Ketika Barat yang
kafir mampu menjadikan metode kehidupannya sebagai metode yang diikuti oleh
umat manusia, kaum Muslim justru hidup dalam berbagai kondisi pemikiran,
sosial, ekonomi, politik sistem kufur yang menyengsarakan. Mereka hidup dengan
pemikiran yang bertentangan dengan akidah Islam mereka. Akibatnya, mereka
kehilangan jejak yang lurus.
Mereka pun telah
kehilangan kepribadian ketika berusaha mengkompromikan berbagai pemikiran yang
memancar dari akidah Islam dengan berbagai pemikiran asing (non-Islam) yang
sebetulnya tidak diakui oleh umat ini. Akan tetapi kemudian, “asap” pemikiran
asing ini masuk juga menyelimuti umat karena kebodohan dan karena tidak adanya
upaya mereka untuk mengambil segala persoalan dengan dilandaskan pada akidah
Islam.
Pada gilirannya, umat
terjebak pada sinkretisme atau ekletisisme (pencampuradukan) absurd antara Islam dengan berbagai pemikiran
atau metode kehidupan bukan-Islam yang kontradiktif. Umat pun menjadikan
kemaslahatan yang didasarkan hawa nafsu sebagai maksud syariat (maqshûd syarî’ah). Mereka juga menerima segala
bentuk penakwilan dan melakukan justifikasi atas semua penyimpangan yang
terjadi. Akibat lanjutannya, seluruh kehidupan sosial-ekonomi umat manusia
dipenuhi dengan berbagai kontradiksi, dan berbagai realitas politik pun diarahkan
untuk memperkuat berbagai pemikiran asing pada posisi pemikiran umat yang asli.
Di dalam berbagai
situasi yang sangat buruk semacam ini, bermunculanlah berbagai gerakan Islam
untuk menghadapi akumulasi berbagai pemikiran yang salah, pemahaman yang
keliru, perasaan yang menyimpang, dan kondisi politik yang terikat dengan pihak
asing.
Sebuah gerakan atau
partai Islam sudah seharusnya memiliki penawar racun dan obat yang
menyembuhkan. Gerakan atau partai Islam juga sudah seharusnya meretas jalan
yang lurus yang bisa dilewati manusia berdasarkan bimbingan ideologi Islam,
bukan jalan “nyaman” yang justru menjerumuskan manusia ke dalam lubang biawak
yahudi semacam demokrasi.
“dan bahwa (yang Kami
perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah
kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu
mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah
kepadamu agar kamu bertakwa.” (TQS al-An’am [6]: 153)
Sebuah jamaah atau
partai Islam juga sudah selayaknya memiliki sejumlah sifat yang menjadikannya
mampu mencapai tujuan. Sifat-sifat itu antara lain kejelasan pemikiran Islam
dan semangat untuk mencapai tujuan; upaya mempersiapkan kelompok yang
tercerahkan dan mempersiapkan umat, serta komitmen terhadap berbagai hukum
Islam yang terkait dengan metode (tharîqah)
dalam merealisasikan gagasan (fikrah),
dengan kata lain, komitmen terhadap ideologi Islam.
Gagasan atau pemikiran
(fikrah) Islam sudah seharusnya
mendapatkan perhatian utama dari sebuah jamaah atau partai Islam. Bagi sebuah
jamaah atau gerakan Islam, pemikiran Islam harus dipandang sebagai kebenaran
yang wajib diyakini oleh setiap manusia; sebagai petunjuk yang dapat menyinari
setiap orang yang dibimbingnya; sebagai rahmat yang diberikan oleh Allah Swt.
kepada para hamba-Nya; sekaligus sebagai cahaya yang mampu mengeluarkan manusia
seluruhnya dari kegelapan hawa nafsunya.
Pemikiran Islam harus
dipandang sebagai sesuatu yang layak bagi manusia, sesuai dengan fitrahnya,
memuaskan akalnya, dan menentramkan hatinya. Pemikiran Islam pun harus
dipandang sebagai sesuatu yang mampu membahagiakan kehidupan dan membangkitkan
harapan. Di dalamnya terdapat kedalaman dan kesempurnaan.
Oleh karena itu,
pemikiran Islam akan mampu menjawab setiap persoalan manusia tentang kehidupan
yang dihadapinya; mampu menghubungkan manusia secara benar dengan Hari
Perhitungan Amal; serta mampu mengikat manusia secara shahih dengan Penciptanya sehingga ia bisa memahami tujuan
hidupnya dan menjadikannya bahagia hakiki.
Sebuah jamaah atau
partai Islam yang meyakini pemikiran Islam harus pula meyakini bahwa seandainya bukan pemikiran Islam
(akidah maupun syariah) yang mendominasi masyarakat, maka kebatilan akan
berkuasa, kemungkaran akan merajalela, hawa nafsu akan diikuti, kezaliman akan
menyebar, kegelapan akan merata, dan kehidupan yang sempit akan membuat manusia
tidak bisa tidur. Akibatnya, jiwa-jiwa manusia tampak tidak pernah
merasakan ketenangan, fitrah mereka tidak pernah merasakan kedamaian, dan
akal-akal mereka pun tidak pernah lurus.
Dengan demikian, topik
utama yang harus diperhatikan dengan cermat oleh jamaah atau partai Islam
adalah menentukan pemikiran Islam secara tepat dari nash-nash wahyu. Dengan
begitu, jamaah atau partai akan selalu memegangnya; menjaga kejernihannya,
sehingga ia akan terhindar dari segala anasir yang bukan berasal dari Islam;
mencegahnya dari percampuradukan dengan berbagai pemikiran asing yang bukan
bersumber dari Islam; serta menentukan sikapnya terhadap berbagai propaganda
lain.
Kejernihan pemikiran
diharapkan menciptakan kecemerlangan pandangan yang dimiliki oleh jamaah.
Kecemerlangan pandangan diperoleh melalui pemahaman terhadap hukum syariat
dengan metode penggalian dalil (istidlâl) yang benar. Hukum ini wajib berasas
akidah Islam.
Ketika pemikiran yang
jernih, cemerlang, mengkristal, dan jelas itu hilang maka akan hilang pula
keistimewaannya; cahaya, petunjuk, dan rahmat pun tidak akan kembali. Akibat
lanjutannya, legitimasi keberadaan partainya pun akan hilang, sehingga ia
menjadi seperti gerakan-gerakan lainnya yang pasrah menyerah di hadapan
realitas yang berhasil mempengaruhinya.
Sejauh mana
kristalisasi pemikiran (fikrah) terjadi
pada anggota-anggota gerakan akan berbanding lurus dengan kristalisasi metode (tharîqah) untuk mewujudkankannya ke dalam
realitas praktis. Jalan untuk mencapai tujuan adalah termasuk hukum syariat
yang harus direalisasikan sebagaimana halnya hukum-hukum syariat yang lain.
Sebuah jamaah atau
partai politik berideologi Islam adalah jamaah atau partai yang senantiasa
mengikatkan diri dengan ideologi Islam di dalam setiap gerak dan diamnya.
Sebab, sebuah pemikiran ideologis sejatinya akan mencegah para penganut dan
pengembannya untuk mengambil ideologi lain. Di samping itu, sebuah pemikiran
ideologis merupakan pemikiran pokok yang pertama-tama membahas segala perkara
dari dasarnya dan memberikan jawaban yang khas tentang arti keberadaan manusia
di alam ini. Semua pemikiran cabang lahir dan memancar dari pemikiran pokok
ini. Segala pemikirannya tentang kehidupan, berbagai pemahamannya tentang
segala sesuatu, dan berbagai hukum tentang perbuatan-perbuatan semuanya berasal
dari pemikiran pokok ini.
Bangunan Islam
demikian sempurna, tidak ada sedikitpun kekurangan, meskipun hanya satu topik.
Semua ajaran yang ada di dalam Islam sangat harmonis satu sama lain karena
memancar dari landasan ideologis yang sama dan baku serta menyatu dengan fitrah
kehidupan dan tabiat penciptaan.
Siapa saja yang
beriman dengan Islam, maka halal dan haram –bukan asas manfaat- menjadi standar
(miqyâs) bagi setiap perbuatan dan pandangannya terhadap segala sesuatu. Sebab,
manfaat –menurut pendapat akal manusia- pada dasarnya selaras dengan pemikiran
tidak-Islam bahwa manusialah yang membuat hukum, bukan Allah Swt. Oleh karena
itu, kebahagiaan seorang Muslim sejatinya adalah memperoleh keridhaan Allah,
bukan memperoleh sebanyak-banyaknya kelezatan.
Kehidupannya pun
merupakan kehidupan yang penuh pengabdian kepada Allah dan ketundukkan pada
segala perintah-Nya, bukan kehidupan yang berdiri di atas ide kebebasan yang
menjadikannya terlepas dari ikatan syariat. Sebab, siapa saja yang menerima
asas, ia akan menerima apa saja yang lahir dari asas itu. Siapa saja yang ingin
melakukan perubahan, ia mesti memulainya dari asasnya dulu, di samping harus
memperhatikan kesesuaian antara berbagai pemikiran cabang dengan asasnya.
Inilah watak dari sebuah pemikiran dan dakwah yang bersifat ideologis yang
seharusnya menjadi titik-tolak sebuah jamaah atau partai Islam.
Oleh karena itu, kaum
Muslim tidak layak untuk mencampuradukan (sinkretisasi) Islam dengan ideologi
ataupun sistem hidup yang lain. Islam menolak sistem pemerintahan
sekularisme-demokrasi yang menjadikan Islam sebagai salah satu faktor
berpengaruh di samping berbagai sumber perundang-undangan lainnya.
Islam juga menolak
jika sejumlah jamaah Islam melakukan upaya sinkretisasi ini, misalnya dengan
melaksanakan sebagian hukum Islam dan sebagian hukum bukan-Islam. Tindakan
demikian merupakan bentuk penghancuran Islam yang ditolak oleh Allah Swt. dan
hamba-hamba-Nya yang beriman.
Dengan demikian,
seluruh jamaah atau partai Islam yang berdiri di atas asas Lâ Ilâha Ilâ Allâh Muhammad Rasûlullâh atau
tidak ada yang berhak disembah dan ditaati kecuali Allah, haram untuk berkiblat
ke Barat atau ke Timur di dalam mengambil berbagai hukum tentang kehidupannya.
Artinya, setiap pemikiran apapun harus bersumber dari akidah Islam, diambil
dari sumber-sumber syariat yang terpercaya, dan digali dari dalil-dalilnya yang
terperinci.
Lalu, bagaimana
mungkin kalimat Lâ Ilâha Ilâ Allâh dapat
selaras dengan pendapat yang mengatakan bahwa sosialisme -yang tegak di atas
konsepsi atheisme dan materialisme- adalah berasal dari Islam; atau selaras
dengan pendapat yang mengatakan bahwa demokrasi -yang berdiri di atas aqidah
sekularisme- adalah berasal dari Islam; atau selaras dengan pendapat yang
mengatakan bahwa primordialisme dan nasionalisme -yang berlandaskan pada sikap
fanatisme yang telah dianggap hina oleh Islam- adalah berasal dari Islam?
Bagaimana mungkin
kalimat Lâ Ilâha Ilâ Allâh Muhammad Rasûlullâh
-yang berarti hanya Allah Yang berhak membuat undang-undang- bisa sesuai dengan
pendapat yang mengatakan bahwa kita juga bisa ikut serta untuk membuat
undang-undang? Bagaimana mungkin pula kalimat Lâ
Ilâha Ilâ Allâh Muhammad Rasûlullâh -yang tegak di atas sikap
merendahkan diri, ketaatan, dan ibadah kepada Tuhan semesta alam- akan selaras
dengan kebebasan (liberalisme) yang ada di dalam sistem Barat yang menjadikan
manusia sebagai tuan bagi dirinya sendiri dalam segala sesuatu, serta tidak
tunduk kepada Tuhan kecuali kalau ketundukan itu sesuai dengan syahwat,
keinginan, dan kepentingannya?
Memang, sesungguhnya
berpegang teguh pada akidah Islam menuntut pula untuk berpegang teguh pada apa
saja yang terpancar dari akidah tersebut. Jika tidak demikian, akan hilanglah
kepribadian atau karakter jamaah atau partai Islam, tergilas oleh sikap kompromi
yang tidak diridhai Allah dan hamba-hambanya yang beriman.
Untuk memelihara
pemikiran agar tetap jernih, cemerlang, jelas, dan terkristal, ia wajib
dijauhkan dari pengaruh realitas rusak yang ada; dari ketundukan pada berbagai
situasi dan kondisi; dan dari penyimpangan, penggantian, dan proses
tawar-menawar. Sebab, sebagaimana pengemban dakwah ingin mengubah masyarakat
sesuai dengan pemahamannya, maka penguasa pun -dengan berbagai pemahaman dan
pemikirannya yang salah serta dengan berbagai hukumnya yang bathil- akan
berusaha menekan pengemban dakwah dan jamaah atau partai Islam yang berusaha
untuk melakukan perubahan ke arah sistem Islam.
Menolak
Kompromi
Sebuah jamaah,
gerakan, atau partai Islam, ketika melandaskan dirinya pada pemikiran ideologi
Islam dan kemudian terjun ke dalam realitas masyarakat, ia pasti akan diterpa
“angin ribut” yang berusaha untuk mencerabutnya dari akarnya. Sikap penguasa
terhadap jamaah ini akan berbeda dengan sikap mereka terhadap gerakan-gerakan
lainnya. Hal itu terjadi karena jamaah lain hanya melontarkan pemikiran yang
bersifat parsial dan tidak ideologis sehingga tidak secara langsung menohok
sistem yang ada. Kadang-kadang, berbagai jamaah tersebut tidak jarang malah
berfungsi sebagai penutup berbagai borok yang dihasilkan oleh sistem penguasa
yang ada.
Kenyataan ini akan
berbeda dengan jamaah yang mengemban dakwah yang mengakar dan berlandaskan pada
pemikiran ideologi Islam. Jamaah semacam ini akan senantiasa mencari solusi
atas berbagai masalah dari akarnya. Ia tidak akan pernah rela jika persoalan yang
dihadapi diselesaikan secara tambal sulam atau dengan sikap kompromi.
Ia akan menolak
prinsip “jalan tengah”, tidak akan mau menerima penyelesian yang ditawarkan
oleh sistem yang ada, tidak akan meninggalkan dakwah yang ditujukan bagi sebuah
perubahan total dan komprehensif, serta tidak akan mau mengambil hanya yang
cabang seraya meninggalkan asasnya. Oleh karena itu, “wajar” jika penguasa atau
sistem bukan-Islam yang ada akan berusaha menghancurkannya. Kadar permusuhan
dan perlawanan penguasa sistem kufur terhadap sebuah jamaah Islam ideologis
semacam ini tentu akan sebanding dengan kadar konsistensi jamaah tersebut
terhadap perubahan fundamental dan total yang diperjuangkannya.
Kerasnya perlawanan
penguasa tidak jarang ditujukan secara langsung terhadap para individu
pengemban dakwah atau aktivis jamaah tersebut. Ia harus menjauhi pikiran untuk
lebih bersikap “moderat” dan “lunak”. Kedzaliman penguasa bisa saja mulai
menekan jamaah dan mendesaknya untuk mengganti tuntutannya dari perubahan total
dan revolusioner (taghyîr) ke arah perubahan parsial (ishlâhiyyah). Jamaah yang
rela dengan upaya-upaya parsial minimalis menyangka bahwa mereka tetap mampu
berusaha demi dunia dan agamanya serta dapat tetap memperoleh ridha Tuhannya.
Dalam kondisi semacam ini, sebuah jamaah yang tetap memegang teguh komitmennya
terhadap ideologi Islam laksana menggenggam bara.
Seandainya jamaah Islam lebih
memilih sikap kompromi dan tawar-menawar, maka jamaah itu berarti telah menjual
umat dan ayat-ayat Allah dengan harga yang murah. Sebaliknya, jika
gerakan Islam tetap konsisten dengan komitmen ideologi Islamnya, ia tentu harus
siap berhadapan dengan sikap keras dan permusuhan penguasa.
“Jika Allah menolong
kamu, maka tak ada orang yang dapat mengalahkan kamu; jika Allah membiarkan
kamu (tidak memberi pertolongan), maka siapakah gerangan yang dapat menolong
kamu (selain) dari Allah sesudah itu? Karena itu hendaklah kepada Allah saja
orang-orang mukmin bertawakal.” (TQS. Ali Imran: 160)
Dari paparan di atas,
jelas sekali bahwa pemikiran Islam yang bersifat ideologis dan benar
membutuhkan jamaah Islam yang bersifat ideologis dan benar pula. Para pemimpin
dan para anggota partai seperti ini harus memiliki keterikatan yang kuat dengan
-sekaligus menjunjung tinggi- syariat Islam. Mereka juga akan senantiasa
berusaha keras untuk memelihara kejernihan dan kecemerlangan pemikiran Islam
yang mereka emban; menjaga kesucian dan kesabaran mereka. Semua itu dimaksudkan
agar tidak terjadi penyelewengan dari jalan dakwah dan proses pelemahan
cita-cita ideologisnya.
Agar gerakan ideologi
Islam tetap bisa berjalan dengan senantiasa memelihara aktivitasnya serta
terjauh dari penyelewengan, ia wajib selalu mengikatkan setiap pemikiran dengan
akidah Islam. Dengan begitu, sikap tegar dan sabar dalam dakwah akan mengalahkan
keinginan nafsu cinta dunia dan takut mati. Fitnah dan ujian yang menderanya,
jika selalu disikapi dengan sikap tegas dan sabar, justru akan semakin
mensucikan diri mereka sebagaimana api membersihkan emas dari kotoran.
“Dan sesungguhnya Kami
telah mengutus sebelum kamu (Muhammad) beberapa orang rasul kepada kaumnya,
mereka datang kepadanya dengan membawa keterangan-keterangan (yang cukup), lalu
Kami melakukan pembalasan terhadap orang-orang yang berdosa. Dan Kami selalu
berkewajiban menolong orang-orang yang beriman.” (TQS. Ar-Rum: 47)
Lebih dari itu, agar
“perahu” jamaah ideologi Islam tidak karam dan tenggelam di tengah samudera
realitas yang demikian buruk, ia mesti memiliki pijakan ideologis yang kuat
yang menentukan corak pemikiran (fikrah)
dan metode (tharîqah) untuk
mewujudkannya. Jika pijakan ideologis jamaah telah melemah dan bahkan hilang,
jamaah tersebut akan dengan mudah dikendalikan oleh realitas di sekelilingnya.
Dalam kondisi semacam ini, jamaah tidak boleh mendistorsi pemikiran Islamnya
dan malah mendukung kepentingan penguasa sistem bukan-Islam.
Inilah yang telah
diperingatkan oleh Allah Swt. ketika berfirman kepada Rasul-Nya dan kepada
umatnya:
“Waspadalah engkau
terhadap mereka, jangan sampai mereka memalingkan dirimu dari sebagian wahyu
yang diturunkan Allah.” (TQS. al-Maidah [5]: 49).
Semoga Allah Swt.
menguatkan dan selalu menolong kami dalam kebenaran Islam.
Bacaan: Jurnal Politik
Dan Dakwah Al-Wa'ie No.07 Tahun I, 1-31 Maret 2001
Tidak ada komentar:
Posting Komentar