Unduh BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Minggu, 27 Januari 2008

pembelajaran adaptasi lingkungan kerja

Ch.2 Perception and Learning: Understanding and Adapting to the Work Environment
persepsi pembelajaran

Definisi Persepsi Sosial
Persepsi sosial adalah proses mengkombinasi, mengintregasi, dan menginterpretasikan informasi mengenai orang lain untuk mendapatkan pemahaman yang akurat mengenai mereka.

Mengapa kita harus memahami persepsi sosial? Alasannya adalah karena setiap orang akan berhadapan dengan orang lain dengan kondisi yang berbeda-beda, sehingga mereka harus bisa memperlakukan seseorang sesuai dengan keadaannya, salah satunya dengan proses atribusi ( proses yang dilalui seseorang dalam usahanya untuk menentukan sebab di balik perilaku orang lain).

Social Identity Theory: Who Are You?
Social Identity Theory adalah kesadaran konseptualisasi bahwa cara kita melihat orang lain dan diri kita sendiri adalah berdasarkan pada karakter kita yang unik dan keanggotaan kita di dalam berbagai kelompok.

Jadi, di dalam sebuah kelompok, kita biasanya mengidentifikasikan diri kita sendiri sebagai pribadi yang berbeda dari yang lain untuk menunjukkan eksistensi diri kita dalam kelompok tersebut. Misalnya, sebut saja saja namanya Grandong. Dia mengikuti les bahasa Rusia. Teman-teman lesnya yang lain berasal dari jurusan sastra di mana mereka memang diharuskan untuk menguasai bahasa tersebut. Sementara Grandong satu-satunya yang berasal dari jurusan manajemen. Dia belajar bahasa Rusia untuk menambah penguasaan atas bahasa asing. Tentunya, di kelas tersebut Grandong menjadi salah satu orang yang dikenal karena identitasnya dan motivasi belajar yang berbeda dari yang lain.

The Attribution Process: Judging The Causes of Others’ Behaviour
Correspondent inferences adalah penilaian tentang disposisi orang, sikap, dan karakteristik, yang berkoresponden dengan observasi yang telah kita lakukan terhadap aksi atau tindakan mereka. Contohnya, Kamboja bekerja di perusahaan Kumbang. Selama Kamboja bekerja, Pak Kumbang selalu memperhatikan kinerjanya. Dari kinerja tersebut, Pak Kumbang memperoleh kesimpulan bahwa Kamboja memiliki perilaku yang sesuai dengan visi yang dituju perusahaan sehingga pada saat perusahaan harus melakukan downsizing, Pak Kumbang tetap mempertahankan Kamboja sebagai karyawan.

Causal Attribution of Responsibility: Answering the Question “Why?”
Ada dua alasan yang menjelaskan penyebab perilaku seseorang di dalam sebuah organisasi, yaitu:
  1. Internal Causes of Behaviour
Penjelasan berdasarkan tindakan di mana individu bertanggung jawab.
  1. External Causes of Behaviour
Penjelasan berdasarkan situasi di mana individu tidak memiliki kontrol.
Teori Kelley mengenai Causal Attribution adalah pendekatan yang menyarankan bahwa orang akan percaya jika tindakan orang lain disebabkan oleh factor internal dan eksternal yang dipengaruhi oleh tiga tipe informasi, yaitu:
  1. Consensus, kejadian di mana orang lain berperilaku sama dengan orang yang sedang dinilai.
  2. Consistency, kejadian di mana orang yang sedang kita nilai berperilaku sama di waktu yang lain.
  3. Distinctiveness, kejadian di mana orang berperilaku dengan manner yang sama di dalam konteks yang lain.

Stereotype
Kepercayaan bahwa semua anggota di dalam suatu grup memiliki perilaku yang sama. Stereotype ini berguna untuk menilai kinerja suatu perusahaan yang tercermin dari individu yang bekerja di perusahaan. Namun, stereotype ini berbahaya apabila selalu diterapkan dalam penilaian terhadap perusahaan. Karena bagaimanapun juga, tiap individu memiliki karakteristik yang berbeda sehingga tidak bisa dianalogikan kepada individu yang lain maupun lingkungan sekitarnya. Dampaknya adalah apabila seorang karyawan berlaku kurang pantas di luar perusahaan, maka pada akhirnya orang lain akan beranggapan jika semua karyawan di perusahaan itu memiliki sikap yang sama.

Perceptual Biases: Systematic Errors in Perceiving Others
Perceptual Biases adalah predisposisi bahwa orang salah menilai orang lain dalam cara yang berbeda. Jenisnya ada lima, yaitu:
  1. The fundal attribution error, kecenderungan untuk mengatribusi tindakan orang lain dengan faktor internal ketika faktor eksternal bisa saja mempengaruhi tindakan orang tersebut.
  2. The halo effect, kecenderungan impresi keseluruhan kita terhadap orang lain untuk mempengaruhi evaluasi objektif tentang sikap mereka.
  3. The similar-to-me effect, kecenderungan kita untuk menilai orang lain adalah sama dengan kita dalam cara yang berbeda-beda.
  4. The first-impression error, kecenderungan kita untuk menilai orang lain berdasarkan impresi awal kita terhadap orang itu.

Self-fulfilling Prophecy
Self-fulfilling prophecy adalah kecenderungan kita untuk berperilaku terhadap orang lain secara konstan berdasarkan ekspektasi awal kita terhadap orang itu.

Perceiving Others: Organizational Applications
Setelah kita mengetahui definisi persepsi sosial, kini saatnya menerapkannya dalam organisasi. Penerapan dalam organisasi terdiri atas tiga aktivitas, yaitu:
  1. Employee performance appraisal, proses mengevaluasi karyawan dalam berbagai dimensi yang berkaitan dengan pekerjaan. Biasanya, tujuan dari performance appraisal adalah untuk menentukan kenaikan, promosi, dan training pegawai yang dibutuhkan.
  2. Impression management in the employment interview, usaha yang dilakukan individual untuk meningkatkan penilaian orang lain terhadap mereka. Hal ini biasanya dapat terlihat di dalam proses interview.
  3. Corporate image, gambaran sebuah organisasi di dalam pikiran individu.

Learning
Learning adalah perubahan yang sifatnya relatir permanen sebagai hasil dari pengalam yang telah didapat. Di dalam organisasi, ada 2 jenis pembelajaran, yaitu operant conditioning dan observational learning.

Operant Conditioning adalah bentuk pembelajaran di mana orang mengaitkan konsekuensi dari tindakan mereka dengan tindakan mereka sendiri. Jenis pembelajaran ini menggunakan sistem reward dan punishment sebagai alat pembelajarannya. Seperti yang kita tahu, hal yang baik akan mendapatkan reward dan hal yang buruk akan mengakibatkan punishment. Pembelajaran jenis inilah yang melahirkan hukum yang berlaku di sebuah organisasi.

Observational Learning adalah bentuk pembelajaran di mana orang membutuhkan perilaku baru dengan mengobservasi reward dan punishment yang diberikan kepada orang lain. Pembelajaran jenis ini biasanya mengimitasi dari pengalaman orang lain. Di dalam sebuah organisasi, seseorang yang dijadikan panutan dalam jenis pembelajaran ini biasanya adalah pemimpinnya sebagai contoh bawahannya.

Menerapkan Sistem Pembelajaran di Perusahaan
Penerapan pembelajaran di perusahaan dilakukan dengan dua cara, yaitu:
  1. Training, proses mendidik karyawan untuk mendapatkan dan meningkatkan keterampilan kerja dan pengetahuan.
  2. Innovative reward system, biasanya perusahaan biasanya memberikan reward atas kinerja karyawan melalui kenaikan gaji, promosi jabatan dll. Hal ini dilakukan agar kinerja karyawan semakin meningkat sehingga memberikan dampak yang baik bagi perusahaan.

Organizational Behaviour Management
Perusahaan memberikan reward kepada karyawan dengan tujuan agar di masa mendatang karyawan memberikan kinerja yang baik bagi perusahaan sehingga dapat menguntungkan perusahaan.

Knowledge Management
Proses mengumpulkan, mengorganisasikan, dan bertukar informasi mengenai perusahaahn dan pengetahuan mengenai segala hal yang berkaitan dengan perusahaan.

Sabtu, 26 Januari 2008

Manfaat TIDUR CUKUP bagi IQ

Daniel Dement, sleep researcher and founder of the Stanford University Sleep Research Center and author of the national best seller, "The Promise of Sleep," shows how sleep debt lowers IQ, has long-term health risks and is responsible for 33 percent of traffic-fatigue-related accidents.

The secret to creativity: slow down
By Christopher Richards

When I asked Chowdhury about the difficulty of getting people to slow down enough to nap at work, he said it was a matter of culture. Employees at Procter & Gamble Services in Germany are enthusiastically embracing power napping. The company is pleased with improvements in employee energy and well-being. Miami airport installed EnergyPods so harried travelers can recharge and renew. And mini-hotel rooms are now catching on in major airports around the world, so the previously rushed can be the newly relaxed.

Rasulullah SAW menganjurkan tidur siang

Hospitals and airlines are now leading the way by introducing mandatory napping programs. Clearly some businesses understand the value of coping with speed and benefits of a well-rested workforce.

We're conditioned to go fast. In school, children are taught to come up with the right answer fast. There's little time for discovery and developing a more leisurely and creative approach. Children are expected to know "how" but not necessarily "why." The rush is on to get through the material. I have a friend who teaches MBA courses at a prestigious university. He laments the students' desire only for tools. They have no time to be curious: to play with ideas and to find out why.

According to an article in a recent Economist ("The race is not always to the richest," December 8 – 14, 2007), educational performance of U.S. children is poor by world standards. Our reading performance doesn't even make it into the top 12 OECD countries. And only Mexico is behind us on math performance. Finland is number one in science education. What's the Finnish secret? The schools hire well qualified teachers -- and here is the counter-intuitive part -- they slow down and spend plenty of time with the students.

Sir Ken Robinson, author, creativity expert and educational guru, says that our education system is still a nineteenth century model. Then, the workforce wasn't expected to be smart. It was expected to be efficient and obey. And the only options were to "do more, faster." In the early twentieth century, workers were subjected to time and motion studies. Every movement was timed. Soon this sort of dehumanizing work was taken over by technology. But our education system is still playing catch up.

Guy Claxton, author of "Hare Brain Tortoise Mind: How Intelligence Increases When You Think Less," coined the term Undermind for this intuitive way of slow knowing. He contrasts this with what he calls D-mode -- deliberate-mode. Remember that sort of thinking you were praised for in school? Of course, D-mode is necessary, but not here, and not yet.

Yogi Berra once opined that you can observe a lot by just watching. Nobel laureate, Szent-Gyorgyi said that discovery consists of seeing what everyone else has seen and thinking what no one has thought. Slowing down gives us the opportunity to see more clearly what we otherwise miss.

Einstein spent a lot of time staring out of the window from his Princeton office. He dreamed of riding on a moonbeam.

The future is uncertain. Our world is dynamic, and it is our thinking that will make or break us. Taking the time to slow down can help us be more creative, see opportunities, avoid mistakes and be more productive.

WASHINGTON, Jan. 24 /PRNewswire-USNewswire/ -- Results from a national poll were released today by Lake Research Partners, identifying a new strand of swing voters poised to support candidates and policy that ensure building capacities of the imagination in schools.

The new national survey of 1,000 likely voters, with a 3.1% margin of error, identifies that 30% of voters are not only dissatisfied with public education's narrow focus on the "so-called" basics, but that they also believe developing the imagination is a critical, but missing, ingredient to student success in 21st century schools and moving students beyond average.

"These are surprising results that indicate a strong set of shared public values are not being detected by public leaders," said Celinda Lake, president of Lake Research Partners. "A significant number of voters believe that today's educational approaches are blocking potential for innovation, and they are hungry for imagination in education. This group, which we call the 'imagine nation' is going to take action accordingly -- both in local schools and at the voting booth."

Jumat, 25 Januari 2008

faktor-faktor lokasi pabrik

INNOVATIVE MANUFACTURING

Joint Economic Congress (US) Survey (1982)

Office of Technology Assessment (US) Survey (1984)

Christy and Ironside’s Alberta Survey

(1987)

Bathelt and Hecht’s Ontario Survey

(1990)

Rank

Factor

Rank

Factor

Rank

Factor

Rank

Factor

1


2

3

4

5

6

7

8


9

10

11

12

Labor Skills/ availability

Labour costs

Tax Climate

Academic Institutions

Cost of living

Transportation

Access to markets

Regional regulatory pratices

Energy cost/availability

Cultural amenities

Climate

Access to raw materials

1


2


3

4


5

6

7


8

9


10


11

12


Founding entrepreneurs lived there

Close to existing operations

Labor skills/availability

State government support

Local transportation

Quality of life

High-technology business climate

Universities

Availability of suitable sites

Overall business climate

Financial incentives

Venture capital availability


1

2


3

4

5

6

7


8


9


10

11


12


13


14

15

16

17

18

19

20


21

Overall business climate

Founding entrepreneurs lived there

Access to markets

Labor Skills/ availability

Political stability

Proximity to university

Local government incentives

Proximity to international airport

Proximity to domestic airport

Proximity to university

Provincial government support programme

Availability of venture capital

Recreational opportunities

Local transportation

Access to raw materials

Energy costs/availability

Cost of living

Cultural amenities

Labour costs

Proximityy to government departments

Climate

1


2



3

4

5


6

7

8

8

8


Availability of skilled labour

Proximity to the place of education/birth/ residence of the founder

Proximity to universities

Proximity to costumers

Access to transportation networks

Land availability

Wage levels

Proximity of Suppliers

Land costs

Socio/cultural quality

Source: Christy and Ironside (1987:235,246); Bathelt and Hect (1990: 228); Joint Economic Congress (1982); Congress of the United States (1984)


Tabel diatas menampilkan jenis-jenis location factors dibawah manufaktur berteknologi. Secara umum, aktivitas berteknologi tinggi diasosiasikan dengan tingkat awal dari siklus hidup produk, yang menekankan pentingnya akses untuk keahlian scientific, engineering, dan pekerja pabrik serta external economies. Berdasarkan dua survey (Amerika dan Canada), skilled labour menempati ranking pertama sedangkan di dua survey lainnya menempati ranking tiga dan empat.


Ketika dua survey mengidentifikasi ‘labour costs’ dan ‘wage levels’ sebagai location factors, keduanya menempatkannya dibawah labour skills, dan survey-survey US Congress (1984) dan Christy and Ironside (1987) malah tidak menyebutkan mengenai labour cost. Ini juga memungkinkan bahwa faktor-faktor lain seperti ‘cultural amenities’, ‘climate’, ‘quality of life’, ‘recreational opportunities’, dan ‘socio/ cultural quality’ berperan penting dalam melaksanakan dan menjaga keprofesionalan serta keahlian (dan mobilitas) labour.


Beberapa faktor yang sama ini juga menunjukkan titik efek dari external economies of scale, sebagaimana faktor-faktor lain seperti akses-akses ke market, supplier, venture capital, airport, dan institusi akademik, termasuk universitas. Christy and Ironside (1987: 248) mencatat bahwa dampak external economies diantara fledgling dan small-scale high-tech companies dari populasi yang berada di periphery Alberta, sebagian dengan tanggapan mengenai networking diantara mereka, tidak seperti sebagaimana yang terjadi di daerah yang terdapat konsentrasi besar keberadaan perusahaan berteknologi tinggi.


Perbandingan ini didorong oleh referensi mengenai pentingnya institusi akademik. Kemudian, sebagaimana yang dilakukan oleh Joint Economic Congress Survey (1982) di US, Bathelt and Hecht’s (1990) Ontario Survey, mengidentifikasi ‘proximity of universities’ sebagai salah satu location factor yang penting (ranking ke tiga), menyediakan perusahaan berteknologi tinggi dengan keuntungan personal contact dengan ketersediaan graduate labour, penelitian, sumber-sumber inovasi, dan entrepreneurs, sebagaimana yang diharapkan oleh professional untuk meningkatkan keahliannya.


US Congress (1984), Christy and Ironside (1987) dan Bathelt and Hecht (1990) survey, semuanya menemukan bahwa tempat berdirinya residence merupakan pengaruh yang sangat signifikan pada lokasi perusahaan berteknologi tinggi. Dapat terlihat, dalam ketiga survey ini faktor ini menempati ranking yang pertama dan kedua. Ketika tampaknya penemuan ini mengejutkan, sejak birthplace sepertinya merupakan idiosyncratic location factor yang tidak berhubungan langsung pada location condition, hasil yang hampir sama telah ditemukan di banyak survey lokasi sejak tahun 1950. dalam pelaksanaannya penemuan ini menunjukkan pentingnya owner-managed, secara umum perusahaan kecil di beberapa sample yang dipilih memutuskan untuk membangun perusahaan di lingkungan rumah mereka. Kecenderungan ini cukup penting dan akan dibahas pada sub bab berikutnya, haruskah ekonom sebaik personal foundation-nya. Dalam survey, faktor ini tidak ditampilkan.





BRANCH PLANTS

Banyak survey lokasi berusaha untuk memahami location factors mengenai new secondary manufacturing plants di beberapa daerah, termasuk bagaimana branch plants-nya dikontrol oleh head-office yang berada di luar daerah tersebut.


Survey yang dilakukan di North Carolina menunjukkan jarak yang cukup luas dari hubungan faktor-faktor dengan location of branch plants. Pada waktu yang bersamaan, labour factor merupakan yang paling penting. Lebih jauh, berdasarkan product cycle model expectations, survey mengenai branch plants menekankan pada lokasi dengan labour cost yang rendah, tapi juga tingkat yang rendah dari unionizations, siap untuk undang-undang kerja, ketersediaan tenaga kerja, khususnya unskilled san semi-skilled labour, dan produktivitas tenaga kerja yang tinggi.


FACTORY CLOSURE

Siklus hidup produk, menunjukkan bahwa pada akhirnya ploduk kuno akan digantikan dengan yang lebih baru. Tentu saja, anggapan bahwa siklus hidup produk memiliki kecepatan yang semakin meningkat sepanjang waktu. Kekunoan dan matinya sebuah produk tidak sama pentingnya dengan factory closure. Produk kuno dapat diganti dengan yang baru dan perusahaan dapat memanufaktur lebih dari satu produk. Bagaimanapun juga, de-industrialisasi dari banyak kota dan daerah di US dan Eropa memiliki factory closure yang tersebar dan dalam proporsi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Sejumlah survey telah mencari alas an untuk closure., dengan referensi yang spesifik untuk perusahaan multi-plant, membedakan antara dua jenis closure, cessation closure dan selective closure.

Motivation

Cessation closure




Selection


Selective closure




Plant/firm

factors

Area factors






Cessation closure terjadi ketika perusahaan multi-plant berhenti melakukan manufaktur sebuah produk secara bersamaan, dan sebagai konsekuensinya menutup seluruh pabrik yang berspesialisasi pada produk tersebut. Selective closure terjadi ketika perusahaan multi-plant secara selektif menutup satu pabrik ketika menjaga product line yang lain. Faktor-faktor plant area dan plant level secara respective berhubungan dengan karakteristik dari plants tersebut (seperti usia bangunan dan mesin, ukuran, perbaikan Negara, produktivitas labour) dan karakteristik dari local area (seperti tingkat upah, labour relations, subsidi pemerintah). Ketika dua dikotomi ini dipraktekkan, ini akan menyediakan kerangka kerja yang berguna untuk mencari alasan plant closure yang mana yang akan dipilih.

Survey Watts (1991a) tentang penutupan pabrik di Seffield, UK, mengidentifikasi 77 pabrik yang memperkerjakan lebih dari 100 pekerja yang ditutup secara keseluruhan antara akhir 1970 dan akhir 1980. Kebanyakan branch plants ditutup oleh perusahaan multi-plant; 20% merupakan cessation closure, dan sisanya merupakan selective closure. Para manajer di 18 selective closure diinterview dalam dua tingkatan: yang pertama manajer didorong untuk mendiskusikan mengenai keputusan penutupan, dan yang kedua manajer ditanya untuk menghitung rata-rata pabrik Seffield hubungannya dengan pabrik-pabrik serupa lain yang dijaga untuk terus buka yang berbasis 27 location factors.


Closure Factors

Number of mentions

Dominant’ closure factors

Site features

Number of activities on site

Age of building / plant

Labour relations

Size of plant

Reputation

Local authority rates

Distance from head-office

Distance from market

9

8

7

7

6

2

1

1

1

Number of activities on site

Size of plant

Site features

Age of building /plant

Labour relations

Reputation

Distance from market

Total mentions

42


Source: Watts (1991a: 49, 51). The number of respondents (all multi-plant firms) is 18.


Dari tabel di atas closure factors paling sering disebut oleh responden berkaitan dengan keistimewaan tempat, jumlah aktivitas produksi pada pabrik tersebut, usia bangunan dan pabrik, hubungan dengan tenaga kerja dan ukuran pabrik. Banyak dari location factors yang paling penting didasarkan pada penekanan fixed capital (bangunan) dan tanah, faktor-faktor yang tidak tampak jelas keberadaannya dalam membuka branch plant baru.


Faktor yang paling yang paling sering disebut juga menunjukkan closure factors yang paling dominan. Meskipun tidak dapat diantisipasi, salah satu closure factors yang penting berhubungan dengan jumlah kegiatan produksi pada tempat tersebut. Dengan demikian, sejumlah perusahaan menekankan bahwa pabrik Sheffield ditutup karena melakukan hanya satu kegiatan pada tempat tersebut padahal di tempat lain dilakukan aktivitas tambahan yang lebih banyak. Closure factor penting lainnya adalah kecilnya ukuran pabrik Sheffield yang ditutup berhubungan dengan yang dibuka. Sebagai tambahan, perusahaan sampel mengeluhkan tentang batasan tempat yang terlalu kecil untuk material mnggerakkan produk baik keluar maupun masuk, hal ini menyebabkan kecilnya ekspansi ataupun modifikasi.

Category

Plant

Area

Access to markets

Access to supplies

Land

Capital



Labour

Organization

Technology


Policy environment

Personal

_

_
_

Age of machinery

Age of buildings

Size of plant

Labour productivity

_

Appropriateness of technology

Activities on site

_

_

_

Acceeibility to head-office

Space to expansion

_



Labour relations

_

_


Local taxes

_

Source: Watts (1991b: 814).


Melalui table di atas Watts dapat membedakan antara faktor plant level dan area level. Dia mengindikasikan bahwa faktor plant level lebih penting. Seperti yang diharapkan, pabrik yang lebih kecil dengan mesin dan bangunan yang lama, pekerja yang tua, teknologi yang sederhana, diasosiasikan dengan tenaga yang tidak produktif, lebih cenderung untuk melakukan penutupan. Sebagai tambahan, karakteristik plant level yang paling signifikan, adalah tingkat yang rendah dari produktivitas pekerja dan pengalaman teknis.





CONCLUSION

Hasil dari survey lokasi memang diakui tidak mudah untuk menginterpretasikannya dengan cara yang tepat, dimana desain nature of research yang tidak standar juga menimbulkan kesulitan dalam membandingkan survey. Waktu, dan kembali survey seperti yang disimpulkan oleh Watts (1987: 169), bahwa terdapat banyak


Factor yang mempengaruhi factory location dan, mungkin perlu ditambahkan banyak faktor-faktor ini subjective nature. Dengan demikian, siklus hidup produk yang memprediksi penyebaran branch plant untuk mencari labour yang murah menjadi lebih mudah, ketika didiskusikan dalam konteks investasi asing, di Negara atau daerah pedesaan dengan upah yang rendah, dengan Negara maju. Dalam konteks ini, labour costs menjadi location factor sangat penting, tapi factor lain yang tidak berubah dapat diperhitungkan.


Location condition dan location factors secara deceptive merupakan ide yang sederhana. Location condition dan khususnya location factors merupakan sesuatu yang subjektif yang sangat sulit untuk dihitung dan diinterpretasikan. Hal ini juga dibedakan berdasarkan skala geografis. Pulp mills di Scandinavia atau utara British Columbia yang bekerja berdasarkan sumber kayu juga membutuhkan akses ke pasar. Lindberg (1953) berpendapat bahwa akses ke pasar merupakan factor yang paling penting untuk pulp mills.


Dia mencapai pada kesimpulan bahwa dengan berfokus pada daerah Swedia dan mencatat bahwa daerah tersebut tidak terletak pada daerah pusar sumber kayu, tapi terkadang tertarik ke daerah peripheral yang menyediakan akses transportasi yang baik ke pasar asing. Secara keseluruhan, sebuah perusahaan akan lebih memilih Meksiko daripada Cina karena akses ke pasar US nya lebih baik; sedangkan bagi Amerika Utara, Meksiko lebih dipilih karena upahnya yang lebih rendah. Daerah manapun yang dipilih, infrastruktur dasar harus tersedia. Dalam beberapa kasus, beberapa factors dipengaruhi oleh location choice.



SUMBER:

Hayter, Roger.2000. The Dynamics of Industrial Location


Kamis, 24 Januari 2008

menentukan lokasi pabrik

Control functions

Hayter, Roger.2000. The Dynamics of Industrial Location

Untuk perusahaan single-plant, produksi dan hubungan head-office dan aktivitas R&D dikombinasikan dalam satu lokasi, dan keputusan lokasi secara khusus prerogatif dari pemilik individu-manajer. Di lain hal, untuk yang lebih luas, multi-plants firms, head-office dan aktivits R&D, secara khusus dibedakan secara geografis dari kegiatan produksi, dan lokasi dipilih secara khusus oleh manajer professional yang boleh atau tidak boleh bekerja di lokasi yang sama. Pembedaan head-office dan aktivitas R&D secara geografis juga memperbolehkan perusahaan untuk menempatkan fungsi yang dispesialisasikan sesuai dengan faktor lokasi yang lebih spesifik.


Head-office location factors. Head-office perusahaan adalah besar sekali ditempatkan di pusat metropolitan besar dan khusus di inti kota atau pusat bisnis distrik (Tornqvist 1968). Kunci daya tarik lokasi untuk pemusatan geografikal dari head-office adalah untuk memfasilitasi hubungan orang per orang dalam pertukaran informasi. Jika yang mendasari fungsi head-office adalah untuk mengontrol operasi dan menyusun strategi jangka panjang, kegiatan mereka fokus pada pengumpulan, interpretasi, dan penyebaran informasi, dan hubungan negosiasi dan dan aktivitas tawar menawar, pada dasar hubungan personal.


Trend penilaian technostructures dalam lingkungan bisnis, merencanakan strategi terhadap masa depan yang tidak pasti dan membuat penawaran (‘deals’). Fungsi khusus ini perlu komunikasi face to face dengan perwakilan organisasi yang lain dan kontak personal difasilitasi oleh geografis dekatnya. Hutton dan Ley (1987) menginvestigasi aktivitas head-office di Vancouver, sebuah kota metropolitan dengan populasi 2juta dan pusat kontrol untuk sumber daya daerah pedalaman British


Columbia dan suatu pintu gerbang kemajuan penting ke Pacific Rim. Mereka mencatat bahwa kenggulan secara prinsipal dari lokasi kota adalah untuk memfasilitasi kontak personal dengan hubungan bisnis, memasukkan perwakilan dari beberapa produsen jasa (Tabel 4.4). Sebuah lokasi di kota Vancouver diberikan keunggulan lain dari suatu ketidakjelasan alam yang luas speperti ‘ availability and quality of office space’, ‘prestige’ dari alamat kota, berbagai ‘amenities’ (fasilitas/kesenangan) yang dapat diakses dengan mudah , dan ‘labour’, khususnya kemampuan mencari pekerja dengan mudah dengan skill/keterampilan yang dibutuhkan.


Di survey, hanya satu faktor lokasi dimasukkan biaya dan ini merupakan biaya sewa dari lokasi kota. Lebih dari seperempat responden juga menyebutkan kemampuan untuk berhubungan dengan operasi perusahaan yang lain’ sebagai suatu keunggulan lokasional yang penting. Sedangkan factor lokasi yang lain mempengaruhi lokasi head-office, kedekatan dengan produsen jasa dan head-office lain dan hubungan jasa menonjol dengan jelas.


Keunggulan lokasional dilaporkan oleh Hutton dan ley (1987; Ley and hutton 1987) adalah fakta yang konsisten dengan studi yang sama di wilayah metropolitan yang lain, termasuk London dan New York. Satu faktor disebutkan dalam studi lain, ini mungkin dicatat, yaitu untuk airport internasional untuk memfasilitasi hubungan personal di mana pun.

Table 4.4 Head-Office in Vancouver, British Columbia: Advantages of Existing Location

Location factor Response (%)

Business contacts 71

Labour force 33

Availability/quality of space 67

Amenities 38

Prestige 40

Contanct with other operation of firm 28

Rental costs 35

Other costs 3

Other 10

R&D location factors


Dengan memandang ke lokasi R&D, suatu diskusi inovatif disediakan dengan survey Malecki dan Bradbury tantang penilaian lokasional dan pilihan/preferensi manajer dalam 13 operasi R&D dari perusahaan manufaktur besar (table 4.5). Model survey lokasi ini penting dicatat secara khusus karena ini focus pada satu dengan jelas mendefinisikan tipe aktivitas (large R&D laboratories of large US manufacturing corporations), dengan membedakan antara tingkatan manajemen dari pekerja dan pembedaaan antara penilaian lokasi dari keberadaan lokasi, diciptakan beberapa tahun yang lalu dari pilihan lokasi ‘ideal’. Survey ini juga mengidentifikasi secara relative suatu daftar rinci dari 25 faktor lokasi.


Dalam istilah umum, survey Malecki dan Bradbury menegaskan asersi dari product cycle model. Kemudian lokasi ideal manajemen R&D, ‘tersedianya profesional’ tingkat ketigafaktor kesjasama tingkat pertama – kualitas lingkungan dan kualitas pendidikan public – mungkin pemikiran factor-faktor yang dibutuhkan untuk menarik pekerja, satu poin yang diusulkan lebih dahulutingkatan pekerja R&D untuk suatu lokasi yang ideal (khususnya dengan melihat pada kualitas lingkungan).


Sama halnya, ‘biaya perumahan’ merupakan suatu fraktor lokasi yang penting dalam lokasi ideal manajemen dan factor paling penting dalam lokasi ideal pekerja. Bagaimanapun, ketidaksesuaian muncul dalam tingkatan ideal dari ‘oportunitas hiburan’, ‘iklim’ dan untuk beberpa derajat ‘kesenangan kultural’ yang mungkin telah diekspektasi utnuk hubungan yang tertutup terhadap prioritas yang diambil pada kualitas lingkungan. Dalam kenyataanya, tingkatan pekerja factor ini tinggi tapi dengan tidak diduga-duga, lebih banyak daripada manajemen. Manajemen mempunyai suatu persepsi yang actual dari apa yang mereka percayai penilaian pekerja dari tiga factor tersebut.


Demikian halnya, manajemen R&D dan pekerja membagi pandangan bahwa suatu lokasi ‘komunitas perilaku bisnis’, ‘potensial pertumbuhan ekonomi’ dan ‘dekatnya dengan univeritas’ yang ideal adalah penting. Sebagai tambahan, tingkatan manajemen ‘akses ke pasar’ dan ‘dekatnya dengan airport yang besar’ secara relative tinggi sebagai factor lokasi yang diinginkan. Survey Malecki dan Bradbury (1992) juga mengacu pada sejumlah factor yang tidak sering disebutkan, seperti ‘kemacetan lalu lintas’, ‘oportunitas pengusaha’ dan ‘alternative pekerja untuk menikah’ tidak terlalu dirangking.


Satu factor, bagaimanapun, yaitu ‘aksesibilitas ke markas besar’ relative penting dan menggambarkan kebutuhan akan komunikasi personal antara perusahaan dengan manajemen R&D. dalam konteks ini, suatu lokasi suburban untuk operasi R&D dapat menyeimbangkan kebutuhan untuk scientist dan engineers ‘ untuk pergi sendiri’ untuk emmusatkan proyek jangka panjang bahkan mengijinkan kontak personal secara teratur dengan kota head-office, perpustakaan, universitas, dan airport.


Survey Malecki dan Bradbury (1992) menyatakan bahwa lokasi laboratorium R&D dipengaruhi oelh range yang luas dari factor-faktor tersebut, untuk bagian yang paling penting, sulit untuk biaya yang tept untuk perusahaan individu. Satu factor tidak disebutkan dalam survey ini adalah insentif pemerintah mungkin karena mereka tidak memasukkan dalam pendirian keberadaan laboratorium.


Perbedaan yang ada antara tingkatan factor untuk keberadaan dan lokasi yang ideal mendorong bahwa relokasi adalah suatu kemungkinan dan dukungan pemerintah dari satu jenis atau yang lainnya tersedianya high-tech activities (table 4.6). Menurut survey US Congress (1984) dan Christy and Ironside (1987) beberapa insentif adalah factor lokasi penting untuk aktivitas high-tech dan tidak ada alasan untuk percaya operasi R&D akan tidak dapat dipilih.


Table 4.5 Rating of Location Factors by Management and Employees: Research and Development Facilities of Large US Corporation

Management ranking Employee ranking

Present Ideal Employee Present Ideal

Location factor location location assessement location location

Recreational ooportunities 1 13 4 1 3

Proximity to major airport 2 5 7 2 14

Community business atti- 3 3 16 11 6

tudes

Restaurants and shopping 4 17 11 7 13

Environmental quality 5 1 1 5 2

Overall business climate 6 8 14 - -

Accessibility to headquar- 7 10 24 - -

ters

Economic growth potensial 7 10 12 8 11

Climate 7 19 8 3 5

Proximity to university 7 6 5 10 11

Cultural amenities 22 13 9 9 9

Cost of housing 12 6 3 4 1

Quality of private schools 12 21 19 14 17

Cost of living 14 10 6 - -

Availability of profession- 15 3 16 - -

nals

Quality of public education 15 1 1 13 7

Accessibility to suppliers 15 13 25 - -

Accessibility to market 18 8 19 - -

Alternative employers for 18 20 12 17 16

spouse

Traffic congestion 20 16 9 12 4

Entrepreneurial opportuni- 21 22 23 15 18

ties

Proximity to other research 22 17 16 - -

facilities

Alternative employers for 22 23 19 16 9

employee

Proximity to similar firms 24 25 22 - -

Nearness to family 25 24 14 - -

Source: Malecki and Bradbury (1992: 128-9)

Note: Management rangkings are based on 13 responses, and employee rangkings on 700 responses. Tied ranks occur when average scores are tied.

Senin, 21 Januari 2008

Pemilihan lokasi Perusahaan

What industry seeks in places : the nature of location factors

Hayter, Roger.2000. The Dynamics of Industrial Location

Faktor lokasi mengungkapkan bagaimana perusahaan menilai tempat. Kondisi lokasi mempunyai implikasi yang berbeda pada perusahaan individual yang bermasksud investasi dalam fasilitas baru. Perusahaan mengartikan kondisi lokasi sebagai faktor lokasi yang menggambarkan syarat khusus mereka untuk keputusan investasi khusus.


Perusahaan mungkin menilai kondisi lokasi yang sama dalam cara yang berbeda tergantung pada ciri-ciri nyata atau tidak nyata penting dipertimbangkan. Nishioka dan Krumme (1973;203) mencatat bahwa akses ke pasar seperti suatu kondisi lokasi mempunyai beberapa interpretasi sebagai suatu faktor lokasi :

(1) keunggulan dalam harga penjualan...dan sesuai dengan total profit...hasil dari ukuran pasar dan atau timbulnya tempat dari suatu range monopolistik; (2) keunggulan pasar hasil dari kemampuan untuk menjaga kontak atau hubungan tertutup/dekat dengan pasar (misalnya , biaya aktivitas pengumpulan informasi rendah dan ...saving dalam aktivitas-aktivitas yang berhubungan....customer servics, memasukkan perbaikan); (3) keunggulan transportasi.”


Demikian pula, kondisi lokasi yang lain dapat mengimplikasikan suatu range dari faktor lokasi perusahaan individu, akses untuk tenaga kerja, misal, keunggulan rata-rata dalam hal biaya produksi, produktivitas, bentuk yang diinginkan dari hubungan pekerja, karakteristik gender yang diinginkan, tersedianya kolam renang pekerja, atau kombinasi dari pertimbangan-pertimbangan ini.


Hal ini masuk akal untuk mengharapkan bahwa faktor lokasi ditekankan oleh perusahaan dalam satu periode waktu khusus pengertian umum akan berbeda dengan produk (dan teknologi) dan skala geografis. Kemudian perbedaaan tipe manufakturer membuat produk menggunakan teknologi yang memerlukan campuran input yang berbeda dan layanan pasar yang berbeda, yang dalam gilirannya mengimplikasikan perbedaan ranking dari faktor lokasi. Untuk beberapa perusahaan khusus keputusan untuk menempatkan dalam suatu negara atau wilayah khusus sekurang-kurangnya secara potensial berbeda dari keputusan untuk memilih tempat khusus dalam lingkungan.


Selain itu, faktor lokasi dipengaruhi oleh hambatan-hambatan organisasional, sistem nilai, dan preferensi/pilihan pembuat keputusan individual atau pembuat keputusan kelompok. Persatuan pekerja, sebagai contoh, dapat menjadi sesuatu yang diinginkan, tidak diinginkan atau karakteristik yang ngawur untuk perusahaan.


Sebagai tambahan, ada nilai-nilai personal dan hambatan organisasional khusus yang membentuk faktor-faktor lokasi tapi tidak memiliki hubungan yang jelas dengan kondisi lokasi. Misal, faktor lokasi seperti pilihan pengusaha untuk tinggal di tempat kelahiran mereka dan keinginan dari cabang (branch plant) untuk menjaga komunikasi ’tertutup’ dengan kepala kantor harus dihubungkna dengan perusahaan khusus.


Untuk mengidentifikasi, dan jika mungkin meranking, faktor lokasi, survey kuesioner telah dilakukan di banyak wilayah dan periode waktu untuk tugas pembutat keputusan, apakah perusahaan memilih lokasi untuk sebuah pabrik atau perusahaan (Katona & Morgan (1952) di US dan Luttrel (1962) di UK contoh awal yang terkenal). Model penelitian yang digunakan dibedakan dalam beberpa cara (Tabel 4.3).


Suatu pembeda dasar yaitu semua survey ’partial’ diciptakan untuk menilai pentingnya suatu faktor lokasi khusus dan semua survey ’umum’ mencoba menilai pentingnya semua faktor lokasi secara relatif. Partial survey memberi penekanan pada pengaruh pajak pada lokasi industrial (misal, Erickson dan Wasylensko 1980). Bahkan dalam beberapa tahun ini telah dibayar untuk kebijakan lingkungan dan regulasi (see Robinson 1995 untuk suatu review). General survey, faktor partikular ini jarang memberikan kepentingan khusus, walaupun Robinson (1995) mencatat faktor lokasi diukur secara konvensional.


Ada cara lain dalam model penelitian beberapa survey lokasi (Tabel 4.3). Bagian yang paling penting disebut ”location survey”, fokus pada operasi perusahaan dalam suatu cross-section yang luas dari industri (e.g. Moriarty 1983). Walaupun studi kasus pilihan lokasi individual (Whitman and Schmidt 1966) dan beberapa perusahaan dalam satu atau beberapa industri (Stafford 1974; Hayter 1978), telah diadakan.


Secara geografis survey dibedakan dalam hal skala (lokal, region, atau negara) atau dalam konteks nasional dan beberapa digunakan suatu dimensi komparatif. Survey dibedakan dalam hal perusahaan yang diinterview, lama waktu antara survey dan keputusan yang dibuat pada lokasi alam, lahan dan struktur pertanyaan yang ditanyakan, bagaimana faktor lokasi diklasifikasikan secara aktual, dan cara data dirangkum dan dianalisis. Hal ini dicatat bahwa sejak survey ini diadakan lebih dari 50 tahun, perubahan kondisi harus diakui.


Tidak mudah merangkum atau menggabungkan hasil yang diperoleh dari jumlah yang sangat banyak dari survey lokasi yang dilakukan di dunia. Alasan kesulitan ini dihubungkan dengan sudah menjadi sifat hukum alam dari faktor lokasi dan variasi yang luas dalam model penelitian yang digunakan, bahkan beberapa observer telah mencatat kekurangan ukuran konseptual yang jelas oleh yang mengevaluasi perilaku yang diobservasi (Nishioka and Krumme 1973).


Meskipun demikian, survey ini disajikan untuk mengungkapkan keduanya komplektisitas dan subjektivitas disatukan dengan ide faktor lokasi. Seperti satu cara mengakui ’range yang luas dari faktor, mempengaruhi lokasi, product cycle model direview dan digunakan sebagai dasar untuk menyeleksi contoh survey lokasi untuk tipe aktivitas yang berbeda.


Table 4.3 Location Surveys: Sources of Variability

Component of research disign Options

1. Survey objective Partial survey assessing one location factor; general surveys assessing all location factor

2. Industry/activity focus Industry of cross-sectional surveys

3. Geographic focus Locality, region, nation, comparisons

4. Sample characteristic Case study, a ’few’ firms, a ’large’ survey; sample based on distinctiveness or representativeness

5. Timing of survey Interviews immediately or sometime after the decision

6. Questionnaire design Number of questions; the phrasing of questions; open or closed; form of ranking

7. Classification of location factors Established before ar after research

8. Data analysis Qualitative listings and ranking; quantitative techniques


Sabtu, 05 Januari 2008

STUDI KASUS BatuBara

BAB VI
STUDI KASUS


Konsumsi energi kita dapat menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan hidup.
Menekan dampak negatif dari kegiatan manusia terhadap lingkungan hidup
--termasuk penggunaan energi-- merupakan prioritas global
_______World Coal.Org

Potensi sumber daya alam, berupa tambang batubara, yang terdapat di Kalimantan Selatan cukup besar dengan kualitas yang baik, serta keberadaannya hampir menyebar di seluruh kabupaten (Banjar, Tanah Laut, Kotabaru, Tanah Bumbu, HST, HSU, HSS, Tapin, dan Tabalong).

Berdasarkan data dari Indonesian Coal Mining Association pada tahun 2001, stock cadangan batubara Kalimantan Selatan yang terukur (pasti) adalah 2,428 milyar ton, dan yang terindikasi sekitar 4,101 milyar ton. Sehingga paling tidak, sampai saat ini, terdapat cadangan batubara yang sudah ditemukan sebesar 6,529 milyar ton.
Dalam Indonesia Mineral and Coal Statistics, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral Tahun 2005, produksi batubara di Kalimantan Selatan, yang tercatat secara resmi pada tahun 2003 adalah 46.116.289,80 ton dan meningkat pada tahun 2004, yaitu sebesar 54.540.977,16 ton, dimana sebagian besar produksi batubara tersebut dihasilkan oleh perusahaan besar dengan modal asing (PMA), seperti PT. Arutmin dan PT. Adaro Indonesia. Jumlah produksi ini menyumbang sebesar 40,35% dari total produksi nasional sebesar 114.278.195,13 ton pada tahun 2003 dan 41,21% dari total produksi nasional sebesar 132.352.024,79 ton pada tahun 2004.

Dan jumlah ini merupakan kedua terbesar setelah Kalimantan Timur yang memproduksi sebesar 57.693.479,71 ton pada tahun 2003 dan sebesar 68.396.462,38 ton pada tahun 2004. Kemudian tercatat penjualan domestik batubara Kalimantan Selatan pada tahun 2003 sebesar 13.153.674,52 ton dan pada tahun 2004 sebesar 14.666.467,21 ton, sedangkan untuk penjualan ekspor batu bara Kalsel pada tahun 2003 sebesar 32.805.818,99 ton dan pada tahun 2004 sebesar 34.499.239,35 ton.
...
Eksploitasi yang dilakukan sebagian besar tidak memberikan dampak kesejahteraan yang nyata di masyarakat, hal ini dapat terlihat dimana kehidupan masyarakat lokal sekitar tambang tidak mengalami kemajuan yang berarti dan bahkan sebagian besar masih terpinggirkan dalam segala hal baik di biding ekonomi, sosial dan budaya termasuk pendidikan. Berikut beberapa permasalahan dari tambang batubara tersebut.
VI.1 Penggunaan Jalan Umum Untuk Angkutan Batubara

Penggunaan beberapa ruas jalan umum untuk angkutan batubara yang berlangsung sampai saat ini jelas-jelas telah menggangu kepentingan masyarakat banyak. Aktivitas ini sangat menggangu pengguna jalan lainnya, menimbulkan banyak kecelakaan, kerusakan jalan dan jembatan yang tentunya akan meningkatkan biaya pemeliharaan jalan dan jembatan, bahkan debunya telah mencemari lingkungan sekitar sepanjang jalan yang dilewati.

Disamping kerugian-kerugian yang dapat secara langsung kita rasakan, juga terselip bahaya yang ditimbulkan oleh debu batubara yang dihasilkan pada saat batubara tersebut diangkut oleh truk-truk tersebut ketika melintas di jalan-jalan umum, adapun bahaya tersebut antara lain; Penyakit inpeksi saluran pernapasan (ISPA), dan dalam jangka panjang akan berakibat pada kanker (baik itu kanker paru, lambung, darah) sampai nantinya adanya kemungkinan banyak bayi yang lahir cacat....

Kepadatan angkutan batubara mencapai 2.473 unit per hari di Kab. Tapin, belum ditambah angkutan dari kabupaten lainnya (Bpost, 2005), sedangkan berdasarkan pengamatan WALHI Kalsel di Kabupaten Banjar dan Banjarbaru tingkat kepadatan angkutan batubara perharinya tidak kurang dari 1.300 truck. Bisa dibayangkan, kepadatan arus lalu lintas di jalan negara yang juga diperuntukkan untuk angkutan umum dan jenis angkutan pribadi lainnya. Belum lagi, keluhan masyarakat sekitar yang sudah merasa terganggu dengan aktivitas angkutan tersebu

VI.2 Tumpang Tindih Kebijakan dan Illegal Mining (PETI Batubara)
Dalam lima tahun terakhir akibat terbukanya pasar batubara yang lebih luas baik pasar domestik maupun pasar luar negeri, aktivitas ekploitasi batubara di Kalsel samakin terus meningkat. Lebih parahnya lagi pertambangan illegal (Peti) di Kalimantan Selatan ditangani berdasarkan “kepentingan aparat” dan bahkan cenderung dilegalkan seperti kasus tambang illegal di Tanah Bumbu yang dilegalkan melalui berbagai yayasan dan koperasinya institusi TNI-POLRI.

Munculnya PETI Batubara juga tidak terlepas dari kebijakan pertambangan dimana konsesi-konsesi pertambangan di hampir seluruh wilayah Indonesia telah dikantongi ijinnya oleh corporate-corporate besar (multinasional corporasi) yang mempunyai ijin langsung dengan Pemerintah Pusat dengan konsesi lahan yang sangat luas.
...

VI.3 Keterlibatan TNI-POLRI dalam bisnis Batubara
Batubara yang juga disebut sebagai “emas hitam” ini merupakan komoditi bisnis yang menggiurkan dan juga menjanjikan bagi setiap orang yang ingin mengeruk keuntungan yang besar tanpa melihat dampak yang ditimbulkannya. Bukan hanya para pengusaha yang tertarik untuk melakukan bisnis batubara ini namun juga termasuk para pejabat dan institusi negara seperti TNI-Polri melalui berbagai koperasi yang didirikan.

Keterlibatan TNI-POLRI ini semakin menegaskan akan pola ekploitasi sumberdaya alam yang sarat dengan kepentingan modal yang didukung oleh kekuasaan dan telah mendominasi hak-hak yang menjadi milik masyarakat.

Yayasan Mabes ABRI (Yamabri) bekerjasama dengan PT. Bangkit Adhi Sentosa, perusahaan ini melakukan pembelian batubara, kini pengembangan bisnis di kabupaten Kotabaru dan Tanah Bumbu. Yayasan Bumyamka milik TNI-AL bekerjasama dengan KUD Karya Maju di Sei Danau, memiliki stockpile dan penyewaan dermaga untuk aktivitas pertambangan. Puskopad "b" milik Kodam IV Tanjung Pura, bekerjasama dengan Pemda Kab. Banjar. Puskopol, milik Polda Kalsel, bekerjasama dengan PT. Sumber Mitra Jaya, beroperasi di Blok V dan bekerjasama dengan Pemda Kab. Banjar, (bekas areal PT Chong Hua), disamping menjalin kerjasama dengan PT Kadya Caraka Mulia. Dan masih terdapat beberapa koperasi lainnya yang dimiliki oleh TNI-Polri yang berusaha disektor pertambangan batubara.

Semakin lama keterlibatan TNI-Polri di bisnis pertambangan batubara ini semakin menjadi-jadi. Poskopad terus memperluas wilayah bisnisnya dan sekarang menjadi salah satu subkontrak dari PT. Arutmin Indonesia di wilayah Senakin. Begitu pula dengan Poskopol yang mengikat kontrak sebagai subkontraktor PT Arutmin Indonesia baik sebagai penambang maupun perantara bagi para penambang “kecil” lainnya.

...

Keterlibatan TNI-POLRI dalam bisnis batubara melalui berbagai yayasan dan koperasi maupun para oknumnya secara individu semakin menambah ruwetnya persoalan di sektor ini....

VI.4 Konflik Lahan dan Permasalahan Sosial lainnya
Adanya kebijakan sepihak dari pemerintah yang memberikan konsesi lahan kepada perusahaan besar seperti PT. Arutmin dan PT. Adaro Indonesia memunculkan berbagai konflik lahan dengan masyarakat baik para pemilik lahan maupun masyarakat pemanfaat kawasan/ lahan tersebut. Perusahaan dengan arogan mengusur lahan-lahan masyarakat sebelum adanya kesepakatan bersama antara masyarakat pemilik dan pengguna lahan dengan perusahaan mengenai pembebasan lahan.

Pembebasan tanah masyarakat yang terkena areal tambang sangat tidak adil dengan hasil yang mereka tambang berupa kandungan batubaranya. Misalnya PT. Arutmin hanya memberikan ganti rugi sebesar Rp.150 – Rp.1000 permeter yang ditentukan berdasarkan ketentuan sepihak (standar pemerintah berdasarkan NJOP). Belum lagi muncul konflik horizontal antara masyarakat karena klaim perebutan lahan akibat ketidakberesan perusaahaan dalam proses pembebasan lahan tersebut.

Sejak dibukanya areal tambang, masyarakat lokal berharap bisa mendapatkan pekerjaan terutama para pemuda dan kaum laki-lakinya. Mereka merasakan perusahaan bersikap tidak adil karena mayoritas karyawan perusahaan berasal dari luar daerah Kalsel. Kalau pun ada penerimaan tenaga kerja lokal, itu pun mesti didahului dengan aksi tuntutan dari masyarakat dan hanya menempati posisi sebagai satpam/ wakar, cheker, tenaga survai dan sedikit sekali sebagai operator apalagi staf kantor dan manajemen. Padahal dalam ketentuan AMDAL dikatakan perusahaan sebagian besar akan merekrut tenaga kerja lokal.
...

Konflik lahan tidak hanya terjadi antara perusahaan pertambangan dengan masyarakat tetapi juga terjadi dengan perusahaan sektor lainnya seperti perkebunan kelapa sawit dan HPH/HTI....

Terjadinya pergeseran sosial dan budaya masyarakat. Dulunya petani pemilik dan nelayan sekarang menjadi buruh pekerja di perusahaan. Pergeseran pola hidup yang lebih konsumtif, penggunaan narkotika dan minuman keras oleh para anak remaja dan adanya praktek prostitusi, dan lain sebagainya sebagai akibat dari adanya perusahaan pertambangan batubara yang telah mengabaikan hak, nilai-nilai dan budaya.

VI.5 Penghancuran, Pengrusakan dan Pencemaran Lingkungan Hidup
Seperti halnya aktivitas pertambangan lainnya di Indonesia, pertambangan batubara di Kalsel juga telah menimbulkan dampak kerusakan lingkungan hidup yang cukup parah....

Lubang-lubang besar yang tidak mungkin ditutup kembali -apalagi dilakukan reklamasi- telah mengakibatkan terjadinya kubangan air dengan kandungan asam yang sangat tinggi. Hasil penelitian Bapedalda Tabalong (2001) menyebutkan bahwa air yang berada pada lubang bekas galian batubara tersebut mengandung beberapa unsur kimia, yaitu : Fe, Mn, SO4, Hg dan Pb. Seperti kita ketahui Fe dan Mn bersifat racun bagi tanaman dan mengakibatkan tanaman tidak dapat berkembang dengan baik. SO4 merupakan zat asam yang berpengaruh terhadap pH tanah dan tingkat kesuburan tanah. Sedangkan Hg dan Pb adalah logam berat yang bisa menimbulkan penyakit kulit pada manusia. Selain air kubangan, limbah yang dihasilkan dari proses pencucian juga mencemari tanah dan mematikan berbagai jenis tumbuhan yang hidup diatasnya.

VI.6 Penghancuran Sumber-Sumber Kehidupan Rakyat
Mencari kayu, rotan, damar, berladang, dan bertani merupakan mata pencaharian utama masyarakat sekitar tambang. Tetapi karena jumlah kayu mulai menurun, damar sudah tidak ditemukan lagi, lahan-lahan pertanian sudah dibebaskan oleh perusahaan, praktis masyarakat kehilangan mata pencahariannya sebaimana yang terjadi pada masyarakat Simpang Empat Sumpol Sungai Danau kabupaten Tanah Bumbu dan Warukin kabupaten Balangan dan Pulau Sebuku.

Hal ini sebagai akibat dari adanya perluasan tambang dengan cara membuka areal hutan, lahan dan kebun masyarakat sehingga mempersempit lahan usaha masyarakat tanpa melakukan perundingan yang setara terlebih dahulu. Masyarakat yang dulunya berkebun dan bertani sekarang sudah tidak bisa melakukan aktivitasnya lagi karena lahannya ditambang begitu pula masyarakat yang menggantungkan kehidupan mereka kepada hutan.

Bukan itu saja, aktivitas pertambangan batubara juga telah merusak sumber-sumber mata air dan sungai yang digunakan masyarakat bagi kebutuhan sehari-hari. Kawasan hutan dan rawa yang selama ini menjadi wilayah kelola rakyat sebagai sumber matapencaharian mereka telah disulap menjadi areal yang gersang, tandus dan kubangan-kubangan bekas galian batubara.

Di Pulau Sebuku sebagian besar kebun-kebun mereka sudah tergusur secara paksa tanpa kompensasi yang layak dan bahkan ada yang tidak mendapatkan kompensasi sama sekali oleh akibat adanya pertambangan batubara PT. Bahari Cakrawala Sebuku. Selain itu juga aktivitas pertambangan menyebabkan rusaknya beberapa kawasan hutan mangrove dan rawa, hutan nipah dan wilayah tangkapan ikan dan udang sebagai salah satu sumber kehidupan masyarakat serta menyebabkan matinya puluhan ekor ternak kerbau. Kondisi seperti ini sebenarnya terjadi di hampir semua lokasi tambang yang ada di Kalsel.


VI.6 Bencana Banjir
Akibat aktivitas pertambangan batubara yang tidak memenuhi kaedah lingkungan menjadikan banyak kawasan daerah tangkapan air menjadi rusak dan menyebabkan kondisinya mejadi rawan bencana termasuk banjir. Tercatat mulai awal tahun 2004, dua kabupaten meliputi Kab. Banjar yang menelan korban lima orang telah meninggal, 25.666 orang di dua kecamatan yaitu Kec. Sungai Tabuk dan Simpang Empat telah menjadi korban, selain itu kerugian materi berupa 55.741 buah rumah telah terendam banjir, 100 Ha lahan pertanian rusak berat dan Kab. Tanah Bumbu telah dilanda banjir yang menelah banyak korban materiil. Kurang lebih 2.047 Ha lahan pertanian hancur dan 650 buah rumah penduduk rusak berat terjadi di Kab. Banjar. Kerugian materi lain di Kab. Tanah Bumbu meliputi 1.360 Ha sawah dan 75 buah rumah penduduk mengalami kerusakan berat.

Ini bukti dari terjadinya kerusakan hutan di wilayah hulu yang mestinya berfungsi sebagai kawasan penyangga dan resapan air. Hal ini diperparah dengan buruknya tata drainase dan rusaknya kawasan hilir seperti hutan rawa yang mestinya dapat berfungsi sebagai tandon air yang dapat menyerap air di musim hujan dan mengeluarkannya secara perlahan di musim kemarau.

Kompleksnya permasalahan penambangan batu bara di Kalimantan Selatan membutuhkan penanganan serius sehingga tidak terjadi lagi enviromental cost yang tinggi bahkan mengancam kelangsungan keseimbangan lingkungan dan alam. Di satu sisi, penambangan batu bara dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan energi masyarakat, namun di sisi lain, juga dituntut kearifan dan kebijakan dalam mengelolanya....



BAB VII
KESIMPULAN

  1. Batu bara merupakan salah satu sumber energi dunia yang sampai saati masih memiliki cadangan yang cukup besar.Dan diprediksikan sumber energi ini akan menjadi tulang punggung sumber energi masa depan.
  2. Batu bara memiliki alternatif penggunaa yang sangat beragam antara lain dalam industri listrik, semen, maupun farmasi. Sehingga sumber energi ini mempunyai nilai ekonomis yang tinggi.
  3. Semakin tinggi teknologi yang digunakan untuk pengolahan batu bara, makin rendah tingkat emisi yang dihasilkan. Namun demikian, tidaksemua negara atau perusahaan mengadopsi teknologi yang terbaru.
  4. Emisi yang dihasilkan harus senantiasa di-manage agar tidak menyebabkan kerusakan lingkungan yang lebih parah.

DAFTAR PUSTAKA
Driyo, Aryo Daru. Prospek Komoditas Batubara. Economic Review Journal No.200. Juni 2005.
World Bank Group. Coal Mining and Production. Juli 1998 www.wci-coal.com. United Kingdom
World Coal Institute.Sumber Daya Batubara: Tinjauan Lengkap Mengenai Batubara. 2004. www.worldcoal.org
World Coal Institute. Clean Coal Building a Future Through Technology.
_______.Cina Mencairkan Batubara. www.koran-tempo.com
_______.Fenomena Pertambangan Batubara di Kalimantan Selatan: Kebijakan Kuras Habis dan Berorientasi Pasar. www.walhi.or.id

Download BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam