Unduh BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Rabu, 21 April 2021

Pendapat Rajih Tentang Penetapan Awal Akhir Ramadhan





PENETAPAN AWAL AKHIR RAMADHAN, DAN PERSATUAN UMAT ISLAM

Menepis Beberapa Keraguan

    Ketika kita mendengar informasi ru’yat, tidak jarang di antara kaum muslim menolak berita tersebut dengan alasan: secara astronomi bulan tidak mungkin wujud atau muncul di daerah tersebut. Atas dasar itu, mereka menyatakan bahwa hasil ru’yat semacam itu  wajib ditolak oleh kaum muslim. Sebab, secara astronomi bulan belum mungkin terlihat atau wujud di daerah tersebut.

    Pendapat semacam ini harus ditolak, bahkan telah bertentangan dengan nash-nash syara’.

Pertama, metode syar’iy untuk menetapkan awal dan akhir Ramadhan adalah ru’yat (observasi mata secara langsung), bukan hisab. Di sisi lain, syara’ telah menetapkan bahwa kesaksian dalam masalah ru’yatul hilal cukup dilakukan oleh seorang yang adil. Ini didasarkan pada sebuah riwayat berikut ini;

“Telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata: Ada seorang Arab mendatangi Rasulullah Saw. dan berkata: ‘Aku telah melihat bulan (hilal), yakni bulan Ramadhan’. Kemudian Rasulullah Saw. bertanya: ‘Apakah engkau telah bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah?’ Laki-laki itu menjawab: ‘’Benar’. Rasulullah bertanya lagi: ‘Apakah engkau bersaksi bahwa Muhammad itu Rasulullah?’ Laki-laki itu menjawab: ‘Benar’. Rasulullah Saw. bersabda: ‘Wahai Bilal, berdirilah dan kumandangkan azan, dan beritahukanlah agar mereka (kaum Muslim) puasa besok.”

Untuk itu, penetapan awal dan akhir Ramadhan harus ditetapkan berdasarkan  kesaksian seorang saksi yang adil. Seseorang tidak boleh memberikan kesaksian kecuali kesaksiannya itu didasarkan pada sesuatu yang menyakinkan. Kesaksian tidak sah, jika dibangun di atas dzan (keraguan) [Sayyid Sabbiq, Fiqh al-Sunnah, 1986, (terj), hal.48, PT.al-Ma’arif, Bandung]. Sebab, Rasulullah Saw. telah bersabda kepada para saksi:

"Jika kalian melihatnya seperti kalian melihat matahari, maka bersaksilah. (Namun) jika tidak, maka tinggalkanlah". [Lihat pada Ahmad al-Da’ur, al-Ahkaam al-Bayyinaat, hal.6, 1965, tanpa penerbit]

Berdasarkan hadits-hadits di atas kita bisa menyimpulkan bahwa penetapan awal dan akhir Ramadhan harus ditetapkan berdasarkan bukti-bukti syar’iy. Allah S wt. tidak memerintahkan kita untuk mengawali dan mengakhiri Ramadhan dengan bukti-bukti astronomis. Untuk itu, hasil pantauan bulan yang didasarkan pada hisab tidak boleh dijadikan sebagai bukti untuk memberikan kesaksian. Sebab, ahli hisab tidak menyandarkan kesaksiannya pada sesuatu yang bersifat pasti, atau melakukan observasi secara langsung (melihat). Untuk itu, mereka tidak boleh memberikan kesaksiannya tentang rukyatul hilal. Hanya orang yang menyaksikan secara langsung saja yang boleh memberikan kesaksiannya. Ini didasarkan pada sabda Rasulullah Saw.,

Jika kalian melihatnya  seperti melihat matahari, maka bersaksilah, jika tidak tinggalkanlah.”

Pada dasarnya ahli hisab tidak menyaksikan bulan secara langsung. Ia hanya menyandarkan pada perhitungan-perhitungan yang bersifat dzanniyyah. Sebab, meskipun mereka mengklaim perhitungan hisabnya memiliki akurasi yang tinggi, akan tetapi tetap saja tidak menyakinkan (absolut). Lebih-lebih lagi ilmu hisab tidak bisa memprediksi cuaca yang ada di daerah itu.  Untuk itu, ia tidak bisa memastikan bahwa bulan bisa terlihat atau tidak, bila dikaitkan dengan cuaca.

Kesaksian orang yang melihat hilal tidak bisa digugurkan oleh perhitungan ahli hisab. Kesaksian seseorang akan gugur, jika syarat-syarat kesaksian tidak terpenuhi. Misalnya, yang bersaksi tidak adil dan terkenal ketidakjujurannya. Dalam kondisi semacam ini, kesaksiannya bisa gugur.

Walhasil, kesaksian rukyat yang dibawa oleh seorang yang adil tidak bisa digugurkan dengan perhitungan ahli hisab.

Kedua, Rasulullah S aw. sendiri tidak meminta kita untuk memastikan apakah bulan sudah wujud atau tidak pada saat itu –berdasarkan perhitungan astronomi. Rasulullah Saw. hanya memerintahkan kaum muslim untuk rukyatul hilal (memantau bulan). Rasulullah Saw. bersabda:

"Berpuasalah karena melihatnya (hilal) dan berbukalah karena melihatnya (hilal), maka apabila mendung (menutupi) kalian maka sempurnakanlah hitungan menjadi tiga puluh hari". (HR. An-Nasa’i)

    Hadits ini dengan sangat jelas memberikan pengertian, bahwa walaupun bulan sudah wujud –memenuhi parameter-parameter astronomi-, akan tetapi jika terhalang mendung, maka kita harus menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi 30 hari. Seandainya hisab bisa dijadikan bayyinah (bukti), tentunya faktor mendung yang menghalangi tidak lagi relevan. Sebab, sesungguhnya bulan sudah wujud dan mungkin untuk dilihat pada saat itu –berdasarkan prinsip astronomi. Akan tetapi karena bulan tersebut terhalang mendung, maka puasa tetap tidak boleh dilakukan.

Ini menunjukkan bahwa, sekiranya perhitungan astronomi sudah menetapkan bahwa bulan telah wujud dan mungkin dilihat di suatu daerah, tidak secara otomatis, saat itu juga kaum muslim harus sudah memulai melakukan ibadah puasa. Sebab, bisa saja daerah tersebut tertutup mendung tebal yang menghalangi proses rukyat. Meskipun secara astronomi bulan sudah terlihat, namun tidak secara otomatis kaum muslim harus memulai bulan Ramadhan pada hari itu juga. Sebab, bisa jadi penglihatannya terhalang oleh mendung. Ketika di daerah itu terhalang mendung, maka kaum muslim tetap harus menyempurnakan bulan sya’ban menjadi 30 hari. (Kaum Muslim harus berusaha melakukan ru'yat di daerah-daerah lain yang memungkinkan sehingga bisa dipastikan dan bisa serentak seluruh dunia mengawali maupun mengakhiri Ramadhan)

    Ini semakin menguatkan, bahwa hisab tidak bisa membatalkan rukyat. Rukyat hanya akan gugur, jika kesaksiannya dilakukan oleh orang-orang yang tidak adil.

KHATIMAH

    Pendapat yang rajih dan lebih dekat kepada al-Qur'an dan Sunnah mengenai penetapan awal dan akhir Romadhon adalah ru’yat yang berlaku untuk seluruh kaum muslimin di dunia (mathla’ universal).

    Namun demikian, perbedaan pendapat ini tidak akan pernah terselesaikan dengan tuntas, sebelum ada pihak yang berfungsi sebagai badan itsbat bagi seluruh kaum muslimin. Badan itsbat itulah yang akan berfungsi sebagai penengah perbedaan pendapat di kalangan kaum muslim. Badan yang berhak menetapkan masalah ini adalah pemimpin seluruh kaum muslim. Atas dasar itu, adanya pemimpin seluruh kaum muslimin yang berfungsi untuk menyelesaikan perbedaan pendapat di antara mereka menjadi sangat mendesak. Bahkan institusi inilah yang dapat menyatukan seluruh kaum muslimin, dan meniadakan perselisihan di antara umat Islam [dalam urusan publik].

    Bila kita melihat sejarah umat Islam, kita akan berkesimpulan bahwa institusi Islamiy yang bisa menuntaskan perbedaan yang terjadi di antara kaum muslimin adalah Khilafah Islamiyyah. Kaedah ushul menyatakan, “Perintah Imam (pemimpin) menghilangkan khilafiyah (pertentangan)”. Wallahu ‘Alam bi al-Shawab

Bacaan: Bunga Rampai Pemikiran Islam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Download BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam