Demokrasi Menghasilkan Krisis - Demokrasi Sekular Sistem Krisis
Demokrasi dalam Krisis
Bagaimana Sistem Politik Islam Memastikan Good Governance
Pendahuluan
Seiring program-program partai menjadi semakin mirip, dan seiring kampanye-kampanye selalu berorientasi lebih pada tujuan-tujuan sama bukannya cara bertentangan, terdapat pengecilan derajat sejauh mana hasil-hasil elektoral bisa menentukan aksi pemerintah. Terlebih lagi, seiring perbedaan antar partai-partai berkuasa dan yang tidak berkuasa menjadi semakin kabur, derajat sejauh mana para pemilih bisa menghukum partai-partai bahkan atas dasar ketidakpuasan umum adalah berkurang. Di saat yang sama partisipasi dalam proses pemilihan mengimplikasikan voting dan dengan membuat pemilu sebagai saluran legal untuk aktivitas politik, saluran lain yang berpotensi lebih efektif, menjadi berlegitimasi. Demokrasi menjadi suatu cara mencapai kestabilan sosial bukannya perubahan sosial, dan pemilu menjadi bagian 'terhormat' konstitusi" Richard S. Katz and Peter Mair, How Parties Organise
Sementara sebagian besar politisi dalam demokrasi mengklaim mantel 'perubahan', sangatlah sedikit pernah benar berubah. Terlebih lagi, skandal-skandal politik jauh dari menjadi peristiwa-peristiwa terisolasi atau kejanggalan dalam sistem demokrasi sekular. Kecurangan anggaran, para mantan-Menteri menjadi "taksi-taksi untuk disewa", dana untuk mempengaruhi legislasi dan berbagai pinjaman untuk kelompok penguasa (baronage) semua ini baru contoh yang di Inggris saja. Tuduhan usaha penjualan kursi Senat di Illinois dan seorang anggota kongres dengan ribuan dollar di freezer lemari es-nya di Amerika Serikat adalah episode-episode mengagetkan yang mirip. Bisa dikatakan bahwa di Amerika kelas politiknya telah dijual beberapa waktu lalu kepada kelompok-kelompok bertujuan khusus (special interest) - sedemikian banyak sehingga Washington DC telah menjadi kiasan untuk korupsi terorganisasi dan terinstitusionalisasi. India, dianggap oleh banyak pihak sebagai demokrasi sekular terbesar, juga dianggap sebagai yang paling korup. Para politisi baik di tingkat federal maupun propinsi telah menghisap negara itu sampai kering sejak desentralisasi / partisi di 1947. Israel digemborkan sebagai satu-satunya demokrasi di Timur Tengah. Namun apa yang ia katakan tentang pemerintahannya ketika seorang mantan Presiden sedang disidang karena pemerkosaan dan seorang mantan Perdana Menteri karena korupsi? Demokrasi yang sedang berkembang tidak lebih baik dari itu. Pemilu-pemilu di Kenya, Afghanistan dan Pakistan semuanya telah menghasilkan elit korup, dan pergantian Russia ke demokrasi telah memproduksi suatu oligarki yang lebih tertarik menghasilkan uang daripada melayani publik. Saripatinya demokrasi dari negara ke negara hanya mendukung elit seiring meneruskan propaganda bahwa semua orang punya kekuatan yang sama di dalam demokrasi.
Namun demikian, para suporter demokrasi sekular tidak menerima premis ini. Dalam pandangan dunia mereka demokrasi bukanlah sistem sempurna tapi, untuk mem-parafrase Churchill, itu adalah lebih baik daripada semua yang lain. Bagi mereka demokrasi adalah tiada terkira lebih hebat daripada rivalnya, dan kematian berbagai monarki abad pertengahan, Soviet Russia, Nazi Jerman dan para diktator sekeliling globe hanya memvalidasi opini mereka. Bagi mereka demokrasi berhasil karena itu adalah, dalam kata-kata Abraham Lincoln, "pemerintahan rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat." Sebagai tambahan mereka mengutip pertumbuhan jumlah negara-negara di seluruh dunia yang memeluk demokrasi sekular.
Pemilu-pemilu memang telah diadakan beberapa waktu lalu di Afganistan dan Irak dengan jutaan orang datang untuk voting setelah puluhan tahun dilarang punya kesempatan itu. Namun ini bukan sekedar pemilu yang mengikat kedua negara itu bersama; faktor kesamaan lainnya adalah bahwa negara-negara itu sedang dalam penjajahan asing ketika pemilu. Ini dengan sendirinya membatalkan konsep apapun tentang pemilu-pemilu itu sebagai praktek dalam mengukur apakah suatu pemerintahan atau seorang pemimpin memiliki legitimasi terpisah dari yang disuguhkan oleh otoritas penjajah. Menggunakan analogi yang bisa diapresiasi oleh kebanyakan mahasiswa sejarah Amerika, yang demikian itu adalah seperti halnya para bapak pendiri mengadakan pemilihan umum ketika para pasukan Inggris masih menguasai Philadelphia di tahun 1776 di bawah suatu konstitusi yang disetujui oleh Westminster. Demikian maka tidak mengherankan bahwa para pemimpin sekular pro-Barat telah dipilih di Kabul dan Baghdad. Juga tidak bisa diasumsikan bahwa karena rakyat menolak kediktatoran, berarti mereka pasti mendukung ide-ide politik Barat.
Sebagai tambahan pemilu-pemilu, demokrasi Barat juga juara dalam pemisahan negara dan agama, nilai-nilai liberal terhadap perilaku personal, demikian juga kapitalisme, dengan kebijakan tak terkontrol pasar bebasnya. Masyarakat Barat mempromosikan individualisme, hedonisme dan utilitarianisme, dengan kepercayaan dan moral disimpan rapat ke arena privat. Terdapat sangat sedikit bukti bahwa orang-orang di Kabul (apalagi Kandahar), Baghdad atau Kairo mendukung atau menerima bahwa Islam harus dimarjinalisasi dalam masyarakat dan disimpan hanya untuk wilayah masjid, tidak juga mayoritas menerima bahwa seseorang punya kebebasan untuk melihat pornografi atau melakukan zina. Tidak juga mayoritas akan setuju dengan hukum-hukum yang membolehkan alkohol, tempat-tempat judi atau kapitalisme pasar bebas dengan semua akibat buruknya; meski begitu ini semua adalah norma dalam demokrasi Barat. Ini persis dikarenakan berbagai perbedaan besar dalam nilai-nilai dan pondasinya bahwa mayoritas warga negara Eropa dan banyak pemimpin European Union gelisah tentang pendaftaran Turki ke EU. Jika Turki setelah 8 dekade sekularisasi fanatis oleh militer, telah tidak mampu merestruktur secara fundamental nilai-nilai jutaan orang Turki, adalah sangat tidak mungkin bahwa Timur Tengah akan membeli Thomas Jefferson dalam waktu dekat, terutama sejak mereka menyaksikan hari demi hari akibat 'perang terhadap teror' Barat.
Ledakan balik akhir-akhir ini terhadap para politisi adalah bagian dari kematian ideologis yang jauh lebih luas. Kaitan umum antara berbagai skandal politik, bencana perekonomian, perang di Irak dan model sosial gagal adalah bahwa mereka semua lahir dari sistem demokrasi sekular. Ekses, ketamakan, individualisme dan materialisme adalah buah-buah kapitalisme dan sistem nilainya yang gagal. Sebagaimana 'para bankir rakus' telah menjadi wajah bencana para Kapitalis, dan Guantanamo Bay dan Abu Ghraib dilihat sebagai komitmen Barat pada Universal Human Rights, sehingga para politisi korup telah menjadi wajah dari penipuan demokrasi. Negara-negara sekular, demokratis, kapitalis semua menderita hingga derajat lebih kecil atau lebih besar pembusukan ideologis ini. Runtuhnya perekonomian pastinya adalah yang paling menyebar dan membuat jatuhnya korban tidak hanya warga negara di masyarakat Barat, tapi pada orang miskin dunia yang tadinya dijanjikan bahwa Kapitalisme akan menjadikan kemiskinan sejarah. Tapi aspek-aspek lain jalan hidup Barat tidak kalah berbahaya dalam janji-janjinya. Adalah pemisahan hampir total Tuhan dari kehidupan kolektif yang telah meninggalkan masyarakat untuk didominasi oleh nilai-nilai material. 'WIFM' - 'what's in it for me' adalah pertanyaan fundamental yang ditanyakan orang pada dirinya sendiri, dan bukan 'bagaimana aku akan dihakimi atas perilakuku'. Masyarakat Barat bisa dikatakan telah membatasi semua nilai-nilai selain material pada rumah dan ruang pribadi. Ketika nilai-nilai demikian dibuang ke sisi batas masyarakat, ketika kesuksesan dan kegagalan dinilai semata berdasarkan kekayaan yang kamu miliki, harga rumahmu dan apa yang kamu miliki secara materi, adakah kesangsian bahwa para politisi atau bankir berperilaku seperti yang mereka lakukan, tidak pandang di mana seseorang tinggal.
Namun beberapa pihak berargumen bahwa masalah-masalah yang muncul adalah karena buruknya implementasi dan suatu kelas politik yang telah kehilangan pengekangnya. Meski begitu masalah demokrasi sekular berasal bukan dari implementasi yang buruk melainkan dari pondasi-pondasi lemah teoretisnya. Pandangan bahwa hukum-hukum menjadi superior atas hukum-hukum lain berdasarkan jumlah orang yang mem-votingnya adalah absurd adalah berbahaya. Kita jelas tidak menentukan kemajuan saintifik berdasarkan jumlah orang yang mendukung suatu posisi, jika kita melakukannya maka Galileo, Copernicus dan ratusan ilmuwan yang mengatakan kebenaran dan yang berjuang melawan opini publik pasti salah. Kita menentukan pengadilan berdasarkan kualitas bukti bukannya superioritas numerik saksi-saksi di suatu sisi. Jika orang, seperti yang mereka lakukan di 1930-an, voting untuk pemimpin yang populis yang nantinya membunuh jutaan orang dan memulai suatu perang dunia, apakah ini memvalidasi pilihan mereka hanya karena mereka merupakan suatu mayoritas di suatu waktu. Tidak.
Kata 'demokrasi' (kekuatan rakyat) itu sendiri berakar di bahasa Yunani adalah penjelasan nyata. Inilah mengapa sepanjang masa dari Socrates hingga Jefferson, dari Plato hingga Stuart Mill konsep kekuasaan geng dan tirani mayoritas adalah ketakutannya. Frase ini "tirani mayoritas" adalah aslinya dikutip dalam Alexis de Tocqueville dalam bukunya 'Democracy in America’ dan kemudian diambil oleh Mill dalam karyanya ‘On Liberty’. Perhatiannya adalah bahwa hukum-hukum tidak ditentukan berdasarkan keuntungan masyarakat oleh mayoritas tapi akan sebaliknya berakar dalam kepentingan sendiri - self interest, semangat emosional dan kepicikan, dan usaha merampas hak-hak minoritas. Sebagaimana dinyatakan Thomas Jefferson "Demokrasi adalah tidak lebih dari kekuasaan geng, di mana 51% orang bisa mengambil hak-hak 49% yang lain". Plato dan Aristotle khususnya bermusuhan dengan dogma-dogma demokrasi. Melalui karya berpengaruh mereka, setelah penemuan kembali klasik-klasik selama renaissance, kestabilan politik Sparta dipuji sedangkan demokrasi Periclean dideskripsikan sebagai sistem kekuasaan, di mana yang cacat lahir, geng (sebagai tirani kolektif) atau kelas-kelas miskin, memegang kekuatan kekuasaan. Solusi Mill bahkan lebih radikal menyarankan untuk tirani mayoritas adalah bahwa untuk memiliki representasi proporsional dengan hak suara ekstra bagi yang kaya dan yang terpelajar untuk mengalahkan voting mayoritas yang kurang terpelajar. Winston Churchill juga berkelakar bahwa argumen utama melawan demokrasi adalah satu 10 menit perbincangan dengan pemilih rata-rata.
Menyadari kelemahan cacat fundamental ini, masyarakat Barat telah berusaha menekan beberapa efek lebih keras 'mob rule' dengan berbagai cek konstitusional dan politikal. Di AS hadirnya Supreme Court, suatu supermajority dihadapannya perubahan-perubahan konstitusional bisa dibuat dan hadirnya berbagai cek dan perimbangan - checks and balances telah diterapkan, tapi dengan mengorbankan prinsip-prinsip utama demokrasi seiring juga menyebabkan luapan masalah-masalah lain. Kebuntuan, korupsi, kendali disproporsional yang dilakukan oleh kelompok-kelompok bertujuan spesial - special interest groups dan pertimbangan-pertimbangan jangka pendek elektoral dalam mengakali berbagai tantangan jangka panjang adalah hanya beberapa tuntutan terhadap demokrasi hari modern. Skandal pembelanjaan dan pe-lobby-an di Inggris adalah gejala kelas politik yang telah melupakan apa seharusnya melayani publik itu.
Demokrasi sekular, dengan basis kedaulatan popularnya, belum ditantang secara efektif hingga sekarang baik kiri maupun kanan belum terlibat dalam debat apapun tentang kelayakan demokrasi sekular. Kebanyakan pemimpin Barat percaya bahwa demokrasi adalah nirwana sistem politik modern bahwa nilai-nilai demokrasi sekular adalah universal. Namun sebagaimana Pat Buchanan dengan tepat mengamati, "penyembahan-demokrasi menyarankan suatu kepercayaan kekanak-kanakan dalam kebijaksanaan dan kebaikan masyarakat." Mayoritas orang hari ini akan mengembalikan hukuman mati (untuk kejahatan seperti paedophilia dan perkosaan), kebanyakan orang akan percaya bahwa gelombang masuk orang mencari rumah sakit mental meningkatkan kejahatan, mayoritas orang Amerika di selatan pada abad 19 mendukung perbudakan dan mayoritas orang Jerman memilih Hitler dan mendukung the Nuremburg laws di 1930-an. Para pendiri Amerika tidak lebih percaya pada masyarakat daripada mereka percaya pada monarki absolut. Maka kebutuhan untuk multiple checks and balances - suatu badan pemilih (electoral college), suatu Supreme Court, suatu Senat terpilih untuk mengawasi House of Representatives (DPR) dan kekuatan veto seorang Presiden. Demokrasi, berkebalikan dengan apa yang orang umum pikirkan, adalah bahkan tidak disebutkan di dalam konstitusi Amerika Serikat dan itu bukan kesalahan membaca. Thomas Jefferson telah sangat menjelaskan apa yang dia pikirkan tentang menyerahkannya pada rakyat ketika dia mengatakan: "Jangan dengarkan percaya pada orang-orang (rakyat), tapi sebaliknya kekang mereka dari kejahatan dengan rantai-rantai konstitusi". Bagaimana bisa demokrasi dengan dogma sentral kedaulatan popular bisa dianggap serius oleh dunia Muslim ketika para pendiri konstitusi AS sendiri sangatlah alergi terhadapnya?
Etos Islam memastikan bahwa masyarakat adalah lebih rata terseimbangkan antara nilai-nilai material, moral, humanitarian dan spiritual. Para politisi harus memiliki pondasi kuat berakar dalam nilai-nilai yang berkorelasi kuat dengan membantu kebutuhan warganya. Ini adalah, pada akhirnya, hanyalah atmosfer kesadaran akan Tuhan bergandengan dengan hukum-hukum terinspirasi secara ketuhanan yang mengatur intsitusi-institusi detail yang bisa memastikan sistem politik yang lebih efektif.
Buku : Demokrasi dalam Krisis
Bagaimana Sistem Politik Islam Memastikan Good Governance
Satu Pamflet oleh Hizb ut-Tahrir Britain
Hizb ut-Tahrir
Britain
22 Jumada al Awwal 1431 / 6 Mei 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar