Negeri ini dalam
kondisi darurat masalah. Mulai dari korupsi, kedisiplinan rendah, tawuran antar
pelajar sering terjadi, kriminalitas, narkoba, dan seabrek masalah lainnya.
Kondisi parah itu akhirnya mendorong evaluasi terhadap pendidikan. Banyak pihak
lantas mengusulkan perlunya ditanamkan pendidikan budi pekerti. Harapannya,
akan terjadi perbaikan pada problem-problem yang terjadi.
Namun ada seruan nyeleneh dari salah seorang eksekutif Megawati
Institute, Musdah Mulia. Melalui akun facebooknya, ia menyerukan untuk
menghapus pendidikan agama di sekolah mencontoh Singapura dan Australia.
Menurutnya Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong telah menegaskan bahwa
pemerintah tak akan mengizinkan pelajaran agama masuk ke dalam sekolah.
"Sejak PM Lee
Kuan Yew ditetapkan bahwa agama urusan pribadi, bukan urusan sekolah atau
negara. Keputusan itu diambil karena Lee Kuan Yew melihat pengajaran agama
justru menimbulkan perpecahan dan konflik, bukan perdamaian,” ungkap Musdah.
Ia menambahkan,
sebaliknya dengan Indonesia yang menjadikan pendidikan agama menjadi pelajaran
yang wajib di sekolah, tetapi malah tidak berdampak apapun dan seperti dengan
yang diucapkan oleh Lee Kuan Yew bahwa pendidikan agama justru menimbulkan
konflik.
"Bahkan, ada
Kementerian Agama yang memiliki jutaan pegawai di bidang agama, puluhan ribu
sekolah agama, ratusan ribu rumah ibadah, trilyunan rupiah untuk pembangunan
bidang agama. Namun hasilnya? Indonesia masuk negara terkorup di dunia, bahkan
korupsi pun marak di Kemenaterian Agama,” jelas Musdah.
Dosen UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta ini menjelaskan, semua orang di Indonesia yang beragama
akan taat terhadap agamanya apabila tidak berhadapan dengan uang, kekuasaan dan
proyek besar. Apabila sudah berhubungan, agama seperti tidak berarti lagi.
"Jadi, sebaiknya
ya untuk pendidikan agama di Indonesia alangkah baiknya dihapus saja supaya
bisa mencontoh negara yang sudah sukses, salah satu contohnya adalah
Australia,” tutup Musdah.
Nah sebagai gantinya,
sebagaimana sudah berlangsung dua tahun belakangan yakni dalam kurikulum 2013,
adalah pendidikan karakter. Pendidikan karakter ini diharapkan mampu membentuk
manusia indonesia yang bermoral berdasarkan nilai-nilai etika.
Hanya saja,
nilai-nilai etika seperti apa yang dijadikan landasan, masih menuai kritik.
Bagaimana pun karakter akan terbentuk berdasarkan prinsip hidup tertentu.
Ketika agama dihilangkan dan tidak jadi basis karakter anak didik, dapat
dipastikan akan lahir orang-orang berkarakter yang tidak agamis. Kalaupun
beragama, mereka sekuler.
Sekuler
Ketua Lajnah Siyasiyah
DPP Yahya Abdurrahman menilai, menghilangkan agama dari pendidikan
merupakan lontaran yang tidak akan muncul dari orang yang meyakini bahwa agama
mengajarkan kebaikan. Sebaliknya, lontaran seperti itu hanyalah mencerminkan
lontaran dengan dasar dan sudut pandang sekuler liberal. Keyakinan yang sejak
awal menempatkan agama hanya pada ranah privat/pribadi, dan tidak boleh ikut
campur sama sekali dalam ranah publik. Pandangan yang sejak awal memandang
agama sebagai penyebab masalah dan kekacauan di ranah publik.
Ia menjelaskan,
pandangan ini dulu lahir dilatarbelakangi oleh pemaksaan ajaran agama Nasrani
untuk mengatur urusan publik kemasyarakatan. Padahal di dalam agama Nasrani
tidak ada aturan dan tuntunan tentang pengaturan kehidupan publik yang
bersumber dari wahyu. Karenanya, ketika dipaksakan turut campur dalam urusan
publik maka yang lahir hanyalah aturan yang sebenarnya berasal dari para
pendeta dan berkolaborasi dengan raja/penguasa yang mengatasnamakan sebagai
aturan tuhan yang suci dan sakral. Wajar saja jika kemudian aturan yang
sebenarnya tidak bersumber dari agama itu menimbulkan masalah dan konflik.
Menurutnya, masalah
dan konflik itu sebenarnya bukan muncul dari agama melainkan muncul dari aturan
buatan manusia yang mengatasnamakan agama dan dianggap suci dan sakral yang
tidak boleh diutak-atik.
Aturan Nasrani ini
coba disamakan dengan Islam. Padahal, itu berbeda sama sekali dengan Islam.
Islam memiliki tuntutan dan aturan yang bersumber dari wahyu tentang pengaturan
urusan publik, termasuk bagaimana memberantas korupsi dan membangun karakter masyarakat
yang disiplin, bekerja keras, teratur, menghormati orang lain dan sebagainya.
Islam, jelasnya,
bersumber dari wahyu yang diturunkan oleh Allah yang Maha Bijaksana. Dan Allah
SWT telah menegaskan bahwa Islam diturunkan untuk menjadi rahmatan lil alamin.
Rahmatan lil alamin itu akan datang ketika
Islam itu diambil dan dijalankan seutuhnya. Itu artinya, ketika aturan Islam
tentang pengaturan urusan publik, tentang pengaturan urusan kemasyarakatan,
diambil dan dijalankan maka kerahmatan itu akan datang dan melingkupi kehidupan
masyarakat. ”Jadi Allah menegaskan ketika Islam diambil dan dijalankan
seutuhnya maka yang hadir bukanlah konflik melainkan kerahmatan.”
Menurut Yahya, sangat
minimnya korupsi di Singapura atau negara lainnya, maka sebenarnya itu tidak
ada hubungannya dengan penghilangan pendidikan agama dari sekolah. Dan masih
maraknya korupsi di negeri ini tidak ada hubungannya dengan adanya pendidikan agama
di sekolah. Minimnya korupsi itu sebenarnya lahir dari sistem pencegahan dan
pemberantasan korupsi dan penerapan sistem dan hukum itu. Sistem pencegahan dan
pemberantasan korupsi di Singapura yang relatif lebih baik dari negeri ini,
meski baik di Singapura maupun di negeri ini sistemnya sama-sama buatan manusia
yang tentu saja mengandung kelemahan. Masih maraknya korupsi di negeri ini
karena sistem dan hukum pencegahan dan pemberantasan korupsi di negeri ini
masih buruk dan lemah. ”Bahkan secara keseluruhan sistem dan hukum di negeri
ini masih buruk. Ditambah lagi penerapan hukum juga amburadul,” ungkapnya.
Adapun pendidikan
agama di sekolah yang dikatakan belum berdampak, kata Yahya, itu karena
pendidikan Islam di negeri ini masih dibingkai dengan akidah sekulerisme. Islam
dipelajari hanya sebagai pengetahuan yang jauh dari implementasi. Dengan
pengajaran Islam hanya sekedar sebagai pengetahuan, tidak menjadi keyakinan,
wajar saja jika pengaruhnya minim bahkan pada sebagian orang tampak seolah
tidak ada pengaruhnya. Namun itu bukan karena Islamnya yang buruk. Tetapi
karena pengajaran Islam yang jauh dari penanaman keyakinan, sekadar sebagai
pengetahuan, dan diajarkan bukan untuk diterapkan.
Hal yang sama juga
berkaitan dengan karakter disiplin, kerja keras, menghormati orang lain dan
sebagainya, maka jika hal itu belum tampak di masyarakat negeri ini, hal itu
lebih karena sistem, hukum, penanaman pemahaman dan pembentukan budaya seperti
itu belum berjalan sepenuhnya. “Penghilangan pendidikan agama dari sekolah
tidak akan pernah serta merta menjadikan masyarakat berdisiplin tinggi, punya
etos kerja, menghormati orang lain, tertib dan sebagainya,” katanya meyakinkan.
Emblem
Seragam Beraneka Ragam
Sebuah sekolah di
Makassar, Sulawesi Selatan, mewajibkan siswa-siswinya memasang emblem di
bajunya bertuliskan: “Aku Benci Korupsi" dan, “Aku Benci Narkoba”. Padahal
di baju mereka pun sudah ada kewajiban memasang emblem lain. Juga ada emblem
nama di dada kanan. Di lengan atas ada nama sekolah. Di saku ada emblem OSlS.
Maka bisa dibayangkan betapa ramainya pakaian seragam anak SMA itu.
Mungkin pihak sekolah
berpikir dengan emblem antikorupsi dan antinarkoba, murid-muridnya akan
meniauhi korupsi dan narkoba. Mungkinkah? Banyak pihak menyangsikan. Soalnya,
karakter antikorupsi dan antinarkoba tak tergantung emblem. Terlalu sederhana
itu masalahnya.
---
Bacaan: Tabloid Media
Umat edisi 155
Tidak ada komentar:
Posting Komentar