“Putra-putri negeri
Muslim menjadi kelinci percobaan yang dididik dengan cara Barat yang menyalahi
metodologi pengajaran Islam yang benar," kata Ketua DPP Muslimah Ummu Fadhillah dalam Konferensi Perempuan lnternasional
(KPI) di Jakarta, Sabtu (11/3).
Di hadapan peserta
Konferensi Perempuan Internasional, ia mengemukakan ini terjadi tidak lepas
dari sistem pendidikan sekuler. Sistem pendidikan tersebut tak memberikan
solusi jitu bagi perubahan ke arah yang lebih baik. Tidak ada patokan yang
jelas.
Tak mengherankan
kurikulum berulang kali berganti. Dan ternyata, perubahan itu tak juga
meningkatkan kualitas anak didik. Sertifikasi guru pun dinilai tak serta-merta
menyejahterakan para guru, apatah lagi meningkatkan dedikasinya. Sementara,
arah riset mahasiswa dikendalikan korporasi, menjebak mereka menjadi buruh
pintar. Dikelolanya pendidikan oleh manajemen swasta, bukan oleh negara,
berakibat pada mahalnya biaya pendidikan. "Berbagai upaya perbaikan ini,
alih-alih menyelesaikan, justru menambah keterpurukan,” kata Ummu Fadhillah.
Perang
Pemikiran
Perubahan arah
pemikiran umat Islam, menurutnya, tak lepas dari keberhasilan Barat menanamkan
pemahaman sekuler ke tengah-tengah umat. Dan itu tidak serta-merta terjadi,
tapi sudah melalui proses yang sangat lama.
Ini diawali dengan
Eropa menjajah dunia Islam dengan serangan misionarisnya yang mengatasnamakan
ilmu pengetahuan dan kemanusiaan. ”Strategi ini untuk mengokohkan penjajahan
pemikiran yang sudah mulai memusat di negeri-negeri Islam. Barat juga menikam
peradaban Islam. Agama Islam dipelajari di sekolah-sekolah Islam sebatas materi
spiritual-etika, jauh dari hakikat pemahaman tentang hidup,” jelasnya.
Barat melalui
kader-kadernya yang hidup di tengah-tengah umat, lanjutnya, mengajarkan sejarah
Islam dengan menonjolkan sisi-sisi aibnya yang sengaja direkayasa. Inilah yang
kemudian disebut Perang Salib gaya baru. Proses ini terus berlangsung hingga
kepribadian Barat dijadikan sebagai asas kehidupan Islam dan tsaqafah Islam
tercabut dari benak kaum Muslim.
Akibatnya, kaum
intelektual yang kebanyakan merupakan anak asuh peradaban Barat, menjadi
pemeluk IsIam yang meyakini bahwa Islam adalah penyebab kemunduran kaum Muslim.
Misi para misionaris ini pun berhasil.
Ia menjelaskan, perang
pemikiran dan serangan misionaris itu disertai dengan berbagai serangan
politik, yang memecah-belah Daulah Islam menjadi beberapa negara, di antaranya
Turki, Mesir, Irak, Suriah, Libanon, Palestina, kawasan Timur Yordania, Hijaz,
Najd, dan Yaman. Ini sangat memudahkan Barat untuk menjadikan sistem
kapitalisme buatannya diterapkan di dalam negeri kaum Muslim, agar kaum Muslim
jauh dari sistem pemerintahan Islam, namun sebaliknya rela mempertahankan
sistemnya Barat.
Keberhasilan kafir
penjajah tersebut, lanjutnya, didukung dengan makin mantapnya pilar-pilar dan
penegakan semua perkara berlandaskan politik pengajaran yang dibakukan, di
samping metodologi pendidikan kafir penjajah, yang hingga saat ini masih
diterapkan di seluruh negeri-negeri Islam. Prestasi ini menghasilkan
"pasukan besar" para pengajar, yang menjaga dan melestarikan
metodologi ini.
Ia mengungkapkan,
politik pengajaran dibangun dan disusun berdasarkan dua dasar. Pertama, memisahkan urusan agama dari
kehidupan (sekulerisme). Kedua,
menjadikan kepribadian kafir penjajah sebagai sumber utama pembinaan. Dengan
demikian, berkembang di kalangan intelektual pikiran tentang pemisahan agama
dari negara. Sementara itu di kalangan masyarakat berkembang pemikiran tentang
pemisahan agama dari politik.
Serangan
Barat
Kekuatan Islam itu
terletak pada pemahaman agama dan penerapan hukumnya. Kondisi ini sangat
disadari oleh musuh-musuh Islam. Makanya, mereka mencari berbagai cara untuk
memperlemah kaum Muslim ini. Dan mereka tahu cara untuk itu yakni dengan
menjauhkan pemahaman kaum Muslim dari agama dan penerapan hukum-hukumnya.
Ketika Barat mulai
menusuk jantung kaum Muslim, kondisi Daulah Islam mulai menurun. Peristiwa itu
muncul pertama kali sejak abad ke-5 H, ketika pintu ijtihad dinyatakan
tertutup. Kondisi ini kritis hingga yang terparah adalah ketiadaan tindakan
untuk menghidupkan bahasa Arab dan tidak menjadikannya sebagai satu-satunya
bahasa yang diwajibkan dalam Daulah Islam.
Pada pertengahan abad
ke-12 H (18 M) keadaan berubah, institusi negara berdiri di atas sisa-sisa
sistem Islam yang buruk penerapannya, yang lebih banyak berada dalam nuansa
sistem Islami daripada benar-benar dalam sistem Islam. Negara juga berlandaskan
kepada pemikiran yang membingungkan dan simpang siur.
Pada abad ke-13 H (19
M), neraca sejarah antara Daulah Islam dan negara non-Islam mulai berayun.
Neraca dunia Islam mulai melemah. sementara timbangan Eropa mulai menguat. Di
Eropa muncul gerakan revolusi pemikiran. Lalu ada pula revolusi industri yang membawa
pengaruh sangat dominan di Eropa. Muncullah inovasi-inovasi baru yang
memperkuat Eropa dari sisi pemikiran dan kekayaan materinya.
Kaum Muslim saat itu
hanya bisa tercengang dan bingung menyaksikan revolusi pemikiran dan industri
di Eropa. Ini menghentikan roda sejarah kejayaan Islam, saat roda peradaban
Eropa sedang berputar. Maka, Eropalah pemilik ideologi, sementara umat Islam sebagai
pemilik ideologi yang benar, hidup dalam angan-angan ideologi itu sendiri,
karena buruknya penerapan ideologi tersebut.
Pada suatu titik, umat
Islam berada di persimpangan. Di satu sisi, para ulama fiqih memberi fatwa yang
mengharamkan setiap hal baru dan mengafirkan setiap orang yang belajar
ilmu-ilmu alam dan mencap setiap pemikir sebagai zindiq dan atheis. Di sisi
lain ada sekelompok kecil umat yang melihat keharusan mengambil segala hal dari
Barat, berupa ilmu pengetahuan, tsaqafah, peradaban maupun madaniah. Mereka ini
adalah orang-orang yang belajar di Eropa atau di sekolah-sekolah misionaris
yang telah menyusup ke negeri-negeri Islam.
Akhirnya, mayoritas
masyarakat bahkan mengompromikan Islam dengan ide-Ide Barat. Pada akhir masa
pemerintahan Daulah Khilafah, berkembang sebuah pemikiran bahwa Barat telah
mengambil peradabannya dari Islam dan Islam membolehkan untuk mengambil dan
mengamalkan sesuatu yang bersesuaian dengan Islam, selama dianggap tidak
bertentangan. Inilah kesuksesan Barat menghancurkan pemikiran Islam.
Bacaan: Tabloid Media
Umat edisi 193
---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar