Oleh: Annas I. Wibowo,
SE
Seseorang boleh
melepaskan suatu hak (at-tanâzul ‘an al-haq)
yang dimiliki atas orang lain. Pelepasan hak adalah tindakan seseorang
meninggalkan hak yang telah ditetapkan syariah baginya, yang hak itu boleh dia
tinggalkan atau dia ambil. (Hâzim Ismâîl Jâdullah, at-Tanâzul ‘an al-Haq wa al-Rujû’ ‘anhu wa Atsaruhu fi al-Furû’
al-Fiqhiyyah, hal.27)
Misal, syara’
membolehkan wanita melepaskan hak maharnya atau nafkahnya atas suaminya,
sehingga dia rela mendapatkan mahar atau nafkah yang sedikit. (Muhammad Ya’qûb
Muhammad ad-Dahlawî, Huqûq al-Mar’ah
al-Zaujiyyah wa at-Tanâzul ‘anha, hal.77)
Syara’ membolehkan
seorang pemberi utang (kreditur) membebaskan utang debiturnya, baik sebagian
maupun seluruh utangnya (lihat: QS. al-Baqarah: 280).
Syara’ juga
membolehkan apa yang disebut takhâruj
dalam masalah waris, yaitu tindakan seorang ahli waris untuk tidak mengambil
hak warisnya.
Syara’ juga
membolehkan keluarga korban dalam kasus pembunuhan tak sengaja (qatl al-khatha’), untuk tidak mengambil diyat (tebusan) yang seharusnya dibayar
pembunuh kepada keluarga korban, sebagaimana ditetapkan syariat Islam. (lihat:
QS. an-Nisa’: 92)
Penting digarisbawahi
bahwa seseorang memiliki hak atas orang lain adalah karena kejadian
ataupun akad yang dilakukan dengan orang lain itu memang berimplikasi hak atas
orang lain menurut syariat Islam.
Dari contoh yang
disebutkan, akad nikah
yang dilakukan menurut syariat memang berimplikasi adanya hak mahar bagi
perempuan yang dinikahi. Kemudian boleh jika si perempuan melepaskan hak mahar
yang dia miliki atas orang yang menikahinya.
Akad nikah yang dilakukan
menurut syariat memang berimplikasi adanya hak nafkah bagi perempuan yang
dinikahi. Kemudian boleh jika si perempuan melepaskan sebagian atau seluruh hak
nafkah di suatu kurun waktu tertentu yang dia miliki atas orang yang
menikahinya. Jadi boleh seorang perempuan melepaskan hak nafkahnya atas
suaminya selama sebulan, misalnya.
Dilakukannya akad utang-puitang
memang berimplikasi seorang kreditur memiliki hak atas sejumlah harta yang dia
utangkan kepada debitur. Setelah akad itu, kemudian bisa dikatakan bahwa
seorang (kreditur) memiliki hak atas orang lain (debitur). Maka kemudian boleh
jika kreditur membebaskan haknya, yaitu piutang atas debiturnya, baik sebagian
maupun seluruh utangnya.
Seorang ahli waris
memiliki hak atas harta warisan jika ada kerabatnya yang meninggal sesuai
ketentuan syariat Islam. Sehingga di posisi ini, dia pada asalnya memang memiliki hak atas
warisan, yang kemudian boleh dia ambil atau dia lepaskan.
Keluarga korban dalam
kasus pembunuhan yang tidak disengaja memang pada asalnya memiliki hak untuk
mendapatkan diyat dari pihak pembunuh. Terjadinya pembunuhan tidak
disengaja itu berimplikasi dimilikinya hak keluarga korban atas pihak
pembunuh berupa diyat. Boleh jika
kemudian keluarga korban memaafkan, merelakan hak diyatnya atas pihak pembunuh.
Dalam akad jual-beli, seorang penjual memiliki
hak atas seorang pembeli berupa harga barangnya. Pembeli berhak mendapatkan
barang ketika telah terjadi akad jual-beli. Jika sejak awal calon pembeli tidak
setuju membayar harga yang diminta si penjual maka akad jual-beli tidak
terjadi.
Hak si penjual atas si
pembeli itu juga ketika dilakukan
akad jual-beli kredit. Tidak disebut sebagai pihak penjual dan pihak
pembeli jika tidak pernah terjadi
akad jual-beli.
Akad jual-beli berarti
harus ada barang jelas yang dijual
dan harga barang yang
jelas yang disepakati di awal, baik berupa uang atau manfaat yang lain.
Jika si penjual
menjual secara kredit kepada pembeli maka penjual itu dalam kurun waktu
piutangnya boleh tiba-tiba menggugurkan sebagian piutang yang menjadi haknya
atas pembeli. Dalam hal ini berarti si penjual bersedekah kepada si pembeli
-yaitu berupa digugurkannya sebagian piutang- sejumlah tertentu dari total harga barang yang jelas sebagaimana telah disepakati
dalam akad jual-beli kredit di awal.
Dua orang boleh
melakukan tawar-menawar untuk berjual-beli sebelum disepakati suatu akad
jual-beli. Tawar-menawar atau nego sebelum ditentukan akad jual-beli biasanya
di seputar berapa harga barang yang akan disepakati. Pihak penjual boleh setuju
berakad dengan suatu harga apakah itu rendah ataupun tinggi.
Seorang pedagang boleh
memberi diskon atau potongan harga sejumlah tertentu dari harga barang yang
jelas. Sehingga pembeli memiliki hak atas diskon itu ketika dilakukan akad
jual-beli yang jelas menyebutkan adanya diskon dari harga barang yang jelas.
Juga, seorang pedagang
boleh sengaja menjual
barang dagangannya dengan harga murah sebagai bentuk bersedekah kepada
pembeli yaitu sebesar selisih antara harga yang dia tetapkan murah dan harga
pasaran. Harga murah itu harus jelas disepakati oleh pihak penjual dan pembeli dalam akad jual-beli. Jika si calon pembeli
menawar dengan suatu harga lalu si penjual tidak sepakat dengan harga itu maka
akad jual-beli belum terjadi. Si pedagang boleh menolak harga yang diminta oleh
calon pembeli atau menerima.
Seseorang tidak
disebut memiliki hak atas orang lain jika memang tidak ada akad atau kejadian
yang berimplikasi dimilikinya hak atas orang lain menurut syariat. Contohnya,
seseorang yang memiliki sejumlah makanan ingin bersedekah makanan itu kepada
orang lain maka tidak bisa dikatakan bahwa orang yang ingin memberi makanan itu
memiliki hak atas orang yang akan diberi makanan.
Selama suatu barang
dijual-belikan dengan suatu harga –baik dengan harga pasaran ataupun harga
murah- maka itu terjadi dengan akad jual-beli, bukan akad yang lain.
WalLaahu a'lam bi al-shawaab.
Bacaan: Tabloid Media
Umat edisi 265
Tidak ada komentar:
Posting Komentar