Oleh:
Rokhmat S. Labib, MEI
“Janganlah kamu lemah dan minta damai
padahal kamulah yang di atas dan Allah pun bersamamu dan Dia sekali-kali tidak
akan mengurangi pahala amal-amalmu.” (TQS. Muhammad: 35)
Islam
adalah dakwah. Agama yang memerintahkan umatnya untuk terus berdakwah dan
menyebarkan agamanya ke seluruh dunia. Thariqah
atau metode praktisnya adalah dengan berjihad fisabillah. Ini wajib diamalkan
oleh umat Islam. Dalam hal ini, umat Islam tidak boleh lemah dan gentar
menghadapimusuh-musuhnya. Ayat ini pun menerangkan beberapa sebab yang
meniscayakan umat Islam tidak boleh merasa lemah dan meminta orang kafir
berdamai.
Ketika Lebih
Kuat
Allah SWT
berfirman: Falaa tahinuu (janganlah kamu
lemah). Dalam ayat sebelumnya, Allah SWT menegaskan bahwa orang-orang kafir dan
menghalangi manusia dari jalan-Nya, kemudian mati dalam kafir tidak akan
diampuni dosa-dosanya.
Kemudian dilanjutkan dengan ayat ini yang ditujukan kepada
hamba-hamba-Nya yang Mukmin. Dikatakan oleh al-Khazin, khithaab atau seruan ayat ini ditujukan kepada para sahabat
Nabi ﷺ, kemudian berlaku umum untuk seluruh kaum Muslimin.
Mereka
semua diserukan agar: Falaa tahinuu
(janganlah kamu lemah). Makna kata al-wahn
adalah al-dha’if (lemah), baik dari segi
fisik maupun psikis, seperti dalam firman Allah SWT: Qaala innii wahana al-'azham minnii (Ia berkata "Ya
Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah; TQS. Maryam [19]: 4). Juga
firman-Nya: Famaa wahanuu limaa ashaabahum
(Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka; TQS. Ali Imran
[3]: 146). Demikian kata al-Raghib al-Asfahani dalam al-Mufradaat fii Gharib al-Qur‘aan.
Makna ini
pula yang dikandung dalam ayat ini. Menurut Imam al-Qurthubi, penggalan ayat
ini bermakna: ”Janganlah kalian lemah untuk berperang.” Al-Hafidz Ibnu Katsir
juga berkata: ”Janganlah kalian lemah menghadapi musuh." Dikatakan pula
oleh Ibnu Jarir al-Thabari, "Maka janganlah kalian lemah, wahai
orang-orang yang beriman kepada Allah untuk berjihad melawan orang-orang
musyrik dan takut memerangi mereka.”
Dengan
demikian, ayat ini melarang umat Islam untuk bersikap lemah dalam berjihad
menghadapi orang-orang kafir dan musuh-musuh mereka.
Kemudian
disebutkan: Wa tad'uu ilaa al-salm (dan
minta damai). Huruf al-wawu di sini
adalah 'athf yang menyandingkan dengan
kata sebelumnya: Falaa tahinuu
(janganlah kamu lemah). Sehingga penggalan ayat ini juga merupakan larangan
kepada Muslimin. Mereka dilarang meminta al-salm
kepada orang-orang kafir. Makna al-salm
adalah al-shulh (perjanjian damai).
Demikian menurut Imam al-Qurthubi. Ibnu Katsir juga menafsirkannya sebagai al-muhaadanah wa al-musaalamah (perjanjian dan
perdamaian), dan melakukan gencatan senjata antar kalian dengan orang-orang
kafir.
Menurut
al-Khazin, perdamaian yang dilarang oleh ayat ini adalah perdamaian yang
sifatnya abadi. Mufassir tersebut berkata, ”Janganlah kalian mengajak
orang-orang kafir kepada perdamaian selama-lamanya. Allah SWT telah melarang
mereka untuk mengajak kepada orang-orang kafir kepada perjanjian dan
memerintahkan untuk memerangi mereka hingga mereka menyerah."
Jika dikaitkan dengan perintah melakukan jihad dan perintah memerangi
orang-orang kafir hingga mereka beriman atau menjadi ahli dzimmah yang tunduk terhadap hukum Islam dan membayar jizyah
(lihat: QS. al-Taubah [9]: 29), kesimpulan tersebut menemukan benang merahnya.
Itu juga yang diputuskan Rasulullah ﷺ pada Perjanjian Hudaibiyyah. Dalam perjanjian
tersebut, dibatasi dengan masa, yakni sepuluh tahun.
Lalu
dilanjutkan dengan firman-Nya: Wa antum
al-a'lawna (padahal kamulah yang di atas). Huruf al-wawu di sini merupakan wawu
al-haal (yang menunjukkan keadaan). Artinya, larangan untuk berdamai
dengan orang-orang kafir itu tatkala kalian dalam keadaan lebih kuat, dan lebih
besar, baik jumlah kalian maupun persiapan kalian. Ibnu Katsir berkata, ”Yakni
dalam keadaan kalian mengungguli musuh-musuh kalian."
Ketika Musuh
Lebih Kuat
Manakala
keadaannya sebaliknya, yakni orang-orang kafir lebih kuat dan lebih banyak jika
dibandingkan dengan seluruh kaum Muslimin dan imam (atau khalifah ) pun memandang terdapat kemaslahatan pada
perdamaian tersebut, maka dia bisa melakukannya.
Hal ini juga dilakukan oleh Rasulullah ﷺ ketika beliau
dihalang-halangi oleh kaum Quraisy untuk masuk ke kota Makkah. Mereka mengajak
beliau untuk mengadakan perdamaian dan melakukan gencatan senjata antara mereka
dengan beliau selama sepuluh tahun. Beliau pun menerima tawaran mereka.
Demikian penjelasan Ibnu Katsir dalam tafsirnya.
Menurut
Syihabuddin al-Alusi, sebagian ulama juga beristidlal
dengan larangan ini bahwa tidak boleh melakukan perjanjian damai dengan
orang-orang kafir kecuali dalam keadaan darurat; dan haramnya meninggalkan
jihad kecuali dalam keadaan lemah. (ketika lemah maka harus berusaha untuk
menjadi kuat)
Selanjutnya
Allah SWT berfirman: WalLaah ma'akum
(dan Allah pun bersamamu). Ini merupakan kabar gembira yang besar tentang
pertolongan dan kemenangan mereka atas musuh-musuh mereka. Al-Qurthubi berkata,
"Yakni dengan memberikan pertolongan dan bantuan.” Ini seperti firman
Allah SWT: Wa innalLaah lama'a al-muhsiniin
(dan sungguh, Allah benar-benar bersama orang-orang yang berbuat ihsan, TQS.
al-Ankabut [29]: 69).
Ayat ini
pun diakhiri dengan firman-Nya: Walan yatrakum
a'maalakum (dan Dia sekali-kali tidak akan mengurangi pahala
amal-amalmu). Menurut Ibnu Katsir, ini berarti: ”Dia tidak akan menghapus dan
menghilangkan amal-amal kalian sedikitpun. Bahkan, Dia akan membalas kalian
dengan pahala dan tidak akan mengurangi sedikitpun."
Menurut
Abdurrahman al-Sa‘di, tiga perkara tersebut masing-masing meniscayakan
kesabaran dan tiadanya sikap lemah.
Pertama, al-a'liina
(lebih di atas). Ini berarti faktor-faktor yang menjadi sebab kemenangan bagi
mereka telah terpenuhi. Di samping itu, mereka juga dijanjikan Allah SWT dengan
janji yang benar. Patut dicatat, sesungguhnya manusia tidak akan merasa lemah
kecuali dia merasa lebih rendah dan lebih lemah terhadap orang lain, baik dari
segi jumlah maupun kekuatan, baik internal maupun eksternal.
Kedua, sesungguhnya Allah SWT bersama mereka.
Hal ini disebabkan karena mereka adalah orang-orang Mukmin; dan Allah SWT pun
bersama orang-orang Mukmin dengan bantuan, pertolongan, dan pengokohan. Ini
mengokohkan jiwa dan keberanian mereka terhadap musuh-musuh mereka.
Ketiga, sesungguhnya Allah SWT tidak akan
mengurangi sedikitpun amal mereka. Sebaliknya, Dia akan membalas dengan
sempurna pahala bagi mereka, menambah mereka dari karunia-Nya, khususnya dalam
ibadah jihad. Sebab, infak jihad balasannya dilipatgandakan hingga tujuh ratus
kali lipat, bahkan lebih.
Demikianlah. Islam adalah agama yang diperuntukan bagi seluruh manusia.
Sehingga, Islam mewajibkan Rasul ﷺ dan umatnya untuk senantiasa mendakwahkan Islam.
Untuk itu disyariahkan jihad sebagai thariqah atau metode
praktis dalam menyebarkan Islam ke seluruh dunia. Jihad dalam rangka nasyr al-Islaam ilaa al'alaam (menyebarkan Islam ke seluruh dunia) dapat
dilaksanakan dengan sempurna ketika khilafah tegak. Wal-Laah a'alam bi al-shawaab.[]
Ikhtisar:
1. Umat
Islam tidak boleh lemah dalam berjihad di jalan Allah SWT dan memerangi
musuh-musuh-Nya.
2. Umat
Islam hanya diperbolehkan melakukan perdamaian dengan orang kafir ketika
kondisi mereka dalam keadaan lebih lemah dan khalifah memandang terdapat kemaslahatan pada
perdamaian tersebut.
3. Allah
SWT bersama dengan orang-orang Mukmin dan akan membalas semua amalnya dengan
sempuma.[]
Sumber:
Tabloid Media Umat edisi 187
Tidak ada komentar:
Posting Komentar