Unduh BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Minggu, 29 Maret 2020

Bertawakal, Bertasbih, Dan Bertahmid - TAFSIR al-Furqan: 58



Oleh: Rokhmat S. Labib, MEI

“Dan bertawakkallah kepada Allah Yang Hidup (Kekal) Yang tidak mati, dan bertasbihlah dengan memuji-Nya. Dan cukuplah Dia Maha Mengetahui dosa-dosa hamba-hamba-Nya.” (TQS. al-Furqan [25]: 58)

Di antara perkara penting yang harus dimiliki manusia adalah sikap tawakkal kepada Allah SWT. Sikap ini lahir dari keyakinan bahwa Allah SWT menjadi tempat bersandar manusia dalam segala urusan. Di samping itu, manusia juga mensucikan dan memuji Allah SWT yang telah melimpahkan berbagai kenikmatan tak terhingga kepada manusia. Inilah di antara yang dikandung dalam ayat ini.

Diperintahkan Bertawakal

Allah SWT berflrman: Wa tawakkal 'alaa al-Hayyi al-ladzii laa yamuutu (dan bertawakkallah kepada Allah Yang Hidup [Kekal] Yang tidak mati). Huruf wawu dalam ayat ini adalah wawu al-'athf menyambungkan kalimat dengan kalimat sesudahnya. Karena khithaab atau seruan ayat sebelumnya ditujukan kepada Rasulullah , maka demikian pula khithaab ayat ini, masih ditujukan kepada beliau.

Setelah dalam ayat sebelumnya diberitakan bahwa orang-orang kafir menjadi penolong dalam menyakiti beliau, maka Allah SWT memerintahkan beliau untuk tidak meminta upah dari mereka sama sekali dan memerintahkan beliau untuk bertawakal kepada-Nya dalam menolak semua mudharat dan menarik semua manfaat. Demikian penjelasan Fakhruddin al-Razi.

Dalam ayat ini digunakan fi'l al-amr (kata perintah): tawakkal (bertawakallah). Menurut al-Khazin dalam tafsirnya ketika menerangkan QS Ali Imran [3]: 122, al-tawakkul (tawakal) merupakan bentuk tafa’ul dari kata wakala amrahu ilaa ghayrihi (mewakilkan urusannya kepada pihak lain), ketika dia mempercayakan kepada pihak lain itu dalam memenuhi dan melaksanakan urusan tersebut.

Imam al-Qurthubi juga mengatakan bahwa secara bahasa al-tawakkul adalah menampakkan kelemahan dan mempercayakan kepada pihak yang lain. Disebutkan: Waakala Fulaan apabila dia meletakkan urusannya dan memasrahkan kepada pihak lain. Masih menurut al-Qurthubi, bertawakkal kepada Allah berarti percaya kepada Allah SWT dan meyakini bahwa keputusan-Nya pasti berlaku. Tak jauh berbeda, al-Syaukani juga berkata, "Tawakal adalah bergantungnya hamba kepada Allah SWT dalam segara urusan."

Abdurrahman al-Sa'di berkata, ”Tawakal adalah percayanya hati terhadap Allah SWT dalam menarik manfaat dan menolak mudarat disertai dengan kepercayaan kepada Allah. Sesuai dengan kadar keimanannya, demikian pula kadar tawakalnya."

Bertolak dari semua penjelasan itu, tampak jelas bahwa tawakal berkaitan dengan masalah akidah. Yaitu meyakini bahwa Allah-lah yang dijadikan sebagai tempat bersandar oleh setiap Muslim ketika mencari manfaat dan menolak mudharat. Orang yang mengingkari perkara ini berarti dia kafir. Tawakal juga merupakan aktivitas hati. Sehingga jika ada seseorang yang mengucapkannya namun tidak meyakini dengan hatinya, maka ia tidak dimasukkan sebagai orang yang bertawakal.

Dalam ayat ini disebutkan: 'alaa al-Hayy al-ladzii Laa yamuutu (kepada Allah Yang Hidup [Kekal] Yang tidak mati). Dikhususkannya sifat hidup di sini untuk mengisyaratkan bahwa yang hidup adalah pihak yang dapat dipasrahi berbagai kemaslahatan. Tidak ada kehidupan abadi kecuali bagi Allah SWT. Sehingga, tidak bisa menggantungkan kepada makhluk yang kehidupannya terputus. Sebab, jika dia mati, hilanglah orang yang bergantung kepadanya. Demikian diterangkan al-Syaukani.

Menurut Ibnu Katsir, perintah dalam ayat ini seperti halnya firman Allah SWT: “(Dia-lah) Tuhan timur dan barat, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, maka ambillah Dia sebagai wakiil[an] (pelindung)” (TQS. al-Muzzammil [73]: 9). Juga dalam QS. Hud [11]: 123 dan al-Mulk [67]: 29.

Patut dicatat, ketika seseorang bertawakal kepada Allah SWT bukan berarti meninggalkan yang secara sunnatullah menjadi sebab-sebabnya. Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani berkata, "Yang dimaksud dengan tawakal kepada Allah SWT adalah meyakini apa yang ditunjukkan oleh firman Allah SWT: ”Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya” (TQS. Hud [11]: 6). Dan bukanlah yang dimaksud dengan tawakal itu adalah meninggalkan sebab dan mempercayakan kepada apa yang akan datang dari makhluk. Sebab, hal itu terkadang justru menyeret kepada sesuatu yang berlawanan dengan tawakal. Imam Ahmad pernah ditanya tentang seseorang yang duduk-duduk saja di rumahnya atau di masjid seraya berkata, "Aku tidak mengerjakan sesuatu hingga rezeki datang kepadaku." Beliau berkata, "Orang-orang itu bodoh terhadap ilmu. Sungguh Nabi bersabda: “Sesungguhnya Allah menjadikan rezekiku di bawah bayang-bayang tombak.”

Nabi juga mencontohkan dalam kehidupannya. Untuk mendapatkan rezeki-Nya, beliau juga bekerja. Demikian juga ketika berdakwah, berperang, dan berjuang. Beliau merencanakan, menyiapkan, dan mengerjakan dengan serius segala wasilah yang dapat mengantarkan kepada keberhasilan dan kemenangan.

Diperintahkan Bertasbih dan Bertahmid

Kemudian Allah SWT berfirman: Wa sabbih bihamdihi (dan bertasbihlah dengan memuji-Nya). Menurut al-Qurthubi, yang dimaksudkan dengan al-tasbiih adalah al-tanziih (menyucikan). Sehingga perintah: wa sabbih bihamdihi berarti, ”Sucikanlah Allah SWT dari semua yang disifatkan oleh orang-orang musyrik."

Dijelaskan al-Alusi, ”Menyucikan-Nya dengan disertai pujian terhadap-Nya dengan sifat-sifat-Nya yang sempurna untuk meminta tambahan nikmat dengan mensyukuri kenikmatan sebelumnya.”

Kemudian ayat ini ditutup dengan firman-Nya: Wa kafaa bihi bidzunuub ‘ibaadihi Khabiir[an] (dan cukuplah Dia Maha Mengetahui dosa-dosa hamba-hamba-Nya). Menurut al-Syaukani, berarti hasbuka (cukuplah engkau). Kalimat ini dimaksudkan untuk mubaalaghah (melebihkan), seperti halnya kalimat: kafaa bilLaah Rabban (cukuplah bagimu Allah sebagai Tuhanmu).

Sedangkan pengertian al-Khabiir adalah yang mengawasi dan mengetahui segala urusan, sehingga tidak ada satupun yang tersembunyi bagi-Nya. Menurut al-Alusi, makna kata al-khibrah adalah mengetahui perkara yang tersembunyi. Barangsiapa yang mengetahui perkara yang tersembunyi, tentu lebih mengetahui perkara yang tampak. Ibnu Katsir berkata, "Karena ilmu-Nya yang sempurna, tidak ada yang tersembunyi bagi-Nya dan tidak ada yang samar bagi-Nya walaupun hanya seberat biji dzarrah.”

Diterangkan Fakhruddin al-Razi, ayat ini memberikan pengertian bahwa kamu tidak membutuhkan selain-Nya. Sebab, Dia mengetahui keadaan mereka dan mampu menghadapi mereka, sehingga merupakan ancaman keras. Seolah-olah dikatakan, "Jika kalian mengerjakan perbuatan yang melanggar perintah-Ku, cukuplah bagi kalian ilmu-Nya dalam memberikan balasan dan hukuman yang layak kepada kalian.”

Bahwa penggalan akhir ayat ini konteksnya adalah ancaman keras bagi orang-orang kafir juga dikemukakan al-Alusi. Di samping menurutnya, untuk menghibur hati Rasulullah . Makna ayat ini adalah Dia mengetahui dosa-dosa hamba-hamba-Nya, lantaran tidak ada sedikitpun yang tersembunyi bagi-Nya. Kemudian Dia membalas mereka atas semua perbuatan tersebut. Dan bukanlah menjadi tanggung jawabmu (Rasulullah ) jika mereka beriman atau kafir.

Demikianlah. Rasulullah diperintahkan untuk bertawakal kepada-Nya, bergantung dan menyerahkan segala urusan kepada-Nya. Beliau juga diperintahkan untuk menyucikan-Nya dari segala sifat lemah dan memuji-Nya atas semua nikmat tersebut.

Beliau tak perlu takut dan risau terhadap ulah kaum kafir. Sekalipun mereka mengerahkan segala daya-upaya dan menjadi pembantu setan dalam memusuhi beliau, akan berakhir dengan kegagalan. Sebaliknya, akibat kejahatan itu akan kembali kepada mereka. Mereka akan mendapatkan siksa dan azab atas kejahatan mereka. Patut diingat, perintah kepada Rasul dalam ayat ini juga berlaku bagi umatnya. Semoga kita diberikan kekuatan untuk mengerjakannya. WalLaah a'lam bi al-shawaab.[]

Ikhtisar:

1. Rasulullah dan umatnya diperintahkan untuk bertawakal, bertasbih, dan bertahmid kepada Allah SWT.

2. Tawakal berkaitan dengan masalah akidah sehingga orang yang mengingkari perkara ini menyebabkan pelakunya jatuh kepada kekufuran.

3. Tawakal merupakan kegiatan hati sehingga jika hatinya tidak meyakininya tidak dikategorikan sebagai tawakal.

4. Tawakal kepada Allah tidak berarti meninggalkan hukum kausalitas ketika beramal.[]

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 161

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Download BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam