Unduh BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Minggu, 19 April 2020

Orang Musyrik Menolak Perintah Bersujud - TAFSIR al-Furqan: 60



Oleh: Rokhmat S. Labib, MEI

“Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Sujudlah kamu sekalian kepada Yang Maha Penyayang,” mereka menjawab: "Siapakah yang Maha Penyayang itu? Apakah kami akan sujud kepada Tuhan Yang kamu perintahkan kami (bersujud kepada-Nya)?”; dan (perintah sujud itu) menambah mereka jauh (dari iman).” (TQS. al-Furqan [25]: 60)

Bersujud kepada Allah SWT merupakan salah satu ibadah yang diperintahkan. Bagi orang-orang Mukmin, perintah itu disambut dengan penuh ketaatan. Akan tetapi sikap sebaliknya diperlihatkan oleh orang-orang kafir. Mereka menolak perintah tersebut. Tak hanya itu, perintah tersebut justru makin menjauhkan mereka dari keimanan dan agama-Nya. Inilah di antara yang diberitakan dalam ayat ini.

Diperintahkan Bersujud

Allah SWT berfirman: Wa idzaa qiila lahun [i]sjuduu li al-Rahmaan (dan apabila dikatakan kepada mereka: "Sujudlah kamu sekalian kepada Yang Maha Penyayang"). Dhamiir al-ghaaib hum (kata ganti pihak ketiga jamak), yakni mereka dalam ayat ini menunjuk kepada orang-orang musyrik. Dikatakan oleh al-Thabari dalam tafsirnya, "Apabila dikatakan kepada orang-orang yang menyembah selain Allah SWT, (mereka menyembah) sesuatu yang tidak memberikan manfaat dan tidak mendatangkan madharat." Demikian pulu Ibnu Katsir. Menurutnya, mereka adalah orang-orang musyrik yang bersujud kepada selain Allah berupa patung-patung dan sesembahan lainnya.

Sedangkan pengertian sujud, sebagaimana diterangkan al-Asfahani, pada asalnya bermakna al-tathaamun wa al-tadzallul (sikap tunduk dan merendahkan diri), dan menjadikannya sebagai ungkapan terhadap ketundukan kepada Allah SWT dan beribadah kepada-Nya. Ini bersifat umum, baik bagi manusia, hewan, maupun benda mati. Oleh karena itu, sujud mencakup dua macam, yakni:

Pertama, sujuud bi [i]khtiyaar sujud yang dilakukan secara sukarela. Ini hanya dilakukan oleh manusia, dan dengannya manusia berhak mendapatkan pahala. Ini sebagaimana dalam firman Allah SWT: “Maka bersujudlah kepada Allah dan sembahlah (Dia)” (TQS. al-Najm [53]: 62).

Kedua, sujud taskhiir, sujud yang bersifat memaksa. Ini berlaku pada manusia, hewan, dan tumbuhan, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya: “Hanya kepada Allah-lah sujud (patuh) segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan kemauan sendiri ataupun terpaksa (dan sujud pula) bayang-bayangnya di waktu pagi dan petang hari” (TQS. al-Ra'd [13]: 15). Juga Firman Allah SWT: “Dan apakah mereka tidak memperhatikan segala sesuatu yang telah diciptakan Allah yang bayangannya berbolak-balik ke kanan dan ke kiri dalam keadaan sujud kepada Allah, sedang mereka berendah diri?” (TQS. al-Nahl [16]: 48).

Sementara sujud dalam pengertian syariah dikhususkan untuk menunjuk salah satu rukun tertentu dalam shalat. Termasuk dalam cakupan ini adalah sujud tilawah dan sujud syukur. Kadang-kadang, kata sujud juga digunakan untuk menyebut shalat itu sendiri, seperti dalam firman Allah SWT: Wa adbaar (TQS. Qaf [50]: 40). Artinya, sesudah shalat.

Diterangkan al-Samarqandi dalam tafsirnya, perintah: [u]sjuduu li al-Rahmaan bermakna [u]khdu'uu lahu wawahhiduuhu (tunduklah kepada-Nya dan esakanlah Dia). Fakhruddin al-Razi menafsirkannya, ”Tunduk dan rendahkanlah diri kalian.”

Ditegaskan bahwa sujud tersebut ditujukan kepada al-Rahmaan. Ibnu Jarir menafsirkannya, "Jadikanlah sujud kalian ikhlas karena Allah, bukan kepada sesembahan lain dan berhala-berhala." Sedangkan yang dimaksud dengan al-Rahmaan adalah Allah SWT. Sebab, hanya Dia yang memiliki asma dan sifat tersebut. Selain ayat ini, juga disebutkan dalam banyak ayat lainnya, seperti firman Allah SWT: “Katakanlah: "Serulah Allah atau serulah al-Rahmaan. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al-asmaa al-husna (nama-nama yang terbaik)” (TQS. al-Isra' [17]: 110).

Ingkar Kepada al-Rahman

Ketika orang-orang musyrik itu diperintakan untuk bersujud hanya kepada Allah SWT, mereka pun menjawab sebagaimana diberitakan dalam firman-Nya: Qaaluu wamaa al-Rahmaan (mereka menjawab: "Siapakah yang al-Rahmaan itu?). Kata maa dalam ayat ini adalah ism al-istifhaam (kata tanya). Meskipun bentuknya kalimat tanya, namun -sebagaimana dikemukakan al-Qurthubi- mengandung makna al-inkaari wa al-ta'ajjub (pengingkaran dan keheranan). Menurut mufassir tersebut, makna ayat ini adalah, ”Kami tidak mengetahui al-Rahman kecuali Rahman al-Yamamah." Yang mereka maksudkan adalah Musailamah al-Kadzdzab.

Tak jauh berbeda, Ibnu Katsir juga memaknai ayat ini dengan ungkapan: ”Kami tidak mengetahui al-Rahman." Dan mereka mengingkari Allah SWT dengan nama-Nya al-Rahman, sebagaimana mereka mengingkari pada Perjanjian Hudaibiyah ketika Nabi berkata kepada penulis perjanjian, ”Tulislah Bismil-Laah al-Rahmaan al-Rahiim!” Lalu mereka berkata, ”Kami tidak mengetahui al-Rahmaan al-Rahiim. Namun tulislah sebagimana kamu telah menuliskannya bismika Allahumma.”

Tentang pengingkaran orang-orang Musyrik terhadap al-Rahman juga ditegaskan dalam firman Allah SWT: “Padahal mereka kafir kepada al-Rahman” (TQS. al-Ra'd [13]: 30).

Menolak Bersujud

Kemudian Allah SWT berfirman: Anasjudu limaa ta‘murunaa (apakah kami akan sujud kepada Tuhan Yang kamu perintahkan kami [bersujud kepada-Nya?"). Ayat ini masih melanjutkan perkataan kaum Musyrik ketika mereka diperintahkan untuk bersujud. Huruf al-hamzah pada awal kalimat merupakan harf istifhaam (kata tanya). Meskipun berbentuk kalimat tanya, akan tetapi memberikan makna pengingkaran. Dikatakan al-Syaukani, al-istifhaam (kalimat tanya) li al-inkaar (untuk pengingkaran). Artinya, ”Kami tidak mau bersujud kepada al-Rahman yang kamu perintahkan kepada kami untuk bersujud kepada-Nya.”

Ayat ini diakhiri dengan firman-Nya: Wazaadahum nufuur[an] (dan [perintah sujud itu] menambah mereka jauh [dari iman]). Bahwa perintah kepada orang-orang Musyrik agar bersujud kepada Allah SWT itu justru membuat mereka nufuur (berlari menjauh).

Menurut Ibnu Jarir al-Thabari, perkataan kepada mereka untuk bersujud kepada al-Rahman justru menambah mereka menjauh dari keimanan. Sedangkan al-Qurthubi dan al-Syaukani memaknainya, "Menjauhkan mereka dari agama.”

Tak hanya perintah bersujud. Terhadap peringatan yang ada di dalam al-Qur’an, mereka pun bersikap sama, yakni menjauh dari kebenaran. Allah SWT berfirman: “Dan ulangan peringatan itu tidak lain hanyalah menambah mereka lari (dari kebenaran)” (TQS. al-Isra' [17]: 41). Demikian juga terhadap pemberi peringatan (lihat: QS. al-Isra' [17]: 42).

Sikap tersebut tentu berkebalikan dengan sikap orang Mukmin. Ibnu Katsir berkata, "Adapun orang-orang Mukmin, maka sesungguhnya mereka beribadah kepada Allah SWT, Dialah al-Rahman al-Rahim. Mereka juga mengeesakan-Nya dalam penyembahan dan hanya bersujud kepada-Nya.”

Di antara sikap dan perilaku 'ibaad al-Rahmaan (hamba Allah yang Maha Penyayang) dalam ayat berikutnya adalah menghidupkan malamnya dengan rukuk dan sujud. Allah SWT berfirman: “Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka” (TQS. al-Furqan [25]: 64). Demikian pula ketika mendengar ayat-ayat Al-Quran dibacakan, mereka pun bersujud (lihat: QS. Maryam [19]: 58).

Demikianlah. Orang-orang Musyrik yang menyekutukan Allah SWT itu ketika diperintahkan untuk bersujud kepada Allah SWT yang Maha Rahman, mereka menolaknya. Mereka pun mempertanyakan: "Siapa al-Rahman itu?” Apalagi perintah bersujud itu berasal dari Nabi . Maka, perintah bersujud itu makin menjauhkan mereka dari agama dan keimanan. Tentu sikap ini berbeda dengan orang beriman. Ketika mereka diperintahkan untuk bersujud dan beribadah lainnya, mereka menyambutnya dengan penuh ketaatan. Inilah sikap yang seharusnya dilakukan oleh manusia yang merupakan makhluk Allah SWT. Wal-Laah a'lam bi al-shawaab.[]

Ikhtisar:

1. Orang-orang musyrik ketika diperintahkan untuk bersujud kepada Allah SWT, mereka menolak.

2. Perintah bersujud kepada mereka justru semakin menjauhkan mereka dari agama dan keimanan.[]

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 163

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Download BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam