Unduh BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Senin, 22 Juni 2020

Jangan Lemah Berjihad - TAFSIR QS Muhammad: 35



Oleh: Rokhmat S. Labib, MEI


Janganlah kamu lemah dan minta damai padahal kamulah yang di atas dan Allah pun bersamamu dan Dia sekali-kali tidak akan mengurangi pahala amal-amalmu.” (TQS. Muhammad: 35)

Islam adalah dakwah. Agama yang memerintahkan umatnya untuk terus berdakwah dan menyebarkan agamanya ke seluruh dunia. Thariqah atau metode praktisnya adalah dengan berjihad fisabillah. Ini wajib diamalkan oleh umat Islam. Dalam hal ini, umat Islam tidak boleh lemah dan gentar menghadapimusuh-musuhnya. Ayat ini pun menerangkan beberapa sebab yang meniscayakan umat Islam tidak boleh merasa lemah dan meminta orang kafir berdamai.

Ketika Lebih Kuat

Allah SWT berfirman: Falaa tahinuu (janganlah kamu lemah). Dalam ayat sebelumnya, Allah SWT menegaskan bahwa orang-orang kafir dan menghalangi manusia dari jalan-Nya, kemudian mati dalam kafir tidak akan diampuni dosa-dosanya.

Kemudian dilanjutkan dengan ayat ini yang ditujukan kepada hamba-hamba-Nya yang Mukmin. Dikatakan oleh al-Khazin, khithaab atau seruan ayat ini ditujukan kepada para sahabat Nabi , kemudian berlaku umum untuk seluruh kaum Muslimin.

Mereka semua diserukan agar: Falaa tahinuu (janganlah kamu lemah). Makna kata al-wahn adalah al-dha’if (lemah), baik dari segi fisik maupun psikis, seperti dalam firman Allah SWT: Qaala innii wahana al-'azham minnii (Ia berkata "Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah; TQS. Maryam [19]: 4). Juga firman-Nya: Famaa wahanuu limaa ashaabahum (Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka; TQS. Ali Imran [3]: 146). Demikian kata al-Raghib al-Asfahani dalam al-Mufradaat fii Gharib al-Qur‘aan.

Makna ini pula yang dikandung dalam ayat ini. Menurut Imam al-Qurthubi, penggalan ayat ini bermakna: ”Janganlah kalian lemah untuk berperang.” Al-Hafidz Ibnu Katsir juga berkata: ”Janganlah kalian lemah menghadapi musuh." Dikatakan pula oleh Ibnu Jarir al-Thabari, "Maka janganlah kalian lemah, wahai orang-orang yang beriman kepada Allah untuk berjihad melawan orang-orang musyrik dan takut memerangi mereka.”

Dengan demikian, ayat ini melarang umat Islam untuk bersikap lemah dalam berjihad menghadapi orang-orang kafir dan musuh-musuh mereka.

Kemudian disebutkan: Wa tad'uu ilaa al-salm (dan minta damai). Huruf al-wawu di sini adalah 'athf yang menyandingkan dengan kata sebelumnya: Falaa tahinuu (janganlah kamu lemah). Sehingga penggalan ayat ini juga merupakan larangan kepada Muslimin. Mereka dilarang meminta al-salm kepada orang-orang kafir. Makna al-salm adalah al-shulh (perjanjian damai). Demikian menurut Imam al-Qurthubi. Ibnu Katsir juga menafsirkannya sebagai al-muhaadanah wa al-musaalamah (perjanjian dan perdamaian), dan melakukan gencatan senjata antar kalian dengan orang-orang kafir.

Menurut al-Khazin, perdamaian yang dilarang oleh ayat ini adalah perdamaian yang sifatnya abadi. Mufassir tersebut berkata, ”Janganlah kalian mengajak orang-orang kafir kepada perdamaian selama-lamanya. Allah SWT telah melarang mereka untuk mengajak kepada orang-orang kafir kepada perjanjian dan memerintahkan untuk memerangi mereka hingga mereka menyerah."

Jika dikaitkan dengan perintah melakukan jihad dan perintah memerangi orang-orang kafir hingga mereka beriman atau menjadi ahli dzimmah yang tunduk terhadap hukum Islam dan membayar jizyah (lihat: QS. al-Taubah [9]: 29), kesimpulan tersebut menemukan benang merahnya. Itu juga yang diputuskan Rasulullah pada Perjanjian Hudaibiyyah. Dalam perjanjian tersebut, dibatasi dengan masa, yakni sepuluh tahun.

Lalu dilanjutkan dengan firman-Nya: Wa antum al-a'lawna (padahal kamulah yang di atas). Huruf al-wawu di sini merupakan wawu al-haal (yang menunjukkan keadaan). Artinya, larangan untuk berdamai dengan orang-orang kafir itu tatkala kalian dalam keadaan lebih kuat, dan lebih besar, baik jumlah kalian maupun persiapan kalian. Ibnu Katsir berkata, ”Yakni dalam keadaan kalian mengungguli musuh-musuh kalian."

Ketika Musuh Lebih Kuat

Manakala keadaannya sebaliknya, yakni orang-orang kafir lebih kuat dan lebih banyak jika dibandingkan dengan seluruh kaum Muslimin dan imam (atau khalifah ) pun memandang terdapat kemaslahatan pada perdamaian tersebut, maka dia bisa melakukannya.

Hal ini juga dilakukan oleh Rasulullah ketika beliau dihalang-halangi oleh kaum Quraisy untuk masuk ke kota Makkah. Mereka mengajak beliau untuk mengadakan perdamaian dan melakukan gencatan senjata antara mereka dengan beliau selama sepuluh tahun. Beliau pun menerima tawaran mereka. Demikian penjelasan Ibnu Katsir dalam tafsirnya.

Menurut Syihabuddin al-Alusi, sebagian ulama juga beristidlal dengan larangan ini bahwa tidak boleh melakukan perjanjian damai dengan orang-orang kafir kecuali dalam keadaan darurat; dan haramnya meninggalkan jihad kecuali dalam keadaan lemah. (ketika lemah maka harus berusaha untuk menjadi kuat)

Selanjutnya Allah SWT berfirman: WalLaah ma'akum (dan Allah pun bersamamu). Ini merupakan kabar gembira yang besar tentang pertolongan dan kemenangan mereka atas musuh-musuh mereka. Al-Qurthubi berkata, "Yakni dengan memberikan pertolongan dan bantuan.” Ini seperti firman Allah SWT: Wa innalLaah lama'a al-muhsiniin (dan sungguh, Allah benar-benar bersama orang-orang yang berbuat ihsan, TQS. al-Ankabut [29]: 69).

Ayat ini pun diakhiri dengan firman-Nya: Walan yatrakum a'maalakum (dan Dia sekali-kali tidak akan mengurangi pahala amal-amalmu). Menurut Ibnu Katsir, ini berarti: ”Dia tidak akan menghapus dan menghilangkan amal-amal kalian sedikitpun. Bahkan, Dia akan membalas kalian dengan pahala dan tidak akan mengurangi sedikitpun."

Menurut Abdurrahman al-Sa‘di, tiga perkara tersebut masing-masing meniscayakan kesabaran dan tiadanya sikap lemah.

Pertama, al-a'liina (lebih di atas). Ini berarti faktor-faktor yang menjadi sebab kemenangan bagi mereka telah terpenuhi. Di samping itu, mereka juga dijanjikan Allah SWT dengan janji yang benar. Patut dicatat, sesungguhnya manusia tidak akan merasa lemah kecuali dia merasa lebih rendah dan lebih lemah terhadap orang lain, baik dari segi jumlah maupun kekuatan, baik internal maupun eksternal.

Kedua, sesungguhnya Allah SWT bersama mereka. Hal ini disebabkan karena mereka adalah orang-orang Mukmin; dan Allah SWT pun bersama orang-orang Mukmin dengan bantuan, pertolongan, dan pengokohan. Ini mengokohkan jiwa dan keberanian mereka terhadap musuh-musuh mereka.

Ketiga, sesungguhnya Allah SWT tidak akan mengurangi sedikitpun amal mereka. Sebaliknya, Dia akan membalas dengan sempurna pahala bagi mereka, menambah mereka dari karunia-Nya, khususnya dalam ibadah jihad. Sebab, infak jihad balasannya dilipatgandakan hingga tujuh ratus kali lipat, bahkan lebih.

Demikianlah. Islam adalah agama yang diperuntukan bagi seluruh manusia. Sehingga, Islam mewajibkan Rasul dan umatnya untuk senantiasa mendakwahkan Islam. Untuk itu disyariahkan jihad sebagai thariqah atau metode praktis dalam menyebarkan Islam ke seluruh dunia. Jihad dalam rangka nasyr al-Islaam ilaa al'alaam (menyebarkan Islam ke seluruh dunia) dapat dilaksanakan dengan sempurna ketika khilafah  tegak. Wal-Laah a'alam bi al-shawaab.[]

Ikhtisar:

1. Umat Islam tidak boleh lemah dalam berjihad di jalan Allah SWT dan memerangi musuh-musuh-Nya.

2. Umat Islam hanya diperbolehkan melakukan perdamaian dengan orang kafir ketika kondisi mereka dalam keadaan lebih lemah dan khalifah  memandang terdapat kemaslahatan pada perdamaian tersebut.

3. Allah SWT bersama dengan orang-orang Mukmin dan akan membalas semua amalnya dengan sempuma.[]

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 187

Kamis, 18 Juni 2020

Hikmah al-Qur’an Diturunkan Secara Bertahap - TAFSIR al-Furqan: 32-33



Oleh: Rokhmat S. Labib, MEI

“Berkatalah orang-orang yang kafir: ”Mengapa Al-Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?”; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (teratur dan benar). Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.” (TQS. al-Furqan [25]: 32-33).

Al-Qur’an tidak diturunkan sekaligus. Akan tetapi diturunkan secara berangsur-angsur. Yakni, mulai Nabi Muhammad diutus hingga menjelang beliau dipanggil ke haribaan-Nya. Sehingga, Al-Qur’an terus turun selama 23 tahun.

Realitas ini pun dijadikan objek pertanyaan oleh orang-orang kafir. Mengapa Al-Qur’an tidak diturunkan sekaliqus saja. Maka, ayat ini pun menjawab pertanyaan mereka, sekaligus menjelaskan hikmah yang terkandung di dalam turunnya Al-Qur’an secara bertahap.

Tidak Sekaligus Diturunkan

Allah SWT berfirman: Wa qaala al-ladziina kafaruu lawlaa nuzzila 'alayhi al-Qur'aan jumlat[an] waahidat[an] (berkatalah orang-orang yang kafir: "Mengapa Al-Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?"). Dalam ayat sebelumnya diberitakan pengaduan Nabi tentang kaumnya yang menjadikan Al-Qur’an sebagai sesuatu yang ditelantarkan dan ditinggalkan. Kemudian Nabi dihibur dengan ayat sesudahnya, bahwa realitas demikian tidak hanya dialami oleh beliau saja. Seluruh nabi memiliki musuh dari kalangan pelaku kejahatan.

Ayat ini pun kemudian memberitakan tentang syubhat lain yang dilontarkan oleh orang kafir terhadap Al-Qur’an. Al-Qur’an yang diturunkan secara berangsur-angsur dan tidak sekaligus dijadikan sasaran kritik oleh mereka.

Menurut Imam al-Qurthubi, ada perbedaan tentang siapa orang kafir yang mengatakan kalimat yang diberitakan dalam ayat ini. Pertama, mereka adalah orang-orang kafir Quraisy. Ibnu Abbas adalah di antara yang berpendapat demikian. Kedua, mereka adalah orang-orang Yahudi. Ketika mereka mengetahui Al-Qur’an secara terpisah-pisah, mereka pun berkata, ”Mengapa Al-Qur’an tidak diturunkan kepadanya (Nabi Muhammad ) sekaligus saja, sebagaimana Taurat yang diturunkan kepada Musa, Injil kepada Isa, dan Zabur kepada Daud.”

Dalam ayat ini, Allah SWT mengabarkan banyaknya bantahan, pertanyaan mengada-ada, dan perkataan tidak berguna dari orang-orang kafir, ketika mereka mengatakan: Lawlaa nuzzila 'alayhi al-Qur‘an jumlat[an] waahidat[an]. Demikian dikatakan Ibnu Katsir ketika mengomentari ayat ini.

Mereka mempersoalkan mengapa Al-Qur’an tidak diturunkan sekaligus, tetapi berangsur-angsur dan terpisah-pisah. Sehingga, pertanyaan yang mereka lontarkan sesungguhnya bukan untuk mendapatkan jawaban yang benar. Akan tetapi hanya merupakan tasykik (untuk menimbulkan keraguan) terhadap kebenaran Al-Qur’an. Ini semisal pernyataan dan pertanyaan mereka yang telah disebutkan dalam beberapa ayat sebelumnya, seperti mengapa rasul makan dan berjalan-jalan di pasar untuk mencari penghidupan, tidak diberikan kebun yang luas sehingga dapat mencukupi kebutuhannya, tidak diturunkan bersama rasul seorang malaikat, dan lain-lain.

Hikmah Turun Bertahap

Terhadap pertanyaan tersebut, Allah SWT menjawabnya dengan firman-Nya: Wakadzaalika linnutsabbita bihi fu'aadaka (demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya). Kata kadzaalika, berarti Kami turunkan Al-Qur’an secara terpisah-pisah. Demikian penjelasan Abdurrahman al-Sa'di dalam tafsirnya.

Bahwa diturunkannya secara bertahap adalah untuk mengokohkan dan memperteguh hati Rasulullah . Menjelaskan ayat ini, al-Qurthubi berkata: "Kami turunkan secara terpisah-pisah adalah untuk memperkuat hatimu dengannya sehingga kamu dapat memahami dan menghafalnya. Sesungguhnya kitab-kitab sebelumnya diturunkan kepada para nabi yang dapat membaca, sedangkan Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi yang ummi (tidak dapat menulis dan membaca). Di samping itu, di dalam Al-Qur’an juga terdapat naasikh (ayat yang menghapus hukum sebelumnya) dan mansuukh (ayat yang hukumnya dihapus), serta jawaban terhadap orang yang bertanya tentang sesuatu yang terjadi dalam waktu yang berbeda-beda. Maka menurunkannya secara terpisah-pisah agar lebih mudah dihafal oleh Rasulullah dan lebih mudah diamalkan orang yang mengamalkannya. Maka setiap kali turun wahyu yang baru, menambah kekuatan hati Nabi .” Demikian penjelasan al-Qurthubi dalam tafsirnya. Penjelasan senada juga dikemukakan al-Khazin dan lain-lain.

Kemudian Allah SWT berfirman: Warrattalnaahu tartiil[an] (dan Kami membacakannya secara tartil [teratur dan benarl). Menurut Fakhruddin al-Razi dalam tafsirnya, Mafaatiih al-Ghayb, frasa tersebut bermakna: “Kami terangkannya dengan benar-benar terang.” Dikatakan al-Jazairi, pengertian frasa tersebut adalah "Kami turunkan sedikit demi sedikit, ayat demi ayat, surat demi surat, untuk memudahkan dalam memahami dan menghafalnya."

Jawaban Pertanyaan

Kemudian dalam ayat berikutnya Allah SWT berfirman: Walaa ya’tuunaka bi mitsl[in]  (tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu [membawa] sesuatu yang ganjil). Menurut Ibnu Katsir, sesuatu yang dibawa semisal pertanyaan tersebut adalah hujjah (alasan) dan syubhah (sesuatu yang meragukan). Dikatakan Ibnu Abbas, sebagaimana dikutip Ibnu Katsir. Itu artinya, semua yang mereka lontarkan, baik berupa alasan, pernyataan yang meragukan, pertanyaan yang mengada-ada, dan sebagainya.

Terhadap semua alasan dan pernyataan yang meragukan yang dilontarkan orang kafir itu, dijawab oleh Allah SWT dengan jawaban yang benar dan penjelasan yang paling baik. Ini ditegaskan dalam firman Allah SWT selanjutnya: illaa ji’naaka bi al-haqq wa ahsana tafsiir[an] (melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya). Menurut Fakhruddin al-Razi, frasa ji’naaka bi al-haqq bermakna: ”Kami turunkan Jibril dengan membawa Al-Qur’an untuk membantah mereka.” Sedangkan frasa: wa ahsana tafsiir[an] bermakna: "Sebaik-baik penjelasan untuk membantah permusuhan mereka.” Dikatakan Ibnu Athiyah, ”Penjelasan yang paling jelas dan terperinci.”

Dijelaskan juga oleh Ibnu Katsir tentang makna ayat ini, ”Tidaklah mereka mengatakan suatu perkataan yang menentang kebenaran, kecuali Kami jawab mereka dengan jawaban yang benar pada perkara itu dan jawaban yang lebih jelas, lebih gamblang, dan lebih terang daripada perkataan mereka.”

Kemudian Ibnu Katsir berkata, ”Di dalam ayat ini terdapat perhatian besar untuk memuliakan Rasulullah karena datangnya wahyu kepada beliau pagi dan sore, siang dan malam, dan sedang berpergian maupun bermukim. Maka setiap kali malaikat datang kepada beliau dengan membawa Al-Qur’an, seperti ketika malaikat menurunkan kitab-kitab sebelumnya. Sehingga, ini merupakan kedudukan yang lebih tinggi, lebih mulia, dan lebih agung dibandingkan dengan seluruh nabi lainnya. Demikian pula, Al-Qur’an menjadi kitab paling mulia yang diturunkan Allah SWT; dan Nabi Muhammad juga nabi paling agung yang diutus Allah SWT. Sungguh Allah SWT telah mengumpulkan pada Al-Qur’an dua sifat secara bersamaan. Yakni, di Mala’ al-A’la Al-Qur’an diturunkan secara sekaligus dari al-Lauh al-Mahfudz ke Baitu al-'Izzah di langit dunia, kemudian setelah itu diturunkan ke dunia secara berangsur-angsur sesuai dengan realitas dan kejadian.”

Demikianlah. Orang-orang kafir selalu mencari-cari celah untuk meragukan kebenaran Rasulullah dan Al-Qur’an. Diturunkannya Al-Qur’an secara berangsur-angsur tak luput dari kritik mereka. Namun, pernyataan mereka dijawab dengan jelas oleh ayat ini. Wal-Laah a'lam bi al-shawaab.[]

Ikhtisar:

1. Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur terdapat hikmah di dalamnya, yakni untuk mengokohkan hati Nabi  .
2. Di samping itu, juga menunjukkan kemuliaan dan keagungan Al-Qur’an dan Rasulullah  .
3. Semua pernyataan dan pertanyaan mengada-ada dari orang kafir diberikan jawabannya oleh Allah SWT dengan jawaban yang benar dan terang.[]

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 144


Selasa, 09 Juni 2020

Bagaimana Meraih Pertolongan Allah SWT?



Oleh: KH. Hafidz Abdurrahman

Soal: Apa yang dimaksud dengan kemenangan Islam? Apakah sebab-sebab kemenangan tersebut? Apa hubungannya antara sebab kemenangan tersebut dengan ikhtiar manusia?

Jawab:

Banyak orang yang salah ketika menilai kemenangan, khususnya dalam konteks Islam. Kemenangan dalam konteks Islam. bukan dengan naiknya orang Islam dalam tampuk kekuasaan, tetapi sampainya Islam pada kekuasaan itu sendiri. Mengapa? Karena kedaulatan dalam pandangan Islam itu di tangan syariah, bukan di tangan manusia. Syariahlah yang seharusnya memimpin, bukan manusianya. Karena itu semua perilaku, ucapan dan kebijakan penguasa wajib tunduk pada syariah Islam. Bukan sebaliknya.

Karena itu ketika Nabi saw. mencari dukungan politik (nushrah), beliau mengambil langkah yang berbeda: antara nushrah untuk melindungi dakwah (himayah ad-da'wah) dari serangan kaum kafir dan nushrah untuk mendapatkan kekuasaan (isti'lam al-hukm) dalam rangka mendaulatkan Islam.

Pada konteks yang pertama. Nabi saw. menerima nushrah dari Muth'im bin 'Adi. yang notabene masih kafir. Tidak mempersoalkan agamanya. Namun, dalam konteks yang kedua, Nabi saw. sangat selektif dan memastikan tujuannya agar kedaulatan Islam bisa benar-benar diwujudkan. Karena itu beliau menolak nushrah dari orang kafir. Beliau menolak nushrah dari Bani 'Amir bin Sha'sha'ah karena syaratnya menyalahi tujuan untuk mendaulatkan Islam. Beliau pun menolak nushrah dari suku dan kabilah yang tidak memiliki kekuatan. Semuanya ini terkait dengan tujuan yang ingin diraih dan diwujudkan oleh Nabi saw.1

Yang menarik, di satu sisi selain ikhtiar yang dilakukan, sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi saw., di atas, ternyata kemenangan dan pertolongan Allah itu dinyatakan oleh Allah dengan menggunakan hashr (pembatasan), bahwa sebab kemenangan dan pertolongan Allah itu adalah Allah sendiri. Bukan yang lain. Allah SWT berfirman:

"Kemenangan itu tak lain kecuali dari sisi Allah. Sungguh Allah Mahaperkasa dan Mahabijaksana." (TQS al-Anfal [8]: 10).

Ayat ini merupakan dalil qath'i, bahwa kemenangan itu murni dari Allah, bukan dari yang lain. Di dalam ayat ini Allah menggunakan shighat al-hashr (bentuk pembatasan).2 Ini dikuatkan oleh Allah dalam firman-Nya yang lain:

"Jika kamu tidak menolong dia (Muhammad) maka sungguh Allah telah menolong dirinya" (TQS at-Taubah [9]: 40).

Kedua ayat ini memastikan bahwa kemenangan itu murni dari Allah. Bukan yang lain. Bahkan seolah menafikan peranan manusia, dengan menyatakan, “Illa tanshuru" (Jika kamu tidak menolong dia), agar kita menyadari, bahwa kemenangan itu memang di tangan Allah, dan diberikan oleh Allah kepada siapa saja yang Dia kehendaki.

Siapa hamba-hamba Allah yang Dia kehendaki? Dalam hal ini, Allah menjelaskan:

Kami telah menetapkan di dalam Zabur setelah Ummu al-Kitab (catatan Allah di Lauh al-Mahfudz), sungguh bumi ini akan diwarisi oleh hamba-hamba-Ku yang shalih (TQS al-Anbiya' [29]: 105).

Ayat ini menyatakan bahwa yang akan mewarisi kekuasaan di muka bumi ini, menurut Ibn 'Abbas ra., adalah umat Nabi Muhammad Saw.3 Siapa umat Muhammad yang berhak mendapatkan kekuasaan? Ini dijelaskan oleh Allah:

“Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal shalih di antara kalian bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa; akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah Dia ridhai untuk mereka; dan akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan, menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tidak mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Siapa saja yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, mereka itulah orang-orang yang fasik (TQS an-Nur [24]: 55).

Di dalam ayat ini Allah menjelaskan kriteria hamba-hamba-Nya yang shalih, yang layak mendapatkan kemenangan dan mewarisi bumi. Pertama, beriman. Kedua, melakukan amal shalih. Yang dimaksud amal shalih di sini adalah menerapkan syariah Islam. Ketiga, menyembah Allah. Keempat, tidak menyekutukan Allah dengan yang lain, baik dalam peribadatan, politik, ekonomi, sosial, pendidikan, budaya, sanksi hukum ataupun yang lain.

Mereka tidak sendiri. Tidak berjuang sendiri. Mereka berkelompok. Ini dijelaskan dalam sejumlah nas, baik al-Quran maupun al-Hadis:

Siapa saja yang setia kepada Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman, Sungguh kelompok Allah itulah yang pasti menang(TQS al-Maidah [5]: 56).

Ayat ini menyatakan dengan menggunakan ungkapan, Hizb” (kelompok), yang berarti kelompok, bukan perorangan. Ini dikuatkan oleh firman Allah SWT yang lain:

Hendaknya ada di antara kalian kelompok yang menyerukan kebaikan (Islam), memerintahkan kemakrufan dan mencegah kemungkaran. Mereka Itulah orang-orang yang beruntung (menang)" (TQS Ali 'Imran [3]: 104).

Artinya, kemenangan itu diberikan kepada kelompok. Bukan kepada individu. Bahkan dalam sebagian kitab Tafsir disebutkan dengan penjelasan, “Jama'aah Mutakattilah” (kelompok yang terorganisir).4 Ini juga dikuatkan dengan Hadis Nabi saw.: 

“Akan tetap ada suatu kaum (kelompok) dari umatku. Mereka menang atas umat manusia hingga keputusan Allah datang kepada mereka dan mereka dalam keadaan menang” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Dalam riwayat Muslim, juga disebutkan dengan lafal “Tha'ifah” (kelompok). Begitu juga dalam riwayat Abu Dawud dan Imam Ahmad.5

Karena itu harus dipahami bahwa pertolongan dan kemenangan itu memang datang dari Allah. Allah memberikan kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Namun, Allah menjelaskan kriteria mereka, yaitu hamba-hamba-Nya yang shalih, beriman, beramal shalih, menyembah-Nya, tidak menyekutukan-Nya dengan yang lain, berjuang berjamaah dan tidak sendiri. Perjuangannya sepenuhnya terikat dengan Islam, baik dari aspek pemikiran, hukum maupun pandangan.

Pertanyaannya kemudian, bukankah semuanya ini sudah ada, tetapi mengapa kemenangan dan pertolongan-Nya belum juga datang?

Jawabannya, semua itu terserah Allah, karena ini hak prerogatif Allah. Kapan, di mana serta kepada siapa kemenangan dan pertolongan itu diberikan, terserah Allah. Kadang kemenangan dan pertolongan itu diberikan; meski jumlah orangnya tidak banyak, sebagaimana dalam Perang Badar. Bahkan Allah memberikan pelajaran berharga dalam Perang Hunain. Jumlah yang banyak ternyata tidak ada gunanya. Sebabnya, kemenangan dan pertolongan itu di tangan Allah. Bukan ditentukan oleh kuantitasnya.

Untuk memastikan kemenangan itu di tangan Allah dan diberikan kepada siapa saja yang Allah kehendaki, Allah memilih momentum pertolongan dan kemenangan itu:

“Sampai ketika para utusan itu merasa putus asa dan mereka mengira bahwa mereka telah didustakan, lalu datanglah kepada mereka pertolongan Kami. Lalu Kami menyelamatkan siapa saja yang Kami kehendaki. Siksa Kami tidak akan bisa dielakkan dari kaum yang melakukan kejahatan (TQS Yusuf [12]: 110). 

Ini juga dijelaskan dalam QS al-Baqarah (2) ayat 214, dan QS al-Ahzab (33) ayat 11. Semuanya menjelaskan momentum datangnya kemenangan dan pertolongan Allah, yakni ketika jalan-jalan yang dilalui para pejuang, pengemban dakwah dan kekasih Allah itu sudah buntu. Supaya tidak ada satu pun yang merasa, seolah kemenangan itu karena mereka. Supaya mereka yakin, seyakin-yakinnya, bahwa kemenangan dan pertolongan itu memang murni dari Allah SWT.

Karena itu, dalam hal ini ada dua yang harus dibedakan:
1. Secara Itiqadi (akidah), kemenangan dan pertolongan itu di tangan Allah. Bukan di tangan manusia. Karena itu sebab datangnya kemenangan dan pertolongan itu adalah Allah sendiri.

2. Secara i’tiqadi (akidah), kemenangan dan pertolongan itu bagian dari Qadha' dan Qadar Allah, juga telah dinyatakan di Lauh al-Mahfudz; tentang kapan, di mana dan kepada siapa diberikan. Dengan kata lain, ini masalah ilmu Allah.

3. Secara syar'i (syariah), manusia wajib melakukan hukum sebab-akibat sebagai ikhtiar mewujudkan halat [keadaan] sehingga memantaskan diri menjadi orang-orang dan kelompok yang layak diberikan kemenangan dan pertolongan oleh Allah. Memantaskan diri, baik secara pribadi maupun kelompok.

4. Sebagaimana bekerja dalam mencari rezeki hanyalah halat (keadaan), bukan sebab datangnya rezeki, karena sebabnya rezeki adalah Allah, maka hukum sebab-akibat dalam perjuangan untuk mendapatkan kemenangan dan pertolongan oleh Allah itu tetap bukan penentu. Meski tetap harus dilakukan dengan sebaik mungkin, dengan secepat mungkin, dan semaksimal mungkin. Karena penentunya adalah Allah.

Maka dari itu Allah SWT menegaskan:

Katakanlah [Muhammad], “Berjuanglah. Allah pasti akan menyaksikan perjuanganmu. Begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman.” (TQS at-Taubah [9]: 105).

WalLahu a’lam. []


Catatan kaki:

1. Lihat, Dr. Muhammad Khair Haikal, al-Jihad wa al-Qital fi as Siyasah as-Syar’iyyah, Dar al-Bayariq, Beirut, cetakan II, tahun 1417 H/ 1996 M, Juz I/409-414.

2. Lihat, Syaikh Sa'id Ridhwan, Muhawalatun Li al-Fahmi al-Fahmu al-Qawim li Fahmin Salim, Dar al-Wadhdhah, Beirut, cetakan l, 1426 H/20l5 M, hal. 161.

3. Lihat, al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur'an, QS. al-Anbiya’: 105.

4. Lihat, at-Thabari, Tafsir at-Thabari; QS. Ali 'Imran: 104.

5. Lihat, HR. Muslim, no.1920; Abu Dawud, no.2484; Ahmad, no.19851.[]

Sumber: Media Politik dan Dakwah al-Wa'ie  edisi Syawal, 1-30 Juni 2020 
 


Senin, 01 Juni 2020

Adab Memanggil Rasulullah SAW - TAFSIR al-Hujurat: 4-5



Oleh: Rokhmat S. Labib, MEI

“Sesungguhnya orang-orang yang memanggil kamu dari luar kamar(mu) kebanyakan mereka tidak mengerti. Dan kalau sekiranya mereka bersabar sampai kamu keluar menemui mereka sesungguhnya itu adalah lebih baik bagi mereka, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (TQS. al-Hujurat [49]: 4-5)

Islam telah menetapkan sejumlah adab bergaul dengan Rasulullah . Di antaranya adalah dalam memanggil beliau ketika berada di dalam kamar istri-istrinya. Tidak diperkenankan memanggil beliau dari luar, apalagi dengan bersuara keras dan kasar. Sebaliknya, harus bersabar menunggu hingga beliau keluar darinya. Inilah di antara yang terangkan oleh ayat ini.

Memanggil dari luar

Allah SWT berfirman: Inna al-Iadziina yunaadawnaka min waraa’ al-hujuraat (sesungguhnya orang-orang yang memanggil kamu dari luar kamar[mu]). Jika di dalam ayat sebelumnya berisi tentang adab berbicara dengan Rasulullah , maka dalam ayat ini diterangkan tentang adab memanggil beliau ketika beliau berada di dalam kamar.

Ada beberapa riwayat tentang sebab turunnya ayat ini. Di antaranya adalah riwayat Mujahid dan lainnya asebagaimana dikutip Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya, bahwa ayat ini turun berkenaan dengan orang Arab Badui Bani Tamim. Ada delegasi mereka yang mendatangi Nabi dan masuk masjid seraya memanggil beliau dari luar kamarnya: ”Keluarlah engkau untuk menemui kami karena pujian kami adalah indah dan celaan kami adalah keburukan." Di samping itu, masih ada beberapa riwayat lain yang kejadiannya hampir sama sebagaimana diberitakan dalam ayat ini. Bahwa memanggil Rasulullah min waraa’ al-hujuraat.

Frasa min waraa’ al-hujuraat berarti min khaarijihaa (dari luarnya), baik dari depan maupun dari belakang. Sebab kata waraa‘a berasal dari kata al-muwaarah wa al-istitaar (yang tersembunyi dan tertutup). Maka semua yang tidak terlihat olehmu adalah waraa‘a, baik dia berada di belakang atau di depan. Apabila kamu dapat melihatnya, maka tidak disebut waraa‘aka. Oleh karena itu, ketika kata waraa‘a ini dikaitkan dengan orang yang berada di dalam al-hujuraat (kamar-kamar), maka menunjuk kepada semua yang ada di luar lantaran tertutup dari penglihatan orang yang berada di dalam. Demikian penjelasan Syihabuddin al-Alusi dalam tafsirnya.

Sedangkan kata al-hujuraat merupakan bentuk jamak dari kata al-hujrah. Secara bahasa, kata tersebut bermakna al-ruq'ah min al-ardh al-mahjuurah bi haaith yahuuthu 'alayha (suatu bidang tanah yang dipagari dengan pagar yang memagarinya). Kata khathiirah al-ibil (kandang unta) disebut juga al-hujrah. Demikian penjelasan al-Qurthubi dalam tafsirnya. Termasuk dalam hujrah adalah ghurfah (kamar).

Dalam konteks ayat ini, yang dimaksud dengan al-hujuraat adalah kamar-kamar istri Nabi , yang masing-masing memiliki pintu. Demikian dikatakan al-Zamakhsyari dan al-Jazairi dalam tafsir mereka. Dikatakan juga oleh al-Alusi, istri-istri Nabi yang berjumlah sembilan orang itu masing-masing memiliki kamar.

Menurut al-Zamakhsyari, panggilan mereka dari luar kamar-kamar tersebut mengandung arti bahwa mereka berpencaran pada tiap-tiap kamar, lalu sebagian orang memanggil Rasulullah dari luar kamar yang satu, dan sebagian lainnya memanggil di kamar yang lainnya. Bisa juga, mereka semua mendatangi semua kamar satu per satu dan memanggil beliau dari luar kamar. Atau, mereka memanggil dari luar sebuah kamar yang ketika itu istri-istri Nabi sedang dikumpulkan dalam satu kamar.

Perbuatan tersebut, sekalipun disandarkan kepada semua mereka, akan tetapi bisa saja yang melakukannya sebagian dari mereka, sedangkan yang lain ridha dengan perbuatan tersebut, sehingga seolah-olah dilakukan mereka semua.

Kemudian ditegaskan Aktsaruhum laa ya'lamuun (kebanyakan mereka tidak mengerti). Yang dimaksud dengan laa ya'lamuun adalah bodoh dan sedikit ilmu. Al-Khazin berkata, ”Ini merupakan penyifatan mereka dengan al-jahl wa qillat al-'aql (bodoh dan sedikit ilmu).” Ibnu Jarir al-Thabari juga berkata tentang ayat ini, ”Sebagian besar mereka bodoh terhadap agama Allah SWT. Dan kewajiban mereka itu merupakan hakmu dan sebagai penghormatan terhadapmu."

Dengan demikian, ayat ini mencela tindakan orang-orang yang memanggil Rasulullah dengan suara keras dari luar kamar. Ibnu Katsir berkata, ”Kemudian Allah SWT mencela orang-orang yang memanggil beliau dari luar kamar, yakni kamar-kamar istri beliau, sebagaimana dilakukan oleh orang-orang Arab Badui yang bertabiat kasar."

Patut dicatat, hukum tersebut ditujukan untuk al-aktsar (sebagian besar) dan bukan untuk al-kull (semuanya). Menurut Syihabuddin al-Alusi, karena di antara mereka ada yang tidak bermaksud melanggar adab. Akan tetapi, mereka memanggil untuk suatu urusan yang mereka katakan.

Seandainya Mau Bersabar

Dalam ayat berikutnya Allah SWT berfirman: Walaw annahum shabaruu hattaa takhruja ilayhim (dan kalau sekiranya mereka bersabar sampai kamu keluar menemui mereka). Jika dalam ayat sebelumnya diterangkan tentang orang-orang yang berlaku suu’ al-adab (tidak sopan), yakni berteriak-teriak dan memanggil Rasulullah dari luar kamar, maka dalam ayat ini menerangkan orang-orang yang berlaku sebaliknya. Yakni, orang-orang yang mau bersabar menunggu hingga Rasulullah  keluar dan menemui mereka.

Fakhruddin al-Razi berkata, "Ini mengisyaratkan tentang husn al-adab (adab yang baik) yang berbeda dengan suu’ al-adab (adab yang buruk) yang mereka lakukan. Seandainya mereka bersabar tehadap apa yang mereka butuhkan dan ketika kamu keluar untuk menemui mereka, maka mereka tidak mendatangi kamu pada waktu bersendiri untuk dirimu sendiri, keluarga, dan Tuhanmu karena sesungguhnya dirimu memiliki hak, demikian pula keluargamu.”

Patut dicatat, Nabi memang diutus untuk mendakwahkan risalahnya dan mengurus umat. Dan itu pula dilakukan Nabi . Meskipun demikian, beliau tetap memerlukan waktu untuk istirahat dan mengurus keluarganya. Maka ketika itu sedang beliau lakukan, hendaknya tidak mengganggu beliau. Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa panggilan kepada Rasulullah dari luar kamar itu dilakukan ketika beliau sedang istirahat siang.

Kemudian Allah SWT berfirman: lakaana khayr[an] lahum (sesungguhnya itu adalah lebih baik bagi mereka). Ini adalah pujian kepada orang-orang yang mau bersabar menunggu Nabi keluar dari kamar istrinya. Dikatakan Ibnu Katsir, ”Jika mereka melakukan hal itu, maka mereka akan memperoleh kebaikan dan kemaslahatan di dunia dan akhirat.”

Imam al-Qurthubi juga berkata, "Seandainya mereka mau menunggu kamu keluar, sungguh itu lebih baik bagi mereka, baik dalam agama mereka maupun bagi dunia mereka. Rasulullah tidak tersembunyi dari manusia kecuali pada waktu-waktu tertentu yang beliau sedang sibuk mengerjakan urusan peribadinya. Maka, panggilan mereka kepada Rasulullah ketika itu merupakan tindakan suu‘ul adab (adab yang buruk).”

Al-Baidhawi berkata, ”Sesungguhnya sikap sabar itu lebih baik bagi mereka daripada tergesa-gesa lantaran sikap tersebut termasuk menjaga adab dan hormat terhadap Rasul yang meniscayakan pujian dan pahala.”

Ayat ini pun ditutup dengan firman-Nya: WalLaah Ghafuur[un] Rahiim[un] (dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang). Dikatakan Ibnu Jarir al-Thabari, ”Allah SWT memiliki ampunan terhadap orang-orang yang memanggilmu dari luar kamar jika mereka bertaubat dari maksiat kepada Allah SWT, yakni panggilan mereka kepadamu dan mau kembali kepada perintah Allah SWT dalam perakara itu dan lainnya. Rahiim (Maha Penyayang) untuk menghukum manusia atas dosanya setelah bertaubatnya darinya."

Ayat ini juga dapat dipahami sebagai dorongan untuk bertaubat dari perbuatan tersebut dan perbuatan lainnya yang melanggar syara'.

Diterangkan juga oleh al-Zamakhsyari, kedua kata itu untuk mengungkapkan keluasan ampunan dan rahmah (kasih sayang). Maka, Dia tidak menyempitkan ampunan dan rahmat-Nya kepada mereka jka mereka mau bertaubat dan kembali  kepada Allah SWT.

Demikianlah. Islam telah menggariskan adab dan tatakrama bergaul dengan Rasulullah . Menurut Sayyid Quthb dalam tafsirnya, umat Islam pun menyadari tentang adab yang tinggi ini. Sehingga adab itu juga mereka terapkan kepada guru dan ulama. Diceritakan dari Abu Ubaid, seorang ulama yang zuhud dan perawi yang tsiqah, dia berkata, "Aku tidak pernah mengetuk pintu ulama hingga ketika dia keluar." Wal-Laah a'lam bi al-shawaab.[]

Ikhtisar:

1. Memanggil Rasulullah dari luar kamar ketika beliau berada di dalamnya adalah tindakan suu'u al-adab (tidak sopan).

2. Husn al-adab (adab yang baik) adalah menunggu beliau hingga keluar dari kamarnya.

3. Jika sudah telanjur berbuat tidak sopan dengan beliau, maka langkah yang harus diambil segera adalah bertaubat dan meminta ampun kepada-Nya.

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 166

Download BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam