Unduh BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Senin, 09 Juli 2018

Dakwah HTI Di Hadapan Sekularisme-Liberalisme


Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta menjadi alat legitimasi penguasa bagi propaganda perang melawan radikalisme. Meski ini adalah persidangan yang menangani sengketa tata usaha negara yakni soal administrasi negara, nyatanya selama persidangan kuasa hukum pemerintah lebih banyak mempermasalahkan ide-ide dakwah HTI, terutama ide khilafah. Objek sengketa yakni SK pencabutan BHP HTI justru sedikit sekali dibahas oleh kuasa hukum pemerintah -dikenal pro liberal dan ada yang kafir.

Pandangan majelis hakim setali tiga uang dengan kebijakan pemerintah selama ini yang memandang Islam sebagai ancaman. Dan di pengadilan, nuansa anti khilafah dan anti syariah Islam itu sangat kental, baik yang disampaikan oleh kuasa hukum pemerintah maupun saksi dan para ahli dari rezim Jokowi. Mereka misalnya, mempermasalahkan larangan wanita dan orang kafir menjadi pemimpin, bahasa Arab sebagai bahasa negara, dan lainnya.

Apa yang terjadi di ruang persidangan itu mengingatkan pada pernyataan Presiden Jokowi sebelumnya. Jokowi menyebut bahwa ancaman negara bukanlah komunisme, melainkan radikalisme dan paham garis keras [baca: Islam]. ”Jangan sampai kampus-kampus menjadi lahan penyebaran ideologi anti-Pancasila, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika," kata Presiden.

Lebih jelas lagi disampaikan KapoIri Jend (Pol) M Tito Karnavian. Pada satu kesempatan ia menyebut, tujuan dari radikalisme selalu ingin melemahkan keberadaan pemerintah, guna mengambil keuntungan politik dengan ancaman kekerasan. ”Tujuannya, mendelegitimasi pemerintah, dengan ancaman kekerasan. itulah tujuannya mendelegitimasi pemerintah sampai tidak mampu melindungi warganya, nah di mana posisi radikalisasi, pengambilalihan kekuasaan,” tambahnya.

Upaya pemerintah menggiring kasus di dalam PTUN ke arah materiil itu kian terlihat ketika rezim mengajukan ahli Ansyaad Mbai. Mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) ini menyebut radikalisme lebih bahaya dari terorisme.

Dalam pandangan ahli pemerintah, khilafah adalah ancaman nyata. Sistem pemerintahan Islam ini dinilai tidak cocok bagi Indonesia karena Indonesia sudah memiliki kesepakatan yang tidak boleh diubah alias harga mati. Bahkan menurut Rektor UIN Sunan Kalijaga Prof. Yudian Wahyudi, siapa yang ingin mengganti Pancasila berarti memberontak kepada Allah, dengan alasan umat Islam tidak boleh mengkhianati kesepakatan.

Yang menarik, para ahli pemerintah ini seakan tak peduli dengan pernyataan para ulama masyhur bahwa menegakkan khilafah hukumnya wajib. Mereka pun tak peduli bahwa tak ada ulama yang menentang kewajiban itu. Bagi mereka yang penting, NKRI harga mati.

Rezim ini pun tak peduli dengan penjelasan dan argumentasi HTI tentang perjuangannya. Juru bicara HTI M. Ismail Yusanto berulang kali menegaskan, khilafah itu justru untuk menyelamatkan negeri ini dari ancaman neoliberalisme dan neoimperialisme. Syariah, sebagai salah satu substansi dari khilafah, akan menggantikan liberalisme. Sedang persatuan umat, akan mencegah negeri ini makin masuk ke dalam cengkeraman neoimperialisme.

Menurutnya, dengan putusan PTUN ini, publik semakin mendapatkan bukti bahwa rezim yang tengah berkuasa saat ini adalah rezim represif anti-Islam. Sebelumnya, mereka melakukan kriminalisasi terhadap para ulama, bahkan di antaranya ada yang masih ditahan hingga sekarang, lalu melakukan pembubaran atau penghalangan terhadap kegiatan dakwah di sejumlah tempat. Sementara di saat yang sama, rezim justru dengan sekuat tenaga melindungi penista Al-Qur’an, membiarkan terjadinya ketidakadilan hukum, politik dan ekonomi terhadap umat dan tokoh Islam.

Secara global, langkah rezim ini seirama dengan politik Amerika Serikat. Dewan penasihat keamanan Donald Trump menyatakan, kini Amerika Serikat sedang berperang dengan "terorisme radikal Islam," atau "Islam radikal", atau sesuatu yang lebih luas lagi, seperti "Islamisme." Mereka menggambarkan perang ini sebagai perjuangan ideologis untuk melestarikan/ mempertahankan peradaban Barat, seperti perang melawan Nazisme dan komunisme.

Mereka menyebut, perang ini tidak terbatas pada Muslim ekstremis Sunni atau Syiah ekstremis, tapi Islam secara menyeluruh, khususnya mereka yang ingin mengambil kekuasaan negara.

Lanjutkan Perjuangan

Ismail menegaskan, dakwah adalah kewajiban yang dibebankan kepada seluruh kaum Muslim. Dakwah yang dimaksud mencakup seluruh ajaran Islam dari A sampai Z, menyangkut urusan pribadi, keluarga, masyarakat, hingga negara.

Ia mengingatkan, perubahan adalah sebuah keniscayaan. Yang bisa mengubah negeri ini sepenuhnya adalah rakyat sendiri, bukan organisasi manapun. HTI, katanya, hanya menawarkan konsep-konsep perubahan ke arah yang lebih baik kepada masyarakat yang digali dari Al-Qur’an dan Sunnah.

Pihaknya yakin, dengan melaksanakan syariah secara kaffah, Indonesia akan berubah menjadi lebih baik dan mendapatkan berkah dari Allah SWT. Selain itu, khilafah adalah solusi permasalahan yang melanda negeri ini dan dunia pada umumnya.

HTI Bukan Kelompok Terlarang

Kuasa Hukum Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra menegaskan, hingga saat ini status ormas Islam HTI bukan ormas terlarang.

Yusril mengatakan bahwa meski status Badan Hukum Perkumpulan (BHP) HTI sudah dicabut, bukan berarti ormas tersebut tidak bisa beraktivitas. “Yang dicabut adalah status badan hukum HTI, tetapi bukan berarti HTI tidak bisa beraktivitas karena mereka punya hak untuk berorganisasi dan beraktivitas, apalagi aktivitas dakwah Islam," jelasnya dalam jumpa wartawan, Selasa (8/5/2018) di Kantor DPP HTI, Crown Palace, Jakarta.

“Jadi kalau Hizbut Tahrir tidak berbadan hukum, ya tidak dilarang," bebernya.

“Apakah ada Ormas tidak berbadan hukum? Banyak Ormas yang tidak berbadan hukum, apalagi OTB, organisasi tanpa bentuk, lebih banyak lagi,” ungkapnya.

Ajaran Islam Ingin Dikalahkan?

Di persidangan justru terungkap bahwa ide-ide yang disebarkan oleh HTI bukanlah sesuatu yang baru. HTI hanya menyebarkan ajaran Islam. Ajaran itu bahkan mewarnai sejarah umat manusia selama berabad-abad lamanya.

Buku-buku populer dengan sangat tegas membuktikan bahwa khilafah adalah ajaran Islam. Misalnya saja:
·      Buku Khalifah (Kepala Negara) Sepanjang Pimpinan Al Quraan dan Sunnah (cetakan kedua, Tahun 1984) Karya KH. Moenawar Khalil, Penerbit CV. Ramadhani, Solo.
·      Ada juga buku fiqih Islam Wa Adillatuhu (Jihad, Pengadilan dan Mekanisme Mengambil Keputusan, Pemerintahan dalam Islam) ditulis Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili diterbitkan oleh Penerbit Gema Insani Jakarta pada tahun 2011;
·      Buku Ensiklopedi Islam 3 (cetakan kesembilan), diterbitkan oleh PT. Ichtiar Baru Van Hoeve Jakarta pada tahun 2001;
·      Buku Al-Ahkam Sulthaniyyah (Hukum-Hukum Penyelenggaraan Negara dalam Syariat Islam), ditulis Imam Al-Mawardi, diterbitkan oleh PT. Darul Falah, Bekasi pada Tahun 2006;
·      Buku Fiqh Islam (Hukum Fiqh Lengkap) cetakan ke-77, Penulis: H. Sulaiman Rasjid, diterbitkan oleh Sinar Baru Algesindo Bandung, pada tahun 2017;
·      Dan buku Tarikh Khulafa (Sejarah Penguasaan Islam, Khulafa'urasyidin, Bani Umayyah, Bani Abbasiyyah) Cetakan ke 13, ditulis oleh Imam As-Suyuthi, diterbitkan oleh Pustaka Al-Kautsar, Jakarta pada tahun 2017.
Semua buku tersebut mengupas dengan jelas tentang khilafah, bahwa khilafah adalah ajaran Islam dalam bidang pemerintahan.

Lebih lanjut, saksi ahli Dr. Daud Rasyid MA menyatakan, ”Jadi sebenarnya dalam disiplin keilmuan tidak ada orang yang mempertanyakan khilafah itu perlu atau tidak. Karena dia adalah sebuah keharusan dalam rangka untuk menegakkan hukum syariah Al-Qur’an, membawa syariah, syariah itu berarti hukum. Di antaranya hukum mengenai ibadah, ada hukum mengenai hukum publik menyangkut pidana, hukum dagang, bahkan sampai hukum internasional. Maka itu semua hukum ketika akan dilaksanakan harus melalui kekuasaan. Maka kekuasaan itu adalah yang dikatakan dengan khilafah.”

Ia menegaskan dalam kesaksiannya: "Jadi khilafah ini di dalam hadits, terang, jelas, tidak ada yang bisa untuk menutup-nutupinya, dan dia sudah menjadi fakta sejak zaman Khulafaur Rasyidin.”

Hal yang sama ditegaskan Prof. Dr. KH Didin Hafiduddin. "Iya, benar khilafah itu Ajaran Islam. Khilafah itu kan terjadi dalam sejarah hampir 1200 tahun khilafah Islam. Artinya memang kenapa itu terjadi? Karena khilafah itu bagian dari ajaran Islam,” katanya di hadapan majelis hakim.

Ia kemudian menjelaskan bagaimana proses pembaiatan khilafah yang pertama dan selanjutnya. ”Jadi menurut saya masalah syariah apalagi masalah khilafah itu merupakan bagian dari ajaran Islam. Dan Hizbut Tahrir sebenarnya hanya mengingatkan kembali saja," tegasnya.

Bahkan ketika saksi ahli pemerintah yakni Achmad Ngishomudin ditanya apa hukumnya khilafah, ia menjawab: ”Hukum menegakkan khilafah di dalam kitab fikih lama seluruhnya adalah wajib.”

Maka, terbukti bahwa khilafah yang diperjuangkan HTI adalah bagian dari ajaran Islam. Sehingga pelarangan atas kegiatan HTI mendakwahkan khilafah sama artinya dengan melarang HTI menjalankan syariah Islam.

Dan menurut Prof. Suteki, pakar hukum dari Undip Semarang, mendakwahkan ajaran Islam tidak melanggar hukum.

Bacaan: Tabloid Media Umat edisi 219, 220

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Download BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam