Pengadilan Administratif Tashkent mulai mempertimbangkan sebuah
gugatan, diajukan oleh seorang ayah dari putri berusia 17 tahun –seorang siswi
sekolah menengah atas di International Islamic Academy, di mana pihak sekolah
ini melarangnya untuk masuk sekolah memakai kerudung,- demikian diberitakan
oleh Radio Liberty edisi Uzbek. Sebelum ini, media telah memberitakan bahwa
beberapa mahasiswi dipaksa
melepas kerudung mereka dan memakai wig atau tutup kepala untuk masuk ke kelas.
Sejak awal tahun ajaran baru setidaknya 4 siswi International Islamic Academy
di Tashkent telah dikeluarkan dari universitas itu karena absen karena adanya
larangan hijab ini.
Pertarungan tentang pemakaian hijab tidak berhenti di Asia Tengah. Busana
Muslimah terus menjadi poin konflik antara pemerintah dan masyarakat di
bermacam negara, dan bisa dikatakan bahwa para diktator bersasaran untuk menghapus hijab dari
identitas negeri-negeri Muslim, dan mereka berusaha keras untuk
mencapainya. Di waktu yang sama, terjadi resistensi yang hebat terhadap
larangan itu di masyarakat.
Soal situasi di Uzbekistan, larangan memakai hijab sudah diterapkan
di negara itu sejak lama, sejak masa pemerintahan seorang musuh Islam yang
terkenal, Karimov. Sejak itu, menurut hukum, memakai hijab adalah pelanggaran
administratif, yang hukumannya adalah penahanan dan hukuman administratif.
Situasinya terus berlangsung sampai matinya Karimov di 2016. Setelah
itu, presiden yang baru memulai reformasi populis untuk menampilkan citra sebagai
“penyelamat rakyat dari penindasan rezim lama.” Penduduk Uzbekistan menerima
dengan antusias penghapusan larangan sholat dan pergi ke masjid, kebolehan
untuk adzan melalui pengeras suara di menara masjid, hingga masyarakat menuntut
pula pembatalan larangan berhijab.
Para pengamat menduga bahwa tuntutan ini memicu Mirziyayev untuk
segera mengakhiri hampir semuanya dari reformasi skala-besar di ranah relijius –
dalam waktu sesingkat-singkatnya semua program TV Islami ditutup, adzan dari
menara masjid dilarang lagi, anak-anak kembali dilarang pergi ke masjid, dst. Jadi,
Mirziyayev menyadari bahwa memakai hijab adalah tindakan politik yang penting,
dan menghapus larangannya bisa menghilangkan halangan terhadap proses kebangkitan Islam di antara
masyarakat Uzbekistan hingga tak mungkin lagi kembali sebagaimana di era
represif.
Di Desember 2018 pemerintah Tajikistan juga mengumumkan
keinginannya untuk menerapkan undang-undang yang melarang muslimah berhijab
untuk memasuki semua institusi – baik negeri maupun swasta. Sebelumnya, di 2017
pemerintah itu sudah menerapkan hukum yang melarang pemakaian hijab di
tempat-tempat publik, tapi karena resistensi aktif dari masyarakat, hukum ini
tidak pernah sungguh-sungguh dijalankan.
Tapi rezim Rahmon di Tajikistan “tidak bersedih” dan mengatur
metode, selangkah demi selangkah, berusaha mengikuti pengalaman Uzbekistan dan
untuk pada akhirnya melarang hijab. Namun, pemertimbangan hukum tersebut
menyebabkan resonansi terbesar di masyarakat Tajik: aksi damai yang masif
muncul di tengah masyarakat, di seantero negeri – ratusan laki-laki dan
perempuan dari berbagai usia dan status sosial mempublikasi video-video di mana
mereka menyatakan menolak pelarangan hijab dan tidak akan diam atas penerapan
hukum ini. Fenomena ini jelas pantas diapresiasi, dan juga menjadi contoh perjuangan kaum Muslimin demi
agama mereka di kondisi rezim-rezim tiran Asia Tengah.
Larangan memakai hijab -dengan berbagai perbedaan kecil, dan
perbedaan tahapan penerapannya oleh para penguasa- bisa dijumpai di semua
negara Asia Tengah lainnya (Turkmenistan, Kazakhstan dan Kyrgyzstan), dan
bahkan di seluruh area pasca-Soviet (kawasan Volga, Ural dan Kaukasus,
Azerbaijan, Georgia). Penting untuk dipahami, bahwa Hijab juga termasuk ikon
penting politik dan ideologi yang semakin sering menjadi sasaran serangan
rezim-rezim, dan perjuangan ini harus diekspos secara maksimal dan didukung oleh
semua kaum Muslimin di dunia, yang kebanyakannya tidak mengalami penindasan
semacam ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar