PENETAPAN AWAL AKHIR RAMADHAN, DAN PERSATUAN UMAT ISLAM
Menepis Beberapa Keraguan
Ketika
kita mendengar informasi ru’yat, tidak jarang di antara kaum muslim
menolak berita tersebut dengan alasan: secara astronomi bulan tidak
mungkin wujud atau muncul di daerah tersebut. Atas dasar itu, mereka
menyatakan bahwa hasil ru’yat semacam itu wajib ditolak oleh kaum
muslim. Sebab, secara astronomi bulan belum mungkin terlihat atau wujud
di daerah tersebut.
Pendapat semacam ini harus ditolak, bahkan telah bertentangan dengan nash-nash syara’.
Pertama,
metode syar’iy untuk menetapkan awal dan akhir Ramadhan adalah ru’yat
(observasi mata secara langsung), bukan hisab. Di sisi lain, syara’
telah menetapkan bahwa kesaksian dalam masalah ru’yatul hilal cukup
dilakukan oleh seorang yang adil. Ini didasarkan pada sebuah riwayat
berikut ini;
“Telah
diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata: Ada seorang Arab mendatangi
Rasulullah Saw. dan berkata: ‘Aku telah melihat bulan (hilal), yakni
bulan Ramadhan’. Kemudian Rasulullah Saw. bertanya: ‘Apakah engkau telah
bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah?’ Laki-laki itu menjawab:
‘’Benar’. Rasulullah bertanya lagi: ‘Apakah engkau bersaksi bahwa
Muhammad itu Rasulullah?’ Laki-laki itu menjawab: ‘Benar’. Rasulullah Saw. bersabda: ‘Wahai Bilal, berdirilah dan kumandangkan azan, dan
beritahukanlah agar mereka (kaum Muslim) puasa besok.”
Untuk
itu, penetapan awal dan akhir Ramadhan harus ditetapkan berdasarkan
kesaksian seorang saksi yang adil. Seseorang tidak boleh memberikan
kesaksian kecuali kesaksiannya itu didasarkan pada sesuatu yang
menyakinkan. Kesaksian tidak sah, jika dibangun di atas dzan (keraguan) [Sayyid Sabbiq, Fiqh al-Sunnah, 1986, (terj), hal.48, PT.al-Ma’arif, Bandung]. Sebab, Rasulullah Saw. telah bersabda kepada para saksi:
"Jika kalian melihatnya seperti kalian melihat matahari, maka bersaksilah. (Namun) jika tidak, maka tinggalkanlah". [Lihat pada Ahmad al-Da’ur, al-Ahkaam al-Bayyinaat, hal.6, 1965, tanpa penerbit]
Berdasarkan
hadits-hadits di atas kita bisa menyimpulkan bahwa penetapan awal dan
akhir Ramadhan harus ditetapkan berdasarkan bukti-bukti syar’iy. Allah S
wt. tidak memerintahkan kita untuk mengawali dan mengakhiri Ramadhan
dengan bukti-bukti astronomis. Untuk itu, hasil pantauan bulan yang
didasarkan pada hisab tidak boleh dijadikan sebagai bukti untuk
memberikan kesaksian. Sebab, ahli hisab tidak menyandarkan kesaksiannya
pada sesuatu yang bersifat pasti, atau melakukan observasi secara
langsung (melihat). Untuk itu, mereka tidak boleh memberikan
kesaksiannya tentang rukyatul hilal. Hanya orang yang menyaksikan secara
langsung saja yang boleh memberikan kesaksiannya. Ini didasarkan pada
sabda Rasulullah Saw.,
”Jika kalian melihatnya seperti melihat matahari, maka bersaksilah, jika tidak tinggalkanlah.”
Pada
dasarnya ahli hisab tidak menyaksikan bulan secara langsung. Ia hanya
menyandarkan pada perhitungan-perhitungan yang bersifat dzanniyyah.
Sebab, meskipun mereka mengklaim perhitungan hisabnya memiliki akurasi
yang tinggi, akan tetapi tetap saja tidak menyakinkan (absolut).
Lebih-lebih lagi ilmu hisab tidak bisa memprediksi cuaca yang ada di
daerah itu. Untuk itu, ia tidak bisa memastikan bahwa bulan bisa
terlihat atau tidak, bila dikaitkan dengan cuaca.
Kesaksian
orang yang melihat hilal tidak bisa digugurkan oleh perhitungan ahli
hisab. Kesaksian seseorang akan gugur, jika syarat-syarat kesaksian
tidak terpenuhi. Misalnya, yang bersaksi tidak adil dan terkenal
ketidakjujurannya. Dalam kondisi semacam ini, kesaksiannya bisa gugur.
Walhasil, kesaksian rukyat yang dibawa oleh seorang yang adil tidak bisa digugurkan dengan perhitungan ahli hisab.
Kedua, Rasulullah
S aw. sendiri tidak meminta kita untuk memastikan apakah bulan sudah
wujud atau tidak pada saat itu –berdasarkan perhitungan astronomi.
Rasulullah Saw. hanya memerintahkan kaum muslim untuk rukyatul hilal (memantau bulan). Rasulullah Saw. bersabda:
"Berpuasalah
karena melihatnya (hilal) dan berbukalah karena melihatnya (hilal),
maka apabila mendung (menutupi) kalian maka sempurnakanlah hitungan
menjadi tiga puluh hari". (HR. An-Nasa’i)
Hadits
ini dengan sangat jelas memberikan pengertian, bahwa walaupun bulan
sudah wujud –memenuhi parameter-parameter astronomi-, akan tetapi jika
terhalang mendung, maka kita harus menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi
30 hari. Seandainya hisab bisa dijadikan bayyinah (bukti),
tentunya faktor mendung yang menghalangi tidak lagi relevan. Sebab,
sesungguhnya bulan sudah wujud dan mungkin untuk dilihat pada saat itu
–berdasarkan prinsip astronomi. Akan tetapi karena bulan tersebut
terhalang mendung, maka puasa tetap tidak boleh dilakukan.
Ini
menunjukkan bahwa, sekiranya perhitungan astronomi sudah menetapkan
bahwa bulan telah wujud dan mungkin dilihat di suatu daerah, tidak
secara otomatis, saat itu juga kaum muslim harus sudah memulai melakukan
ibadah puasa. Sebab, bisa saja daerah tersebut tertutup mendung tebal
yang menghalangi proses rukyat. Meskipun secara astronomi bulan sudah
terlihat, namun tidak secara otomatis kaum muslim harus memulai bulan
Ramadhan pada hari itu juga. Sebab, bisa jadi penglihatannya terhalang
oleh mendung. Ketika di daerah itu terhalang mendung, maka kaum muslim
tetap harus menyempurnakan bulan sya’ban menjadi 30 hari. (Kaum Muslim harus berusaha melakukan ru'yat di daerah-daerah lain yang memungkinkan sehingga bisa dipastikan dan bisa serentak seluruh dunia mengawali maupun mengakhiri Ramadhan)
Ini semakin menguatkan, bahwa hisab tidak bisa membatalkan rukyat.
Rukyat hanya akan gugur, jika kesaksiannya dilakukan oleh orang-orang
yang tidak adil.
KHATIMAH
Pendapat yang rajih dan lebih dekat kepada al-Qur'an dan Sunnah mengenai
penetapan awal dan akhir Romadhon adalah ru’yat yang berlaku untuk
seluruh kaum muslimin di dunia (mathla’ universal).
Namun
demikian, perbedaan pendapat ini tidak akan pernah terselesaikan dengan
tuntas, sebelum ada pihak yang berfungsi sebagai badan itsbat bagi
seluruh kaum muslimin. Badan itsbat itulah yang akan berfungsi sebagai
penengah perbedaan pendapat di kalangan kaum muslim. Badan yang berhak
menetapkan masalah ini adalah pemimpin seluruh kaum muslim. Atas dasar
itu, adanya pemimpin seluruh kaum muslimin yang berfungsi untuk
menyelesaikan perbedaan pendapat di antara mereka menjadi sangat
mendesak. Bahkan institusi inilah yang dapat menyatukan seluruh kaum
muslimin, dan meniadakan perselisihan di antara umat Islam [dalam urusan publik].
Bila kita melihat sejarah umat Islam, kita akan berkesimpulan bahwa
institusi Islamiy yang bisa menuntaskan perbedaan yang terjadi di antara
kaum muslimin adalah Khilafah Islamiyyah. Kaedah ushul menyatakan,
“Perintah Imam (pemimpin) menghilangkan khilafiyah (pertentangan)”.
Wallahu ‘Alam bi al-Shawab
Bacaan: Bunga Rampai Pemikiran Islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar