Oleh:
Rokhmat S. Labib, MEI
“Atau
apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka
itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat
jalannya (dari binatang ternak itu).” (TQS. al-Furqan [25]: 44).
Di antara
faktor yang membedakan manusia dengan hewan adalah akal. Akal itulah yang
menaikkan derajat manusia di atas semua makhluk di atas bumi. Namun masalahnya,
tidak semua manusia mau menggunakan akalnya dengan benar. Maka, perilaku mereka
pun tak ubahnya seperti binatang ternak. Bahkan lebih sesat lagi. Inilah di
antara yang dijelaskan dalam ayat ini.
Tidak Mendengar
dan Memahami
Allah SWT berfirman: Am tahsabu anna aktsaruhum yasma‘uun (atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar). Dalam
ayat sebelumnya diberitakan kepada Nabi ﷺ tentang orang yang menjadikan tuhannya atas dasar
hawa nafsunya; atau orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya.
Kemudian ditegaskan kepada Nabi ﷺ bahwa beliau tidak bisa menjadi penjaga dan
pemelihara atas mereka.
Kemudian dilanjutkan dengan ayat ini yang diawali dengan firman-Nya: Am tahsabu (apakah kamu mengira). Mukhaathab atau pihak yang diseru ayat ini masih Rasulullah ﷺ.
Menurut al-Hijazi dalam al-Tafsiir
al-Waadhih, frasa ini bermakna laa tazhunna (janganlah kamu mengira). Jika demikian maknanya,
maka frasa tersebut akan menafikan kalimat sesudahnya. Misalnya, kalimat:
Janganlah kamu mengira mereka mendengar, memberikan pengertian bahwa mereka
tidak mendengar. Demikian pula dengan ayat ini. Ketika setelah kata tahsabu disebutkan: anna aktsaruhum yasma‘uun aw ya’qiluun (bahwa sebagian besar mereka mendengar dan
berpikir), maka memberikan pemahaman bahwa sebagian besar mereka tidak
mendengar dan berpikir. Dikatakan al-Biqa'i, kalimat istifhaam (kalimat tanya) dalam avat ini menghasilkan makna
yang menunjukkan nafi (meniadakan).
Yang
dimaksud bahwa mereka tidak mendengar di sini bukan berarti mereka tuli atau
tidak bisa mendengar. Akan tetapi yang dimaksud dengannya adalah mereka tidak
mau menggunakan pendengarannya untuk mendengarkan petunjuk atau ayat-ayat Allah
SWT. Tentang perkara yang tidak didengar, al-Thabari berkata: maa yutlaa 'alayhim, faya'awnahu (apa yang
dibacakan atas mereka, lalu mereka memahaminya).
Bukan saja
tidak mau mendengar. Mereka juga tidak mau berpikir. Dalam ayat ini disebutkan:
aw ya’qiluun (atau mereka berpikir).
Diterangkan Fakhruddin al-Razi, yang dimaksud ayat ini bukan berarti mereka
tidak memiliki akal. Akan tetapi, mereka tidak memanfaatkan akal. Ini seperti
ungkapan seseorang kepada orang lain yang tidak paham: Sesungguhnya kamu buta
dan tuli.
Dikatakan
al-Khazin, frasa ini berarti: Mereka tidak memeriksa dan menyelidiki hujjah dan
pemberitahuan. Masih menurut al-Khazin, ini merupakan celaan yang lebih parah
dari celaan sebelumnya terhadap orang-orang kafir itu. Sebab, mereka -karena
besarnya permusuhan mereka- tidak mau mendengar perkataan. Kalaupun
mendengarnya, mereka tidak memikirkannya. Seolah-olah mereka tidak memiliki
pendengaran dan akal sama sekali.
Patut
dicatat, dalam ayat ini tidak disebutkan annahum
(bahwa mereka). Akan tetapi disebutkan aktsaruhum
(sebagian besar mereka). Menurut Fakhruddin al-Razi, hal itu karena ada di
antara mereka yang telah mengetahui Allah SWT dan memahami kebenaran. Akan
tetapi mereka kemudian meninggalkan Islam hanya disebabkan oleh kecintaan
terhadap kekuasaan, bukan karena kebodohan.
Berkaitan
dengan sikap orang-orang kafir yang tidak mau mendengar petunjuk dan ayat-ayat
Allah SWT ini, banyak disebutkan dalam ayat-ayat lain. Bahkan mereka disebut
buta, tuli, dan tidak berakal. Di antaranya adalah firman Allah SWT: “Dan perumpamaan (orang yang menyeru) orang-orang
kafir adalah seperti penggembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar
selain panggilan dan seruan saja. Mereka tuli, bisu dan buta, maka (oleh sebab
itu) mereka tidak mengerti.” (TQS. al-Baqarah [2]: 171). Disebutkan pula
dalam QS. al-A'raf [7]: 179, al-Jatsiyah [4S]: 23, dan lain-lain.
Lebih Sesat
Dari Binatang Ternak
Setelah
ditegaskan bahwa sebagian besar mereka tidak mendengar dan tidak berakal,
kemudian Allah berfirman: in hum illaa ka
al-an'aam (Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak).
Huruf in yang diiringi dengan kata illaa bermakna nafiy.
Sehingga, ayat ini memberikan makna: Mereka tidak lain kecuali seperti binatang
ternak.
Dikatakan
al-Khazin, mereka disebut demikian karena perkataan tidak lagi bermanfaat bagi
mereka, dan tidak membuat mereka maju untuk memperhatikan dan berpikir. Ibnu
Jarir al-Thabari juga berkata, mereka seperti binatang yang tidak memahami dan
tidak mengerti apa yang dikatakan kepadanya. Menurut Imam al-Qurthubi dan
al-Samarqandi, mereka diserupakan dengan binatang ternak dalam hal makan,
minum, dan tidak berpikir tentang akhirat.
Tentang
keserupaan orang kafir dengan binatang dalam hal makan, minum, dan
bersenang-senang menikmati dunia juga disebutkan dalam firman Allah SWT: “Dan orang-orang yang kafir itu bersenang-senang (di
dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang-binatang. Dan Neraka adalah
tempat tinggal mereka.” (TQS. Muhammad [47]: 12).
Kemudian
diakhiri dengan firman-Nya: bal hum adhallu
sabiil[an] (bahkan mereka lebih sesat jalannya [dari binatang ternak
itu]). Menurut imam al-Qurthubi, mereka disebut lebih sesat karena tidak ada
hisab dan tidak ada siksa bagi binatang ternak. Al-Samarqandi berkata, ”Mereka
lebih salah jalannya daripada binatang ternak. Sebab, binatang ternak tidak
diperintahkan dan tidak dilarang.”
Dikatakan
al-Thabari, mereka disebut lebih sesat jalannya daripada binatang ternak karena
binatang ternak memperoleh petunjuk menuju padang rumput dan dituntun oleh
pemiliknya. Sedangkan orang-orang kafir tidak menaati Tuhan mereka, tidak
mensyukuri nikmat kepada Dzat yang memberikan kenikmatan kepada mereka. Bahkan
mereka mengingkarinya dan bermaksiat kepada Dzat yang menciptakan dan mengatur
mereka.
Selain
alasan tersebut, al-Khazin juga mengatakan bahwa semua binatang ternak itu
bersujud dan bertasbih. Sedangkan orang-orang kafir tidak melakukannya.
Dijelaskan al-Razi, mengenai tasbihnya semua binatang tersebut diberitakan
dalam beberapa ayat. Di antaranya adalah firman Allah SWT: “Apakah kamu tiada mengetahui, bahwa kepada Allah
bersujud apa yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung,
pohon-pohonan, binatang-binatang yang melata dan sebagian besar daripada
manusia?” (TQS. al-Hajj [22]: 18). Juga disebutkan dalam al-Isra' [17]:
44, al-Nur [24]: 41, dan lain-lain.
Tentang
lebih buruknya keadaan mereka daripada binatang ternak juga disebutkan dalam
QS. al-A'raf [7]: 179. Mereka juga disebut binatang paling buruk. Allah SWT
berfirman: “Sesungguhnya binatang (makhluk)
yang paling buruk di sisi Allah ialah orang-orang yang kafir, karena mereka itu
tidak beriman.” (TQS. al-Anfal [8]: 55).
Demikianlah.
Manusia menjadi makhluk paling sempurna yang hidup di atas permukaan bumi
disebabkan karena kemampuannya dalam mendengar, melihat, dan berpikir. Ketika
kemampuan itu digunakan
untuk mendengar dan memahami petunjuk dari Allah SWT yang terdapat dalam
ayat-ayat-Nya dan sunnah Rasul-Nya, berupa aqidah dan syariah, maka
kesempurnaan mereka kian bertambah. Derajatnya makin tinggi. Mereka pun menjadi
khayr al-bariyyah, makhluk paling baik.
Sebaliknya
ketika kemampuan untuk mendengar, melihat, dan berakal itu tidak digunakan
dengan benar, untuk mendengar dan memahami petunjuk Allah SWT, maka jatuhlah
derajat mereka. Perilaku dan kehidupan mereka pun tak ubahnya seperti binatang.
Bahkan, lebih sesat dan lebih hina daripada binatang ternak. Mereka pun menjadi
syarr al-bariyyah (seburuk-buruk
makhluk) dan syarr al-dawaab (seburuk-buruk
binatang) Tak ada balasan yang layak buat mereka selain Neraka Jahannam, wa al-'iyaad bilLah. WaLlaah a’lam bi al-shawaab.[]
Ikhtisar:
1. Orang
kafir tidak menggunakan pendengaran dan akal mereka untuk memahami petunjuk dan
ayat-ayat Allah SWT.
2. Jalan
hidup orang kafir seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi.[]
Sumber:
Tabloid Media Umat edisi 152
Tidak ada komentar:
Posting Komentar