KHILAFAH : WAJIB TUNGGAL ATAU BOLEH LEBIH DARI
SATU?
Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi, S.Si, MSI
Pendahuluan
Khilafah telah menjadi pembicaraan publik di
Indonesia akhir-akhir ini, baik pada level pemerintah maupun level masyarakat
dengan berbagai segmennya. Seorang tokoh ormas Islam pun kemudian melontarkan ide
“Khilafah Nasionalis”, sebagai lawan dari “Khilafah Internasionalis” yang
ditolaknya tanpa alasan syar’i. Ide “Khilafah Nasionalis” nampaknya dimaksudkan
untuk mengkrompomikan dua ide yang bertentangan (kontradiktif), yaitu Khilafah
sebagai ajaran Islam di satu sisi, dengan ide negara-bangsa pada sisi lain.
Terlepas apakah lontaran itu serius atau hanya
retorika kosong, ada persoalan yang
muncul dengan ide “Khilafah Nasionalis” tersebut. Jika ide ini diterapkan, niscaya
akan muncul fenomena ta’addud al-Khilafah (berbilangnya Khilafah), yakni
adanya lebih dari satu negara Khilafah di Dunia Islam. Misalnya, akan ada
Khilafah Indonesia, Khilafah Malaysia, Khilafah Brunei, dan seterusnya. Apakah kondisi seperti ini dibenarkan Syariah Islam? Bolehkah ada lebih
dari satu Khilafah pada waktu yang sama di Dunia Islam?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut jelas
menunjukkan strategisnya kajian tentang apakah Khilafah itu memang boleh ta’addud
(berbilang), yaitu lebih dari satu, ataukah wajib hanya satu saja untuk seluruh
umat Islam di seluruh penjuru dunia walau berbeda-beda bangsa? Makalah ini
berusaha menjawab persoalan krusial tersebut.
Mendudukkan
Ikhtilaf
Apakah ada ikhtilaf (perbedaan pendapat) di
kalangan fuqoha mengenai hukum mengangkat khalifah (nashbul khalifah)
dan juga mengenai apakah Khilafah wajib satu ataukah boleh berbilang? Jawabannya
adalah tidak ada ikhtilaf di kalangan fuqoha` bahwa mengangkat khalifah (nashbul
khalifah) adalah fardhu, demikian pula tidak ada ikhtilaf bahwa tidak boleh
mengangkat dua orang khalifah yang berada pada daerah yang sama (fi shuq’in
waahidin). (Mahmud Abdul Majid Al Khalidi, Qawa’id Nizham Al Hukm fil
Islam, hlm. 313).
Tidak adanya ikhtilaf mengenai haramnya
mengangkat dua khalifah pada daerah yang sama, dijelaskan dalam kitab Ghayatul
Maram fi ‘Ilmil Kalam karya Imam Al Amidi hlm. 382 sebagai berikut :
ولا
خلاف في أنه
لا يجوز عقد
الإمامة
لشخصين في صقع
واحد، متضايق
الأقطار، و
متقارب الأمصار
“Tidak ada ikhtilaf bahwa tidak boleh
mengadakan akad Imamah (Khilafah) bagi dua orang di satu daerah yang sama, yang
berhimpitan negeri-negerinya dan berdekatan kota-kotanya.” (Mahmud Abdul Majid Al Khalidi, Qawa’id
Nizham Al Hukm fil Islam, hlm. 313).
Jadi, ikhtilaf fuqoha` dalam masalah ini hanya
terjadi pada kasus pengangkatan dua orang khalifah yang berada di dua daerah yang
berjauhan, bukan pada daerah yang sama. Dalam masalah ini ada dua pendapat : Pendapat pertama, boleh mengangkat dua khalifah. Atau dengan kata lain
kaum muslimin boleh memiliki lebih dari satu negara Khilafah. Ini merupakan pendapat
Zaidiyah, Karamiyah, Abu Ishaq Al Isfaroyini, Abdul Qahir Al Baghdadi, sebagian
ulama Syafi’iyyah, dan Imam Haramain (Juwaini).
Pendapat kedua, tidak boleh mengangkat dua khalifah. Atau dengan kata lain, kaum
muslimin di seluruh dunia tidak boleh memiliki lebih dari satu negara Khilafah.
Inilah pendapat jumhur ulama, seperti Ibnu Hazm, Al Kamal Ibnul Humam, Abu
Ya’la Al Farra`, Asy Sya’rani, Qadhi Abdul Jabbar, Al Iiji, Al Jurjani, Al
Qalqasyandi, Al Amidi, An Nawawi, Al Mawardi, At Taftazani, Abu Hanifah, Malik,
Syafi’i, Ahmad, dan lain-lain. (Mahmud Abdul Majid Al Khalidi, Qawa’id
Nizham Al Hukm fil Islam, hlm. 314).
Dalil Masing-Masing Pendapat
Pendapat pertama menyatakan bahwa jika dua
tempat berjauhan, maka boleh mengangkat dua khalifah. Pendapat pertama ini berdalil
dengan dalil-dalil akli (hujjah ‘aqliyyah), di antaranya sebagai berikut :
Pertama, mengangkat dua khalifah boleh jika ada hajat
(kebutuhan) untuk mengangkat dua khalifah. Ini merupakan pendapat Abu Ishaq
Isfarayini dan Imam Haramain.
Kedua, mengangkat dua khalifah boleh jika terdapat jarak
yang jauh di antara dua khalifah. Ini
pendapat Imam Haramain.
Ketiga, mengangkat dua khalifah boleh jika di antara dua Khalifah
terdapat pemisah alami (haajiz thabi’iy) seperti laut, atau ada musuh di
antara keduanya, yang tidak mampu dikalahkan
oleh salah satu dari keduanya. Ini pendapat Abdul Qahir Al Baghdadi. (Mahmud
Abdul Majid Al Khalidi, Qawa’id Nizham Al Hukm fil Islam, hlm. 313; Jamal
Ahmad Sayyid Jaad Al Marakbi, Al Khilafah Al Islamiyyah Bayna Nuzhum Al Hukm
Al Mu’ashirah, hlm. 65-67).
Adapun pendapat kedua yang merupakan pendapat
jumhur (mayoritas) ulama, menegaskan Khilafah wajib hanya satu. Dengan kata
lain umat Islam tidak boleh mengangkat dua khalifah walaupun umat Islam berada di dua tempat yang berjauhan,
seperti misalnya Maroko dengan Merauke (Indonesia).
Pendapat kedua dalilnya adalah dalil-dalil
syar’i, berupa As Sunnah dan Ijma’ Shahabat.
Dalil pertama adalah As Sunnah, ada 5 (lima) nash
sebagai berikut :
Pertama, sabda Rasulullah SAW :
إذا
خرج ثلاثة في
سفر فليؤمروا
أحدهم
“Jika keluar tiga orang dalam suatu
perjalanan, maka hendaklah mereka memilih pemimpin satu orang dari mereka.” (HR Abu Dawud no 3608).
Hadits tersebut menurut manthuq (makna
tersurat) mewajibkan adanya satu pemimpin untuk tiga orang dalam sebuah perjalanan. Menurut mafhum
mukhalafah (makna tersirat yang berkebalikan dari makna tersurat) dari
hadits tersebut, yakni dari lafazh “ahadahum” (satu orang dari mereka),
berarti tidak boleh hukumnya mengangkat pemimpin lebih dari satu. Dan jika
untuk tiga orang dalam perjalanan saja tidak boleh mengangkat pemimpin lebih
dari satu, maka berdasarkan mafhum muwafaqah (makna tersirat yang bersesuaian
dengan makna tersurat), berarti lebih tidak boleh lagi ada lebih dari satu
khalifah bagi seluruh kaum muslimin di seluruh dunia. (Imam Syaukani, Nailul
Authar, 8/265).
Kedua, sabda Rasulullah SAW :
ومن
بايع إماما،
فأعطاه صفقة
يده وثمرة
قلبه، فليطعه
إن استطاع.
فإن جاء آخر
ينازعه
فاضربوا عنق الآخر
“Dan siapa saja yang membaiat seorang Imam
(Khalifah), lalu memberikan kepadanya genggaman tangannya dan buah hatinya,
maka hendaklah dia mentaatinya dengan sekuat kemampuannya. Maka jika datang
orang lain yang hendak mencabut kekuasaan Imam itu, maka penggallah leher orang
lain itu.” (HR Muslim no
1844).
Ketiga, sabda Rasulullah SAW :
إذا
بويع
لخليفتين،
فاقتلوا
الآخر منهما
“Jika dibaiat dua orang khalifah, maka
bunuhlah yang terakhir dari keduanya.” (HR Muslim no 1853).
Keempat, sabda Rasulullah SAW :
من
أتاكم،
وأمركم جميع،
على رجل واحد،
يريد أن يشق
عصاكم، أو
يفرق
جماعتكم،
فاقتلوه
“Siapa saja yang datang kepada kalian --sedangkan
urusan kalian seluruhnya ada pada satu orang laki-laki (Khalifah)-- [orang yang
datang itu] hendak memecah belah kesatuan kalian dan mencerai-beraikan jamaah
kalian, maka bunuhlah dia.” (HR Muslim no 1852).
Kelima, sabda Rasulullah SAW :
كانت
بنو إسرائيل
تسوسهم
الأنبياء.
كلما هلك نبي
خلفه نبي.
وإنه لا نبي
بعدي. وستكون
خلفاء فتكثر)
قالوا: فما تأمرنا؟
قال (فوا
ببيعة الأول
فالأول.
وأعطوهم حقهم.
فإن الله
سائلهم عما
استرعاهم
“Dahulu Bani Israil
diatur oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi wafat, dia digantikan
oleh nabi yang lain. Dan sesungguhnya tidak ada lagi nabi sesudahku. Yang akan
ada adalah para khalifah dan jumlah mereka akan banyak. Mereka [para shahabat]
bertanya,’Lalu apa yang Engkau perintahkan kepada kami [ketika khalifah
jumlahnya banyak]?” Nabi SAW bersabda,”Penuhilah baiat untuk khalifah yang
pertama, yang pertama. Berikanlah kepada mereka hak mereka. Sesungguhnya Allah
akan bertanya kepada mereka mengenai urusan rakyat yang diamanahkan kepada mereka
.” (HR Muslim no 1842).
Setelah memaparkan lima hadits di atas, Syekh Mahmud
Abdul Majid Al Khalidi berkata :
هذه
الأحاديث
الخمسة، وهي
أحاديث
صحيحة، تدل
دلالة واضحة
على وحدة
الخلافة، و
أنه لا يجوز
أن يكون للمسلمين
إلا دولة
واحدة.
“Lima hadits ini –dan ia adalah hadits-hadits yang
shahih– menunjukkan dengan jelas mengenai kesatuan (ketunggalan) Khilafah, dan
bahwa tidak boleh kaum muslimin mempunyai negara kecuali satu negara saja.”
(Mahmud Abdul
Majid Al Khalidi, Qawa’id
Nizham Al Hukm fil Islam, hlm. 316).
Dalil kedua, yaitu Ijma’ Shahabat (kesepakatan para shahabat Nabi SAW) juga menegaskan ketunggalan Khilafah bagi kaum
muslimin. Ijma’ Shahabat iu terwujud pada saat pertemuan para shahabat Nabi di
Saqiifah Bani Saa’idah untuk membicarakan pemimpin umat pengganti Rasulullah
SAW yang telah wafat. Pada saat itu, seorang shahabat Nabi dari golongan Anshar,
yakni Al Hubab Ibnul Mundzir mengusulkan,”Dari kami seorang pemimpin, dan dari
kalian seorang pemimpin (minna amiir wa minkum amiir).” Maka Abu Bakar Shiddiq dengan tegas membantah
perkataan Al Hubab Ibnul Mundzir itu dengan berkata :
أنه
لا يحل أن
يكون
للمسلمين أميران
“Sesungguhnya tidaklah
halal kaum muslimin mempunyai dua orang pemimpin.” (HR Al Baihaqi, Sunan Baihaqi, Juz 8 hlm. 145). Perkataan
Abu Bakar Shiddiq itu didengar oleh para shahabat dan tak ada seorang pun yang mengingkarinya. Maka terwujudlah di sini Ijma’
Shahabat (kesepakatan para shahabat Nabi) mengenai
ketunggalan Khilafah. (Mahmud Abdul Majid Al Khalidi, Qawa’id
Nizham Al Hukm fil Islam, hlm. 316).
Tarjih
Pendapat yang rajih (lebih kuat) adalah
pendapat kedua, yaitu pendapat jumhur ulama, termasuk mazhab yang empat, yang
menetapkan wajibnya wahdatul Khilafah (ketunggalan Khilafah) dan
haramnya lebih dari satu orang khalifah bagi seluruh umat Islam. Alasan
pentarjihan pendapat jumhur tersebut adalah sebagai berikut :
Pertama, pendapat yang membolehkan lebih dari satu khalifah,
hanya didukung oleh dalil akli, bukan dalil syar’i, baik ayat Al Qur`an maun Al
Hadits. Padahal masalah yang dibahas adalah hukum syar’i yang dalilnya wajib
dalil syar’i, bukan dalil aqli. Dalam pembahasan hukum syar’i, dalilnya wajib
dalil syar’i, bukan dalil aqli, sesuai dengan definisi hukum syar’i itu
sendiri, yaitu sbb :
الحكم
الشرعي هو
خطاب الشارع
المتعلق
بأفعال
العباد
“Hukum syar’i adalah khithab (seruan/firman) dari
Allah sebagai Pembuat Syariah yang berkaitan dengan perbuatan para hamba.”
Yang dimaksud Khithaabus Syaari’ adalah dalil
syar’i, yaitu apa-apa yang terdapat dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, dan
apa yang ditunjukkan oleh keduanya, yaitu Ijma’ dan Qiyas, bukan yang lain
(dalil akli).
Kedua, pendapat yang membolehkan lebih dari satu khalifah,
pada sebagiannya, khususnya pendapat Al Juwaini, Al Isfaroyini, dan Al
Baghdadi, sebenarnya menunjukkan hukum dalam kondisi darurat (rukhsah),
seperti adanya lautan atau musuh yang memisahkan dua khalifah. Jadi pendapat
tersebut bukan menunjukkan hukum asal (azimah).
Artinya, sebenarnya pendapat yang membolehkan
lebih dari satu khalifah itu, mengakui hukum asal (azimah) yang ada,
yaitu wajib tunggalnya Khilafah (wahdatul Khilafah) dan haram Khilafah
lebih dari satu (berbilang). Syekh Al Marakby menganalisis pendapat pertama
tersebut dengan berkata :
فالأصل
عدم جواز التعدد
فإذا استدعت
الضرورة ذلك
جاز...فالتعدد
محظور أصلا
أباحته
الضرورة فإذا
زالت الضرورة
حرم التعدد
“[Pendapat yang membolehkan berbilangnya
Khilafah tersebut] hukum asalnya sebenarnya tak membolehkan berbilangnya
Khilafah. Jika kondisi darurat mengharuskan berbilangnya Khilafah, barulah
boleh ada lebih dari satu Khilafah. Jadi berbilangnya Khilafah hukum asalnya
haram, yang dibolehkan oleh kondisi darurat. Maka jika kondisi darurat ini
lenyap, haram hukumnya Khilafah lebih dari satu.” (Jamal Ahmad Sayyid Jaad Al Marakbi, Al Khilafah
Al Islamiyyah Bayna Nuzhum Al Hukm Al Mu’ashirah, hlm. 65-66)
Ketiga, pendapat kedua tersebut, yang mewajibkan ketunggalan
Khilafah, didukung oleh dalil-dalil syar’i yang sangat kuat dari As Sunnah dan
Ijma’ Shahabat. Sebagai contoh, hadits Nabi SAW :
إذا
بويع
لخليفتين،
فاقتلوا
الآخر منهما
“Jika dibaiat dua orang khalifah, maka
bunuhlah yang terakhir dari keduanya.” (HR Muslim no 1853).
Imam Nawawi dalam Syarah Nawawi ‘Ala Shahih Muslim memberi syarah (penjelasan) hadits tersebut dengan
berkata :
إذا
بويع الخليفة
بعد خليفة،
فبيعة الأول
صحيحة يجب
الوفاء بها و
بيعة الثاني
باطلة يحرم الوفاء
بها...وهذا هو
الصواب الذي
عليه...جماهير
العلماء
“Jika dibaiat seorang khalifah setelah
khalifah [sebelumnya], maka baiat untuk khalifah pertama hukumnya sah yang
wajib dipenuhi. Sedang baiat untuk khalifah kedua hukumnya batal yang haram
untuk dipenuhi...Inilah pendapat yang benar yang menjadi pendapat jumhur ulama.” (Imam
Nawawi, Syarah Nawawi ‘Ala Shahih Muslim, Juz XII hlm. 231).
Dengan demikian, jelaslah
bahwa pendapat jumhur inilah yang
pendapat yang benar (shawab) dan pendapat yang lebih kuat (rajih).
Pendapat ini pula yang menjadi pendirian dari imam
mazhab yang empat, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal, radhiyallahu
‘anhum. Syekh Abdurrahman Al
Jaziri menjelaskan pendapat empat imam mazhab mengenai ketunggalan Khilafah (wahdatul
Khilafah) tersebut sebagai berikut:
وقال
الشيخ
عبد الرحمن
الجزيري (1360 ه) : )
إِتَّفَقَ
اْلأَئِمَّةُ
رَحِمَهُمُ
اللهُ تَعَالىَ
عَلىَ أَنَّ
اْلإِمَامَةَ
فَرْضٌ وَأَنَّهُ
لاَ بُدَّ لِلْمُسْلِمِيْنَ
مِنْ إِمَامٍ
يُقِيْمُ شَعَائِرَ
الدِّيْنِ
وَيُنْصِفُ
الْمَظْلُوْمِيْنَ
مِنَ
الظَّالِمِيْنَ
وَعَلىَ أَنَّهُ
لاَ يَجُوْزُ
أَنْ
يَكُوْنَ
عَلىَ الْمُسْلِمِيْنَ
فِيْ وَقْتٍ
وَاحِدٍ فِيْ
جَمِيْعِ
الدُّنْيَا
إِمَامَانِ
لاَ مُتَّفِقَانِ
وَلاَ
مُفْتَرِقَانِ ). الفقه
على المذاهب
الأربعة ج 5 ص 416
Syeikh Abdurrahman Al Jaziri berkata (w. 1360 H), ”Telah sepakat para imam [yang empat; Abu
Hanifah. Malik, Syafi’i, dan Ahmad] bahwa Imamah (Khilafah) adalah fardhu; dan
bahwa tak boleh tidak kaum muslimin harus mempunyai seorang Imam yang
menegakkan syiar-syiar agama dan melindungi orang-orang yang dizhalimi dari
orang-orang zhalim; dan bahwa tak boleh kaum muslimin pada waktu yang sama di
seluruh dunia mempunyai dua Imam, baik keduanya sepakat maupun bertentangan.”
(Abdurrahman Al Jaziri, Al Fiqh ‘Ala Al Madzahib Al Arba’ah, V/416).
Kesimpulan
Dari kajian di atas dapat diambil 5 (lima) kesimpulan sebagai berikut;
Pertama, tidak ada ikhtilaf mengenai wajibnya mengangkat
khalifah (nashbul khalifah).
Kedua, tidak ada ikhtilaf mengenai tidak bolehnya
mengangkat dua khalifah pada daerah yang sama (fi suq’in wahidin).
Ketiga, ikhtilaf yang ada hanyalah mengenai hukum mengangkat
dua khalifah jika keduanya berada pada dua daerah yang berjauhan.
Keempat, jika terdapat dua daerah yang berjauhan, ada dua
pendapat : sebagian ulama membolehkan berbilangnya Khilafah, sedangkan jumhur
ulama mengharamkan berbilangnya Khilafah dan tetap mewajibkan ketunggalan
Khilafah (wahdatul Khilafah).
Kelima, pendapat yang rajih (lebih kuat) adalah
pendapat jumhur ulama yang menyatakan bahwa jika dua daerah berjauhan maka haram
hukumnya mengangkat dua khalifah dan tetap wajib adanya ketunggalan Khilafah (wahdatul
Khilafah). Wallahu a’lam.
Telah tersedia di http://www.slideshare.net/IslamBerkuasa/khilafah-wajib-tunggal-atau-boleh-berbilang
BalasHapus