Berikut
ini adalah kumpulan kutipan dari buku “The
Politically Incorrect Guide to Women, Sex And Feminism, Regnery Publishing,
United States, 2006” tulisan Carrie L. Lukas. Kutipan tulisan maupun kutipan
data-data statistik dari masyarakat berperadaban kufur Barat (sekularisme,
kapitalisme, demokrasi, pluralisme, individualisme, liberalisme) ini bermuatan
kontra-feminisme/anti-feminisme atau bertentangan dengan propaganda gerakan
feminisme.
“Gerakan
feminisme modern bukanlah tentang kesetaraan jender. Gerakan itu adalah tentang
sebuah agenda yang dirancang untuk menguntungkan kelompok berkepentingan: para
perempuan yang mau mengikuti ide-ide feminis profesional mengenai apa yang
seharusnya perempuan inginkan. Untuk mendorong agenda ini, gerakan feminis
modern menempuh jalur udara, internet, dan media cetak, dan berjalan di
ruang-ruang Congress, pemerintah federal, dan gedung-gedung DPR negara bagian
untuk meluaskan pemerintah, mensubsidi pilihan-pilihan yang “benar” secara
politik, dan mengubah budaya kita sehingga pria dan wanita menjadi sama saja.
Mereka juga bekerjasama dengan rekan-rekan liberal untuk mencapai
tujuan-tujuannya.”
“Pengaruh
feminis pada pemerintah, media, dan sistem pendidikan kita berarti bahwa banyak
perempuan muda yang mendapatkan banyak informasi yang salah. Dan informasi yang
salah menghasilkan keputusan-keputusan yang salah yang khususnya merupakan
keputusan yang berdampak buruk ketika dibuat oleh perempuan muda, yang baru
saja memulai kemandirian.”
“Pikirkan
tentang banyak keputusan penting yang seorang wanita muda –sebut saja Amanda-
akan buat selama sepuluh tahun hidupnya. Amanda bekerja keras di sekolah
menengah atas untuk mendapatkan sekolah tinggi yang bagus. Dia punya sekelompok
teman baik dan menikmati berbagai aktivitas gadis-kampus –dia baca bermacam
majalah semacam Cosmopolitan dan Glamour, menyelami Desperate Housewives dan
menonton-ulang Sex and the City, tapi tetap selalu bisa menyelesaikan studi
kampusnya. Segera, dia akan dapat gelar dari universitas ternama dan bersiap
untuk memulai tahap berikutnya dalam hidup.”
“Dia
akan dapat pekerjaan dan memulai karir. Dia akan bertemu calon pasangan
potensial dan mungkin akan berpikir untuk menikah. Dia akan membuat keputusan
kesehatan yang penting: dia mungkin mempertimbangkan hidup dengan seks bebas
dan mungkin akan menghadapi keputusan apakah akan melakukan aborsi.”
“Dia
akan berpikir untuk punya anak. Jika dia memutuskan untuk mulai membangun
keluarga, dia akan menghadapi pilihan-pilihan tentang perannya sebagai orangtua
dan bagaimana menyeimbangkan antara keluarga dan aspirasi karir. Dia mungkin
juga berpikir untuk bercerai.”
“Apakah
Amanda punya informasi yang diperlukannya untuk membuat keputusan yang akan
meningkatkan kesempatan jangka-panjangnya untuk hidup dengan kesehatan dan
kebahagiaan?”
“Sayangnya,
jawabannya adalah tidak. Kemungkinan besar, dia telah diberi banyak informasi
yang salah, yang kebanyakannya berlabel benar-secara-politik.”
“Amanda
tumbuh dalam budaya yang membuatnya kesulitan untuk mendeskripsikan benar dan
salah –dia khawatir menjadi seorang yang menghakimi. Bahkan ketika dia
mengharapkan pernikahan, dia melihat perceraian sebagai suatu hasil yang
alamiah dari pernikahan yang tidak sepenuhnya bahagia. Dia telah dipenuhi
dengan budaya popular yang mengagungkan pergaulan bebas, dan membaca literatur
feminis yang memberitahu dia bahwa mengaitkan seks dengan pernikahan dan cinta
adalah kuno. Dia terkadang bingung mengenai peran seks dalam hidupnya, apakah
dia harus memandangnya sebagai aktivitas bebas, semata untuk kesenangan, atau
sebagai sesuatu yang lebih berarti. Dia ingin karir yang memuaskan dan telah
mendengarkan berbagai organisasi politik feminis yang mengatakan bahwa tujuan
utama perempuan seharusnya adalah untuk bekerja full-time dan menghasilkan banyak uang. Amanda bergelut untuk
menimbang antara berbagai pandangan itu dengan harapan dan keinginannya
sendiri.”
“Bisakah
kamu mengenali Amanda? Aku yakin bisa – dia kurang lebih adalah aku sepuluh
tahun yang lalu. Banyak temanku hari ini yang sedang belajar di usia tiga
puluhan bahwa mereka berhadap dulunya ketika usia dua puluhan membuat
keputusan-keputusan yang berbeda. Dan ketika aku bicara pada beberapa orang
dari generasi yang sekarang baru saja lulus sekolah tinggi, aku menjumpai para
perempuan yang punya harapan dan kekhawatiran yang sama, dan mereka –seperti
aku- tak punya peta jalan untuk bagaimana menavigasi di medan bergelombang masa
dewasa.”
“Aku
sekarang tiga puluh dua tahun, menikah, dan baru saja punya anak pertama. Aku
tahu kesulitan yang dihadapi perempuan selama usia dua puluhan dan tiga puluhan
ketika mereka membuat keputusan-keputusan yang akan mempengaruhi sisa
hidupnya.”
---
“Sudah
terlalu lama, gerakan feminis mendiktekan apa yang layak dibicarakan tentang
–dan apa yang tidak boleh- mengenai isu-isu kehidupan perempuan. Etika bungkam
telah meliputi isu-isu semacam dampak negatifnya seks bebas, hubungan antara
usia dan kesuburan, dan dampak penitipan anak dan perceraian terhadap
anak-anak. Kebungkaman ini punya konsekuensi serius bagi para wanita, keluarganya
dan masyarakat kita.”
---
“Feminisme
“gelombang kedua” terjadi selama 1960-an dan 1970-an ketika para wanita mulai
mendorong perubahan hukum dan sosial yang akan memungkinkan mereka
berpartisipasi secara penuh dalam masyarakat dan perekonomian. Banyak yang
menyoraki mulainya feminisme gelombang-kedua dengan terbitnya buku The Feminist Mystique karangan Betty
Friedan. Buku ini mendeskripsikan ketidakpuasan yang dirasakan banyak ibu rumah
tangga tentang situasi mereka dan mendorong para perempuan untuk
mempertimbangkan bekerja di luar rumah. Pesan ini banyak diterima perempuan,
dan banyak dari mereka bergabung untuk menekankan perubahan politik dan
sosial.”
“Para
feminis “gelombang-kedua” menuntut jaminan perlakuan hukum yang sama terhadap
perempuan dan berakhirnya diskriminasi berdasar gender. Mereka juga
mengupayakan perubahan ekspektasi sosial bagi perempuan. Beberapa dari
perubahan ini termasuk sekadar mendorong para perempuan untuk bekerja dan
memiliki peran yang biasanya diperuntukkan bagi laki-laki. Namun, beberapa
feminis punya keinginan akan pilihan yang lebih banyak dan terang-terangan
menyerang peran-peran yang biasanya dilakukan perempuan. Mereka mempertanyakan
–dan kadang menyerang untuk merendahkan- konsep keluarga. Mereka memandang
laki-laki bukan sebagai rekan yang setara, tapi sebagai musuh yang menindas
perempuan. Mereka mendorong perempuan untuk meninggalkan hubungan tradisional
dan memeluk “pembebasan” seksual. Selama periode ini –dan sebagian karena
pengaruh gerakan feminis- sikap orang Amerika terhadap seks bergeser drastis,
termasuk keterbukaan terhadap seks pranikah, dan struktur keluarga mulai
bergeser, dengan perceraian dan kelahiran di-luar-nikah melejit.”
---
“Sesungguhnya,
jika perbedaan jender adalah alamiah, maka ide feminis mengenai kemajuan bukanlah
kemajuan sama sekali, dan agenda mereka mengakibatkan pria dan wanita menjadi
lebih buruk dengan menjauhkan mereka dari pilihan mereka sebenarnya demi
mengejar fantasinya feminis.”
---
“Tapi
bahkan para perempuan yang berusaha mengikuti “The Rules” (ide yang mendorong
perempuan untuk agresif dalam berpacaran) dan mengubah dinamika pacaran modern
dengan secara personal mengadopsi standar yang lebih konvensional untuk
hubungan –seperti menunda seks hingga menikah atau menunda seks hingga hubungan
monogami yang serius- pun terpengaruh realitas era pacaran feminis. Seorang
perempuan yang berharap menjaga keperawanannya hingga menikah harus bersaing
dengan perempuan yang mau seks sebelum menikah dan seringkalinya tanpa
komitmen. Kemampuannya untuk memegang kendali atas laki-laki dan mendorong
laki-laki untuk menawarkan komitmen dan pernikahan, bukannya keintiman yang
lebih (sebelum menikah), menjadi terbatasi oleh ketersediaan seks di tempat
lain.”
---
“anak-anak
yang dibesarkan oleh orangtuanya cenderung punya lebih sedikit masalah emosi
dan perilaku daripada anak-anak yang menghabiskan banyak waku di penitipan
anak.”
---
“orang
yang menikah cenderung lebih bahagia, sehat, dan lebih baik keuangannya.”
---
“Seorang
wanita muda yang membaca Cosmopolitan atau menonton televisi popular bisa
dengan mudah berasumsi bahwa dia gagal menjadi seorang wanita yang terbebaskan
kecuali jika dia melakukan seks bebas. Para feminis telah lama mengeluhkan
bagaimana masyarakat mengidealkan kesucian perempuan dan mendorong mereka untuk
menjadi penjaga gerbang seksual. Para feminis menyoraki revolusi seksual yang
membuat seks bebas menjadi lebih diterima.”
---
“Dalam
dunia majalah-majalah wanita, seks adalah aktivitas rekreasional. Sebagaimana
majalah tentang memancing atau memasak yang menawarkan tips berguna tentang
bagaimana mendapatkan kesenangan yang maksimal dari hobi-hobi itu, demikian
pula dengan banyak majalah wanita dan seks.”
---
“Banyak
perempuan menyesali seks bebas, tidak hanya segera setelah melakukannya, tapi
juga bertahun-tahun setelahnya ketika mereka telah menikah atau akhirnya
menemukan cinta dalam hidupnya.”
---
“Tidak
hanya artikel-artikel semacam itu –yang secara rutin ditampilkan dalam
majalah-majalah yang menyasar wanita muda- menampilkan seks sebagai hobi yang
menyenangkan, tanpa arti, mereka juga melestarikan kepercayaan bahwa semua
orang melakukan seks dan banyak melakukannya. Seorang perempuan yang tidak
“mengambil kendali atas seksualitasnya” dan melakukan banyak percintaan berarti
rugi.”
---
“Seks
bebas juga menjadi pondasi bagi banyak tayangan reality show yang menarget remaja, semacam The Real World. Serial
ini dirancang dengan tujuan eksplisit menempatkan anak-anak usia mahasiswa yang
tak terikat, berfisik atraktif ke dalam situasi hidup intim, di mana alkohol
tersedia, dalam rangka mendorong terjadinya berondongan situasi seksual. Para
karakter yang melibatkan dirinya dalam petualangan seksual terbanyak diberi
hadiah dengan ditayangkan lebih banyak dan seringkali akhirnya menjadi pseudo-celebrities. Dan, tentu saja,
dalam tayangan popular HBO Sex and The City, para karakter utamanya melakukan
banyak percintaan, seringkali tanpa mengharap atau berkeinginan untuk komitmen.”
“Tayangan-tayangan
itu tampak mempengaruhi para wanita muda.”
---
“Ikon
feminis terdepan Gloria Steinem merangkum keyakinan feminis tentang apa artinya
menjadi seorang perempuan modern: “Seorang perempuan terbebaskan adalah yang
telah melakukan seks sebelum menikah dan bekerja setelah menikah.” Dengan kata
lain, jika kamu belum melakukan seks sebelum menikah, kamu tidak termasuk
terbebaskan.”
---
“Pesan
budaya popular kepada anak-anak: lakukan saja!”
“Pendidikan
seks dimulai di sekolah dasar di seantero Amerika hari ini. Thongs (celana dalam seksi) dipasarkan
ke anak-anak perempuan semuda usia tujuh tahun. Majalah-majalah yang menyasar audiens
anak-anak pra-remaja diisi dengan masukan tentang seks dan hubungan. Remaja
perempuan makin banyak yang mendapat pembesaran payudara melalui operasi –kadang
sebagai hadiah kelulusan dari orangtua mereka.”
---
“Salah
satu jalan cerita berterusan pada tayangan televisi popular 1990-an Beverly
Hills 90210 berkutat sekitar karakter Donna Martin (dimainkan oleh Tory
Spelling) –seorang perawan yang awalnya berniat menunggu hingga pernikahan.
Sentimen yang sangat kuno ini menyebabkan banyak problem bagi Donna di dalam
dunia 90210, dan audiens menunggu untuk melihat kapan perawan terakhir ini
akhirnya menjadi bijak dan menyerah.”
“Pesan
itu merupakan pengulangan dari klasik remaja 1980-an semacam Breakfast Club dan
Sixteen Candles, di mana para karakter sekolah menengah atas menolak untuk
mengakui bahwa mereka masih perawan. Film-film itu sekarang menjadi makanan
pokok atau “klasik yang baru” yang ditampilkan rutin di jaringan televisi kabel
seperti TNT.”
“Dalam
beberapa tahun terakhir, tayangan-tayangan televisi semacam The O.C. dan Dawson’s
Creek terus menampilkan perkara percintaan usia remaja agresif, dan mengeluhkan
nasib remaja yang canggung atau tak beruntung yang belum mengikat deal. Film popular American Pie berfokus
pada empat remaja sekolah menengah atas dan petualangannya untuk melepaskan
keperjakaannya saat senior prom
(pesta kelulusan sekolah). Lulus dari sekolah sebagai perjaka adalah nasib yang
terlalu buruk untuk diterima.”
---
“Penulis
best-selling dan mahasiswa hukum Harvard Ben Shapiro mendeskripsikan bagaimana
dia telah diejek sebagai “The Virgin Ben.” Shapiro telah menulis secara lebar
tentang over-seksualisasi generasinya –yang dia sebut the “porn generation”- dan mendukung sikap tidak melakukan seks
bebas, membuatnya menjadi target empuk.”
---
“Pendidikan seks liberal mengabaikan informasi penting. Wanita muda, terbebaskan dari rasa takut akan kehamilan yang tak diinginkan karena memakai kontrasepsi, mungkin melakukan lebih banyak aktivitas seksual yang mengakibatkan berbagai penyakit menular seksual.”
“Kondom,
sementara menurunkan risiko-risiko kesehatan, adalah alat yang terbatas dalam
hal melindungi dari penyakit-penyakit menular seksual yang menjadi perhatian serius
perempuan.”
---
“Kenyataannya,
pendidikan seks hari ini seringkali menjadi forum-forum untuk menyuntikkan
moral liberal dan pandangan dunia feminis ke dalam para siswa.”
---
“Menurut
National Campaign to Prevent Teen Pregnancy, 1 dari 3 perempuan mengalami
kehamilan setidaknya sekali sebelum umur 20. (“Factsheet: How is the 34%
statistic calculated?” National Campaign to Prevent Teen Pregnancy, Washington,
DC, 2004. Available at: http://www.teenpregnancy.org/resources/reading/pdf/35percent.pdf)”
((NB:
Jika link mati atau halaman web tidak
ditemukan maka silakan coba search
judul laporan tersebut))
“Sekitar
8 dari 10 kehamilan remaja tidaklah direncanakan dan di luar pernikahan. (“Not
Just Another Single Issue: Teen Pregnancy Prevention’s Link to Other Critical Social
Issues,” The National Campaign to Prevent Teen Pregnancy, February 2002, 2. Available
at: http://www.teenpregnancy.org/resources/data/pdf/notjust.pdf)”
“Sekitar
30% kehamilan remaja berakhir pada aborsi, yang menunjukkan bahwa lebih dari
250.000 remaja melakukan aborsi tiap tahun. (“Not Just Another Single Issue:
Teen Pregnancy Prevention’s Link to Other Critical Social Issues,” The National
Campaign to Prevent Teen Pregnancy, February 2002, 2. Available at:
http://www.teenpregnancy.org/resources/data/pdf/notjust.pdf)”
---
“Tapi
meskipun tingkat kehamilan tak diinginkan telah turun sekitar 30 persen sejak
puncaknya di 1990, jumlah infeksi Penyakit Menular Seksual (PMS) terus
berlanjut naik. Setiap tahun sekitar 10 juta orang di kelompok usia 15 sampai
24 mengidap PMS, yang berarti bahwa dari antara mereka yang aktif secara
seksual, sekitar 1 dari 3 akan mengidap PMS sebelum usia 24. (“It’s Your (Sex)
Life: Your Guide to Safe and Responsible Sex,” Henry J. Kaiser Family
Foundation, August 18, 2005. Available at: http://www.kff.org/youthhivstds/upload/MTV_Think_IYSL_Booklet.pdf)”
“Sebagai
contoh, tingkat infeksi herpes genital tumbuh 30% sejak 1970, dengan
peningkatan terbesar terjadi pada remaja muda. Menurut CDC, 45 juta orang
Amerika berusia lebih dari 12 –atau 1 dari 5 total populasi remaja dan dewasa-
terinfeksi herpes alat kelamin. Mereka yang terinfeksi bisa mengalami perih
periodik di daerah alat kelamin sepanjang hidupnya. (“Genital Herpes,” Health
Matters, National Institute for Allergy and Infections Diseases, National
Institute of Health, Department of Health and Human Services, September 2003.
Available at: http://www.niaid.nih.gov/factsheets/stdherp.htm)”
“The
Human Papillomavirus (HPV) telah mendapatkan perhatian lebih di beberapa tahun
terakhir karena tumbuhnya kesadaran mengenai hubungan virus itu dengan kanker
serviks. HPV adalah nama dari sekumpulan virus yang terdiri dari 100 jenis
lebih, yang mana sebagiannya menular secara seksual.”
---
“Infeksi
Chlamydia adalah PMS yang paling umum dan insiden-insiden terdiagnosis
Chlamydia telah melejit selama 20 tahun terakhir. CDC memperingatkan bahwa
tingkat diagnosis yang tinggi sebagian merupakan berita baik –peningkatan itu
bisa menjadi pendeteksian lebih baik dan lebih banyak penanganan, bukan hanya
peningkatan dalam hal jumlah pengidap. Mendiagnosis Chlamydia khususnya penting
karena walaupun bisa ditangani dengan antibiotik, jika tak tertangani maka bisa
menghasilkan penyakit inflamasi pelvic, yang bisa mengakibatkan
infertilitas/ketidaksuburan dan komplikasi-komplikasi lain. (“Chlamydia,” STD
Surveillance 2003, Center for Disease Control, Department of Health and Human
Services. Available at: http://www.cdc.gov/std/stats/chlamydia.htm)”
“Tanpa
melihat apakah tingkat infeksi naik atau selalu setinggi ini, penyakit ini mempengaruhi
terlalu banyak perempuan hari ini. Faktanya, Chlamydia adalah yang paling umum
di antara para perempuan di kelompok usia 15 sampai 24: di 2003, 2,5% perempuan
di kelompok usia ini terdiagnosis dengan Chlamydia.”
“Kenyataannya
adalah “PMS tidaklah netral-gender”; perempuan jauh lebih berpotensi mengidap
PMS daripada laki-laki yang straight
(bukan pelaku sodomi). (Steven E. Rhoads, Taking Sex Differences Seriously (San
Francisco, Encounter Books, 2004) 108).”
“Perempuan
8 kali lebih mungkin mendapat HIV dan 4 kali lebih mungkin mendapat gonorrhea
dari satu tindakan senggama daripada laki-laki. Perempuan juga lebih mungkin
terkena kerusakan permanen dari PMS, seperti infertilitas dan kanker-kanker.
Meski demikian, hanya 1/3 perempuan yang menyadari lebih mungkinnya mereka
mengidap PMS.( Steven E. Rhoads, Taking Sex Differences Seriously (San
Francisco, Encounter Books, 2004) 108)”
“Tentu
saja, penyakit menular seksual punya konsekuensi lebih daripada sekadar
konsekuensi fisik. PMS juga bisa menghancurkan secara emosi, khususnya bagi orang
muda. Dr. Meg Meeker, penulis buku Epidemic:
How Teen Sex Is Killing Our Kids, merinci bagaimana semua pasien yang
didiagnosis dengan penyakit seumur-hidup, herpes, mengalami perasaan kehilangan
dan sakit hati sementara menghadapi penyakit mereka, tapi dia menekankan bahwa
diagnosis itu khususnya berdampak menghancurkan bagi para remaja yang memang
galau, sering mengakibatkan depresi dan kehilangan harga diri. (Dr. Meg Meeker,
Epidemic: How Teen Sex Is Killing Our Kids, (Washington DC, LifeLine Press,
2002) 44)”
“Apakah
seks yang aman membuat anak kurang aman?”
“Beberapa
peneliti percaya bahwa meningkatnya kesadaran dan ketersediaan alat-alat
kontrasepsi telah menjadi bahan bakar bagi meningkatnya penyakit-penyakit
menular seksual. Wanita muda, terbebaskan dari rasa takut akan dampak negatif
jangka pendek hubungan seksual –kehamilan tidak diinginkan- mungkin melakukan
lebih banyak aktivitas seksual yang berakibat pada peningkatan PMS. Dr. Meeker
merangkum keterkaitan itu: “Alat-alat kontrasepsi itu sendiri yang telah
membuat tingkat kelahiran remaja turun, juga membuat seks bebas lebih mudah
dari sebelumnya, maka membuat tingkat PMS secara bersamaan meroket. (Mary
Eberstadt, Home-Alone America: The Hidden Toll of Day Care, Behavioral Drugs,
and Other Parent Substitutes (New York, Sentinel, 2004) 131)”
“Selain
itu, sekalinya seorang remaja melakukan seks, ia menjadi lebih mudah untuk
melakukannya lagi. Hasilnya, para remaja melakukannya dengan lebih banyak
pasangan dan berperilaku lebih berisiko. Tidak mengherankan, semakin muda
seorang perempuan menjadi aktif secara seksual maka lebih mungkin dia punya
banyak pasangan dan semakin besar kesempatan dia mengidap PMS.”
---
“Dan
jika kamu mungkin bertanya, “Bagaimana dengan kondom?” lanjut baca. Kita
memberi terlalu banyak kepercayaan kepada paket latex tipis dan kulitdomba itu.
Dalam kebanyakan kasus, kemungkinan kondom mencegah PMS adalah setipis kondom
itu sendiri.” –Dr. Meg Meeker, dokter anak dan penulis Epidemic: How Teen Sex Is Killing Our Kids.”
“Batasan
Kondom”
“Kondom,
sementara mengurangi risiko penularan penyakit-penyakit menular seksual,
merupakan alat yang terbatas dalam melindungi dari beberapa PMS yang menjadi kekhawatiran
kaum perempuan. Sebuah laporan tahun 2001 oleh National Institute of Allergy
and Infectious Diseases menemukan bahwa kondom tidak mengurangi kemungkinan
mengidap HPV. (“Workshop Summary: Scientific Evidence of Condom Effectiveness
for Sexually Transmitted Disease (STD) Prevention,” National Institute of
Allergy and Infectious Diseases, National Institutes of Health, Department of
Health and Human Services, July 20, 2001, 26)”
“CDC
menyatakan bahwa keterbatasan kondom dalam mencegah penyebaran penyakit radang
alat kelamin, semacam herpes genital dan syphilis, karena infeksi bisa ada di
kulit yang tidak tertutup kondom. (“Male Latex Condoms and Sexually Transmitted
Diseases,” Fact Sheet for Public Health Personnel, National Center for HIV, STD
and TB Prevention, Center for Disease Control, Department of Health and Human
Services, available at: http://www.cdc.gov/hiv/pubs/facts/condoms.htm)”
“Sayangnya,
para remaja cenderung menggunakan kondom secara sporadis. Sebuah penelitian tahun
1997 mengenai remaja perempuan sekolah menengah atas menemukan bahwa hanya
sekitar setengah dari mereka yang menggunakan kondom ketika terakhir kali
melakukan senggama. (Dr. Meg Meeker, Epidemic: How Teen Sex Is Killing Our
Kids, (Washington DC, LifeLine Press, 2002) 26)”
“Sekalinya
para remaja menjadi terlibat dalam hubungan seksual, mereka semakin mungkin
menjadi malas menggunakan kondom. Mereka pernah melakukan seks tanpa mendapat
kehamilan dan tanpa mengidap PMS (setidaknya jenis yang mereka tahu), jadi
mereka menjadi kurang khawatir terhadap berbagai konsekuensi seks dan semakin
mungkin mengambil risiko. (Dr. Meg Meeker, Epidemic: How Teen Sex Is Killing
Our Kids, (Washington DC, LifeLine Press, 2002) 113)”
“Ini
adalah salah satu penjelasan potensial atas temuan bahwa remaja yang lebih tua
(usia 18 dan 19) cenderung kurang menggunakan kondom daripada remaja yang lebih
muda (15 hingga 17). (Dr. Meg Meeker, Epidemic: How Teen Sex Is Killing Our
Kids, (Washington DC, LifeLine Press, 2002) 116)
---
“Kekerasan
terhadap perempuan –kekerasan domestik, perkosaan, atau bentuk-bentuk serangan
lain- adalah problem yang signifikan di Amerika Serikat.”
---
“Hampir
1/3 pembunuhan yang korbannya perempuan dilakukan oleh seorang pasangan, mantan
pasangan, atau pacar laki-laki/perempuan, dibandingkan dengan hanya 5% yang
korbannya laki-laki. Lebih jauh para perempuan terhitung hampir 2/3
dari semua yang dibunuh oleh orang-orang dekat itu sementara laki-laki
melakukan hampir 2/3 dari pembunuhan semacam itu.”
---
“Para
wanita juga terhitung lebih dari 80% dari semua pembunuhan terkait-seks, yang
cenderung untuk mendapatkan perhatian media dan publik. Sebaliknya, lebih dari
90% korban terkait narkoba dan geng adalah laki-laki,”
---
“Kekerasan
domestik mungkin adalah satu-satunya area di mana para peneliti sosial
menggunakan istilah suami untuk menyebut salah satu atau semua dari berikut
ini: laki-laki yang dinikahi, laki-laki yang tadinya dinikahi, laki-laki yang
hidup bersamanya, laki-laki yang sekadar melakukan seks dengannya, dan/atau
laki-laki yang seseorang tadinya biasa melakukan seks dengannya. (Linda J.
Waite and Maggie Gallagher, The Case for Marriage: Why Married People Are
Happier, Healthier, and Better Off Financially (Doubleday, New York, 2000)
150-151)”
“Dengan
sekitar 188.000 perempuan mendapat kekerasan tiap tahun, tidak diragukan bahwa
kekerasan rumah tangga, atau kekerasan pasangan intim, terhadap perempuan di
negara ini (AS) adalah problem yang sangat signifikan. (Linda J. Waite and
Maggie Gallagher, The Case for Marriage: Why Married People Are Happier,
Healthier, and Better Off Financially (Doubleday, New York, 2000) 154)”
“Penelitian
menunjukkan bahwa para perempuan yang menikah kurang cenderung menjadi korban
kekerasan daripada mereka yang bercerai, berpisah, atau tidak menikah tapi
berhabitat-bersama (cohabitating)
dengan laki-laki. Waite dan Gallagher meneliti data yang dikumpulkan dalam
National Crime Victimization Survey dan menemukan bahwa 2/3 dari serangan pada
perempuan yang termasuk kategori “kekerasan intim” (yang berarti bahwa serangan
kekerasan dari
teman atau kenalan tidak termasuk) tidaklah dilakukan oleh para suami. Demikian
pula, mantan pasangan, pacar laki-laki, ataupun mantan pacar laki-laki
bertanggung jawab atas 21% pemerkosaan
dibandingkan dengan 5% yang dilakukan oleh suami (kenalan, teman, atau kerabat
lainnya bertanggung jawab atas lebih dari ½ kasus-kasus perkosaan). (Linda J.
Waite and Maggie Gallagher, The Case for Marriage: Why Married People Are
Happier, Healthier, and Better Off Financially (Doubleday, New York, 2000) 155)”
“Kekerasan
dalam pernikahan jelas ada. Tapi perempuan muda yang mempertimbangkan hubungan
masa depannya harus memahami bahwa kekerasan menjangkiti sejumlah minor
pernikahan. Kurang dari 2% istri dan 1% suami menjadi korban kekerasan yang
mengakibatkan luka fisik dalam setahun. (Linda J. Waite and Maggie Gallagher, The
Case for Marriage: Why Married People Are Happier, Healthier, and Better Off
Financially (Doubleday, New York, 2000) 153)”
---
“Menurut
Department of Justice, lebih dari 150.000 perempuan menjadi korban perkosaan
ataupun upaya perkosaan di Amerika Serikat selama 2001-2002. (Callie Marie Rennison,
Ph.D and Michael R. Rand, “Criminal Victimization, 2002,” Bureau of Justice
Statistics National Crime Victimization Survey, August 2003, 3)”
“Untuk
banyak alasan, angka ini mungkin lebih kecil dari jumlah perempuan yang
mengalami serangan semacam itu. Sebagian perempuan mungkin enggan untuk
mengungkapkannya karena rasa malu yang tidak pada tempatnya, atau karena mereka
punya hubungan dengan penyerangnya yang membuat jadi sulit untuk melaporkan
kejahatan itu. Sebagian mungkin hanya ingin menghindari polisi dan pengadilan.”
“Adalah
tindakan bertanggung jawab menganggap bahwa statistik ini angkanya lebih kecil
daripada prevalensi pemerkosaan di Amerika Serikat, berapa perkiraan
frekuensinya yang lebih baik?”
“Salah
satu statistik umum yang digunakan oleh pusat-pusat studi perempuan –dan
diulang oleh media- adalah bahwa ¼ mahasiswi sekolah tinggi adalah korban dari
perkosaan ataupun upaya perkosaan. Ini adalah rasio yang mengejutkan; jika
benar maka ini berarti menaikkan jumlah pemerkosaan di Amerika Serikat jauh
lebih dari 150.000. “
---
“Penelitian
lainnya yang melibatkan 4.000 perempuan, disusun dalam laporan “Rape in
America” menemukan bahwa 1 dari 8 perempuan Amerika –atau sekitar 12%- pernah
menjadi korban forcible rape, yang
didefinisikan sebagai “kejadian tanpa kehendak si perempuan, melibatkan
penggunaan kekuatan atau ancaman kekuatan, dan melibatkan penetrasi seksual
vagina, mulut, ataupun rectum si korban.”
---
“Sudah
menjadi pengetahuan umum bahwa tingkat perceraian melejit selama paruh kedua
abad 20, sementara tingkat pernikahan menurun. Semakin meningkat jumlah
pasangan yang memilih mengabaikan atau setidaknya menunda pernikahan dan
berhabitat-bersama, meyakini bahwa di bawah permufakatan semacam ini mereka
bisa menikmati banyak keuntungan pernikahan tapi tanpa komitmen dan tanggung
jawabnya.”
“Banyak
faktor berkontribusi pada penurunan pernikahan, termasuk dalam hukum-hukum
perceraian, revolusi sosial, dan kemandirian ekonomi perempuan yang semakin
meningkat. Serangan para feminis pada pernikahan juga memainkan peran dalam
merendahkan pernikahan. Para feminis radikal memandang pernikahan sebagai
jebakan keji bagi wanita, melanggengkan patriarki, dan melestarikan ketundukan
wanita pada pria. Mereka mengeluhkan peran-peran yang pria dan wanita biasanya
ambil dalam pernikahan, meyakini bahwa perempuan mendapat bagian lebih buruk
dari kontrak pernikahan.”
“Meskipun
ada persepsi negatif terhadap pernikahan dan tingkat perceraian yang tinggi
ini, kebanyakan wanita muda tetap ingin menikah. Para wanita harus diyakinkan
bahwa pernikahan adalah tujuan yang beralasan kuat, berkaitan dengan
kesehatan, kebahagiaan, dan keamanan finansial yang lebih besar.”
“Para
feminis radikal memandang pernikahan sebagai melanggengkan patriarki, dan
melestarikan ketundukan wanita pada pria. Adalah penting bagi para wanita muda
untuk mengenali bahwa berhabitat-bersama dengan pernikahan tidaklah sama.”
“Para
perempuan yang menikah menyatakan tingkat aktivitas seksual dan kepuasan yang
lebih tinggi dibandingkan dengan yang dinyatakan oleh perempuan yang lajang.”
“Gerakan
feminis punya sejarah panjang dalam memandang pernikahan dengan kecurigaan, dan
beberapa feminis radikal telah melangkah lebih jauh hingga menyerukan untuk memboikot
pernikahan secara keseluruhan.”
---
“Bahkan
para anggota gerakan feminis yang lebih mainstream,
semacam Robin Morgan, yang menjadi editor majalah Ms. Magazine, ingin
mengakhiri pernikahan yang biasanya: “Kita tidak bisa menghancurkan ketimpangan
antara laki-laki dan perempuan hingga kita menghancurkan pernikahan. (Patrick
F. Fagan, Robert E. Rector, and Lauren R. Noyes, “Why Congress Should Ignore
Radical Feminist Opposition to Marriage,” Heritage Backgrounder #1662, June 16,
2003, 4)”
---
“Penelitian
oleh Glenn dan Marquadt terhadap para mahasiswi menemukan bahwa lebih dari 8/10
dari mereka yang disurvei masih berpikir untuk “menjadi menikah” sebagai tujuan
penting dan lebih dari 7/10 berharap untuk bertemu pasangan masa depannya
selama kuliah.”
---
“Waite
dan Gallagher, dalam The Case of Marriage, mereka mengkatalog penelitian
tentang efek pernikahan pada laki-laki dan perempuan. Mereka menyimpulkan bahwa
kedua jenis kelamin itu menunjukkan kesehatan mental yang lebih baik dan lebih
bahagia daripada ketika lajang, berhabitat-bersama, bercerai, berpisah, ataupun
menjanda.”
“Waite
dan Gallagher menggarisbawahi beberapa penelitian yang mendukung temuan ini.
Salah satunya yang paling meyakinkan adalah penelitian longitudinal yang
mengamati individu-individu yang sama sepanjang waktu. Para peneliti melakukan follow-up dari wawancara awal setelah 5
tahun, yang mana selama waktu itu subjek-subjek penelitian ada yang menikah,
yang lainnya bercerai ataupun berpisah, dan sebagian tetap lajang. Mereka
menemukan bahwa pernikahan meningkatkan secara substansial kesehatan mental
individu sementara perceraian dan perpisahan berkaitan dengan penurunan
kesejahteraan mental dan emosional. Waite dan Gallagher menunjukkan pentingnya
penelitian ini karena ini melihat para individu sebelum dan setelah mereka
mengalami perubahan dalam status pernikahan, dan oleh karenanya mampu menyaring
hipotesis bahwa orang yang lebih bahagia menikah:”
“Mereka
menemukan bahwa menikah sesungguhnya membuat orang lebih bahagia dan lebih
sehat; sebaliknya, bercerai membalik capaian-capaian itu –bahkan ketika kita
mempertimbangkan pengukuran-pengukuran kondisi sebelumnya mengenai kesehatan
mental dan emosional. (Linda J. Waite and Maggie Gallagher, The Case for
Marriage: Why Married People Are Happier, Healthier, and Better Off Financially
(Doubleday, New York, 2000) 70)”
“Waite
dan Gallagher juga menggarisbawahi data dari sebuah survei atas 14.000 orang
dewasa, yang mana pria dan wanita yang menikah jauh lebih cenderung menyatakan
bahwa mereka puas terhadap kehidupan. 40% mereka yang menikah mengatakan bahwa
mereka sangat bahagia, dibandingkan dengan kurang dari ¼ dari mereka yang
lajang dan berhabitat-bersama, 15% dari mereka yang berpisah, dan 18% dari
mereka yang bercerai. (Linda J. Waite and Maggie Gallagher, The Case for
Marriage: Why Married People Are Happier, Healthier, and Better Off Financially
(Doubleday, New York, 2000) 67)”
“Dari
orang yang menikah, sekitar 50% menyatakan ketidakbahagiaan secara umum (general unhappiness) dengan kehidupan
mereka, sebagaimana sejumlah itu pula yang lajang ataupun yang berhabitat-bersama
menyatakan demikian. Mereka yang bercerai 2,5 kali lebih cenderung menyatakan
“tidak terlalu bahagia,” dan yang janda hampir 3 kali lebih cenderung “tidak terlalu
bahagia. (Linda J. Waite and Maggie Gallagher, The Case for Marriage: Why
Married People Are Happier, Healthier, and Better Off Financially (Doubleday,
New York, 2000) 68)”
---
“The
Pew Research Center for the People and the Press mensurvei 1.101 perempuan
Amerika pada 1997 dan menanyakan tentang sikap mereka terhadap pernikahan.
Sementara para perempuan yang menikah sangat banyak merespon bahwa pernikahan
mereka adalah sumber kebahagiaan, hampir separuh dari mereka juga mengungkapkan
bahwa pernikahan adalah sumber frustasi: “9 dari 10 perempuan mengatakan bahwa
pernikahan mereka membuat mereka bahagia selalu ataupun seringkalinya. Hampir
separuh perempuan yang disurvei mengaku setidaknya beberapa waktu frustasi
dengan kehidupan pernikahannya.” (“As American Women See It; Motherhood Today—A
Tougher Job, Less Ably Done,” The Pew Research Center for People and the Press,
May 9, 1997, 5)
---
“Pernikahan
juga baik untuk dompet, tabungan, dan stabilitas keuangan jangka-panjangnya
perempuan. Para pasangan yang tetap menikah jauh kurang cenderung untuk masuk
ke dalam kemiskinan daripada orang yang tidak pernah menikah. (Waite and
Gallagher, 121. For a longer discussion of the effects of marriage and divorce
on women and men’s financial security, see 97-123)”
---
“Pernikahan
tampaknya juga mendorong menabung. Waite dan Gallagher menggarisbawahi sebuah
penelitian mengenai perilaku menabung selama periode 5 tahun dan menemukan
bahwa aset para pasangan yang tetap menikah meningkat lebih dari 7% tiap tahun.
Efek ini tidak bisa dijelaskan dengan peningkatan pendidikan, kesehatan, atau
bahkan pendapatan yang lebih tinggi. (Waite and Gallagher, 121. For a longer
discussion of the effects of marriage and divorce on women and men’s financial
security, see 113)”
---
“Data
menunjukkan bahwa para perempuan yang menikah lebih baik dalam hal kesehatan.
The Centers for Disease Control and Prevention mengadakan survei terhadap
127.545 orang dewasa usia lebih dari 18 tahun, dan menemukan bahwa mereka yang
menikah adalah secara umum lebih sehat daripada mereka yang tidak-menikah:
“Tanpa
memperhatikan sub-kelompok populasi (usia, jenis kelamin, ras Hispanic,
pendidikan, pendapatan, ataupun kebangsaan) ataupun indikator kesehatan
(kesehatan baik atau buruk, keterbatasan aktivitas, sakit punggung bawah, sakit
kepala, stres psikologis serius, merokok, ataupun tidak-aktif secara fisik
dalam waktu-senggang), orang-orang dewasa yang menikah secara umum lebih sehat
daripada mereka yang berada dalam kategori pernikahan yang lain… Satu indikator
kesehatan negatif yang mana orang-orang dewasa yang menikah banyak mengalaminya
adalah kelebihan berat badan ataupun obesitas. (Charlotte A. Shoenborn,
“Marital Status and Health: United States, 1999-2002,” Advance Data from Vital
and Health Statistics Number 351, U.S. Department of Health and Human Services,
Centers for Disease Control and Prevention, NationalCenter for Health
Statistics, December 15, 2004, 1. Available at: http://www.cdc.gov/nchs/data/ad/ad351.pdf)”
“Laporan
ini menemukan bahwa orang-orang dewasa yang menikah kurang cenderung menderita
kondisi-kondisi kesehatan seperti sakit kepala dan stres psikologis serius, dan
kurang cenderung melakukan perilaku-perilaku berisiko semacam merokok, minum-minum
berat, ataupun ketidakaktifan fisik. (Charlotte A. Shoenborn, “Marital Status
and Health: United States, 1999-2002,” Advance Data from Vital and Health
Statistics Number 351, U.S. Department of Health and Human Services, Centers
for Disease Control and Prevention, NationalCenter for Health Statistics,
December 15, 2004, 1)”
---
“Dalam
sebuah survei terhadap 3.500 orang dewasa yang dilakukan oleh Edward Laumann,
University of Chicago, 42% perempuan yang menikah mengatakan bahwa mereka
merasakan seks sangatlah memuaskan secara emosi dan fisik. Hanya 31% perempuan
lajang yang punya pasangan seks yang menyebutkan tingkat kepuasan seperti itu.
(Waite and Gallagher, 121. For a longer discussion of the effects of marriage
and divorce on women and men’s financial security, 82)”
---
“Para
pasangan yang tinggal bersama pra-pernikahan adalah 2 kali lebih cenderung
untuk bercerai daripada mereka yang tidak hidup bersama sebelum menikah, dan
melaporkan lebih banyak pertengkaran, kurang kepuasan, dan komunikasi yang
lebih buruk. (Nancy Wartik, “The Perils of Playing House,” Psychology Today,
July/August 2005)”
---
“Hubungan
berhabitat-bersama juga gagal menyediakan keamanan pernikahan karena mereka
itu, secara alami, pada dasarnya memang kurang aman dibandingkan dengan
pernikahan. Morse menggunakan metafora terhadap pengambilan hubungan itu adalah
untuk “test drive” (atau mengambil
pasangannya untuk di-“test drive”) (Jennifer Roback Morse, Smart Sex: Finding
Life-Long Love in a Hook-Up World, (Spence Publishing Company, Dallas, 2005) 98)”
---
“The
New Single Woman menggarisbawahi bagaimana para individu yang single menciptakan hubungan berdasarkan
saling-percaya dan ketergantungan satu sama lain yang juga ada dalam
pernikahan. Ini memang benar, tapi hubungan-hubungan itu tidak sebanding dengan
kewajiban-kewajiban legal dan sosial yang diemban dalam sebuah pernikahan.
Mungkin ada banyak contoh kedermawanan dan komitmen antar teman, tapi
hubungan-hubungan itu tidaklah bisa diandalkan sebagaimana pernikahan.”
“Trimberger
menulis sebuah bab khusus mengenai bagaimana komunitas teman saling membantu
dalam melalui sakit (penyakit fisik) dan bahkan kematian. Meski begitu, dia menekankan
pentingnya membangun komunitas individu yang lebih besar untuk dukungan karena
merupakan sesuatu yang “tidak realistis” untuk menganggap bahwa seorang sahabat
akan mampu memenuhi semua kebutuhan seseorang dalam masa krisis semacam itu.”
“Ini
sangat bertolak belakang dengan pernikahan.”
“Tentu
saja, seorang pasangan (suami/istri) tidaklah harus mampu memenuhi semua
kebutuhan partnernya dan akan
mendapatkan keuntungan dari cinta dan dukungan jaringan lebih luas keluarga dan
teman.”
“Tapi
telah menjadi hal yang diterima bahwa pasangan adalah bertanggung jawab untuk
merawat suami atau istrinya yang sakit dan akan memikul beban utamanya.”
---
“Masyarakat
juga punya kepentingan dalam menjaga pentingnya pernikahan karena peran unik
pernikahan dalam membina generasi berikutnya. Buktinya sangatlah banyak bahwa
anak-anak yang dibesarkan di dalam pernikahan yang stabil kurang cenderung melakukan
kejahatan, menyalahgunakan obat-obatan dan alkohol, melahirkan di luar nikah,
dan drop-out dari sekolah daripada
mereka yang dibesarkan di luar pernikahan. Singkatnya, anak-anak dari pasangan
menikah kurang cenderung berakhir sebagai beban atas masyarakat dan lebih
cenderung menjadi warga yang produktif. Ini ada dalam kepentingan kita semua
untuk mendorong pernikahan yang stabil untuk meningkatkan kesejahteraan
jangka-panjang masyarakat.”
---
“Perceraian
telah menjadi rutin, kejadian lumrah di dalam budaya popular. Dari pernikahan
Vegas 24-jam Brittany Spears hingga lika-liku putusnya Brad Pitt dan Jennifer
Aniston yang secara cermat diceritakan runut, berbagai tabloid dan majalah
hiburan mengulas pernikahan selebriti sebagaimana ulasan olahraga, perceraian
yang segera mengikuti, dan hubungan-hubungan berikutnya yang seringkali bermula
sebelum hubungan pertamanya berakhir. Perceraian adalah umum dalam film dan
televisi; seringkali, media itu menampilkan dampak dramatis perceraian pada
para anggota keluarga, tapi jarang keputusan perpisahan itu dipertanyakan.”
---
“Selama
1970-an dan 1980-an, keseluruhan 50 negara bagian mengadopsi hukum perceraian “no fault” yang memberi para pasangan
kemampuan untuk mengajukan perceraian tanpa mengklaim bahwa pasangannya
melakukan sesuatu yang “merusak” kontrak pernikahan dengan melakukan
perselingkuhan, kejahatan serius, atau melakukan kekerasan.”
“Karena
perceraian menjadi lebih mudah, perceraian menjadi umum. Sejak 1960, jumlah
perceraian telah meroket –lebih dari 2 kali lipat selama 15 tahun. Tingkat perceraian
memuncak pada 1980 dan sedikit menurun dalam 20 tahun terakhir. (Barbara Dafoe
Whitehead and David Popenoe, “The State of Our Unions: The Social Health of
Marriage, 2004” The National Marriage Project, 2004, 15. Available at:
http://marriage.rutgers.edu/Publications/SOOU/TEXTSOOU2004.htm)”
---
“Ketidaksuburan
mempengaruhi lebih dari 6 juta orang Amerika atau sekitar 10% populasi
usia-produktif. Sementara ada banyak faktor yang mempengaruhi kesehatan
reproduksi seseorang, usia memainkan peran utama dalam kemampuan perempuan
untuk hamil.”
“Mengetahui
fakta-fakta tentang kesehatan dan tubuhmu, secara universal dianggap sebagai
hal yang lumrah (common sense). Tapi
ketika menyentuh urusan reproduksi, politik bisa mengalahkan common sense.”
---
“Banyak
perempuan telah diarahkan untuk percaya bahwa mereka bisa menunda kehamilan
tanpa konsekuensi”
---
“Gerakan
feminis dan program-program studi perempuan terorganisasi bisa dikatakan tidak
melakukan apapun untuk menangani kurangnya informasi soal ketidaksuburan
terkait-usia.”
“Seorang
perempuan sehat berusia 30 tahun punya 20% kesempatan untuk hamil dalam suatu
bulan. 10 tahun berikutnya, yang berusia 40 tahun itu hanya punya kesempatan
5%.”
---
“Di
2001, the American Society of Reproductive Medicine –organisasi profesi AS
spesialis kesuburan terbesar- meluncurkan kampanye iklan yang dirancang untuk
meningkatkan kesadaran tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kesuburan
perempuan. Iklan-iklan itu fokus pada 4 perkara: merokok, penyakit menular seksual
(PMS), kelebihan berat badan, dan usia, yang semua itu mempengaruhi kemampuan
perempuan untuk hamil. Tak ada yang menolak terhadap masalah-masalah yang ditampilkan
yang terkait merokok, obesitas, dan PMS, tapi soal usia, muncul banyak kritik.”
---
“Seorang
juru bicara menjelaskan bahwa Asosiasi (ASRM) ingin menyajikan iklan itu karena
para dokter sudah jenuh terhadap para perempuan usia akhir 30-an dan 40-an yang
terkejut, frustasi, dan patah hati karena ternyata impian mereka untuk punya
anak telah sirna.”
---
“Seorang
perempuan sehat berusia 30 tahun punya 20% kesempatan untuk hamil dalam suatu
bulan. 10 tahun berikutnya, yang berusia 40 tahun itu hanya punya kesempatan
5%.”
---
“Menurut
American Society for Reproductive Medicine, sekitar 1 dari 3 pasangan yang mana
si perempuan berusia lebih dari 35 tahun, akan punya masalah kesuburan.
Menginjak usia 40, 2 dari 3 perempuan akan tidak mampu mencapai kehamilan
spontan. (“Patient’s Fact Sheet: Prediction of Fertility Potential in Older
Female Patients,” American Society of Reproductive Medicine, August 1996.
Available at: http://www.asrm.org/Patients/FactSheets/Older_Female-Fact.pdf).
Menurut RESOLVE, seorang perempuan di usia akhir 20-an, kurang subur 30%
daripada ketika dia di usia 20-an.”
“The
American Society for Reproductive Medicine mendeskripsikan bagaimana umur
berkaitan dengan penurunan kesuburan:”
“Walaupun
usia rata-rata menopause adalah 51, puncak efisiensi dalam sistem reproduksi
wanita terjadi pada awal 20-an dengan penurunan konstan setelahnya.”
“Terdapat
penurunan gradual pada kesuburan sebagai fungsi dari usia perempuan dengan
tingkat penurunan kesuburan menjadi semakin cepat setelah usia 35. (“Prevention
of Infertility Source Document: The Impact of Age on Female Fertility,”
American Society of Reproductive Medicine, 1. Available at: http://www.protectyourfertility.org/docs/age_femaleinfertility.doc)”
“Seorang
perempuan usia 30 yang sehat punya kesempatan 20% menjadi hamil dalam suatu
bulan. 10 tahun kemudian, dia yang berusia 40 hanya punya 5% kesempatan menjadi
hamil. (“Age and Fertility: A Guide for Patients,” American Society for
Reproductive Medicine, 3. Available at:
http://www.asrm.org/Patients/patient-booklets/agefertility.pdf)
---
“Gallup
menemukan bahwa 1/3 orang Amerika di atas usia 40 tahun tidak punya anak dan
hanya ¼ dari mereka itu yang mengatakan (tetap) memilih untuk tidak punya anak
jika bisa mengulang lagi. (Frank Newport, “Desire to Have Children Alive and
Well in America,” The Gallup Poll, August 19, 2003, 2)”
---
“Survei-survei
menunjukkan bahwa terdapat defisiensi informasi dan bahwa banyak perempuan
tidak menyadari faktor-faktor yang mempengaruhi kesuburan. The American Infertility
Association mensurvei 12.383 perempuan dan menemukan bahwa 88% dari mereka
meng-overestimasi sebanyak 5 hingga 10 tahun usia di mana kesuburan mulai
menurun. (Richard Scott, MD and Pamela Madsen, “What Mother Didn’t Tell You
About Fertility... Because No One Ever Told Her,” American Infertility
Association, 6. Available at: http://www.theafa.org/faqs/afa_whatmotherdidnotsay.html)
Hampir setengah secara salah berasumsi bahwa kesehatan (badan) umum adalah
indikator kesuburan.”
---
“Sebagai
hasil dari badai kritik terhadap kampanye iklan di 2001, ketika American Society
of Reproductive Medicine berencana menyebarkann iklan-iklan itu lagi di 2002,
mal-mal perbelanjaan dan bioskop-bioskop di San Francisco, Boston, Houston, and
Washington, D.C. menolaknya. Lokasi-lokasi itu mengklaim bahwa mereka memilih
kampanye iklan yang “mall friendly”
dan “happy environment”.
Perawatan
kesuburan adalah industri $2,7 milyar (Psyche Pascual, “Financing Infertility
Treatments,” “A Healthy Me.” Available at: http://www.ahealthyme.com/topic/infertilityfinance).
Menurut American Society for Reproductive Medicine, diperkirakan 300.000
pasangan sekarang sedang menjalani perawatan untuk ketidaksuburan.”
---
“Di
1998, Sylvia Ann Hewlett memulai menulis buku “celebrating the achievements of
the breakthrough generation - that first generation of women who broke through barriers
and became powerful figures in fields previously dominated by men (merayakan
pencapaian generasi pendobrak – generasi pertama para perempuan yang mendobrak
batasan dan menjadi figur kuat dalam bidang yang tadinya didominasi laki-laki)”
(Sylvia Ann Hewlett, Creating a Life: Professional Women and the Quest for Children
(Talk Miramax Books, New York, 2002) 1) Dia kemudian mengubah haluannya dan
berfokus pada perkara ketidakpunyaan anak di antara para perempuan
profesional.”
“Hewlett
mewawancarai beberapa wanita yang sangat sukses, mencari pemahaman yang lebih
baik mengenai bagaimana mereka menjadi tidak punya anak, dan mendeskripsikan
keterkejutannya akan besarnya rasa patah-hati mereka dan perasaan kehilangan
karena tidak punya anak:”
“Aku
merasa sangat terkejut karena apa yang aku dengar. Melakukan wawancara-wawancara
itu, aku berasumsi bahwa jika para perempuan berdaya dan sukses itu tidak punya
anak, tentunya mereka telah memilih untuk begitu. Aku sudah benar-benar siap
untuk memahami bahwa gairah dan tantangan dari karir megawatt membuat jadi
mudah untuk memutuskan tidak jadi seorang ibu. Tidak ada yang lebih jauh dari
kebenaran. Ketika aku bicara pada para perempuan itu tentang anak, perasaan
kehilangan mereka nyata tampak. Aku bisa melihatnya dari wajah-wajah mereka,
mendengarnya dalam suara-suara mereka, dan merasakannya dari kata-kata mereka.
(Sylvia Ann Hewlett, Creating a Life: Professional Women and the Quest for Children
(Talk Miramax Books, New York, 2002) 3)”
---
“Selain
dari wawancara-wawancara itu, di Januari 2001, Hewlett bekerjasama dengan Harris
Interactive dan National Parenting Association untuk melakukan sebuah survei
yang menyasar 10% perempuan teratas dalam hal pendapatan dalam dua kelompok
usia: 28-40 dan 41-55. Kedua kelompok dibagi menjadi “pencapai-tinggi,” yang
perolehannya lebih dari $55.000 atau $65.000 bergantung pada usia, dan
“pencapai-ultra,” yang perolehannya lebih dari $100.000.”
“Survei
itu mengungkap bahwa 33% perempuan pencapai-tinggi dan hampir setengah dari
perempuan pencapai-ultra di korporat Amerika tidak punya anak di usia 40.
Sebaliknya, hanya ¼ laki-laki pencapai-tinggi dan 19% laki-laki pencapai-ultra
(perolehannya lebih dari $200.000) tidak punya anak di usia 40. (Sylvia Ann
Hewlett, Creating a Life: Professional Women and the Quest for Children (Talk Miramax
Books, New York, 2002) 86)”
“Survei
itu juga mengkonfirmasi bahwa bagi kebanyakan perempuan, tak punya anak
bukanlah hasil dari pilihan sadar. Para perempuan itu diminta untuk melihat
kembali ke belakang ketika mereka lulus kuliah dan memikirkan apakah mereka
tadinya mau punya anak. Hanya 14% yang merespon bahwa mereka sungguh dulunya
tidak mau punya anak. Bahkan di antara para perempuan yang punya anak, hampir ¼
menyatakan bahwa mereka ingin punya lebih banyak anak daripada yang pada
akhirnya mereka lahirkan. (Sylvia Ann Hewlett, Creating a Life: Professional
Women and the Quest for Children (Talk Miramax Books, New York, 2002) 86)”
“Banyak
perempuan itu belum bisa menerima kenyataan bahwa mengandung anak nampaknya
tidak akan ada dalam masa depan mereka. Menyedihkannya, hampir ¼ perempuan
pencapai-tinggi dan 1/3 pencapai-ultra usia 41-55 yang diwawancara Hewlett
masih berharap untuk punya anak. Hewlett menyimpulkan: “Meski kecil kemungkinan
para perempuan usia-menengah itu untuk mengandung anak, respon-respon itu
menunjukkan kandungan kepedihan hati dan kerinduan seorang ibu. (Sylvia Ann
Hewlett, Creating a Life: Professional Women and the Quest for Children (Talk Miramax
Books, New York, 2002) 87)”
“Sebuah
polling oleh Gallup yang diambil pada 2003 menemukan bukti serupa tentang
penyesalan di antara mereka yang tak punya anak. Gallup menemukan bahwa sekitar
1/3 orang Amerika berusia lebih dari 40 tidak punya anak dan hanya ¼ dari
mereka itu yang mengatakan (tetap) memilih untuk tidak punya anak jika bisa
mengulang lagi. 46% orang Amerika berusia lebih dari 40 yang tak punya anak
berharap mereka telah punya 2 anak saja, 10% berharap mereka telah punya 1 anak
saja, dan 15% memilih 3 atau lebih. (Frank Newport, “Desire to Have Children
Alive and Well in America,” The Gallup Poll, August 19, 2003, 2)”
---
“Berjalannya
studi-studi perempuan cenderung beriringan dengan organisasi-organisasi feminis
dalam agenda politik dan kebijakan –dan hak-hak aborsi ada di pusat agenda
itu.”
---
“Sayangnya,
dalam banyak buku-teks studi perempuan, dan di media popular, posisi pro-life (anti-aborsi) jarang dijelaskan
atau ketika dijelaskan pun, dijadikan lelucon.”
“Introduction
to Womens’ Studies: Gender in a Transnational World mengandung 6 essai dalam
bagian berjudul “Population Control and Reproductive Rights: Technology and Power”
–tidak mewakili sudut pandang pro-life.
Bagian itu mengulas bagaimana isu-isu reproduksi berkembang di sepanjang
sejarah, termasuk bagaimana kemajuan dalam teknologi reproduksi telah membuat
kontrasepsi dan aborsi lebih siap tersedia, dan penggunaan –yang keji- aborsi
paksa (coerced abortion) dan
sterilisasi atas nama kontrol populasi atau berdasarkan rasisme. Semua essai
itu khusus fokus pada hak perempuan. Tidak ada yang mengeksplorasi argumen
bahwa calon bayi (fetus) atau si anak
yang belum lahir juga punya hak.”
“Issues
in Feminism: An Introduction to Women s’ Studies oleh Shelia Ruth, berisi
contoh yang lebih menjijikkan yang mendistorsi posisi pro-life dengan menganggap bahwa posisi itu adalah berdasarkan
keinginan untuk menindas perempuan. Ruth menampilkan bahwa perhatian oleh
gerakan pro-life terhadap calon bayi adalah
tak lebih dari asap untuk mengaburkan pandangan.”
---
“Glamour
edisi Agustus 2005 mengandung sebuah artikel, “The Mysterious Disappearance of
Young Pro-Choice Women.” Artikel itu juga berisi telaah serius terhadap
perubahan sikap di antara wanita muda, sebagian besar dari mereka sepuluh tahun
yang lalu mendukung hak aborsi yang tak dibatasi dan sekarang punya simpati
lebih besar untuk aturan-aturan yang membatasi aborsi. Si penulis
mempertimbangkan beberapa faktor yang telah berkontribusi pada tren ini,
termasuk meningkatnya kepercayaan pada kontrol kelahiran dan penerimaan yang lebih
besar terhadap keyakinan bahwa fetus
(calon bayi) adalah manusia hidup, dikarenakan banyaknya foto sonogram.”
“Nada
mendasar dari artikel ini menyarankan bahwa para perempuan keliru dalam perubahan
dukungan mereka atau bahwa mereka menyimpang dari kondisi alaminya.”
---
“Tiap
tahun, lebih dari 1 juta kehamilan berakhir pada aborsi. (“Abortion
Surveillance—United States, 2000,” Morbidity and Mortality Week Report,
November 28, 2003, Vol. 52, No. SS-12)”
“Para
peneliti mengestimasi bahwa antara 1/3 dan ½ dari seluruh perempuan AS akan
pernah melakukan satu aborsi hingga ketika usia mereka 45. (“Facts in Brief:
Induced Abortion,” Alan Guttmacher Institute. Available at: www.guttmacher.org/pubs/fb_induced_abortion.html.
And, “Fact Sheet: Abortion in the U.S.” The Henry J. Kaiser Family Foundation,
January 2003)”
“50%
dari semua aborsi dilakukan oleh perempuan di bawah usia 25; 1 dari 5 dilakukan
oleh remaja.”
---
“Aborsi
tetap saja sebuah prosedur medis yang menyakitkan, dengan potensi
konsekuensi-konsekuensi serius.”
“The
National Right to Life Committee menggarisbawahi temuan bahwa 97% perempuan
menyatakan mengalami rasa sakit selama aborsi dan lebih dari 1/3
mendeskripsikan rasa sakitnya sangat sakit. Komplikasi-komplikasi yang bisa
terjadi sebagai hasil dari aborsi bisa mempengaruhi kehamilan di masa mendatang
dan punya konsekuensi-konsekuensi kesehatan jangka-panjang. (“Is Abortion Safe?
Physical Complications,” National Right to Life. Available at: www.nrlc.org/abortion/ASMF/asmf13.html)”
---
“Menurut
Bureau of Labor Statistics, pekerjaan paling sering bagi perempuan adalah
sekretaris ataupun asisten administratif. 20% jenis profesi penuh-waktu teratas
bagi perempuan –yang totalnya dikerjakan oleh lebih dari 40% dari jumlah semua
perempuan yang bekerja penuh-waktu- sangatlah tradisional, termasuk guru
sekolah dasar, perawat, kasir, dan pelayan. Pengacara dan dokter tidak termasuk
dalam daftar itu. (“20 Leading Occupations of Employed Women Full-time Wage and
Salary Workers, 2003 Annual Averages,” U.S. Department of Labor, Women’s
Bureau, April 25, 2005. Fact sheet available at: http://www.dol.gov/wb/factsheets/20lead2003.htm)”
---
“Pada
1996, the Independent Women’s Forum mengadakan polling yang menanyakan
pertanyaan: “Jika kamu punya cukup uang untuk hidup senyaman yang kamu mau,
akankah kamu memilih bekerja penuh-waktu, paruh-waktu, menjadi relawan, atau
bekerja di rumah merawat keluargamu?” 1/3 menjawab bahwa kerja paruh-waktu itu
ideal bagi mereka. Hampir 1/3 yang lain memilih tinggal di rumah dengan
anak-anak. 20% mengatakan idealnya bahwa mereka akan melakukan kerja relawan
dan hanya 15% mau bekerja penuh-waktu. (Charmaine Yoest, “What Do Parents
Want?” The American Enterprise, May/June 1998)”
“Pew
Research Center for the People and the Press menerima respon yang mirip ketika
mereka mensurvei 1.101 wanita Amerika di 1997 mengenai keibuan kontemporer.”
“Mereka
menanyai para ibu dari anak-anak usia di bawah 18 apakah jika berada dalam
situasi ideal mereka akan memilih untuk bekerja penuh-waktu, paruh-waktu, atau
tidak sama sekali. Kerja paruh-waktu adalah pilihan nomor satu bagi para wanita
itu, mendapatkan 44% respon. 3 dari 10 memilih untuk bekerja penuh-waktu. Tapi
pada realitasnya (kehidupan mereka sekarang), lebih dari ½ ibu-ibu itu bekerja
penuh-waktu atau lebih daripada yang sebenarnya mereka inginkan. (“Motherhood
Today—A Tough Job, Less Ably Done: As American Women See It,” Pew Research
Center for the People & the Press, May 9, 1997)”
---
“Respon
terhadap survei Pew itu jelas mengindikasikan bahwa perempuan yang lebih
menghargai waktu dengan orang-orang tercinta daripada karir mereka adalah
sedang bertindak rasional dalam hal mengupayakan kebahagiaan jangka-panjang
mereka. Perempuan, tak pandang situasi hidup mereka, menilai hubungan dengan
orang-orang yang dicintai sebagai sumber terbesar kebahagiaan dan kepuasan
pribadi mereka.”
---
---
“2
dari 10 perempuan merespon pada survei Pew bahwa pekerjaan mereka membuat
frustasi selalu ataupun seringkalinya dan 50% yang lain menyatakan mereka
frustasi setidaknya kadang-kadang. Pekerjaan masih menjadi sumber kebahagiaan
bagi 60% perempuan yang bekerja- tapi itu artinya karir adalah sumber
kebahagiaan yang paling kurang konsisten dari semua aspek kehidupan yang ada
dalam polling.”
---
“Para
feminis sering berusaha untuk menyangkal realitas ini. Miskonsepsi mereka
ataupun keengganan mereka untuk mengenali peran yang dimainkan pekerjaan dan
keluarga dalam kehidupan nyata perempuan adalah lebih dari sekadar sebuah
gangguan, sepaket dengan pandangan umum feminis tentang penindasan perempuan.
Itu mempunyai konsekuensi kebijakan yang serius. Para feminis mendorong pembuat
kebijakan untuk memeluk berbagai program dan regulasi yang didesain untuk
menghalau perempuan ke dalam pasar tenaga kerja, meski itu bukanlah apa yang
perempuan inginkan.”
---
“Kelompok-kelompok
feminis suka menampakkan seolah perempuan bisa punya segalanya –bekerja
penuh-waktu dan menjadi para pemimpin industri, tanpa mengorbankan waktu dengan
keluarga. Adalah sebuah kesalahan politik (menurut feminis) jika menyatakan
bahwa salah satu area kehidupan itu harus mengorbankan, atau berdampak pada,
yang lain.”
“Pernyataan
ini salah dan kebanyakan perempuan mengetahuinya.”
---
“Perempuan
dan laki-laki secara umum juga punya perbedaan prioritas ketika menilai
kesempatan kerja. Suatu survei terhadap perempuan yang bekerja menemukan bahwa
bagi hampir ¾ dari mereka, jadwal yang fleksibel adalah “sangat penting” ketika
mempertimbangkan sebuah pekerjaan. Ini artinya bahwa banyak perempuan yang mau
menukar lebih banyak uang dengan lebih banyak fleksibilitas ataupun waktu
ketika tidak ada tugas pekerjaan (time
off). (“Motherhood Today—A Tough Job, Less Ably Done: As American Women See
It,” 7)”
---
“Warren
Farrel, seorang mantan anggota dewan NOW (National Organization for Women)
chapter New York, menulis buku berjudul Why
Men Earn More yang menelaah keputusan-keputusan yang dibuat individu ketika
memilih suatu karir dan pekerjaannya. (Warren Farrell, Why Men Earn More
(American Management Association, New York, 2005). Dia mengidentifikasi 25
keputusan yang individu buat mengenai pekerjaan dan mengungkapkan bahwa,
rata-rata, laki-laki cenderung membuat keputusan yang meningkatkan upah mereka,
sementara perempuan tidak selalu memilih alternatif upah tertinggi. Selain
bahwa para perempuan mengambil waktu lebih banyak di luar tenaga kerja (waktu
tak aktif bekerja) dan bekerja lebih sedikit jam daripada laki-laki, perempuan
cenderung untuk memilih pekerjaan yang memerlukan lebih sedikit bepergian dan
kurang cenderung pindah rumah untuk pekerjaan. Laki-laki mengambil lebih banyak
pekerjaan berisiko tinggi –yang merupakan 92% kematian yang terjadi di tempat
kerja- dan pekerjaan yang perlu menggeluti komponen-komponen luar ruang. (Warren
Farrell, Why Men Earn More (American Management Association, New York, 2005,
27, 44)”
---
“Para
wanita dengan anak-anak tidaklah semata memasuki lapangan kerja. Mereka juga
meninggalkan rumah dan, dalam melakukannya, harus mencari pengurusan alternatif
untuk pengasuhan anak-anak mereka. Kebutuhan bayi dan balita yang hampir
konstan harus dipenuhi oleh seseorang yang lain –baik penyedia penitipan anak
atau anggota keluarga yang lain. Anak-anak usia sekolah harus kembali ke rumah
yang kosong atau menghabiskan sore di program usai-sekolah ketika ibu tak ada
di rumah.”
“Tentu
saja, ayah punya peran yang dimainkan dalam formula ini, dan para ayah
mengambil peran lebih besar dalam pengasuhan anak-anak mereka.”
“Para
feminis menciut terhadap penelitian yang menunjukkan bahwa anak-anak dengan
orangtua sebagai pengasuh utama lebih baik daripada mereka yang di dalam
penitipan anak penuh-waktu.”
---
“Jenis
penitipan anak yang paling sering didorong oleh kelompok feminis dan pemerintah
–penitipan anak institusional- adalah jenis pengasuhan anak yang paling tidak
popular di antara para orangtua.”
“Orang
secara umum percaya bahwa orangtua dan anggota keluarga atau sahabat dekat
melakukan pekerjaan yang lebih baik mengasuh anak-anak mereka.”
---
“Seiring
para perempuan meninggalkan rumah untuk bekerja, mereka harus bergantung para
orang lain untuk menangani tanggung jawab itu sementara mereka pergi. Apa
dampak-dampak perubahan sosial besar ini dalam kehidupan anak-anak?”
---
“Pesan
implisit dari penitipan anak gratis ataupun bersubsidi adalah bahwa para
perempuan harus keluar dari rumah, menyerahkan anak-anak mereka kepada para
profesional, dan pergi.”
“Tentu
saja, penitipan anak tidak pernah gratis, bahkan jika itu disediakan bebas
biaya atas si pengguna. Para pembayar pajak harus menambalnya. Dan karena
tingkat pajak naik untuk membayar jasa-jasa itu, menjadi lebih sulit bagi
sebuah keluarga untuk bertahan hidup hanya dengan satu pendapatan, memaksa
banyak perempuan yang memilih untuk tinggal di rumah untuk memasuki lapangan
kerja.”
---
“Dorongan
yang meningkat terhadap penitipan anak nasional merugikan para ibu di rumah –dan
mereka yang memilih untuk di rumah. (Brian Robertson, Day Care Deception: What the Child Care Establishment Isn’t Telling
Us, 135)”
---
“Menurut
Survey of Income and Program Participation di 1993 –data terkini yang tersedia-
hampir ½ dari hampir 10 juta anak di bawah usia 5 diasuh oleh kerabat sementara
ibu mereka bekerja. Mayoritas anak-anak itu di bawah pengasuhan kakek-nenek
atau ayah mereka. 21% diasuh oleh “bukan-kerabat,” termasuk penyedia penitipan
anak ataupun pusat bayi dalam-rumah (in-home
baby centers). Hanya 30% yang ada di fasilitas penitipan anak
terorganisasi, atau apa yang kadang disebut dengan penitipan institusional. (Lynne
M. Casper, “Whose Minding Our Preschoolers?” Current Population Reports, Household
Economic Studies, P70-53, U.S. Department of Commerce, Economics and Statistics
Administration, March 1996, 1)”
---
“Di tahun
2000, perusahaan polling, Public Agenda, mengadakan survei terhadap 815
orangtua dari anak-anak usia di bawah 5, juga mengadakan diskusi focus group dan wawancara dengan
perusahaan (tempat kerja), advokat anak-anak, dan mereka yang ada di bidang
penitipan anak dan menerbitkan laporan berjudul “Necessary Comrpomised.”
Hasil-hasil survei dari para orangtua mengungkapkan sebuah preferensi yang
lebih mengejutkan terhadap pengasuhan oleh orangtua.”
“Ketika
ditanyakan, “Pengaturan yang mana yang kamu anggap sebagai pengasuhan anak yang
terbaik selama tahun-tahun awal anak-anak: seorang orangtua tinggal di rumah;
kedua orangtua bekerja dengan shift (waktu
kerja) berbeda sehingga satu orangtua hampir selalu ada di rumah; seorang
pengasuh atau babysitter di rumah;
seorang kerabat dekat untuk mengurus anak-anak; membawa anak ke seorang ibu di
lingkungan tetangga yang mengasuh anak-anak di rumahnya; atau menempatkan
anak-anak di pusat penitipan anak berkualitas,” 70% responden berpikir bahwa
yang terbaik adalah seorang orangtua tinggal di rumah. 14% yang lain lebih
memilih kedua orangtua bekerja dengan shift
berbeda. Hanya 6% yang berpikir bahwa “pusat penitipan anak berkualitas”
sebagai pengaturan yang terbaik bagi anak-anak.”
“Dalam
pertanyaan yang lain, mayoritas orangtua menempatkan penitipan anak sebagai “pilihan
yang terakhir.” Lebih dari 7/10 para orangtua yang punya anak-anak usia balita
setuju dengan pernyataan “orangtua seharusnya hanya bergantung pada penitipan
anak ketika mereka tidak punya pilihan lain.”
---
“Survei
Pew menemukan bahwa semua perempuan, termasuk mereka yang bekerja, percaya
bahwa anak-anak lebih baik dipenuhi kebutuhannya oleh orangtua di rumah ketika
mereka masih kecil:”
“Hanya
29% yang berpikir bahwa ketika kedua orangtua bekerja penuh-waktu mereka seringnya
bisa baik dalam mengasuh anak. Sebagian kecil yang lain mengatakan bahwa
kebanyakan single-mother bisa
mengasuh dengan baik. Hanya, 41% dari ibu yang bekerja penuh-waktu merasa
percaya diri bahwa situasi seperti itu baik untuk anak-anak. Para perempuan,
baik bekerja maupun tidak, percaya pada pengaturan yang lebih tradisional, di
mana sang ayah bekerja penuh-waktu dan sang ibu tinggal di rumah, adalah yang
terbaik untuk membesarkan anak. 2 kali lipat lebih banyak perempuan mengatakan
bahwa meningkatnya jumlah ibu yang memasuki lapangan kerja adalah buruk,
bukannya baik, untuk masyarakat (41% dibanding 17%). (“Motherhood Today—A Tough
Job, Less Ably Done: As American Women See It,” 1)”
“Demikian
pula, Public Agenda menemukan bahwa preferensi orangtua untuk pengasuhan
berakar pada kepercayaan bahwa yang terbaik adalah para orangtua diposisikan
untuk memberi pengasuhan dan bahwa pusat penitipan anak tentu tidak bisa
dipercaya untuk memberi perhatian yang banyak pada anak-anak.”
---
National
Institute of Child Health and Human Development mengkaji data mengenai
penitipan anak untuk menentukan hubungan antara banyaknya waktu pengasuhan oleh
non-ibu selama 4,5 tahun dan perilaku anak-anak. Mereka mengutip
penelitian-penelitian yang mengungkap bahwa penggunaan pengasuhan non-maternal berkaitan
dengan meningkatnya masalah perilaku, khususnya perilaku agresif, di antara anak-anak
usia 3 hingga 4 tahun. (National Institute of Child Health and Human
Development Early Child Care Research Network, “Does Amount of Time Spent in
Child Care Predict Socioemotional Adjustment During the Transition to
Kindergarten,” Child Development, July/August, 2003, Volume 74, Number 4, 978)”
“Semakin
lama masa anak-anak diasuh di penitipan anak maka semakin kurang harmonis
interaksi ibu-bayi dan pengasuhan oleh ibu menjadi kurang sensitif.” (National
Institute of Child Health and Human Development Early Child Care Research
Network, “Does Amount of Time Spent in Child Care Predict Socioemotional
Adjustment During the Transition to Kindergarten,” Child Development,
July/August, 2003, Volume 74, Number 4, 981)
---[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar