Unduh BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Rabu, 08 Mei 2019

Skema Build-Operate-Transfer (BOT) Atau Bangun-Guna-Serah Dalam Timbangan Hukum Syariat Islam



Oleh: Annas I. Wibowo, S.E.

Build–operate–transfer (BOT) atau build–own–operate–transfer (BOOT) adalah sebuah bentuk pendanaan proyek, di mana entitas swasta mendapatkan konsesi dari entitas swasta atau pemerintah untuk mendanai, mendesain, membangun, memiliki, dan mengoperasikan sebuah fasilitas yang ditentukan dalam kontrak selama masa tertentu. Skema BOT banyak dilakukan di proyek infrastruktur yang penting bagi kesejahteraan sosial semacam transportasi kereta api, pabrik penyulingan, dan pembangkit listrik. Selama masa kontrak, pihak swasta memiliki dan berhak mengambil semua keuntungan dari pengoperasian fasilitas yang dibangun. Di akhir masa konsesi, biasanya kepemilikan fasilitas yang dibangun sepenuhnya diserahkan kepada pemerintah.

Sebagian atau seluruh pihak berikut ini terlibat dalam proyek BOT:
·  Pemerintah: Biasanya menjadi inisiator proyek dan menyediakan sejumlah dukungan seperti menyediakan lahan dan perubahan aturan-aturan.
·  Pemegang izin/ konsesi: Para sponsor proyek yang berperan sebagai concessionaire menciptakan special purpose entity (SPE, dalam hal ini adalah perusahaan swasta yang dibuat secara khusus oleh perusahaan-perusahaan induk pemegang konsesi untuk menjalankan skema BOT) dan berkontribusi dalam modal perusahaan SPE itu.
·  Bank pemberi utang: Kebanyakan proyek BOT didanai -dalam porsi yang besar- melalui utang komersial (dengan riba). Bank asing atau dalam negeri memberi utang kepada perusahaan SPE.
·  Pemberi utang lainnya: SPE mungkin memiliki sejumlah pemberi utang yang lain seperti bank pembangunan nasional atau regional.
·  Pihak-pihak terkait kontrak proyek: Karena SPE hanya memiliki sejumlah terbatas tenaga kerja, dia akan mensubkontrakkan sebagian pekerjaan ke pihak ketiga untuk memenuhi kewajibannya dalam kesepakatan konsesi. Dia juga harus memastikan adanya cukup kontrak dengan penyuplai material dan sumberdaya lain yang dibutuhkan proyek.

Dalam proyek BOT perusahaan proyek atau operator mendapatkan penghasilan dari pembayaran yang diberikan pemerintah atau dari tarif yang dibebankan kepada konsumen, misalnya untuk jalan tol. Penghasilan itu diperlukan untuk menutup biaya, mengembalikan modal dan menghasilkan keuntungan. (lihat: https://en.wikipedia.org/wiki/build–operate–transfer)

Di Republik Indonesia skema pembangunan build-operate-transfer ada dalam Permendagri Nomor 19 Tahun 2016 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah dengan istilah Bangun Guna Serah (BGS).

Skema BOT dapat dirinci ke dalam aspek politik luar negeri, kepemilikan harta, pengelolaan, dan akadnya.

Pada aspek politik luar negeri, BOT bisa melibatkan kerjasama dengan swasta asing dan/atau pemerintah negara asing. Dilihat dari status negara asing beserta perusahaan swastanya, terbagi menjadi 3:
1.    Negara Kafir Harbi Fi’lanAd-Daulah Al-Muharibah Fi’lan (negara kafir harbi yang secara de facto sedang memerangi kaum Muslimin)
2.    Negara Kafir Harbi HukmanAd-Daulah Al-Muharibah Hukman (negara kafir harbi secara hukum/ de jure)
3.    Negara Kafir Mu’ahid - Ad-Dawlah Al-Mu’ähidah (negara yang mempunyai perjanjian dengan negara Khilafah)

Syariat melarang perjanjian kerjasama apapun dengan Negara Kafir Harbi Fi’lan. Negara tersebut wajib diperangi.

Daulah Islamiyah boleh menjalin perjanjian kerjasama dengan Negara Kafir Harbi Hukman yaitu yang tidak berperang dengan kaum Muslimin, begitu pula dengan Negara Kafir Mu’ahid sesuai dengan klausul perjanjian dengan mereka.

Syariat Islam pun telah menggariskan kerjasama dengan Negara Kafir Harbi Hukman yang boleh dilakukan dan yang dilarang. Ditinjau dari aspek kepemilikan harta, infrastruktur/fasilitas yang dikonsesikan dengan skema BOT dimiliki oleh pihak swasta sejak awal proyek meskipun hanya selama periode tertentu, baik kepemilikannya sebagian maupun seluruhnya. Kerjasama pemerintah dan swasta bisa berwujud perusahaan yang dimiliki bersama (joint venture) atau pemerintah mengelola sebagian urusan dan swasta mengelola sebagian yang lain. Perusahaan joint venture di mana pihak swasta menjadi sekutu modal maupun menjadi sekutu tenaga/manajemen sebagai pengelola harta milik umum hukumnya haram. Tidak boleh mengubah kepemilikan umum menjadi dikuasai oleh swasta meskipun saham kepemilikan swasta itu hanya sebagian saja. Tidak boleh pula swasta turut memiliki dengan menjadi sekutu tenaga dalam sebuah syirkah sehingga pengelolanya pemerintah bersama swasta.

Infrastruktur yang menurut syariat Islam tergolong harta Baitul Mal milik umum/ masyarakat secara bersama maka haram dikuasai oleh individu/swasta dalam negeri maupun asing. Harta yang tergolong milik umum ini contohnya jalan-jalan umum termasuk yang populer disebut dengan jalan tol, sungai, danau, kanal atau terusan besar seperti terusan suez, pulau buatan, lapangan umum, masjid.

Infrastruktur yang boleh menjadi milik umum maupun negara contohnya industri pengeksploitasian tambang, pemurnian barang tambang dan peleburannya, juga minyak bumi dan penyulingannya.

Jika dilakukan swastanisasi maka salah satu dampaknya adalah berlakunya prinsip bisnis mencari keuntungan sebesar-besarnya, harga barang atau jasa yang dihasilkan dari infrastruktur itu menjadi mahal atau tidak terjangkau banyak orang, dan keuntungannya pun tidak kembali kepada masyarakat. Padahal semestinya pendapatan dari infrastruktur milik umum merupakan milik bersama masyarakat dan mereka berserikat dalam harta tersebut. Harta ini merupakan salah satu sumber pendapatan Baitul Mal kaum muslimin di mana Khalifah -sesuai dengan ijtihadnya berdasarkan hukum syara’- membagikan harta tersebut kepada mereka demi kemaslahatan Islam dan kaum muslimin.

Infrastruktur yang boleh dimiliki oleh swasta yaitu semisal landasan pesawat terbang, sarana transportasi seperti bus dan pesawat terbang, pabrik motor, alat-alat penambangan. Dalam kategori ini, Kafir Harbi Hukman maupun Mu’ahad tetap tidak boleh memiliki tanah maupun bangunan termasuk pabrik di negara Khilafah. Konsekuensi kepemilikan warga asing atas tanah dan bangunan itu mengakibatkan adanya pemanfaatan untuk kepentingan mereka, baik sebagai pribadi maupun negaranya. Dalam konteks inilah maka para ulama menegaskan hukum kepemilikan atas tanah dan bangunan di wilayah negara khilafah berbeda dengan hukum kepemilikan atas barang bergerak. Karena status tanah dan bangunan sangat strategis. (lihat: KH. Hafidz Abdurrahman, Kebijakan Khilafah Terhadap Kepemilikan Properti oleh Orang Asing)

Dilihat dari aspek pengelolaan, infrastruktur BOT dikelola oleh swasta sepenuhnya atau bekerjasama dengan pemerintah. Jika swasta mengelola dengan ber-syirkah dengan pemerintah maka hukumnya tidak boleh sebagaimana telah dijelaskan. Infrastruktur milik umum wajib dikelola oleh negara sehingga tidak boleh diserahkan pengelolaannya kepada swasta.

Infrastruktur yang boleh dimiliki individu maka boleh dikelola swasta. Misalnya, Daulah berkewajiban mengeksploitasi barang tambang sebagai harta milik umum terutama yang berada di dalam perut bumi untuk memenuhi kebutuhan kaum muslimin. Upaya pengeluaran ini dapat saja langsung dikuasai Daulah dengan menggunakan industri dan alat-alat yang dimilikinya atau dapat juga mempekerjakan swasta yang menerima upah dari Daulah atas upayanya tersebut, atas manfaat yang ditimbulkannya, atau atas jasa alat milik swasta yang digunakan. Dalam hal ini swasta mengelola teknis menambang dan peralatannya, bukan mengelola tambangnya. Negara sebagai pengelola tambang adalah pihak yang bertanggung jawab atas tambang itu mewakili kaum Muslimin.

Seandainya negara mempekerjakan tenaga ahli asing, yaitu dari negara Kafir Harbi Hukman maka harus diperhatikan bahwa masa tinggal di negara Khilafah hanya boleh dalam jangka waktu di bawah satu tahun. Hal ini karena seorang harbi dibolehkan tinggal di Darul Islam tanpa ditarik jizyah, padahal jizyah dipungut satu tahun sekali. Artinya, maksimal harbi boleh tinggal tanpa jizyah selama satu tahun. Jika dia tinggal lebih dari satu tahun, dia diberi pilihan: akan tinggal secara tetap dan membayar jizyah atau keluar dari Darul Islam. Jika dia membayar jizyah, berarti dia menjadi ahl adz-dzimmah atau warga negara Khilafah.

Namun demikian, kesepakatan BOT tetap tidak boleh dibuat, baik antara pemerintah dan swasta dalam negeri maupun antar sesama swasta dalam negeri. Akad kerjasama dengan skema BOT dapat dipandang sebagai kesepakatan syirkah. Contoh: pemerintah menjadi sekutu modal saja yang menyediakan lahan -yang sifatnya boleh dimiliki individu- sementara swasta menjadi sekutu tenaga sekaligus sekutu modal yang harus membangun rest area dengan spesifikasi yang telah disepakati. Masa syirkah berakhir setelah 15 tahun. Selama masa syirkah, pemerintah setuju untuk tidak mendapat bagi hasil apapun dan tidak bertanggung jawab atas kerugian apapun. Namun, di akhir masa syirkah swasta harus memberikan bangunan beserta lahan kepada pemerintah.

BOT menyalahi ketentuan syirkah dalam Islam. Kedua pihak seharusnya bersepakat atas nisbah (persentase) tertentu dari laba yang diperoleh. Dan jika ada kerugian maka kerugian harta itu ditanggung pemodal. Tidak boleh ditentukan laba yang sudah dijamin, yang dalam hal ini berupa infrastruktur yang harus diberikan kepada pemerintah.

Jika skema BOT dibuat dengan pendekatan sebagai akad sewa lahan sekaligus ijarah atas tenaga maka ini haram. Contohnya: pemerintah menyediakan lahan -yang sifatnya boleh dimiliki individu- untuk digunakan oleh swasta membangun rest area dengan harga sewa yang harus dibayar setelah 15 tahun yaitu berupa bangunan rest area dengan spesifikasi yang telah disepakati. Pemerintah juga mensyaratkan perusahaan swasta itu untuk mengelola rest area yang sudah jadi dan pendapatan dari pengelolaannya itu dimiliki sepenuhnya oleh swasta. Selain itu, pemerintah juga mensyaratkan rest area itu harus terus buka dan beroperasi selama 24 jam, tidak boleh libur, tidak boleh ditutup bisnisnya itu, dan tidak boleh pula bisnisnya disewakan, atau dijual kepada swasta yang lain. Berarti dalam hal ini pemerintah mempekerjakan swasta untuk mengelola rest area. Jadi akad ini merupakan multiakad yang dilarang oleh syariat Islam.

Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud ra.:
نَهَى عَنْ صَفْقَتَيْنِ فِي صَفْقَةٍ واَحِدَةٍ
“Rasulullah Saw. melarang dua akad dalam satu transaksi.” (HR. Ahmad, hadits shahih)

Di samping itu, akad ijarah-nya pun tidak sesuai syariat, yaitu upah bagi swasta tidak jelas bahkan swasta harus mengusahakan pendapatannya sendiri dari mengelola rest area itu.
Nabi SAW bersabda: "Siapa yang mengontrak seorang ajiir maka hendaknya dia memberitahukan upahnya." (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya, dari Abu Hurairah dan Abu Said)
كُلُّ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ
“Setiap syarat yang tidak sesuai dengan Kitabullah, maka ia adalah bathil, meskipun ada seratus syarat.” (HR. Bukhari, Muslim, Ibnu Majah, Ahmad, Ibnu Hibban)

Maka yang boleh adalah akad sewa saja atau akad ijarah atas tenaga saja. Misal, pemerintah menyewakan lahan miliknya selama 15 tahun kepada swasta dengan harga yang harus dibayar di akhir masa sewa berupa bangunan rest area di atas lahan itu dengan spesifikasi yang disepakati, tanpa syarat dalam hal pengelolaan atas rest area-nya. Maka ini bukan kerjasama BOT.

Contoh ijarah yang boleh: pemerintah dengan dananya mempekerjakan swasta untuk membangun dan mengelola rest area dengan upah yang jelas selama masa kontrak ijarah. Lahan, bangunan, dan uang dalam pengelolaan rest area itu –termasuk keuntungannya- adalah milik pemerintah. Maka ini juga bukan BOT. Meski upahnya jelas tapi jika skema kerjasamanya tetap BOT maka tetap terlarang.

WalLaah a'lam bi al-shawaab.


Referensi:
Asy-Syaikh al-‘Alim ‘Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah, Jawab-Soal Tentang Hukum Akad Murabahah
https://alwaie.id/iqtishadiyah/cara-islam-membiayai-pembangunan-infrastruktur/
KH. Hafidz Abdurrahman, Kebijakan Khilafah Terhadap Kepemilikan Properti oleh Orang Asing, Tabloid Mediaumat Edisi 186
KH. Shiddiq al-Jawi, Kafir Harbi, Musta’min, dan Ahlul Dzimmah, mediaumat.news
Syaikh Abdul Qadim Zallum, Sistem Keuangan Negara Khilafah, Hizbut Tahrir Indonesia
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Nizhom al-Iqtishadi fil Islam, Hizbut Tahrir 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Download BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam