]وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ
وَنَقْصٍ مِّنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ
الصَّابِرِينَ -الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا
لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ[
"Sesungguhnya Kami akan menguji kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan serta kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, yaitu orang-orang yang jika ditimpa musibah, mereka mengucapkan, “Inna lilLahi wa inna ilayhi raji’un.” (Qur'an Surat al-Baqarah [2]: 155-156).
Ayat di atas memang memuji sikap sabar dalam menghadapi musibah. Namun, mengeksploitasi sikap sabar untuk membangun kepasifan dan kepasrahan tentu keliru. Ayat ini juga mendeskripsikan sikap istirja’, mengembalikan sesuatu kepada Allah SWT. Itu merupakan cerminan dari keridhaan terhadap qadha’ itu. Namun, ayat ini bukan berarti mensyariatkan untuk bersikap pasif dan pasrah saja terhadap musibah. Ambil contoh, terhadap musibah berupa sakit, yang merupakan qadha’ dari Allah, syariah tidak mensyariatkan agar kita pasrah saja, tetapi juga mensyariatkan untuk berobat. Sabar itu adalah menerima dan ridha terhadap qadha’ sekaligus diiringi dengan sikap aktif untuk mengubah keadaan dan keluar dari musibah itu. Sikap sabar seperti itulah yang harus dikembangkan dalam menyikapi musibah.
]ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ
أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ
يَرْجِعُونَ[
"Telah tampak kerusakan di darat dan di laut karena perbuatan manusia supaya Allah menimpakan kepada mereka sebagian akibat dari perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar)" (QS ar-Rum [30]: 41)
Ayat ini sekaligus menunjukkan sikap yang seharusnya dalam menyikapi semua bentuk fasad, yaitu kembali ke jalan yang benar. Bagi pembuat fasad sikap itu adalah dengan menghentikan perbuatan fasad itu. Masyarakat juga mesti berusaha menghilangkan fasad itu. Untuk itu Islam mensyariatkan agar umat melakukan amar makruf nahi mungkar serta menasihati dan mengoreksi. Tujuannya agar pihak yang menyimpang dari Syariah segera menghentikan fasad itu dan kembali ke jalan yang benar. Hal itu bukan sebagai sikap reaktif melainkan sebagai upaya memenuhi kewajiban syariah. Allah menyediakan pahala yang besar bagi siapa saja yang melakukan kewajiban itu. Bahkan andai orang yang melakukan itu dibunuh oleh penguasa yang dia nasihati maka dia mendapatkan pahala seperti yang diperoleh Hamzah bin Abdul Muthallib sebagai sayidusy-syuhada (pemimpin para syuhada). Demikian sebagaimana dinyatakan dalam hadis Rasul Saw. riwayat Imam Ahmad.
Ubadah bin ash-Shamit ra. berkata: Rasulullah saw. telah menyeru kami. Lalu kami membaiat beliau dalam perkara yang beliau syaratkan atas kami, yakni agar kami berbaiat untuk mendengar dan taat dalam apa yang kami suka atau kami benci, dalam kemudahan atau kesulitan kami; agar kami mengutamakan beliau atas diri kami;... (HR al-Bukhari dan Muslim).
Kesadaran spiritual itu haruslah membangkitkan energi untuk melakukan perbaikan, meluruskan penyimpangan, melakukan ketaatan dan kembali menempuh jalan dan menerapkan sistem yang benar, jalan dan sistem yang bersumber dari wahyu Allah Ta’ala.
Kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail seharusnya menjadi teladan bagi kita saat ini. Tidak hanya teladan dalam pelaksanaan ibadah haji dan ibadah qurban, namun juga teladan dalam berjuang dan berkorban demi terwujudnya ketaatan kepada hukum-hukum Allah Swt secara kaffah. Sungguh, kini banyak hukum Allah Swt yang diabaikan, khususnya syariah Islam yang berkaitan dengan pengaturan kehidupan bermasyarakat dan bernegara, baik dalam bidang pemerintahan, ekonomi, sosial, hukum pidana, pendidikan, politik luar negeri dan sebagainya.
Belum diamalkannya syariah Islam secara kaffah dalam kehidupan kita inilah yang menyebabkan kehidupan kaum Muslimin terpuruk dan terjajah. Saudara-saudara kita di Suriah, Mesir, Palestina, Iraq, Afghanistan, Xinjiang, Chechnya, Rohingya, Thailand Selatan, Filipina Selatan dan lainnya, dijajah, disiksa, dibantai dan banyak yang diusir dari negerinya, tanpa ada yang melindungi dan membelanya.
Sementara di negeri Indonesia, penduduk terhimpit kemiskinan, harga-harga kebutuhan pokok terus membumbung tinggi, pendidikan mahal tapi kualitasnya rendah, kekayaan alam kita dikeruk oleh korporasi asing, layanan kesehatan makin mahal, budaya kufur seperti Kontes ajang kecantikan semakin marak, dan korupsi kian merajalela. Korupsi yang melibatkan tiga pilar sistem negara demokrasi sekaligus yakni yudikatif, legislatif, dan eksekutif. Demokrasi memang terus melahirkan korupsi.
Sungguh, pangkal keterpurukan ini bersumber pada satu hal yakni penyimpangan terhadap aturan Allah Swt. Ini karena kaum Muslim berpaling dari Al-Quran. Keadaan itu telah diterangkan oleh Allah Swt dalam QS. Thaha 124:
]وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكاً وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى[
“Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku maka sesungguhnya baginya kehidupan yang sempit dan Kami akan mengumpulkan dia pada Hari Kiamat nanti dalam keadaan buta…”.
Menurut Imam Ibnu Katsir makna “berpaling dari peringatan-Ku” adalah: menyalahi perintah-Ku dan apa yang Aku turunkan kepada Rasul-Ku, melupakannya dan mengambil petunjuk dari selainnya (Tafsir al-Quran al-‘Azhim, V/323).
Sedangkan penghidupan yang sempit tidak lain adalah kehidupan yang semakin melarat, miskin, sengsara, menderita, terjajah, teraniaya, tertindas dan sebagainya, sebagaimana yang terjadi di negeri-negeri Muslim sekarang.
Umat Islam harus bangkit dan siap berjuang untuk mewujudkan perubahan besar dunia menuju penerapan syariah Islam secara kaffah, sebagaimana yang diinginkan oleh Allah Swt melalui firman-Nya dalam QS. Al-Baqarah: 208:
]يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ ادْخُلُواْ فِي السِّلْمِ
كَآفَّةً وَلاَ تَتَّبِعُواْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ
عَدُوٌّ مُّبِينٌ[
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kalian menuruti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu”.
Untuk menerapkan syariah Islam secara kaffah dalam semua aspek kehidupan, baik individu, masyarakat, dan negara, dibutuhkan institusi yang mewadahinya. Institusi tersebut tidak lain adalah Khilafah Islamiyah yang berfungsi sebagai munaffidzah al-syarî’ah atau pelaksana syariah. Hanya dengan Khilafah, Islam dapat ditegakkan secara sempurna dan hukum-hukumnya dapat ditegakkan secara menyeluruh. Inilah yang hilang dari dunia Islam karena Khilafah diruntuhkan pada tahun 1924 sehingga semua hukum Islam ditelantarkan hingga sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar