Unduh BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Rabu, 02 Desember 2020

Membangun Kembali Negara Sistem Islam



Judul Buku: Menegakkan Kembali Negara Khilafah: Suatu Kewajiban Terbesar dalam Islam
Judul Asli: Tanbîh al-Ghâfilîn wa I’lâm al-Hâ’irîn bi Anna Iqâmah al Khilâfah min A’zhami Wajîbât Hâdzâ ad-Dîn
Penulis: Abû ‘Abdul Fattâh ‘Alî Belhâj (Tokoh FIS Aljazair)
Penerjemah: Muhammad Shiddiq Al-Jawi
Penerbit: Pustaka Thariqul Izzah, April 2001

Menlu Inggris, Curzon pernah menyatakan di depan parlemen Inggris pasca “membubarkan” Khilafah Islam di Turki, “Sesungguhnya kita telah menghancurkan Turki sehingga Turki tidak akan dapat bangun lagi setelah itu... Sebab, kita telah menghancurkan kekuatannya yang terwujud dalam dua hal, yaitu Islam dan Khilafah.”

Boleh jadi kebencian dan dendam yang mengkarat di benak Barat telah terpuaskan ketika Turki —sebagai benteng terakhir Khilafah Islam— porak-poranda dan berganti menjadi negara yang menerapkan sekularisme. Bagi Barat, runtuhnya Khilafah Islam di Turki tentu saja merupakan kemenangan yang gemilang, karena selama itu, mereka nyaris tak bisa berkutik di bawah bayang-bayang kekuatan Khilafah Islam.
Sementara itu, Turki sebagai pusat pemerintahan Islam, sejak saat itu, sudah tamat riwayatnya di tangan Musthafa Kemal yang didukung penuh oleh Inggris. Yang tersisa di sana hanyalah kenangan manis saat Khilafah menjadi kekuatan tak tertandingi di dunia. Bahkan, armada tempur lautnya disebut-disebut sebagai kekuatan paling tangguh dan memiliki peralatan militer canggih di zamannya.

Kini, semuanya tinggallah kenangan yang tercetak di lembaran buku-buku sejarah atau yang tertulis dalam kitab-kitab fiqh siyâsah. Namun demikian, bukan berarti hal itu tidak bisa dibangun kembali. Meski, tentu saja perjuangan tersebut membutuhkan keseriusan dan totalitas, serta rasa optimis yang mendalam dalam diri kaum Muslim. Yang penting, upaya kita saat ini adalah bagaimana membangun kembali “reruntuhan” yang sempat mencerahkan peradaban umat manusia ini. Meski perlu disadari, tak mudah untuk bisa membangun kembali “ruins” yang telah tercerai-berai itu.

Mengumpulkan “serpihan” Daulah yang sudah hancur itu jelas membutuhkan usaha yang keras; bukan saja karena kaum Muslim secara fisik nyaris tak bisa disatukan, tetapi pikiran dan perasaannya pun ternyata telah lebih dulu “bercerai” dengan Islam. Akibatnya, hal ini makin menambah beban pekerjaan bagi para pegiat kebangkitan Islam.

Daulah Khilafah saat ini ibarat sebuah rumah yang telah hancur berpuluh-puluh tahun, mungkin bekasnya pun nyaris rata dengan tanah, sementara penghuninya memilih tinggal di tempat lain. Sangat boleh jadi, penghuninya pun sudah benar-benar melupakannya. Menyedihkan memang. Itu sebabnya, ketika ada upaya untuk meyakinkan para penghuninya agar kembali membangun rumah tersebut, sepertinya tak mudah, karena mereka mungkin sudah merasa betah tinggal di tempat lain yang menurutnya lebih nyaman dan menjanjikan segalanya. Yang paling menyakitkan lagi, mereka tidak mengenalnya, sehingga tidak merasa ada kewajiban untuk kembali membangunnya.

Syaikh ‘Ali Belhaj, pendiri dan pimpinan gerakan FIS (Front Islamic Salvation/Front Islamique du Salut) berupaya mengingatkan kembali akan pentingnya sebuah negara bagi kaum Muslim.
Berbeda dengan kebanyakan buku yang membahas pemerintahan Islam, buku karya ulama besar Aljazair ini lebih menekankan pada kewajiban membangun kembali Khilafah Islamiyah. Uniknya lagi, bila dibandingkan dengan karya sejenis, buku ini lebih ‘ringan’ dalam kajiannya, tetapi tidak mengurangi bobot pesan yang disampaikan penulisnya. Oleh karena itu, bagi para pembaca awam sekalipun, bisa langsung ‘nyetel’ membaca buku ini.
Dalam buku ini, dicantumkan pula pendapat-pendapat para ulama salaf dan muta’akhirin tentang kewajiban yang berkaitan dengan pentingnya sistem pemerintahan Islam ini untuk diwujudkan kembali.
Di antaranya adalah pendapat Imam al-Mawardi dalam kitabnya, Al-Ahkâm ash-Shultâniyah; Abu Ya’la al-Farra’ dalam Al-Ahkâm ash-Shulthâniyah; Ibn Taymiyah dalam As-Siyâsah asy-Syar’iyah dan Majmû’ al-Fatâwâ juz 28; Ibn Khaldun dalam Al-Muqaddimah; Ibn Hazm dalam Al-Fashl fî al-Milal wal Ahwa’ wa an-Nihal; Imam al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya, Al-Haytsami dalam Ash-Shawâ’iq al-Muhriqah; Imam an-Nawawi dalam Syarh Muslim juz 12; Imam al-Haramayn dalam kitabnya Ghiyâts al-Umam; Dr. Dhiya’uddin ar-Rais dalam kitabnya Al-Islâm wa al-Khilâfah; ‘Abdurrahman ‘Abdul Khaliq dalam kitabnya Asy-Syûrâ; Abu Ya’la dalam Al-Ahkâm ash-Shulthâniyah.

‘Seabrek’ rujukan dari para ulama salaf dan muta’akhirin tersebut menunjukkan betapa masalah pemerintahan Islam ini sangat penting. Sayangnya, karena kaum Muslim sudah terlanjur ‘kerasan’ hidup di bawah sistem kapitalisme, mereka tidak segera menyadarinya. Sebagian di antara mereka malah merasa ketakutan bila Islam diterapkan kembali sebagai akidah dan syariat. Inilah bukti bahwa perasaan dan pemikiran umat telah berpisah dari Islam.
Hal ini memang tak lepas dari peran Barat dalam mem-brainwashing kaum Muslim. Proses “cuci otak” itu sendiri berlangsung amat lama, bahkan ketika Khilafah Islamiyah masih berdiri di Turki. Celakanya, meski Khilafah masih berdiri, secara kedaulatan ia mulai keropos. Hal ini dibuktikan dengan lemahnya kontrol yang dilakukan penguasa pusat hingga ikut melempangkan jalan bagi Barat dalam memprovokasi wilayah-wilayah yang jauh dari pusat pemerintahan untuk keluar dari Khilafah Islamiyah. Ambil contoh, Albania sempat termakan provokasi untuk “bercerai” dengan Khilafah Islam di Turki.

Saat itu, Barat menyatakan bahwa Turki adalah penjajah rakyat Albania, sehingga tidak ada jalan lain lagi kecuali melawan mereka dan melepaskan diri dari kekuasaan Turki Utsmani. Upaya ini ternyata berhasil. Itu baru satu kasus. Sisanya, kaum Muslim ‘dikavling-kavling’ dalam wilayah-wilayah kecil melalui metode penjajahan. Bersamaan dengan itu, dihembuskanlah ide nasionalisme yang mampu menciptakan dinding tebal batas antara wilayah yang satu dengan wilayah yang lain. Itu terjadi sampai saat ini.

Oleh karena itu, tidak aneh bila upaya membangun kembali Khilafah Islam ini seperti membentur tembok yang tebal. Selain karena wilayah Daulah Khilafah yang amat besar itu sudah ‘dikerdilkan’, perasaan dan pemikiran umat pun sudah tak bisa menerima dengan mudah tentang Islam. Akibatnya, setiap ide kebangkitan Islam yang disampaikan kepada mereka nyaris memantul sempurna; tak ada yang bisa diserap.

Itu karena bercokolnya tsaqafah asing yang sudah menginternalisasi dalam diri umat, bahkan tercermin dalam gaya hidup keseharian mereka. Itu sebabnya, meski menyandang label Muslim, syakhsiyah (kepribadian)-nya bukan ‘cita rasa’ Islam. Kiblat ketika shalat adalah Ka’bah, tetapi dalam urusan gaya hidup dan metode menyelesaikan berbagai problem kehidupan bisa saja berkiblat ke Amerika atau Eropa. Ini semakin membuktikan bahwa sekularisme ternyata ampuh dalam menciptakan dinding pemisah antara agama dengan (kehidupan) politik.

Pentingnya memenuhi kewajiban membangun kembali Daulah Khilafah ini ditegaskan dengan amat kuat oleh Syaikh Ali Belhaj. Beliau menegaskan bahwa hal itu merupakan cita-cita yang harus diraih. Meski untuk meraih kemuliaan itu tak sedikit jalan terjal yang menyulitkan. Akan tetapi, dengan tekad dan upaya yang serius, total, dan optimis dalam berdakwah, bukan tak mungkin Daulah Khilafah ini terwujud kembali dalam waktu dekat.

Sebagai perwujudan keseriusan Ali Belhaj dalam memperjuangkan Islam, buku ini adalah buah pikirannya untuk membawa umat ke gerbang kemuliaan. Dengan dalil-dalil yang shahih dan rajih yang berkaitan dengan pentingnya kembali diwujudkan Khilafah ini, seharusnya buku ini memberikan pencerahan berpikir kepada umat, untuk kemudian berjuang bersama menegakkannya kembali.

Supaya umat menyadari kewajiban membangun kembali Khilafah ini, setidaknya harus ditempuh langkah-langkah real sebagai berikut: Pertama, umat harus membina diri dengan Islam sehingga Islam akan mampu menjadi ideologinya, pandangan hidupnya, dan tampak bagaimana ideologi itu diterapkan. Hal itu akan membantu umat mendorong keyakinannya untuk mewujudkan Islam sebagai sebuah kekuatan.

Kedua, setelah tumbuh kesadaran Islam yang benar dan kokoh sebagai sebuah ideologi, akan muncul dorongan untuk memperjuangkannya. Namun demikian, perlu disadari bahwa perjuangan meraih cita-cita yang besar ini tidak mungkin dilakukan oleh individu-individu, tetapi harus berjamaah.

Ketiga, berinteraksi terus-menerus di tengah-tengah masyarakat untuk mendidik umat agar mereka bangkit dengan ideologi Islam. Alasannya, kebangkitan selalu dimulai dari pemahaman yang benar. Contoh, penerapan hukum dan peraturan tidak akan berhasil membuat masyarakat mematuhinya, bila tidak ada kesadaran dalam diri mereka.
Keempat, penerapan seluruh hukum Islam oleh Negara Islam (Daulah Khilafah Islam).

Melihat fakta demikian, tampaknya buku ini bisa membantu kita untuk meyakinkan kaum Muslim tentang penting dan wajibnya mendirikan Khilafah Islam. Perlu disadari, mendirikan Khilafah ini bukan kewajiban kelompok dakwah tertentu, tetapi kewajiban seluruh kaum Muslim. Semuanya telah nyata, tinggal bagaimana kita berjuang dan membangun kembali “reruntuhan” itu. Ataukah kita akan tetap bertahan tinggal dalam “rumah” yang tidak mampu menata kehidupannya?

Bacaan: Jurnal Politik Dan Dakwah al-Wa'ie Muharam 1422H No.08 Tahun I, 1-30 April 2001

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Download BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam