Unduh BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Rabu, 22 Mei 2019

Berpaling Dari Syariah: Berbuat Kerusakan Di Muka Bumi - TAFSIR QS Muhammad: 22-23



Oleh: Rokhmat S. Labib, MEI

Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka.” (TQS. Muhammad [47]: 22-23)

Hukum Allah SWT yang diturunkan kepada Rasulullah untuk diamalkan dan dikerjakan. Ketika diamalkan, maka pelakunya akan menjadi baik. Bahkan tatkala berkuasa di muka bumi, niscaya akan memperbaiki kehidupan di atas muka bumi. Sebaliknya, ketika manusia berpaling darinya, dia akan rusak dan tersesat. Ketika berkuasa atas manusia, dia pun akan membuat kerusakan di bumi. Atas perilaku tersebut, maka pelakunya layak untuk mendapatkan hukuman dari Allah SWT. Inilah di antara yang dijelaskan oleh ayat ini.

Berbuat Kerusakan

Allah SWT berfirman: Fa hal 'asaytum in tawallaytum an tufsiduu fii al-ardh (maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan menguat kerusakan di muka bumi). Dalam ayat sebelumnya Allah SWT memberitakan sikap orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya, yakni orang-orang munafik. Mereka diberitakan amat takut terhadap perintah berjihad. Mereka pun mendapatkan ancaman atas sikap tersebut; seraya diberikan nasihat, seandainya mereka mau beriman dengan benar dan taat terhadap perintah-Nya, maka itu lebih baik bagi mereka.

Ayat ini masih membicarakan mereka. Dikatakan al-Alusi dan al-Syaukani, khithaab (seruan) ayat ini ditujukan kepada orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit. Pengalihan khitaab tersebut untuk menegaskan celaan dan mengukuhkan teguran.

Kata 'asaa mengandung makna li al-tawaqqu‘ (untuk memprediksi). Hanya saja jika berasal dari Allah SWT mengandung makna pasti terjadi. Demikian menurut Wahbah al-Zuahili dalam tafsirnya, al-Muniir.

Diterangkan Fakhruddin al-Razi, kata hal merupakan istifhaam (kalimat tanya). Dalam konteks ayat ini, kata tersebut bermakna li al-taqriir al-muakkad (menetapkan perkara yang dikukuhkan).

Sedangkan tawallaytum, terdapat perbedaan panafsiran tentangnya. Pertama, berasal dari al-wilaayah (kekuasaan), artinya jika kamu memegang kekuasaan dan manusia berada di bawah kekuasaanmu. Abu al-‘Aliyah, sebagaimana dikutip al-Qurthubi, memaknai ayat ini dengan ungkapan, ”Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa, kamu akan berbuat kerusakan di muka bumi dengan menerima suap?" Al-Kalbi juga berkata, ”Maka, apakah sekiranya jika kamu berkuasa atas urusan umat, kamu akan berbuat kerusakan di muka bumi dengan kezhaliman?”

Kedua, berasal dari al-tawallii yang bermakna al-i'raadh (berpaling). Artinya, mereka berpaling dari Islam. Di antara yang berpendapat demikian adalah Ibnu Jarir. Mufassir tersebut berkata, "Sekiranya kamu berpaling dari kitab Allah SWT, meninggalkan hukum-hukum kitab-Nya, dan berpaling dari Nabi Muhammad beserta semua yang dibawa oleh beliau untuk kalian.”

Qatadah, sebagaimana dikutip al-Thabari dan al-Qurthubi juga berkata tentang ayat ini: ”Bagaimana menurut kalian tentang suatu kaum yang ketika berpaling dari kitab Allah, apakah mereka akan menumpahkan darah yang haram, memutuskan kekeluargaan, dan durhaka terhadap al-Rahman?"

Menurut Fakhruddin al-Razi, makna kedua ini lebih sesuai dengan konteks ayat sebelumnya. Yakni, kalian menolak perang dan mengatakan bahwa di dalam perang terjadi perusakan dan pemutusan hubungan kekeluargaan karena orang-orang kafir itu adalah kerabat kamu. Maka, hal itu tidak akan terjadi dari kalian kecuali kamu berperang atas dasar sesuatu yang paling rendah sebagaimana adat bangsa Arab.

Sedangkan makna an tufsiduu fii al-ardh (kamu akan membuat kerusakan di muka bumi), Ibnu Jarir al-Thabari berkata, ”Kamu durhaka kepada Allah SWT di muka bumi, lalu kamu kufur kepada-Nya, dan menumpahkan darah."

Kemudian disebutkan: wa tuqaththi'uu arhaamakum (dan memutuskan hubungan kekeluargaan?). Kata al-arhaam merupakan bentuk jamak dari kata al-rahim. Menurut al-Asfahani, kata itu berarti rahim wanita. Kemudian digunakan untuk menyebut sanak kerabat karena berasal dari rahim yang sama.

Menurut Imam al-Qurthubi, secara global al-rahim ada dua jenis, yakni: umum dan khusus. Rahim yang umum adalah rahim al-din (kekeluargaan dalam agama) yang wajib terus disambung dengan memantapkan keimanan, mencintai pemeluknya, memberikan pertolongan dan nasihat, tidak menjatuhkan bahaya kepada mereka, berlaku adil di antara mereka, bersikap lurus dalam bermuamalah dengan mereka, menunaikan hak-hak mereka yang diwajibkan, seperti mengunjungi orang yang sakit, menunaikan hak-hak orang yang meninggal, seperti memandikan, mensholati, memakamkan, dan berbagai hak lainnya.

Adapun al-rahim yang khusus adalah rahim al-qaraabah, kekeluargaan berdasarkan kekerabatan karena berasal dari pihak laki-laki, baik bapak maupun ibunya. Dalam hal ini wajib menunaikan hak khusus dan tambahan, seperti nafkah, memonitor keadaan mereka, senantiasa merawat mereka dalam waktu-waktu darurat mereka, memastikan dalam hak mereka terdapat hak rahim yang bersifat umum, hingga ketika terjadi bentrok, maka didahulukan hak mereka dari paling dekat, kemudian yang dekat. Menurut al-Qurthubi, semua yang dicakup oleh al-rahim tersebut wajib dijaga hubungannya dalam semua keadaan, baik karena kerabat maupun karena agama.

Dalam ayat ini diberitakan bahwa orang-orang yang di dalam hatinya itu ada penyakit, ketika mereka berkuasa atau berpaling dari agama, mereka akan memutuskan hubungan rahim ini. Sesuatu yang dilarang oleh Islam. Rasulullah bersabda: “Tidak masuk Surga orang yang memutuskan hubungan silaturahim” (HR. Muslim, dari Jubair bin Muth'im). Abdurrahman al-Sa'di juga menerangkan bahwa terikat dengan ketaatan kepada Allah dan mengerjakan perintah-Nya, maka itulah kebaikan, bimbingan, dan keberuntungan; atau berpaling dari itu. Berpaling dari ketaatan kepada Allah SWT, maka di situlah kerusakan di muka bumi dengan melakukan kemaksiatan dan pemutusan hubungan kekeluargaan.

Hukuman Bagi Pelakunya

Kemudian Allah SWT berfirman: Ulaaika al-ladzii la'anahumulLaah (mereka itulah orang-orang yang dila'nati Allah). Kata ulaaika merujuk kepada orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan tali kekeluargaan. Allah SWT pun menjatuhkan hukuman kepada mereka berupa laknat. Yakni, menjauhkan mereka dari rahmat-Nya.

Hukuman lainnya adalah: Fa ashammahum (lalu ditulikan-Nya telinga mereka). Menurut al-Asfahani, kata ashamma berasal dari kata al-shamam yang berarti hilangnya indera pendengaran. Kata ini juga digunakan untuk menyifati orang yang tidak mendengarkan dan tidak menerima kebenaran. Makna ini pula yang dikandung ayat ini. Ibnu Jarir al-Thabari berkata, "Maksudnya, mencabut pemahaman nasihat-nasihat Allah SWT dalam kitab-Nya yang mereka dengar dengan telinga mereka.

Di samping itu juga: Wa a'maa abshaarahum (dan dibutakan-Nya penglihatan mereka). Kata a'maa berasal dari al-‘amaa. Kata ini berarti hilangnya penglihatan dan pemahaman. Makna yang kedua ini digunakan dalam firman Allah SWT: “Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada” (TQS. al-Hajj [22]: 46).

Dijelaskan ayat ini, mereka mendapatkan hukuman berupa dibutakan mata mereka. Al-Syaukani berkata, ”Maka Dia membuat mereka tuli dari mendengarkan kebenaran dan membuat mata mereka buta dari menyaksikan segala sesuatu yang menjadi bukti-bukti tauhid, kebangkitan, dan kebenaran semua yang diserukan oleh Rasulullah .”

Dikatakan Ibnu Katsir, ini merupakan larangan berbuat kerusakan di muka bumi secara umum, dan larangan memutuskan hubungan silaturahim secara khusus. Sebaliknya Allah SWT memerintahkan supaya melakukan perbaikan di muka bumi dan menyambung tali silaturahim, yakni berbuat baik dengan sanak famili, baik melalui ucapan maupun perbuatan, serta memberikan harta kekayaan.

Demikianlah. Orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit, yakni orang-orang munafik berkuasa dan berpaling dari syariah, mereka akan membuat kerusakan di atas muka bumi. Mereka juga akan memutuskan hubungan, baik karena kekerabatan maupun keimanan. Atas perilaku mereka, mereka pun dilaknat Allah SWT. Yakni dijauhkan dari rahmat Allah SWT. Tak hanya itu, pendengaran mereka dibuat tuli dalam mendengarkan kebenaran dan mata beserta akalnya dibutakan oleh Allah SWT sehingga mereka tidak bisa melihat dan memahami berbagai dalil, nasihat, dan pelajaran dari Allah SWT. Akibatnya, mereka makin tersesat jauh. Semoga kita dijauhkan dari mereka. Wal-Laah a'lam bi al-shawaab.[]

Ikhtisar:

1. Ketika orang-orang munafik berkuasa dan berpaling dari hukum Allah SWT, niscaya mereka akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan silaturahim.

2. Atas tindakan mereka itu, mereka diberikan hukuman berupa mendapatkan laknat, dibuat tuli pendengarannya, dan dijadikan buta penglihatan dan akalnya.[]

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 176

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Download BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam