Oleh:
Rokhmat S. Labib, MEI
“Dan Dialah
yang membiarkan dua laut mengalir (berdampingan); yang ini tawar lagi segar dan
yang lain asin lagi pahit; dan Dia jadikan antara keduanya dinding dan batas
yang menghalangi.” (TQS. al-Furqan [25]: 53).
Amat banyak
realitas tergelar di alam semesta yang menjadi tanda kebesaran dan kekuasaan
Allah SWT. Tak hanya dapat melahirkan dan mengokohkan keimanan kepada-Nya,
namun sekaligus juga menjadi kenikmatan besar bagi manusia.
Di
antaranya adalah adanya air tawar dan air asin. Keduanya amat diperlukan oleh
manusia dan kehidupan. Oleh Allah SWT, dua jenis air itu, meskipun keduanya
bertemu, akan tetapi keduanya tidak saling merusak. Yang tawar tetap tawar, dan
yang asin tetap asin. Di antara keduanya terdapat dinding pemisah. Inilah tanda
kebesaran Allah SWT sekaligus nikmat-Nya atas manusia yang diingatkan oleh ayat
ini.
Dua Jenis Air
Allah SWT
berfirman: Wahuwa al-ladzii maraja al-bahrayn
(dan Dialah yang membiarkan dua laut mengalir [berdampingan]). Dalam ayat
sebelumnya, tepatnya ayat 48, manusia diingatkan tentang kenikmatan berupa
angin yang dikirimkan Allah SWT dengan membawa kabar gembira berupa hujan yang
turun setelah itu. Air hujan yang diturunkan itu sangat bersih, sehingga
sebagaimana diterangkan para mufassir, air tersebut suci dan menyucikan. Di
samping itu, dengan air tersebut Allah SWT menghidupkan tanah yang mati dan
gersang; dan dijadikan sebagai minuman oleh binatang dan manusia.
Kemudian
dalam ayat ini diberitakan adanya al-bahrayn
yang dialirkan oleh Allah SWT dan saling berdampingan. Menurut Imam
al-Qurthubi, ayat ini kembali mengingatkan nikmat-nikmat Allah. Fakhruddin
al-Razi dan al-Syaukani berkata, ”Ini merupakan jenis keempat yang menunjukkan
bukti-bukti kebenaran tauhid."
Kata al-bahr, menurut al-Raghib al-Asfahani, pada
asalnya menunjuk semua tempat luas yang menghimpun air yang amat banyak.
Dijelaskan pula oleh Fakhruddin al-Razi, air yang banyak dan luas itu disebut bahrayn. Bertolak dari pengertian tersebut,
maka kata al-bahr mencakup laut, danau
yang luas, dan sungai yang besar. Semua dapat dikategorikan sebagai al-bahr. Penyebutan kata al-bahrayni dalam ayat ini yang meliputi dua
jenis air, yakni air tawar dan air asin semakin memperkuat kesimpulan tersebut.
Masih
menurut al-Asfahani, ada pula sebagian yang berpendapat bahwa al-bahr adalah air yang asin, bukan yang
tawar. Ini berarti, kata tersebut hanya untuk menyebut laut. Sebab, yang airnya
asin adalah laut. Lalu mengapa dalam ayat ini disebutkan al-bahrayn (dua laut), yang mencakup air tawar
dan air asin? Menurut mereka, ini sebagaimana kata al-syams (matahari) dan al-qamar
(bulan) ketika keduanya dinyatakan secara bersamaan disebut al-qamaraani (dua bulan).
Sedangkan
kata maraja, menurut al-Razi pada
asalnya bermakna al-irsaal wa al-khalth
(melepaskan dan mencampuradukkan). Ini sebagaimana firman Allah SWT: Fahum fii amr[in] mariij (maka mereka berada
dalam keadaan kacau-balau, QS. Qaff [50]: 5). Tak jauh berbeda, al-Syaukani
juga memaknainya sebagai khallaa wa khalatha wa
arsala (membiarkan, membaurkan, dan melepaskan). Mujahid berkata,
“Melepaskan keduanya dan mengalirkan yang satu kepada yang lainnya.”
Kemudian
Allah SWT berfirman: Hadzaa 'adzb[un] furaat wa
hadzaa milh ujaaj (yang ini tawar lagi segar dan yang lain asin lagi
pahit). Ini merupakan penjelasan tentang dua laut yang saling bertemu. Pertama,
'adzb[un] furaat (air tawar lagi segar).
Pengertian 'adzb[un], adalah tawar.
Sedangkan kata furaat merupakan puncak
dari rasa tawar, hingga menjadi manis.
Kedua, milh ujaaj (yang lain asin lagi pahit). Kata ujaaj merupakan kebalikan dari furaat. Demikian dikatakan al-Razi.
Dipisahkan
Dinding Pembatas
Kemudian
Allah SWT berfirman: Waja'ala baynahumaa
barzakh[an] (dan Dia jadikan antara keduanya dinding). Meskipun keduanya
bertemu, akan tetapi di antara keduanya dibuat barzakh.
Kata barzakh bermakna al-haajiz (penghalang, pemisah). Yakni,
pemisah yang dijadikan Allah SWT dengan kekuasaan-Nya untuk memisahkan antar
kedua jenis air itu dan mencegah keduanya bercampur-baur. Demikian menurut
al-Syaukani.
Ditegaskan
Iagi dalam firman-Nya: Wahijr[an] mahjuur[an]
(dan batas yang menghalangi). Frasa tersebut bermakna satr[an] mastuur[an] (tabir yang ditutupi), mencegah salah
satunya bercampur-baur dengan yang lain. Demikian dikatakan al-Syaukani.
Menurut al-Alusi, maksud darinya adalah tetapnya kedua jenis air dengan
sifatnya masing-masing, yang tawar maupun yang asin. Air yang tawar (di sungai
besar, -pen.) tidak berubah menjadi
asin. Demikian juga sebaliknya, air yang asin (di laut) tidak berubah menjadi
tawar.
Tentang
adanya dua air yang bertemu dan keduanya dipisahkan dinding penyekat sehingga
tidak saling melampaui juga diberitakan dalam firman Allah SWT: “Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya
kemudian bertemu, antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui oleh
masing-masing” (TQS. al-Rahman [55]:19-20). Juga firman-Nya: “Dan menjadikan suatu pemisah antara dua laut?”
(TQS. al-Naml [27]: 61).
Kenikmatan
Ayat ini
memberitakan tentang kebesaran dan kekuasaan Allah SWT atas alam semesta,
sekaligus mengingatkan kenikmatan besar yang dianugerahkan-Nya kepada manusia.
Seperti telah diketahui, di bumi ini terdapat dua jenis air, yakni air tawar
dan air asin yang mengandung garam. Air tawar berada di sungai, danau, telaga,
sumur, dan berbagai sumber mata air di daratan. Sedangkan air asin berada di
laut.
Air tawar
merupakan kebutuhan utama yang harus selalu tersedia untuk kelangsungan hidup
manusia dan makhluk hidup lainnya. Sekitar tiga per empat bagian dari tubuh
manusia terdiri dari air. Selain itu, air tawar juga dipergunakan untuk
memasak, mencuci, mandi, membersihkan kotoran, dan lain-lain. Air tawar juga
digunakan untuk keperluan industri, pertanian, pemadam kebakaran, dan
lain-lain.
Tidak hanya
bagi manusia, air tawar juga merupakan bagian yang amat penting bagi
tumbuh-tumbuhan, binatang, dan lain-lain. Tanpa air tawar yang tersedia cukup
semua mahluk hidup di permukaan bumi akan musnah.
Oleh karena
itu, keberadaan air tawar merupakan kenikmatan tak terhingga bagi manusia.
Maka, sudah sepantasnya manusia bersyukur atasnya. Allah SWT berfirman: “Maka terangkanlah kepadaku tentang air yang kamu
minum. Kamukah yang menurunkannya dari awan ataukah Kami yang menurunkan? Kalau
Kami kehendaki niscaya Kami jadikan dia asin, maka mengapakah kamu tidak
bersyukur?” (TQS. al-Waqi'ah [56]: 68-70).
Sedangkan
air laut dimanfaatkan oleh para penambang garam untuk menghasilkan garam
berkualitas. Tanpa air laut tidak mungkin ada garam yang sering kita konsumsi
pada makanan kita. Garam memiliki kandungan mineral yang dibutuhkan oleh tubuh
kita seperti magnesium dan lain-lain. Air laut juga merupakan tempat pembusukan
dan penghancuran bahan baku biologis.
Demikianlah.
Allah SWT menciptakan air tawar dan air asin. Dalam tempat tertentu, keduanya
bertemu. Akan tetapi, pertemuan itu tidak membuat keduanya menjadi saling
merusakkan. Semua hanya terjadi atas kekuasaan dan kemurahan Allah SWT. Mengapa
masih ada manusia yang mengingkari kekuasaan-Nya dan menolak bersyukur atas
nikmat-nikmat-Nya? Wal-Laah a'lam bi al-shawaab.[]
Ikhtisar:
1. Air dari
daratan dan air laut dibiarkan Allah SWT saling bertemu, tetapi keduanya tidak
bercampur.
2.
Keberadaan air air tawar dan air laut merupakan kenikmatan besar bagi
manusia.[]
Sumber:
Tabloid Media Umat edisi 157
---
Kumpulan
Hadits Qudsi:
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=217612919427467&id=100035362820806
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=217612919427467&id=100035362820806
Tidak ada komentar:
Posting Komentar