Unduh BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Rabu, 22 Mei 2019

Berpaling Dari Syariah: Berbuat Kerusakan Di Muka Bumi - TAFSIR QS Muhammad: 22-23



Oleh: Rokhmat S. Labib, MEI

Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka.” (TQS. Muhammad [47]: 22-23)

Hukum Allah SWT yang diturunkan kepada Rasulullah untuk diamalkan dan dikerjakan. Ketika diamalkan, maka pelakunya akan menjadi baik. Bahkan tatkala berkuasa di muka bumi, niscaya akan memperbaiki kehidupan di atas muka bumi. Sebaliknya, ketika manusia berpaling darinya, dia akan rusak dan tersesat. Ketika berkuasa atas manusia, dia pun akan membuat kerusakan di bumi. Atas perilaku tersebut, maka pelakunya layak untuk mendapatkan hukuman dari Allah SWT. Inilah di antara yang dijelaskan oleh ayat ini.

Berbuat Kerusakan

Allah SWT berfirman: Fa hal 'asaytum in tawallaytum an tufsiduu fii al-ardh (maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan menguat kerusakan di muka bumi). Dalam ayat sebelumnya Allah SWT memberitakan sikap orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya, yakni orang-orang munafik. Mereka diberitakan amat takut terhadap perintah berjihad. Mereka pun mendapatkan ancaman atas sikap tersebut; seraya diberikan nasihat, seandainya mereka mau beriman dengan benar dan taat terhadap perintah-Nya, maka itu lebih baik bagi mereka.

Ayat ini masih membicarakan mereka. Dikatakan al-Alusi dan al-Syaukani, khithaab (seruan) ayat ini ditujukan kepada orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit. Pengalihan khitaab tersebut untuk menegaskan celaan dan mengukuhkan teguran.

Kata 'asaa mengandung makna li al-tawaqqu‘ (untuk memprediksi). Hanya saja jika berasal dari Allah SWT mengandung makna pasti terjadi. Demikian menurut Wahbah al-Zuahili dalam tafsirnya, al-Muniir.

Diterangkan Fakhruddin al-Razi, kata hal merupakan istifhaam (kalimat tanya). Dalam konteks ayat ini, kata tersebut bermakna li al-taqriir al-muakkad (menetapkan perkara yang dikukuhkan).

Sedangkan tawallaytum, terdapat perbedaan panafsiran tentangnya. Pertama, berasal dari al-wilaayah (kekuasaan), artinya jika kamu memegang kekuasaan dan manusia berada di bawah kekuasaanmu. Abu al-‘Aliyah, sebagaimana dikutip al-Qurthubi, memaknai ayat ini dengan ungkapan, ”Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa, kamu akan berbuat kerusakan di muka bumi dengan menerima suap?" Al-Kalbi juga berkata, ”Maka, apakah sekiranya jika kamu berkuasa atas urusan umat, kamu akan berbuat kerusakan di muka bumi dengan kezhaliman?”

Kedua, berasal dari al-tawallii yang bermakna al-i'raadh (berpaling). Artinya, mereka berpaling dari Islam. Di antara yang berpendapat demikian adalah Ibnu Jarir. Mufassir tersebut berkata, "Sekiranya kamu berpaling dari kitab Allah SWT, meninggalkan hukum-hukum kitab-Nya, dan berpaling dari Nabi Muhammad beserta semua yang dibawa oleh beliau untuk kalian.”

Qatadah, sebagaimana dikutip al-Thabari dan al-Qurthubi juga berkata tentang ayat ini: ”Bagaimana menurut kalian tentang suatu kaum yang ketika berpaling dari kitab Allah, apakah mereka akan menumpahkan darah yang haram, memutuskan kekeluargaan, dan durhaka terhadap al-Rahman?"

Menurut Fakhruddin al-Razi, makna kedua ini lebih sesuai dengan konteks ayat sebelumnya. Yakni, kalian menolak perang dan mengatakan bahwa di dalam perang terjadi perusakan dan pemutusan hubungan kekeluargaan karena orang-orang kafir itu adalah kerabat kamu. Maka, hal itu tidak akan terjadi dari kalian kecuali kamu berperang atas dasar sesuatu yang paling rendah sebagaimana adat bangsa Arab.

Sedangkan makna an tufsiduu fii al-ardh (kamu akan membuat kerusakan di muka bumi), Ibnu Jarir al-Thabari berkata, ”Kamu durhaka kepada Allah SWT di muka bumi, lalu kamu kufur kepada-Nya, dan menumpahkan darah."

Kemudian disebutkan: wa tuqaththi'uu arhaamakum (dan memutuskan hubungan kekeluargaan?). Kata al-arhaam merupakan bentuk jamak dari kata al-rahim. Menurut al-Asfahani, kata itu berarti rahim wanita. Kemudian digunakan untuk menyebut sanak kerabat karena berasal dari rahim yang sama.

Menurut Imam al-Qurthubi, secara global al-rahim ada dua jenis, yakni: umum dan khusus. Rahim yang umum adalah rahim al-din (kekeluargaan dalam agama) yang wajib terus disambung dengan memantapkan keimanan, mencintai pemeluknya, memberikan pertolongan dan nasihat, tidak menjatuhkan bahaya kepada mereka, berlaku adil di antara mereka, bersikap lurus dalam bermuamalah dengan mereka, menunaikan hak-hak mereka yang diwajibkan, seperti mengunjungi orang yang sakit, menunaikan hak-hak orang yang meninggal, seperti memandikan, mensholati, memakamkan, dan berbagai hak lainnya.

Adapun al-rahim yang khusus adalah rahim al-qaraabah, kekeluargaan berdasarkan kekerabatan karena berasal dari pihak laki-laki, baik bapak maupun ibunya. Dalam hal ini wajib menunaikan hak khusus dan tambahan, seperti nafkah, memonitor keadaan mereka, senantiasa merawat mereka dalam waktu-waktu darurat mereka, memastikan dalam hak mereka terdapat hak rahim yang bersifat umum, hingga ketika terjadi bentrok, maka didahulukan hak mereka dari paling dekat, kemudian yang dekat. Menurut al-Qurthubi, semua yang dicakup oleh al-rahim tersebut wajib dijaga hubungannya dalam semua keadaan, baik karena kerabat maupun karena agama.

Dalam ayat ini diberitakan bahwa orang-orang yang di dalam hatinya itu ada penyakit, ketika mereka berkuasa atau berpaling dari agama, mereka akan memutuskan hubungan rahim ini. Sesuatu yang dilarang oleh Islam. Rasulullah bersabda: “Tidak masuk Surga orang yang memutuskan hubungan silaturahim” (HR. Muslim, dari Jubair bin Muth'im). Abdurrahman al-Sa'di juga menerangkan bahwa terikat dengan ketaatan kepada Allah dan mengerjakan perintah-Nya, maka itulah kebaikan, bimbingan, dan keberuntungan; atau berpaling dari itu. Berpaling dari ketaatan kepada Allah SWT, maka di situlah kerusakan di muka bumi dengan melakukan kemaksiatan dan pemutusan hubungan kekeluargaan.

Hukuman Bagi Pelakunya

Kemudian Allah SWT berfirman: Ulaaika al-ladzii la'anahumulLaah (mereka itulah orang-orang yang dila'nati Allah). Kata ulaaika merujuk kepada orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan tali kekeluargaan. Allah SWT pun menjatuhkan hukuman kepada mereka berupa laknat. Yakni, menjauhkan mereka dari rahmat-Nya.

Hukuman lainnya adalah: Fa ashammahum (lalu ditulikan-Nya telinga mereka). Menurut al-Asfahani, kata ashamma berasal dari kata al-shamam yang berarti hilangnya indera pendengaran. Kata ini juga digunakan untuk menyifati orang yang tidak mendengarkan dan tidak menerima kebenaran. Makna ini pula yang dikandung ayat ini. Ibnu Jarir al-Thabari berkata, "Maksudnya, mencabut pemahaman nasihat-nasihat Allah SWT dalam kitab-Nya yang mereka dengar dengan telinga mereka.

Di samping itu juga: Wa a'maa abshaarahum (dan dibutakan-Nya penglihatan mereka). Kata a'maa berasal dari al-‘amaa. Kata ini berarti hilangnya penglihatan dan pemahaman. Makna yang kedua ini digunakan dalam firman Allah SWT: “Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada” (TQS. al-Hajj [22]: 46).

Dijelaskan ayat ini, mereka mendapatkan hukuman berupa dibutakan mata mereka. Al-Syaukani berkata, ”Maka Dia membuat mereka tuli dari mendengarkan kebenaran dan membuat mata mereka buta dari menyaksikan segala sesuatu yang menjadi bukti-bukti tauhid, kebangkitan, dan kebenaran semua yang diserukan oleh Rasulullah .”

Dikatakan Ibnu Katsir, ini merupakan larangan berbuat kerusakan di muka bumi secara umum, dan larangan memutuskan hubungan silaturahim secara khusus. Sebaliknya Allah SWT memerintahkan supaya melakukan perbaikan di muka bumi dan menyambung tali silaturahim, yakni berbuat baik dengan sanak famili, baik melalui ucapan maupun perbuatan, serta memberikan harta kekayaan.

Demikianlah. Orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit, yakni orang-orang munafik berkuasa dan berpaling dari syariah, mereka akan membuat kerusakan di atas muka bumi. Mereka juga akan memutuskan hubungan, baik karena kekerabatan maupun keimanan. Atas perilaku mereka, mereka pun dilaknat Allah SWT. Yakni dijauhkan dari rahmat Allah SWT. Tak hanya itu, pendengaran mereka dibuat tuli dalam mendengarkan kebenaran dan mata beserta akalnya dibutakan oleh Allah SWT sehingga mereka tidak bisa melihat dan memahami berbagai dalil, nasihat, dan pelajaran dari Allah SWT. Akibatnya, mereka makin tersesat jauh. Semoga kita dijauhkan dari mereka. Wal-Laah a'lam bi al-shawaab.[]

Ikhtisar:

1. Ketika orang-orang munafik berkuasa dan berpaling dari hukum Allah SWT, niscaya mereka akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan silaturahim.

2. Atas tindakan mereka itu, mereka diberikan hukuman berupa mendapatkan laknat, dibuat tuli pendengarannya, dan dijadikan buta penglihatan dan akalnya.[]

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 176

Rabu, 08 Mei 2019

Skema Build-Operate-Transfer (BOT) Atau Bangun-Guna-Serah Dalam Timbangan Hukum Syariat Islam



Oleh: Annas I. Wibowo, S.E.

Build–operate–transfer (BOT) atau build–own–operate–transfer (BOOT) adalah sebuah bentuk pendanaan proyek, di mana entitas swasta mendapatkan konsesi dari entitas swasta atau pemerintah untuk mendanai, mendesain, membangun, memiliki, dan mengoperasikan sebuah fasilitas yang ditentukan dalam kontrak selama masa tertentu. Skema BOT banyak dilakukan di proyek infrastruktur yang penting bagi kesejahteraan sosial semacam transportasi kereta api, pabrik penyulingan, dan pembangkit listrik. Selama masa kontrak, pihak swasta memiliki dan berhak mengambil semua keuntungan dari pengoperasian fasilitas yang dibangun. Di akhir masa konsesi, biasanya kepemilikan fasilitas yang dibangun sepenuhnya diserahkan kepada pemerintah.

Sebagian atau seluruh pihak berikut ini terlibat dalam proyek BOT:
·  Pemerintah: Biasanya menjadi inisiator proyek dan menyediakan sejumlah dukungan seperti menyediakan lahan dan perubahan aturan-aturan.
·  Pemegang izin/ konsesi: Para sponsor proyek yang berperan sebagai concessionaire menciptakan special purpose entity (SPE, dalam hal ini adalah perusahaan swasta yang dibuat secara khusus oleh perusahaan-perusahaan induk pemegang konsesi untuk menjalankan skema BOT) dan berkontribusi dalam modal perusahaan SPE itu.
·  Bank pemberi utang: Kebanyakan proyek BOT didanai -dalam porsi yang besar- melalui utang komersial (dengan riba). Bank asing atau dalam negeri memberi utang kepada perusahaan SPE.
·  Pemberi utang lainnya: SPE mungkin memiliki sejumlah pemberi utang yang lain seperti bank pembangunan nasional atau regional.
·  Pihak-pihak terkait kontrak proyek: Karena SPE hanya memiliki sejumlah terbatas tenaga kerja, dia akan mensubkontrakkan sebagian pekerjaan ke pihak ketiga untuk memenuhi kewajibannya dalam kesepakatan konsesi. Dia juga harus memastikan adanya cukup kontrak dengan penyuplai material dan sumberdaya lain yang dibutuhkan proyek.

Dalam proyek BOT perusahaan proyek atau operator mendapatkan penghasilan dari pembayaran yang diberikan pemerintah atau dari tarif yang dibebankan kepada konsumen, misalnya untuk jalan tol. Penghasilan itu diperlukan untuk menutup biaya, mengembalikan modal dan menghasilkan keuntungan. (lihat: https://en.wikipedia.org/wiki/build–operate–transfer)

Di Republik Indonesia skema pembangunan build-operate-transfer ada dalam Permendagri Nomor 19 Tahun 2016 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah dengan istilah Bangun Guna Serah (BGS).

Skema BOT dapat dirinci ke dalam aspek politik luar negeri, kepemilikan harta, pengelolaan, dan akadnya.

Pada aspek politik luar negeri, BOT bisa melibatkan kerjasama dengan swasta asing dan/atau pemerintah negara asing. Dilihat dari status negara asing beserta perusahaan swastanya, terbagi menjadi 3:
1.    Negara Kafir Harbi Fi’lanAd-Daulah Al-Muharibah Fi’lan (negara kafir harbi yang secara de facto sedang memerangi kaum Muslimin)
2.    Negara Kafir Harbi HukmanAd-Daulah Al-Muharibah Hukman (negara kafir harbi secara hukum/ de jure)
3.    Negara Kafir Mu’ahid - Ad-Dawlah Al-Mu’ähidah (negara yang mempunyai perjanjian dengan negara Khilafah)

Syariat melarang perjanjian kerjasama apapun dengan Negara Kafir Harbi Fi’lan. Negara tersebut wajib diperangi.

Daulah Islamiyah boleh menjalin perjanjian kerjasama dengan Negara Kafir Harbi Hukman yaitu yang tidak berperang dengan kaum Muslimin, begitu pula dengan Negara Kafir Mu’ahid sesuai dengan klausul perjanjian dengan mereka.

Syariat Islam pun telah menggariskan kerjasama dengan Negara Kafir Harbi Hukman yang boleh dilakukan dan yang dilarang. Ditinjau dari aspek kepemilikan harta, infrastruktur/fasilitas yang dikonsesikan dengan skema BOT dimiliki oleh pihak swasta sejak awal proyek meskipun hanya selama periode tertentu, baik kepemilikannya sebagian maupun seluruhnya. Kerjasama pemerintah dan swasta bisa berwujud perusahaan yang dimiliki bersama (joint venture) atau pemerintah mengelola sebagian urusan dan swasta mengelola sebagian yang lain. Perusahaan joint venture di mana pihak swasta menjadi sekutu modal maupun menjadi sekutu tenaga/manajemen sebagai pengelola harta milik umum hukumnya haram. Tidak boleh mengubah kepemilikan umum menjadi dikuasai oleh swasta meskipun saham kepemilikan swasta itu hanya sebagian saja. Tidak boleh pula swasta turut memiliki dengan menjadi sekutu tenaga dalam sebuah syirkah sehingga pengelolanya pemerintah bersama swasta.

Infrastruktur yang menurut syariat Islam tergolong harta Baitul Mal milik umum/ masyarakat secara bersama maka haram dikuasai oleh individu/swasta dalam negeri maupun asing. Harta yang tergolong milik umum ini contohnya jalan-jalan umum termasuk yang populer disebut dengan jalan tol, sungai, danau, kanal atau terusan besar seperti terusan suez, pulau buatan, lapangan umum, masjid.

Infrastruktur yang boleh menjadi milik umum maupun negara contohnya industri pengeksploitasian tambang, pemurnian barang tambang dan peleburannya, juga minyak bumi dan penyulingannya.

Jika dilakukan swastanisasi maka salah satu dampaknya adalah berlakunya prinsip bisnis mencari keuntungan sebesar-besarnya, harga barang atau jasa yang dihasilkan dari infrastruktur itu menjadi mahal atau tidak terjangkau banyak orang, dan keuntungannya pun tidak kembali kepada masyarakat. Padahal semestinya pendapatan dari infrastruktur milik umum merupakan milik bersama masyarakat dan mereka berserikat dalam harta tersebut. Harta ini merupakan salah satu sumber pendapatan Baitul Mal kaum muslimin di mana Khalifah -sesuai dengan ijtihadnya berdasarkan hukum syara’- membagikan harta tersebut kepada mereka demi kemaslahatan Islam dan kaum muslimin.

Infrastruktur yang boleh dimiliki oleh swasta yaitu semisal landasan pesawat terbang, sarana transportasi seperti bus dan pesawat terbang, pabrik motor, alat-alat penambangan. Dalam kategori ini, Kafir Harbi Hukman maupun Mu’ahad tetap tidak boleh memiliki tanah maupun bangunan termasuk pabrik di negara Khilafah. Konsekuensi kepemilikan warga asing atas tanah dan bangunan itu mengakibatkan adanya pemanfaatan untuk kepentingan mereka, baik sebagai pribadi maupun negaranya. Dalam konteks inilah maka para ulama menegaskan hukum kepemilikan atas tanah dan bangunan di wilayah negara khilafah berbeda dengan hukum kepemilikan atas barang bergerak. Karena status tanah dan bangunan sangat strategis. (lihat: KH. Hafidz Abdurrahman, Kebijakan Khilafah Terhadap Kepemilikan Properti oleh Orang Asing)

Dilihat dari aspek pengelolaan, infrastruktur BOT dikelola oleh swasta sepenuhnya atau bekerjasama dengan pemerintah. Jika swasta mengelola dengan ber-syirkah dengan pemerintah maka hukumnya tidak boleh sebagaimana telah dijelaskan. Infrastruktur milik umum wajib dikelola oleh negara sehingga tidak boleh diserahkan pengelolaannya kepada swasta.

Infrastruktur yang boleh dimiliki individu maka boleh dikelola swasta. Misalnya, Daulah berkewajiban mengeksploitasi barang tambang sebagai harta milik umum terutama yang berada di dalam perut bumi untuk memenuhi kebutuhan kaum muslimin. Upaya pengeluaran ini dapat saja langsung dikuasai Daulah dengan menggunakan industri dan alat-alat yang dimilikinya atau dapat juga mempekerjakan swasta yang menerima upah dari Daulah atas upayanya tersebut, atas manfaat yang ditimbulkannya, atau atas jasa alat milik swasta yang digunakan. Dalam hal ini swasta mengelola teknis menambang dan peralatannya, bukan mengelola tambangnya. Negara sebagai pengelola tambang adalah pihak yang bertanggung jawab atas tambang itu mewakili kaum Muslimin.

Seandainya negara mempekerjakan tenaga ahli asing, yaitu dari negara Kafir Harbi Hukman maka harus diperhatikan bahwa masa tinggal di negara Khilafah hanya boleh dalam jangka waktu di bawah satu tahun. Hal ini karena seorang harbi dibolehkan tinggal di Darul Islam tanpa ditarik jizyah, padahal jizyah dipungut satu tahun sekali. Artinya, maksimal harbi boleh tinggal tanpa jizyah selama satu tahun. Jika dia tinggal lebih dari satu tahun, dia diberi pilihan: akan tinggal secara tetap dan membayar jizyah atau keluar dari Darul Islam. Jika dia membayar jizyah, berarti dia menjadi ahl adz-dzimmah atau warga negara Khilafah.

Namun demikian, kesepakatan BOT tetap tidak boleh dibuat, baik antara pemerintah dan swasta dalam negeri maupun antar sesama swasta dalam negeri. Akad kerjasama dengan skema BOT dapat dipandang sebagai kesepakatan syirkah. Contoh: pemerintah menjadi sekutu modal saja yang menyediakan lahan -yang sifatnya boleh dimiliki individu- sementara swasta menjadi sekutu tenaga sekaligus sekutu modal yang harus membangun rest area dengan spesifikasi yang telah disepakati. Masa syirkah berakhir setelah 15 tahun. Selama masa syirkah, pemerintah setuju untuk tidak mendapat bagi hasil apapun dan tidak bertanggung jawab atas kerugian apapun. Namun, di akhir masa syirkah swasta harus memberikan bangunan beserta lahan kepada pemerintah.

BOT menyalahi ketentuan syirkah dalam Islam. Kedua pihak seharusnya bersepakat atas nisbah (persentase) tertentu dari laba yang diperoleh. Dan jika ada kerugian maka kerugian harta itu ditanggung pemodal. Tidak boleh ditentukan laba yang sudah dijamin, yang dalam hal ini berupa infrastruktur yang harus diberikan kepada pemerintah.

Jika skema BOT dibuat dengan pendekatan sebagai akad sewa lahan sekaligus ijarah atas tenaga maka ini haram. Contohnya: pemerintah menyediakan lahan -yang sifatnya boleh dimiliki individu- untuk digunakan oleh swasta membangun rest area dengan harga sewa yang harus dibayar setelah 15 tahun yaitu berupa bangunan rest area dengan spesifikasi yang telah disepakati. Pemerintah juga mensyaratkan perusahaan swasta itu untuk mengelola rest area yang sudah jadi dan pendapatan dari pengelolaannya itu dimiliki sepenuhnya oleh swasta. Selain itu, pemerintah juga mensyaratkan rest area itu harus terus buka dan beroperasi selama 24 jam, tidak boleh libur, tidak boleh ditutup bisnisnya itu, dan tidak boleh pula bisnisnya disewakan, atau dijual kepada swasta yang lain. Berarti dalam hal ini pemerintah mempekerjakan swasta untuk mengelola rest area. Jadi akad ini merupakan multiakad yang dilarang oleh syariat Islam.

Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud ra.:
نَهَى عَنْ صَفْقَتَيْنِ فِي صَفْقَةٍ واَحِدَةٍ
“Rasulullah Saw. melarang dua akad dalam satu transaksi.” (HR. Ahmad, hadits shahih)

Di samping itu, akad ijarah-nya pun tidak sesuai syariat, yaitu upah bagi swasta tidak jelas bahkan swasta harus mengusahakan pendapatannya sendiri dari mengelola rest area itu.
Nabi SAW bersabda: "Siapa yang mengontrak seorang ajiir maka hendaknya dia memberitahukan upahnya." (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya, dari Abu Hurairah dan Abu Said)
كُلُّ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ
“Setiap syarat yang tidak sesuai dengan Kitabullah, maka ia adalah bathil, meskipun ada seratus syarat.” (HR. Bukhari, Muslim, Ibnu Majah, Ahmad, Ibnu Hibban)

Maka yang boleh adalah akad sewa saja atau akad ijarah atas tenaga saja. Misal, pemerintah menyewakan lahan miliknya selama 15 tahun kepada swasta dengan harga yang harus dibayar di akhir masa sewa berupa bangunan rest area di atas lahan itu dengan spesifikasi yang disepakati, tanpa syarat dalam hal pengelolaan atas rest area-nya. Maka ini bukan kerjasama BOT.

Contoh ijarah yang boleh: pemerintah dengan dananya mempekerjakan swasta untuk membangun dan mengelola rest area dengan upah yang jelas selama masa kontrak ijarah. Lahan, bangunan, dan uang dalam pengelolaan rest area itu –termasuk keuntungannya- adalah milik pemerintah. Maka ini juga bukan BOT. Meski upahnya jelas tapi jika skema kerjasamanya tetap BOT maka tetap terlarang.

WalLaah a'lam bi al-shawaab.


Referensi:
Asy-Syaikh al-‘Alim ‘Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah, Jawab-Soal Tentang Hukum Akad Murabahah
https://alwaie.id/iqtishadiyah/cara-islam-membiayai-pembangunan-infrastruktur/
KH. Hafidz Abdurrahman, Kebijakan Khilafah Terhadap Kepemilikan Properti oleh Orang Asing, Tabloid Mediaumat Edisi 186
KH. Shiddiq al-Jawi, Kafir Harbi, Musta’min, dan Ahlul Dzimmah, mediaumat.news
Syaikh Abdul Qadim Zallum, Sistem Keuangan Negara Khilafah, Hizbut Tahrir Indonesia
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Nizhom al-Iqtishadi fil Islam, Hizbut Tahrir 

Download BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam