Unduh BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Sabtu, 21 Maret 2020

Bertawakal Kepada Pencipta Alam Semesta - TAFSIR al-Furqan: 59



Oleh: Rokhmat S. Labib, MEI

“Yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas Arasy, (Dialah) Yang Maha Pemurah, maka tanyakanlah (tentang Allah) kepada yang lebih mengetahui.” (TQS. al-Furqan [25]: 59)

Langit dan bumi beserta seluruh isinya tidak ada dengan sendirinya. Semuanya ada karena ada Dzat yang menciptakannya. Penciptanya tak lain adalah Allah SWT. Oleh karena itu, hanya kepada-Nya manusia bertawakal. Yakni, menyerahkan semua urusannya. Selain itu, juga bertahmid dan bertasbih kepada-Nya.

Pencipta Langit, Bumi, dan Semua Isinya

Allah SWT berfirman: al-Ladzii khalaqa al-samaawaat wa al-ardh wamaa baynahuma fii sittati ayyaam (yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dalam enam masa). Dalam ayat sebelumnya Rasulullah diperintahkan untuk bertawakal, bertahmid, dan bertasbih kepada-Nya. Perintah tersebut juga berlaku kepada umat-Nya.

Diterangkan oleh Fakhruddin al-Razi, bahwa Allah SWT telah memerintahkan Rasulullah untuk bertawakkal kepada-Nya dengan menggambarkan beberapa sifat-Nya. Pertama, bahwa Dia Hayy[un] layamuutu (Yang Maha Hidup dan tidak pernah mati). Ini disebutkan dalam ayat sebelumnya, yakni firman Allah SWT: Watawakkal 'alaa al-Hayy al-ladzii laa yamuutu (bertawakallah kepada Allah Yang Hidup [Kekal] yang tidak mati).

Kedua, bahwa Dia Maha Mengetahui terhadap semua berita. Ini juga disebutkan dalam ayat sebelumnya, yakni firman Allah SWT: Wakafaa bidzunuubi 'ibaadihi Khabiir[an] (dan cukuplah Dia Maha Mengetahui dosa-dosa hamba-hamba-Nya).

Dan ketiga, bahwa Dia Maha Kuasa atas segala yang ada. Inilah yang dimaksudkan dalam ayat ini: al-Ladzii khalaqa al-samaawaat wa al-ardh (yang menciptakan langit dan bumi). Ketika Allah SWT adalah Pencipta langit dan bumi beserta semua isinya, maka menetapkan bahwa Dia Maha Kuasa atas segala jenis manfaat, mencegah berbagai madharat, dan sesungguhnya semua kenikmatan adalah berasal dari-Nya. Konsekuensinya, tidak boleh bertawakal kecuali kepada-Nya.

Firman Allah SWT: Fii sittati ayyaam (dalam enam masa) memberikan keterangan tentang masa penciptaan langit dan bumi berserta isinya. Kata al-ayyaam merupakan bentuk jamak dari kata al-yawm. Dalam perhitungan manusia, kata yawm menunjuk kepada periode waktu dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari. Dalam seminggu, ada tujuh hari. Akan tetapi, di sisi Allah SWT, al-yawm setara dengan seribu tahun menurut perhitungan manusia (lihat: QS. al-Hajj [22]: 47, al-Sajdah [32]: 5). Bahkan dalam ayat lainnya, satu hari setara dengan lima puluh ribu tahun (lihat: QS. al-Ma'arij [70]: 4). Oleh karena itu, hanya Allah SWT yang mengetahui waktu sesungguhnya sittati ayyaam (enam hari) yang dimaksudkan ayat ini.

Patut dicatat, Allah SWT Maha Kuasa untuk menciptakan semua itu dalam sekejap. Ini ditegaskan dalam beberapa ayat, seperti TQS. al-Baqarah [2]: 117. Juga dalam QS. Ali Imran [3]: 47, al-Nahl [16]: 40, Maryam [19]: 35, Yasin [36]: 82, Ghafir [40]: 68, dan lain-lain.

Lalu mengapa dalam menciptakan langit dan bumi beserta isinya dalam enam hari? Jawabannya: itu dikembalikan kepada masyiiatulLaah (kehendak Allah SWT). Menurut Fakhruddin al-Razi, penetapan jumlah tersebut sebagaimana penjaga neraka Saqar yang berjumlah sembilan belas, malaikat pemikul al-Arsy yang berjumlah delapan, dalam satu tahun ada dua belas bulan, jumlah langit ada tujuh lapis, demikian pula bumi. Juga jumlah shalat, ukuran nishab dalam zakat, ukuran hudud dan kaffarat. Mengakui bahwa semua yang difirmankan Allah SWT adalah benar, itu adalah agama, dan tidak melakukan pembahasan tentang semua itu adalah wajib. Dalilnya adalah QS. al-Muddatstsir [74]: 31.

Kemudian Allah SWT berfirman: Tsumma [i]stawaa 'alaa al-'arsy al-Rahmaan (kemudian Dia bersemayam di atas Arasy, [Dialah] Yang Maha Pemurah). Menurut al-Qurthubi, al-istiwaa' menurut orang Arab bermakna al-‘uluw wa al-istiqraar (tinggi dan menetap). Sedangkan al-‘arsy merupakan lafzh musytarak, kata yang digunakan untuk menunjuk lebih dari satu. Di antara maknanya, sebagaimana dikatakan al-Jauhari adalah syariial-malik (singgasana raja).

Mengenai makna Allah SWT [i]stawaa 'alaa al-'arsy, ada banyak penjelasan para ulama. Bahkan menurut al-Qurthubi, terdapat empat belas pendapat tentang ini. Patut dicatat, perkara tersebut merupakan perkara ghaib yang tidak dapat dindera oleh akal manusia. Oleh karena itu, kita harus bersikap tawqifiyyah terhadapnya. Artinya, sebatas memahami dari perkara yang diberitakan, tanpa menambah atau menguranginya, disertai dengan al-tanziih, yakni menyucikan-Nya dari segala kekurangan. Di samping itu, juga wajib menjauhkan dari tasybiih (menyerupakan) Allah SWT dengan semua makhluk-Nya. Sebab, ditegaskan dalam QS. al-Syura [42]: 11. Juga tidak menganggap Allah SWT membutuhkan makhuk-Nya. Sebab, Dia al-Ghaniyy (Maha Kaya, tidak butuh yang lain).

Imam Malik, sebagaimana dikutip al-Qurthubi dalam tafsirnya, berkata, ”al-istiwaa‘ ma'luum -ya'nii fii al-lughah- wa al-kayf majhuul wa al-su‘aa 'an hadzaa bid'ah (bersemayamnya Allah SWT itu diketahui berdasarkan pemahaman bahasa, bagaimana realitasnya tidak diketahui, dan menanyakan perkara tersebut adalah bid'ah).” Pendapat yang sama juga dikatakan oleh Ummu Salamah ra.

Bertanya kepada Yang Mengetahui

Ayat ini diakhiri dengan firman-Nya: Fas ‘al bihi Khabiir[an] (maka tanyakanlah tentangnya kepada yang lebih mengetahui). Menurut al-Samarqandi, khithaab ayat ini ditujukan kepada Nabi , dan yang dimaksud adalah umatnya. Sedangkan dhamiir al-ghaaib pada kata bihi kembali kepada al-Rahmaan. Menurut al-Syaukani, al-Alusi, dan al-Baidhawi, kembali kepada perkara yang telah disebutkan, seperti penciptaan langit dan bumi, al-istiwaa’ dan lain-lain.

Kata Khabiir[an] berkedudukan sebagai al-maf'uul bih (obyeknya). Yang dimaksud dengannya adalah Allah SWT. Demikian menurut al-Alusi dan al-Baidhawi. Dikatakan al-Jazairi, pengertian ayat ini adalah: ”Wahai Muhammad, bertanyalah tentang al-Rahman kepada Dzat Yang Maha Mengetahui terhadap ciptaan-Nya. Sebab, Dia adalah Pencipta dan Maha Mengetahui tentang segala sesuatu. Dialah satu-satunya Yang Maha Mengetahui tentang keagungan 'Arsy-Nya, luasnya kerajaan-Nya, kesempurnaan Dirinya; tidak ada ilaah kecuali Dia, dan tidak ada rabba selain Dia.”

Diterangkan Ibnu Katsir, pengertian ayat ini adalah: Bertanyalah tentang-Nya kepada orang yang mengetahui dan mengerti tentang-Nya, lalu ikutilah dan teladanilah. Dan sungguh telah diketahui bahwa tidak satupun orang yang lebih mengetahui dan mengerti tentang Allah melebihi hamba dan rasul-Nya Muhammad di dunia dan akhirat; tidak ada yang diucapkan olehnya berdasarkan kemauan hawa nafsunya; yang diucapkan semata-mata dari wahyu yang diwahyukan. Sehingga, semua yang dikatakan adalah kebenaran; dan semua yang dikabarkan adalah benar. Dialah al-Imam yang menghakimi; yang ketika manusia berselisih tentang sesuatu, maka wajib mengembalikan perselisihan itu kepadanya. Apa saja yang jika sesuai dengan perkataan dan perbuatannya adalah benar; dan sebaliknya, apa saja yang jika menyelisihinya, maka tertolaklah perbuatan dan perkataannya, siapapun dia. Kemudian, mufassir tersebut menyitir beberapa ayat yang mendasari penjelasannya, yakni firman Allah SWT: “Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya)” (TQS. al-Nisa' [4]: 59). Juga firman-Nya dalam QS al-Syura [42]: 10) dan al-An'am [6]: 115).

Demikianlah. Kepada Dzat Pencipta langit dan bumi beserta isinya manusia harus bertawakal. Sebab, Dialah Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu. WalLaah a’lam bi al-shawaab.[]

Ikhtisar:

1. Langit, bumi dan semua isinya diciptakan Allah SWT dalam enam masa.

2. Allah SWT ber-istiwaa 'alaa al-’arsy.

3. Bagi Nabi hanya bertanya tentang al-Rahman, penciptaan langit dan bumi, istiwaa, dan lain-lain kepada Allah SWT; sedangkan bagi umatnya bertanya kepada Nabi .[]

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 162


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Download BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam