Amerika saja, dengan
hanya 6% dari populasi dunia, mengkonsumsi 30% sumberdaya dunia.
20% orang dari
populasi dunia mengkonsumsi lebih dari 70% total sumberdaya materi, dan
memiliki lebih dari 80% kekayaan dunia. Meskipun elit global ini terdiri dari
orang-orang dari semua negara, konsentrasi utamanya ada di Barat, negara-negara
konsumeris: AS, Kanada, Eropa Barat, Arab Saudi, Australia dan Jepang.
Penting dipahami
bahwa elit ini tidak semata terdiri dari strata super kaya dengan pendapatan
lebih dari setengah juta pounds per tahun, tapi ia juga terdiri dari mayoritas
warga negara-negara itu (yang mana mereka berstandar hidup tinggi). Juga kaum
elit kaya dari negara yang umumnya miskin seperti India, Ekuador, Kenya, dll:
dengan kata lain, kelas konsumen kaya dunia.
Orang Barat
dibiasakan untuk percaya bahwa di dunia terdapat kekurangan produksi makanan.
Padahal tidak benar ada kekurangan makanan. Dunia telah memproduksi cukup
makanan pokok untuk mensuplai setiap individu dengan lebih dari 2.500 kalori
per hari: jumlah ini tidak termasuk buah-buahan, kacang-kacangan ataupun
sayuran. Maka dunia tidak bisa dikatakan terjadi overpopulasi.
Asia, Afrika,
Amerika Latin, Amerika Tengah dan Kepulauan Pasifik sering disebut-sebut
memiliki terlalu banyak populasi. Tapi hanya sedikit dari negara-negara di
kawasan tersebut memiliki kepadatan penduduk yang cukup signifikan lebih banyak
daripada Inggris, Jepang, Jerman ataupun Belanda, di mana sedikit prosentase
populasi mengalami kurang gizi. Mayoritas negara-negara kurang gizi memiliki
kepadatan penduduk jauh di bawah contoh-contoh itu. Bahkan Ethiopia,
Mozambique, dan Bangladesh, negara-negara yang hampir sinonim dengan
overpopulasi dan kekurangan, punya sumberdaya pertanian yang sebenarnya cukup
untuk memberi makan penduduknya.
Apa yang menyebabkan
kelaparan global bukanlah kekurangan sumberdaya, tapi distribusi yang tidak
adil yang lebih memihak kaum kaya. Tidak ada solusi untuk kemiskinan global
yang bisa mengabaikan fakta ini. Mengakhiri kemiskinan dunia berarti
mendistribusikan dengan adil makanan, sumberdaya dan kekayaan dunia. Hal ini
tidaklah cocok dengan konsumerisme, ingin terus lebih banyak mengkonsumsi.
Kemiskinan adalah
"hasil-sampingan" dari sistem di mana kita hidup sekarang dan kita
bertanggung jawab atasnya. Kemiskinannya kaum miskin bukanlah semata menjadi
pendorong untuk perbuatan dermawan, tapi menjadi kebutuhan yang mendorong
dibangunnya tatanan baru.
Para pendukung
konsumerisme kapitalisme menawarkan 'pertumbuhan ekonomi' sebagai solusi atas
kemiskinan dunia. Mereka menawarkan bahwa bangsa-bangsa dan individu-individu
yang kekurangan pada saatnya akan bisa mencapai standar hidup seperti strata
berkecukupan melalui penciptaan kekayaan secara 'trickle down', yaitu berbelanjanya kaum
kaya akan memberi kaum miskin sesuatu untuk dimakan.
Tapi jelas, kekayaan
tetap beredar di kaum kaya meski ada pertumbuhan kaum menengah. Jika
"upaya" memunculkan trickle-down effect ini diteruskan, yang terjadi
adalah sedikit bertambahnya kaum kaya dan banyak bertambahnya kaum miskin
karena dalam kapitalisme, bisnis besar memakan bisnis kecil, kapitalis juga
"memakan" sumberdaya hajat hidup orang banyak, maka wong cilik juga
hidup dengan harus kesulitan berusaha, kesulitan membayar energi, pendidikan,
pajak, kesehatan, bahkan air.
Amerika Serikat,
yang punya 6% dari populasi dunia, menggunakan 30% suplai energi dunia. 20%
populasi dunia -kelas konsumen kaya- bertanggung jawab atas lebih dari 50%
polutan atmosferik, 90% gas CFC pengikis ozone, 96% limbah radioaktif dunia…
dan seterusnya.
Tidak ada kritikus
serius masalah lingkungan yang menyangkal bahwa tingkat polusi dunia dan
degradasi lingkungan saat ini adalah parah, dan perlu ditangani secara
signifikan/ ekstrim untuk mencegah kerusakan permanen atas ekosistem.
Dalam hal teknologi mobil, hingga saat ini masih didominasi berbahan bakar fosil, bermesin piston, yang mana semestinya dapat bermesin lebih efisien serta berbahan bakar terbarukan. Sebanyak sekitar 450 juta kendaraan telah bertanggung jawab atas 13% emisi karbon dunia, dan ikut andil terhadap terjadinya hujan asam.
Banyak perhatian
(dan lebih banyak lagi lip-service) muncul terhadap masalah polusi dan degradasi
lingkungan. Dan upaya untuk menemukan aktivitas industri dan ekonomi yang ramah
lingkungan serta berkelanjutan telah menjadi agenda banyak pihak. Penerapan
praktek industri yang ramah lingkungan tentu akan membutuhkan biaya yang sangat
besar, di mana hal semacam ini tidak akan bisa disetujui oleh para kapitalis
dengan sistem kapitalismenya. Sementara penguasa dengan demokrasinya terbukti
suka "jual diri", ingin "dibeli" oleh para kapitalis. Jika
ada banyak orang yang menolak untuk "dibeli" oleh para kapitalis,
maka para kapitalis itu akan menemukan banyak manusia yang mau
dibayar untuk menjadi "boneka" yang menjalankan demokrasi.
Sumber data: http://www.enough.org.uk/enough02.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar