Bakrah pun mengajak orang lain untuk menjadi saksi. Pendek kata, saksi pun lengkap empat orang. Setelah saksi memenuhi nishab, empat orang, Abu Bakrah melaporkan kasus ini kepada 'Umar. Tetapi ketika mereka dihadapkan di pengadilan, salah seorang saksi menarik kesaksiannya. Konsekuensinya, Abu Bakrah dihadapkan pada pilihan yang sulit: melanjutkan aduan atau menarik.

Karena nishab kesaksiannya kurang, maka tidak ada pilihan kecuali menarik tuduhan. Jika tidak, maka Abu Bakrah bisa dicambuk 80 kali, karena tuduhan zina [qadzaf], dengan konsekuensi kesaksiannya tidak akan diterima selama-lamanya. Abu Bakrah ternyata memilih pilihan yang terakhir, karena tidak ingin berbohong dua kali kepada Allah, meski dengan konsekuensi yang sangat berat. Setelah dicambuk 80 kali, dan kesaksiannya tidak diterima, Abu Bakrah tetap tidak mengubah pendiriannya. 'Ali bin Abi Thalib pun menyarankan 'Umar, jika Abu Bakrah tetap bersikukuh dengan pendiriannya maka 'Umar harus mengambil sumpah Mughirah. Akhirnya kasus ini dihentikan karena 'Umar tidak mau mengambil sumpah dari Mughirah.

Kasus Mughirah yang dilaporkan Abu Bakrah ini benar-benar terjadi, tetapi karena pembuktiannya tidak memenuhi syarat, laporan ini pun berbalik kepada pelapornya. Jika demikian keadaannya maka dalam negara khilafah sangat sulit merekayasa kasus, atau munculnya kasus-kasus rekayasa.

Dendam dan Kejernihan Hati Hakim

Masalah hati memang tidak bisa dinilai. Karena itu, Nabi mengingatkan, "Nahnu qaumun nahkumu bi ad-dhawahiri wa-Llahu ya'lamu as-sara'ir.” [Kita adalah kaum yang kita memutuskan hukum berdasarkan yang tampak, sedangkan Allah yang Maha Tahu apa yang tak tampak]. Itulah yang menjadi pegangan 'Umar, ketika menjadi khalifah.

Kata 'Umar, "Sekarang kami mengetahui kalian melalui ucapan kalian. Siapa saja yang menyatakan kepada kami kebaikan, kami pun menduganya baik dan mencintainya. Siapa saja yang menyatakan keburukan, kami pun menduganya buruk dan kami pun membencinya. Tentang rahasia kalian adalah urusan antara kalian dengan Allah." [Riwayat Bukhari]

Meski begitu, 'Umar menetapkan, jika ada kasus yang telah terjadi dua tahun lebih, maka ketika kasus itu diajukan ke pengadilan, 'Umar pun menginstruksikan agar kasus tersebut ditolak. Alasannya, ketika seseorang mengajukan kasus lebih dari dua tahun, sebenarnya dia bukan untuk mencari keadilan tetapi karena dendam.

Pada saat yang sama, hakim pun tidak boleh memutuskan dengan marah, dendam atau berpihak kepada salah satu. Bahkan, itu disyaratkan kepada para hakim oleh 'Umar bin Khatthab. Itu dituturkan oleh Qadhi Syuraih, ”'Umar menetapkan syarat kepadaku ketika mengangkatku sebagai hakim, agar aku tidak memutuskan dalam keadaan marah.” [Ibn Qudamah, al-Mughni, Juz IX/79]. Bukan hanya marah yang dilarang oleh 'Umar, tetapi dendam, atau keberpihakan kepada pihak tertentu, sehingga menutupi keadilan yang seharusnya diberikan kepada yang berhak.

'Umar pun menyatakan kepada Abu Musa al-Asy'ari, “Janganlah Anda memutuskan perkara, ketika Anda marah.” ['Abdurrazzaq, al-Mushannaf, Juz VIII/300]. Pesan 'Umar kepada para hakim, ”Hendaknya seorang hakim tidak memutuskan, kecuali dalam keadaan kenyang dan segar." [Riwayat al-Baihaqi].

Begitulah keadilan ditegakkan dalam sistem Islam, di bawah naungan khilafah. Keadilan bagi setiap pencarinya, juga pengemban dan pemberinya. Karena, kezaliman kelak akan membawa kegelapan dan petaka di akhirat. []

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 191
---

Sabtu, 23 Januari 2021

Bahaya Laten Sekularisme Maupun Neo-Komunisme



Walaupun telah berlalu puluhan tahun, peristiwa G 30 S/PKI masih lekat di benak penduduk Indonesia, sebuah peristiwa yang sulit untuk dilupakan. Tindakan kejam yang dilakukan oleh para anggota Partai Komunis Indonesia jelas jelas membuat mereka tidak mendapat tempat di hati penduduk negeri. Terlebih lagi, mereka kaum pengingkar keberadaan Sang Pencipta. Padahal, paham kufur tersebut jelas bertentangan dengan pandangan hidup mayoritas penduduk negeri ini. Dengan demikian, telah lengkaplah kesesatan dan keburukan paham sosialisme-komunisme, sehingga tidak ada hambatan bagi siapapun untuk secara tegas menentangnya.

Berbeda halnya dengan paham kapitalisme-sekularisme. Jika paham sosialisme-komunis dihukumi oleh mayoritas sebagai paham yang tidak layak hidup, masih ada pihak-pihak yang membela sekularisme. Padahal, jika dicermati, paham kapitalisme-sekuler yang sedang bercokol adalah biangnya segala “penyakit” yang sekarang menjalar di mana-mana. Bahkan, sekularisme sendiri membolehkan atheisme berkembang.

Jika para penganut sosialisme-komunis menolak keberadaan tuhan secara mutlak, maka sesungguhnya para penganut ideologi kapitalisme-sekuler menolak hukum-hukum Allah Swt. untuk diterapkan. Di satu sisi, mereka mengakui keberadaan Tuhan sebagai Pencipta, sementara di sisi lain, mereka menolak eksistensi Allah Swt. sebagai pembuat aturan bagi manusia.

Seorang muslim harus meyakini keberadaan Allah SWT sebagai Pencipta sekaligus meyakini-Nya sebagai pemberi hukum yang terbaik yang harus ditaati. Sebagai Pencipta, pastilah Allah yang paling mengetahui hakikat ciptaan-Nya dan kemaslahatan yang paling tepat untuk ciptaan-Nya.

Allah tidaklah menciptakan manusia untuk membuat-buat sistem pemerintahan menuruti hawa nafsu semacam demokrasi, saling tarik-menarik kepentingan dalam membuat hukum-hukum publik, dengan atas nama kepentingan rakyat setiap kezhaliman penguasa menjadi halal, hingga akibatnya umat manusia menjadi rusak tanpa petunjuk, terkubur dalam pertikaian buas dan kesengsaraan. Tetapi justru manusia -penguasa maupun rakyatnya- diciptakan untuk beribadah pada-Nya, taat menerapkan syariah dalam segala aspek kehidupan.

Allah akan memberikan balasan kepada siapapun yang beriman dan mematuhi aturan-aturanNya. Jika manusia melaksanakan aturan-aturan Allah, Allah akan memberikan balasan kebaikan di dunia dan Surga di akhirat. Sebaliknya, jika manusia melanggar aturan-aturan Allah, Allah pun akan membalasnya dengan keburukan di dunia dan siksa Neraka di akhirat.

Dengan demikian, alangkah berbahayanya jika kita mengabaikan aturan-aturan dari Allah dalam urusan publik; meski ketika masih hidup di dunia, manusia bisa saja berdalih ini-itu maupun memelintir ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits. Tindakan pengabaian terhadap banyak ayat al-Qur’an dan hadits Nabi Saw. itulah yang justru secara inheren melekat pada sosialisme-komunisme maupun kapitalisme-sekuler.

Para penganut sekularisme berdalih bahwa jika Allah ikut campur dalam masalah kehidupan manusia, maka manusia tidak akan penah maju. Katanya hal ini sudah terjadi pada zaman kegelapan Eropa maupun di masa Khilafah Islam.

Selama abad pertengahan di Eropa, banyak ilmuwan dan pemikir dihukum mati oleh pihak gereja karena dianggap telah menetang gereja yang diklaim sebagai wakil tuhan. Kondisi ini memicu pembangkangan terhadap otoritas gereja dan agama, meski tetap membolehkan agama di ruang privat.
Oleh karena itu, muncullah gagasan “jalan tengah”, yaitu bahwa sekularisme –yang menjadi asas bagi negara republik/demokrasi– mengharamkan manusia menerapkan aturan-aturan dari Allah Swt. dalam pengaturan negara.

Pengakuan mereka atas adanya Tuhan hanyalah seperti pengakuannya Iblis. Jadi, pada hakikatnya, ideologi kapitalisme-sekuler sama saja dengan ideologi sosialisme-komunis, sama-sama kufur.

Maka dalam hal pandangan terhadap pengaturan kehidupan masyarakat, kapitalisme-sekuler sama berbahayanya dengan sosialisme-komunis.
Sosialisme-komunis melarang masyarakat untuk bertakwa kepada Allah Swt. dalam urusan bermasyarakat dan bernegara; kapitalisme menyuburkan kesesatan pikiran dan perilaku mengikuti hawa nafsu, sembari juga melarang Islam dalam pengaturan urusan publik.

Sekularisme membebaskan individu –atas nama kebebasan HAM- dalam masalah kepemilikan maupun perilaku. Dengan adanya prinsip seperti ini, efek negatif yang ditimbulkan jelas tidak kalah merusaknya daripada sosialis-komunis. Dengan kebebasan tersebut, manusia malah merasa berhak untuk ngawur dalam berbuat di muka bumi. Manusia yang memang secara potensial memiliki naluri untuk berkuasa, saling bersaing dan berebut kekuasaan dengan segala cara. Akibatnya, benturan kepentingan sulit untuk dihindarkan, hukum rimba menjadi biasa.

Perilaku mereka dituntun oleh semangat mencari kepuasan duniawi belaka yang seringkali disebut sebagai maslahat, maka hukum senantiasa dibuat berpihak pada pihak-pihak yang memiliki kekuatan secara materi. Akibatnya, yang terjadi di masyarakat bukanlah kedamaian dan ketentraman, namun kezhalimanlah yang justru mendominasi kehidupan umat.

Jika demikian, tentu tidak ada yang bisa kita harapkan dari sepaket paham sekularisme-kapitalisme-demokrasi yang diimpor dari kaum kufar. Oleh sebab itu, kembali pada pandangan hidup paripurna yang datang dari Allah SWT., yakni Islam yang komprehensif, merupakan pilihan wajib bagi kita.

Semoga Allah Swt. selalu menunjuki dan menguatkan umat Islam untuk memperjuangkan tegaknya sistem syariat Islam, mewujudkan rahmat Islam untuk semua. Aamiin.

Bacaan: Majalah Al-Wa`ie No.13 tahun 2, 1-30 September 2001

Kamis, 21 Januari 2021

Bagaimana Khilafah Memperlakukan Terduga?



Dalam istilah hukum positif yang berlaku di Indonesia ada istilah terduga, tersangka, dan terdakwa. Terduga adalah orang yang diduga melakukan kejahatan atau pelanggaran hukum, dengan adanya bukti permulaan, atau sebelum adanya barang bukti. Status naik menjadi tersangka, ketika sudah ada barang bukti yang kuat sebagai bukti kejahatannya, sebelum dilimpahkan ke pengadilan. Setelah dilimpahkan ke kejaksaan, dan diajukan ke pengadilan, statusnya naik lagi menjadi terdakwa.

Hanya saja, di dalam Islam, bukti yang bisa digunakan hanya ada empat. Empat itu adalah saksi [syahadah], jumlahnya sesuai dengan jenis kejahatan atau kasusnya. Kedua, pengakuan [iqrar] pelaku. Ketiga, sumpah [yamin], bagi pihak terdakwa yang mengingkari kejahatan atau kasusnya, jika bukti yang pertama tidak cukup. Keempat, dokumen [watsiqah] perjanjian atau akad. Selain itu, tidak bisa digunakan sebagai bukti untuk memvonis seseorang sebagai pelakunya. Meski, bisa saja video, gambar atau sidik jari dan sejenisnya digunakan sebagai "bukti permulaan” tetapi tidak bisa digunakan untuk menetapkan vonis.

Selain bukti yang berbeda, dasar, filosofi hukum dan pembuktian di dalam Islam juga berbeda. Inilah yang membedakan sistem peradilan dalam Islam dengan sistem non-Islam, baik yang menganut ideologi kapitalisme maupun sosialisme.

Takwa Sebagai Pondasi

Perbedaan mendasar kedua sistem yang ada ini adalah pada ketakwaan yang menjadi pondasi. Jika individu, masyarakat dan negara khilafah itu dibangun dengan pondasi ketakwaan kepada Allah SWT, maka tidak demikian dengan negara sekuler.

Dengan pondasi ketakwaan seperti ini, aparat tidak dengan seenaknya menjadikan seseorang menjadi terduga atau tersangka, kecuali benar-benar berdasarkan bukti yang valid. Penegak hukum tidak akan bertindak semena-mena, dengan mencari-cari kesalahan seseorang yang menjadi target [TO], hanya karena memenuhi syahwat kekuasaan. Begitu juga, orang yang melakukan kejahatan, dengan ketakwaannya tidak akan berbohong atau merekayasa kasusnya agar tidak bisa dibuktikan, dengan memanfaatkan celah hukum yang ada.

Pendek kata, dengan dasar ketakwaan pada kedua belah pihak, masing-masing pihak bertindak sesuai dengan apa yang Allah tetapkan. Dengan begitu, semua proses hukum akan berjalan dengan adil seadil-adilnya, dan jujur sejujur-jujurnya. Tidak ada rekayasa, tidak ada kebohongan, tidak ada intimidasi dan seterusnya.

Penerapan Asas

Selain pondasi ketakwaan, peradilan di dalam Islam mempunyai filosofi yang khas, yaitu ”al-Ashlu bara'atu ad-dzimmah" [Hukum asal manusia tidak bersalah], sampai bisa dibuktikan bahwa dia bersalah. Karena itu, pembuktiannya pun sangat ketat. Dengan dasar dan filosofi seperti itu, siapapun tidak boleh menangkap dan menahan warga negara, apalagi membunuhnya, sebelum dibuktikan dengan bukti yang kuat. Sampai Nabi SAW menyatakan, ”Cegahlah hukuman hudud itu, meski dengan syubhat," saking berharganya kehormatan, jiwa dan raga setiap warga negara.

Meski dengan "bukti permulaan" aparat penegak hukum boleh menahan, dan meminta keterangan orang yang diduga melakukan kejahatan atau pelanggaran hukum, tetapi tetap saja dia tidak boleh diintimidasi apalagi disiksa agar memberikan pengakuan [iqrar], supaya bisa dijadikan tersangka dan terduga. Kehormatan, jiwa dan raganya wajib dijaga. Penegak hukum yang bertindak sebagai penegak hukum harus berpegang pada filosofi ”al-Ashlu bara'atu ad-dzimmah” Karena itu, tidak boleh mengeluarkan statemen, misalnya, ”Terduga teroris, terduga makar, terduga porno…” dan sebagainya. Meski dimulai dengan kata, "terduga” tetap saja bisa dianggap sebagai pencemaran nama baik. Terlebih setelah itu, tidak ada rehabilitasi yang dilakukan.

Siapapun yang melakukan pencemaran nama baik, apalagi menyerang jiwa dan raga orang yang diduga melakukan kejahatan, bisa dituntut oleh pihak yang dirugikan. Sanksinya pun jelas dan tegas. Bukan karena penegak hukum kemudian bisa bertindak semena-mena, atau malah meruntuhkan hukum yang seharusnya ditegakkan. Semuanya itu bisa diwujudkan dengan dasar ketakwaan dan filosofi hukum yang harus dijunjung tinggi.

Karena itu, Islam telah menetapkan, semua proses pengadilan dilakukan di ruang sidang, bukan di luar sidang. Apapun kesaksian, pengakuan, sumpah atau dokumen yang diberikan di luar persidangan tidak bisa diterima oleh pengadilan. Ini merupakan proses yang ditetapkan dalam Islam untuk menjaga agar hukum yang ditegakkan benar-benar adil.

Adil dan Independen

Begitu rupa Islam menjaga kehormatan, jiwa dan raga warga negaranya, proses menjatuhkan vonis kepada seseorang yang dinyatakan sebagai terduga, tersangka hingga terdakwa begitu hati-hati dan ketat. Karena Islam tidak mengenal peradilan banding, maka keputusan hakim bersifat mengikat, dan tidak bisa dibatalkan oleh siapapun.

Karena itu, selain pondasi ketakwaan, filosofi ”al-ashlu bara’atu ad-dzimmah”, pembuktian dan prosesnya yang begitu rigit, peradilannya pun diatur sedemikian rupa. Dimulai dari pembuktian yang tidak bisa dilakukan di luar mahkamah, itu berarti kedudukan hakim menjadi sangat penting. Independensi dan keadilan hakim sangat menentukan. Dalam konteks ini, Islam telah menetapkan banyak hukum syara' yang mengatur kepribadian, akhlak, adab dan tindakan hakim, baik di dalam maupun di luar persidangan.

Asyhab, seorang fuqaha' dari mazhab Maliki, menyatakan bahwa merupakan kewajiban hakim untuk "meremehkan" penguasa [Thahir bin Asyur, Maqashid as-Syariah, hal.197]. Maksudnya, hakim tidak bisa ditekan apalagi dipaksa memenuhi syahwat penguasa. Itu artinya, para hakim itu pun sangat independen, tidak bisa dipengaruhi oleh kekuasaan. Hakim juga harus menjaga wibawa dirinya, baik di dalam maupun di luar pengadilan. Karena itu, tidak boleh bergaul dengan masyarakat yang bisa merusak wibawanya. Imam Syafii pun menyatakan makruh, jika hakim berbisnis dengan masyarakat, yang bisa menciderai keadilannya [al-Mawardi, Adab al-Qadhi, juz I/237-238].

Menerima hadiah juga tidak boleh, apalagi suap. Karena hakim adalah pegawai kaum Muslim, yang dibayar oleh negara. Kebutuhannya dipenuhi oleh negara, sehingga tidak lagi pusing memikirkan keadaan ekonomi diri dan keluarganya.

Selain itu, keputusan yang dijatuhkan di peradilan itu ibaratnya merupakan "utang" bagi setiap hakim. Semua ada bayarannya. Jika dia memberikan keputusan yang salah dan zhalim, maka dia akan menerima bayarannya. Jika dia memberikan keputusan yang benar dan adil, maka dia pun akan menerima bayarannya. Bisa di dunia, maupun di akhirat. Dengan begitu, maka hukum yang keluar dari proses peradilan seperti ini akan dihormati, ditaati dan dilaksanakan dengan penuh keikhlasan sebagai ketundukan kepada hukum Allah SWT yang adil.

Dengan cara seperti itu, kehormatan, jiwa dan raga setiap warga negara akan terjaga dengan baik. Begitulah cara Islam dengan sistem khilafahnya yang luar biasa memperlakukan orang yang berstatus sebagai terduga, tersangka bahkan terdakwa sekalipun. Dengan begitu, hanya Islam dengan sistem Khilafahnyalah satu-satunya yang bisa memartabatkan manusia. Wallahu a'lam. []

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 194
---

Rabu, 20 Januari 2021

Mewujudkan Islam Rahmatan lil ‘Alamin



Sejak Khilafah Islamiyah dihancurkan oleh Mustafa Kamal Attaturk 28 Rajab 1342 H –dengan dukungan Inggris dan sekutunya- kaum Muslim tak lagi memiliki institusi negara. Kaum Muslim yang kini berjumlah lebih dari 1,5 milyar jiwa bercerai-berai dalam banyak negara, lebih dari 50 negara bangsa. Ikatan iman yang sebelumnya menyatukan mereka berganti menjadi ikatan atas dasar kebangsaan.

Bersamaan dengan hancurnya institusi khilafah ini, lenyap pula penerapan syariah Islam secara kaffah. Hukum dan perundang-undangan Barat yang notabene dari orang-orang kafir mendominasi sistem hukum di wilayah-wilayah kaum Muslim. Tak aneh, bila mereka rajin shalat, zakat, puasa, bahkan haji dan umrah, tapi pola pikir dan pola sikap mereka justru mengikuti peradaban Barat.

Dalam situasi terbaratkan tersebut, kaum Muslim pun masih dicekoki pemahaman yang disimpangkan oleh Barat dan antek-anteknya mengenai makna Islam rahmatan lil ‘alamin. Islam ala Barat ini dimaknai sebagai Islam yang bisa menerima nilai-nilai Barat seperti toleransi, kebebasan hak asasi manusia, gender, menentang ajaran jihad, dan sejenisnya.

Makna sesungguhnya, Islam adalah agama yang sempurna. Agama ini diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW untuk mengatur interaksi manusia dengan Tuhannya, diri dan sesamanya. Islam mengatur seluruh aspek kehidupan umat manusia, tanpa kecuali.

Di sisi lain, kaum Muslim diperintahkan oleh Allah SWT agar memeluk Islam secara kaffah, tidak setengah-setengah: ”Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara menyeluruh, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (TQS. Al-Baqarah [2]: 208)

Sebagai agama yang diturunkan oleh Dzat yang Maha Sempurna, Islam diturunkan sebagai rahmat bagi alam semesta. Allah SWT menegaskan: “Kami tidak mengutus Kamu [Muhammad], kecuali untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.” (TQS. al-Anbiya' [21]: 107)

Ayat ini, menurut al-Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahuLlah, menjelaskan bahwa tujuan diutusnya Rasulullah SAW adalah agar risalahnya menjadi rahmat bagi manusia. Konsekuensi menjadi ”rahmat bagi manusia”, maka risalah ini diturunkan untuk mewujudkan kemaslahatan [jalb al-mashalih] manusia, dan mencegah kemafsadatan [dar'u al-mafasid].

Perlu dipahami bahwa terwujudnya kemaslahatan [jalb al-mashalih], dan tercegahnya kemafsadatan [dar’u al-mafasid] bukanlah 'illat [alasan hukum] disyariatkannya hukum syariah. Tapi kerahmatan itu akan muncul manakala Islam diterapkan secara menyeluruh sebagai satu kesatuan. Bukan satu per satu hukum.

Terjaganya agama [hifdz ad-din], jiwa [hifdz an-nafs], akal [hifdz al-'aql], harta [hifdz aI-mal], keturunan [hifdz an-nasl], kehormatan [hifdz al-karamah], keamanan [hifdz al-amn] dan negara [hifdz ad-daulah] yang notabene merupakan kemaslahatan bagi individu dan publik, misalnya, bisa disebut sebagai hasil penerapan syariah.

Semuanya itu juga tidak bisa diwujudkan sendiri-sendiri, tetapi harus diwujudkan dalam sistem syariah secara kaffah. Sebagai contoh, hukum potong tangan tidak bisa diterapkan sendiri, agar harta terjaga, sementara problem kemiskinan dan ketimpangan ekonomi tidak diselesaikan dengan sistem ekenomi syariah. Sedangkan sistem ekonomi syariah, dan hukum potong tangan tidak bisa dijalankan kecuali di dalam Negara Khilafah.

Karena itu, kerahmatan Islam bagi alam semesta [Islam rahmat[an] Ii al-'alamin] merupakan konsekuensi logis dari penerapan Islam secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan manusia. Bukan Islam yang hanya diambil sebagai simbol, slogan, asesoris dan pelengkap ”penderita” yang Iain. Bukan Islam yang hanya diambil ajaran spiritual dan ritualnya saja, sementara ajaran politiknya ditinggalkan, paham politik malah diambil dari kapitalisme maupun sosialisme, yang notabene bertentangan dengan Islam.

Inilah Islam rahmat[an] li al-‘alamin yang sesungguhnya. Islam sebagaimana yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi-Nya, Muhammad SAW. Islam yang benar-benar pernah diterapkan selama 14 abad di seluruh dunia. Memimpin umat manusia, dari Barat hingga Timur, Utara hingga Selatan. Di bawah naungannya, dunia pun aman, damai dan sentosa, dipenuhi keadilan. Muslim, Kristen, Yahudi, dan penganut agama lain pun bisa hidup berdampingan dengan aman dan damai selama berabad-abad lamanya.

Begitulah Islam rahmat[an] li al-'alamin, yang telah terbukti membawa kerahmatan bagi seluruh alam. Inilah Islam yang dirindukan oleh umat manusia untuk kembali memimpin dunia. Membebaskan umat manusia dari perbudakan dan penjajahan oleh sesama manusia. Menebarkan kebaikan, keadilan dan kemakmuran di seluruh penjuru dunia. Islam yang hidup sebagai peradaban di tengah umat manusia, diterapkan, dipertahankan dan diemban oleh umat manusia di bawah naungan Khilafah Rasyidah.

Khilafah Kewajiban, Bukan Romantisme Sejarah atau Tuntutan Kekinian Belaka

Mewujudkan kembali Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin adalah panggilan iman. Ini adalah kewajiban Allah SWT kepada kaum Muslim, sampai-sampai para sahabat Nabi SAW ber-ijma' bahwa kaum Muslim tidak boleh kosong dari kekhilafahan dalam waktu tiga hari lamanya.

Dan secara fakta terbukti, tanpa sistem Islam kaum Muslim terpuruk. Baik di Indonesia maupun di negeri Muslim lainnya. Padahal, dulu kaum Muslim pernah berjaya selama lebih 13 abad memimpin hampir dua pertiga dunia dengan gemilang.

Sejarah mencatat, penerapan syariah Islam secara kaffah dalam institusi yang sesuai syariah, yakni khilafah, mampu menjadikan dunia Islam mercusuar peradaban. Ini pula yang diakui secara jujur oleh para orientalis Barat sendiri.

"Para khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan usaha keras mereka. Para khalifah itupun telah menyediakan berbagai peluang bagi siapapun yang memerlukannya dan memberikan kesejahteraan selama berabad-abad dalam keluasan wilayah yang belum pernah tercatat lagi fenomena seperti itu setelah masa mereka. Kegigihan dan kerja keras mereka menjadikan pendidikan menyebar luas sehingga berbagai ilmu, sastra, falsafah dan seni mengalami kejayaan luar biasa..." (Will Durant, The Story of Civilization).

Namun, satu hal penting dicatat, menurut M. Ismail Yusanto, kewajiban menegakkan khilafah bukan didasarkan realitas historis atau kenyataan empiris, tetapi berdasarkan kewajiban yang diperintahkan Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW sebagai jalan untuk menerapkan syariah dan mewujudkan ukhuwah.

Dalam konteks Indonesia, ide khilafah adalah jalan untuk membawa Indonesia ke arah lebih baik. Syariah akan menggantikan sekulerisme yang terbukti memurukkan negeri ini. Ide khilafah sebenarnya juga merupakan bentuk perlawanan terhadap penjajahan multidimensi yang kini nyata-nyata mencengkram negeri ini dalam berbagai aspek. Dan yang terpenting, khilafah akan mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil' alamin yang hakiki.

Bacaan: Tabloid Media Umat edisi 172
---

Selasa, 19 Januari 2021

Kafir Imperialis Musuh Utama Kaum Muslimin



Dengan demikian, musuh kaum Muslim saat ini adalah negara-negara kafir imperialis seperti AS, Inggris, Perancis, Rusia, Cina, dan sekutu-sekutu mereka…”

Buku yang berjudul Foreign Relation of the United States: 1964-1968, volume XXVI- yang membeberkan hubungan AS dengan berbagai intrik politik di kawasan Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Filipina- akhirnya ditarik kembali dari peredaran oleh Deplu AS terhitung mulai tanggal 27 juli 2001. Alasannya, belum ada izin dari Deplu AS. Padahal, buku terbitan Office of the Historian Departement of State Publication ini, dalam kata pengantarnya, sang editor menyebutkan, bahwa penerbitannya telah seizin Deplu AS. Lagipula, menurut UU kebebasan informasi AS, arsip-arsip yang bergolong rahasia dan sensitif –yang memenuhi buku tersebut- sudah lewat dari 25 tahun, sehingga diperbolehkan untuk dibuka kepada publik. Dari sini, para pengamat menilai bahwa CIA telah menekan Deplu AS agar menarik kembali buku tersebut dari peredaran. CIA khawatir isi buku tersebut akan membuka aib-aib AS di masa lalu.

Namun demikian, bagi orang yang mengamati perilaku AS, penarikan buku tersebut berkaitan dengan kekhawatiran, beredarnya buku tersebut akan merusak hubungan dan kepenttingan AS di Indonesia pada era pemerintahan Megawati.

Yang menarik dari buku tersebut adalah keterlibatan AS dalam mengganyang kekuatan komunis pada masa rezim Soeharto; upaya AS menggusur kekuasaan Soekarno; dan dukungan AS terhadap munculnya Soeharto. Keterlibatan AS dalam penggulingan kekuasaan Soekarno, yang diikuti dengan naiknya Soeharto ke tampuk kekuasaan, diakui sendiri oleh pemerintah AS. Dalam sebuah dokumen yang diedarkan untuk para wartawan, pemerintah AS mengaku hanya memberikan ‘bantuan kecil’ kepada para jenderal di Indonesia dalam peristiwa pembantaian pengikut komunis tahun 1965-1966. Bantuan itu berupa pembayaran secara rahasia sebesar Rp50 juta, yang diberikan sebulan setelah upaya kudeta tanggal 30 september 1965 dan langsung ditandatangani oleh Dubes AS waktu itu, Marshall Green, kepada Menlu Adam Malik. Akan tetapi, buku tersebut mengungkap lebih jauh dan lebih banyak lagi peranan AS dalam mendorong perubahan politik di Indonesia saat itu.

Untuk mencapai tujuannya, AS tidak segan-segan menggunakan segala cara, termasuk operasi rahasia. Di dalam operasi rahasia ini tercakup propaganda hitam untuk menjatuhkan seseorang atau pihak yang dianggap menghalang-halangi kepentingan AS, perang urat syaraf, pembentukan milisi-milisi, upaya mengirim persenjataan dan alat komunikasi, merusak perekonomian dengan mencetak dan menyebarkan uang palsu, memanipulasi informasi dan data, memalsukan dokumen, pesekongkolan, pembunuhan, dll. Itulah yang dilakukan CIA di berbagai negara, dengan skala yang berbeda-beda; termasuk memorandum CIA yang disampaikan kepada Menlu S. Rusk (tgl 18 Sept 1964), yang mengusulkan digelarnya operasi rahasia untuk menggulung kekuatan komunis di Indonesia.

Suhu perang dingin pada tahun 60-an antara kekuatan Barat yang kapitalis serta Uni Sovyet dan Cina yang komunis menghangat. Soekarno yang didukung oleh kekuatan komunis, serta persahabatannya yang erat dengan Uni Sovyet dan Cina, menjadi simbol hegemoni komunis di Indonesia. Dengan semangat dan propagandanya yang anti AS, Soekarno dan partai komunis dijadikan alasan oleh AS untuk melibatkan diri dalam pertarungan tingkat tinggi.
AS yang saat itu tengah gencar-gencarnya menggempur kekuatan Vietcong di daratan Vietnam dan Kamboja, meski akhirnya gagal, tidak menginginkan poros Jakarta-Hanoi-Beijing terwujud. Jika itu terjadi, dominasi Barat yang kapitalis dari kawasan Asia Tenggara dan Timur Jauh yang kaya akan runtuh.

Oleh karena itu, Inggris, yang menjadi sekutu AS -meskipun berbeda kepentingan dalam perkara ini- mendorong Malaysia yang berada di bawah pengaruhnya untuk menghadang gerak maju Soekarno. Meletuslah konfrontasi antara Malaysia dan Indonesia, yang sebenarnya menggambarkan pertarungan negara-negara besar, yakni blok kapitalis dengan blok komunis.

Kaum muslim dan TNI telah juga dimanfaatkan AS untuk menghantam dan menghancurkan komunis. Jadilah komunis bahaya laten bagi kaum muslim di negeri ini. Sayangnya, hal ini tidak diikuti pula dengan “membahayalatenkan” ideologi kapitalis. Sejak naiknya Soeharto ke puncak keuasaan, AS berhasil memenangkan pertarungan politiknya dengan komunis di Indonesia. Hingga kini, AS leluasa memainkan bidak-bidak caturnya di negeri ini; semata-mata untuk menjaga eksistensi serta kepentingan negara dan bangsa mereka sendiri, tanpa mempedulikan keadaan bangsa-bangsa jajahan.

Buku tersebut mengingatkan kepada kita, kaum Muslim, betapa AS berada di belakang berbagai krisis politik yang melanda negeri-negeri Islam, bahkan yang melanda belahan dunia lainnya. Posisinya sebagai negara adidaya amat memungkinkan untuk mengontrol peta politik, ekonomi, sosial, dan militer di seluruh dunia.

AS telah menggunakan segala cara dan sarana yang ada -termasuk lewat lembaga-lembaga keuangan internasional, PBB, dewan keamanan, dan industri yang bernaung di bawah PBB- untuk menguasai dan mengeksploitasi kaum muslim dan negeri-negeri Islam.
AS menyadari bahwa setelah ideologi dan kekuatan komunisme runtuh, Islamlah yang menjadi halangan utama mereka. AS juga sangat khwatir dengan munculnya politik Islam ideologis, apalagi jika kaum Muslim menginginkan dibangunnya kembali negara Khilafah Islamiah yang mencakup seluruh negeri-negeri Muslim; yang akan menerapkan seluruh peraturan Allah SWT dan Rasul-Nya; yang akan membebaskan negeri-negeri Muslim dari hegemoni AS dan sekutunya; dan yang akan berhasil berhadapan secara militer, ekonomi, dan politik dg kekuatan AS. Oleh karena itu, sasaran utama politik luar negeri kaum kafir imperialis saat ini dan masa datang adalah Islam dan kaum Muslim. Allah SWT berfirman,

“Sesungguhnya orang-orang kafir itu menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah. Mereka akan menafkahkan harta itu, yang kemudian menjadi sesalan bagi mereka, dan mereka akan dikalahkan.” (TQS. Al-Anfal 8: 36)

Dengan demikian, musuh kaum Muslim saat ini adalah negara-negara kafir imperialis seperti AS, Inggris, Perancis, Rusia, China, dan sekutu-sekutu mereka. Kaum musim harus menjadikan mereka musuh, bukan sahabat; apalagi teman untuk meminta pertolongan dan bantuan dalam upaya menangani berbagai krisis yang melanda negeri-negeri Islam, sesungguhnya aneka krisis di negeri-negeri Muslim adalah karena konspirasi para imperialis itu.

Kaum Muslim harus mewaspadai seluruh muslihat dan mulut manis mereka dan antek-anteknya yang mengaku Muslim. Pasalnya, sejarah dan kenyataan saat ini membuktikan, bahwa merekalah hakikatnya yang berada di balik seluruh krisis yang sengaja diciptakan di negeri-negeri Islam.
Apakah kita lupa terhadap sejarah dan kenyataan yang ada di depan mata kita? Allah SWT berfirman:
“Oleh karena itu, perhatikanlah bagaimana akibat makar mereka itu.” (TQS. an-Naml: 51)

“Sesungguhnya Kami menolong rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari berdirinya saksi-saksi (hari kiamat).” (TQS. Al-Mu’min: 51)

Bacaan: Jurnal Politik Dan Dakwah al-Wa’ie edisi 13

Senin, 18 Januari 2021

Islam Harapan, Bukan Ancaman


Islam adalah agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk negeri ini. Keberadaannya di Indonesia jauh lebih lama dibandingkan adanya negara ini. Berkat para ulama dan pejuang Islamlah, negeri ini bisa dibebaskan dari penjajah asing. Bahkan cikal bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah laskar-laskar pejuang Islam. Kiprah kaum Muslim sangat besar dalam memerdekakan dan menjaga negeri ini.

Sayangnya, kini Islam sering dituding sebagai ancaman negeri ini. Lebih aneh lagi, yang menuding itu mengaku juga beragama Islam. Jika yang menuduh itu adalah orang kafir, mungkin itu masih wajar. Bagaimana mungkin mereka menuding agama yang dianutnya sendiri?

M. Ismail Yusanto menegaskan, sesungguhnya Islam adalah potensi besar bagi bangsa ini, dan juga bangsa lain. ”Lihatlah, berkat Islam lahir para pahlawan yang dengan semangat jihad berani berjuang melawan penjajah Belanda. Tanpa semangat jihad, mungkin kita masih terus dijajah, karena mana ada yang berani berhadapan dengan Belanda?” jelasnya.

Oleh karena itu, menurutnya, Islam harus dianggap sebagai modal dasar yang penting, bahkan paling penting, dalam membangun bangsa ini. "Tidak boleh dianggap sebagai ancaman,” tandasnya.

Ia menjelaskan, Islam adalah agama yang diturunkan oleh Yang Maha Baik dan Maha Benar yakni Allah SWT. Dalam praktiknya selama lebih dari 13 abad, Islam mampu mengayomi dan menyejahterakan rakyatnya, baik itu Muslim maupun non-Muslim. Bahkan para orientalis Barat sendiri mengakui bagaimana keberhasilan Islam membangun peradaban manusia dengan berbagai kemajuan yang hasilnya bisa dinikmati hingga sekarang.

”Para Khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan usaha keras mereka. Para Khalifah itu pun telah menyediakan berbagai peluang bagi siapapun yang memerlukannya dan memberikan kesejahteraan selama berabad-abad dalam keluasan wilayah yang belum pernah tercatat lagi fenomena seperti itu setelah masa mereka. Kegigihan dan kerja keras mereka menjadikan pendidikan menyebar luas sehingga berbagai ilmu, sastra, falsafah dan seni mengalami kejayaan luar biasa… (Will Durant, The Story of Civilization).

Berkat Islam pula, bangsa Arab yang sebelumnya tidak diperhitungkan sama sekali dalam kancah politik internasional saat itu berubah menjadi bangsa besar dan titik sentral peradaban dunia. Dengan karakter Islam yang sesuai dengan fitrah manusia, Islam menyebar ke berbagai kawasan di seluruh penjuru dunia dengan sangat cepat.

Bisa dibayangkan, andai saja tidak ada Islam, bagaimana kondisi manusia sekarang? Saat Islam sampai di Andalusia, Spanyol, Barat dalam masa kegelapan. Peradabannya terbelakang. Mereka hidup liar. Agama mereka, Nasrani, tak mampu mengarahkan peradaban mereka.

Pengaruh peradaban Islam kemudian mengubah mereka. Mereka mulai belajar ke negeri-negeri Islam. Anak-anak raja dikirim untuk belajar ke wilayah khilafah. Mereka pun belajar peradaban Islam dan kemudian mempraktikkannya.

Itu sebabnya, WE Hocking berkomentar, ”Oleh karena itu, saya merasa benar dalam penegasan saya, bahwa Qur’an mengandung banyak prinsip yang dibutuhkan untuk pertumbuhannya sendiri. Sesunguhnya dapat dikatakan, bahwa hingga pertengahan abad ketiga belas, Islam lah pembawa segala apa yang tumbuh yang dapat dibanggakan oleh dunia Barat.” (The Spirit of World Politics, 1932, hlm.461)

Ismail mempertanyakan, apakah kebaikan Islam ini perlu ditakuti? Siapa yang tidak mau negeri yang mayoritas Muslim ini akan memiliki peradaban tinggi? Siapa yang tidak ingin negeri ini rakyatnya sejahtera dan mendapat ridha Allah SWT? Siapa yang tidak suka negeri ini menjadi barometer peradaban dunia? Siapa yang tidak suka negeri ini bebas dari tindak kriminal dan pergaulan yang rusak? Siapa yang mau negeri ini bebas dari penjajahan dan intervensi asing?

”Tentu saja Islam adalah ancaman buat para perampok kekayaan alam negara ini, koruptor, para komprador negara kapitalis dan imperialis, juga menjadi ancaman bagi mereka yang suka melakukan kemaksiatan dan sebagainya. Karena semua itu bakal dihapus oleh Islam," tegasnya.

Kerugian

Ia menjelaskan, rugi besar baqi bangsa ini jika menjadikan Islam sebagai ancaman. Sebab, Islam adalah agama mayoritas rakyat. ”ltu seperti menjadikan diri kita sendiri sebagai ancaman,” kata Ismail.

Rezim yang menjadikan rakyatnya sebagai musuh maka akan gagal membawa perubahaan. Bagaimana mungkin memperbaiki kondisi negara sementara mereka tidak mendapatkan dukungan dari rakyatnya? Menjadikan Islam sebagai ancaman, berarti rezim itu tidak berkiblat kepada Islam. Kalau tidak berkiblat kepada Islam, dapat dipastikan berkiblat kepada kekufuran. Itulah yang kini sedang menguasai dunia dalam wujud nyata. Maka jangan bermimpi menjadi negara yang besar jika masih menjadikan negara lain [baca: Barat] sebagai kiblat. Negeri ini akan tetap menjadi jajahan negara-negara kafir.

Lebih dari itu, menjadikan Islam sebagai ancaman, berarti menentang kewajiban Allah SWT untuk menerapkan Islam secara kaffah di muka bumi ini. Dapat dipastikan, keberkahan tidak akan turun dari langit dan bumi. Karena keberkahan Allah terhadap penduduk sebuah negeri sangat ditentukan oleh keimanan dan ketaatannya terhadap seluruh aturan Allah.

Musuh Nyata

Beliau menegaskan, musuh sejati bangsa ini ada dua. Yang pertama adalah neoliberalisme dan neoimperialisme. Kedua adalah siapa saja yang mendukung neoliberalisme dan neoimperialisme itu sendiri.

Musuh ini, menurutnya, nyata dan sedang berkuasa di negeri ini. Para pendukung neoliberalisme dan neoimperialisme sedang mempraktikkan sistem kapitalisme liberal di segala bidang kehidupan.

Walhasil, puluhan juta rakyat miskin, tingginya angka pengangguran, meluasnya kemaksiatan, perampokan atas nama privatisasi BUMN, investasi, dan pasar bebas, termasuk maraknya korupsi dan manipulasi. Negara disetir oleh asing melalui intervensi terhadap penyusunan undang-undang. Agama disingkirkan atas nama sekulerisme. []emje

Syariah Dan Khilafah Wujudkan Islam Rahmatan lil Alamin

Allah SWT mengutus Rasulullah Muhammad SAW membawa risalah Islam. Risalah itu dimaksudkan tidak lain kecuali membawa rahmat bagi seluruh alam. Itulah Islam rahmatan lil alamin (lihat: QS al-Anbiya' [21:] 107).

Kerahmatan Islam bagi seluruh alam semesta ini hanya akan tampak manakala seluruh syariahnya diterapkan secara sempurna. Dan itu tidak mungkin diterapkan oleh sistem kufur demokrasi, federasi kerajaan, kekaisaran atau lainnya. Aturan Islam yang mulia ini pun hanya bisa diterapkan oleh sistem yang sesuai yakni khilafah -sistem yang diwajibkan Islam.

Dan begitulah dulu Rasulullah mencontohkan Rasulullah membangun Daulah Islam yang pertama di Madinah, sebuah miniatur pemerintahan yang khas, yang tidak ada sebelumnya, dengan menerapkan seluruh aturan Islam bagi warga negaranya -Muslim maupun non-Muslim. Penerapan Islam secara kaffah ini kemudian diikuti oleh para khalifah berikutnya secara terus menerus hingga akhirnya -pada saat pejabat dan kaum muslimin telah teracuni paham-paham kufur- sistem khilafah diruntuhkan tahun 1924 oleh Mustafa Kemal Attaturk –Yahudi terlaknat, antek sekutu Barat.

Islam yang dulunya menjadi mercusuar peradaban dunia akhirnya tenggelam. Negeri-negeri Muslim yang dulunya bersatu dan kuat serta ditakuti, terpecah-belah tak berdaya serta menjadi jajahan kaum kafir Barat yang rakus. Walhasil, penerapan syariah kaffah daiam naungan khilafah akan mengembalikan kemuliaan umat. Tentu bukan khilafah ala ISIS, tapi Khilafah ala Minhaj an-Nubuwwah. Di sanalah Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin akan terwujud nyata.

Bacaan: Tabloid Media Umat edisi 170
---

Download BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam