Wacana dibuatnya
program sertifikasi khatib dan ulama menjadi polemik dan mengundang penentangan
keras. Progam ini dinilai rancu karena tidak ada standar yang dapat disepakati
bersama tentang batasan kafa'ah atau
kapabilitas seorang menjadi mubaligh atau ulama, dan bisa jadi bertentangan
dengan dalil-dalil serta penjelasan para ulama mu’tabar.
Yang lebih
membahayakan lagi, program ini dapat dinilai berpotensi mengokohkan rezim otoriter yang
represif. Melihat dari latar belakang kemunculannya, wacana sertifikasi khatib
dan ulama tampaknya dilatarbelakangi ketakutan pemerintah akan kemunculan kekuatan Islam
politik. Gagasan sertifikasi
khatib dan ulama dilontarkan oleh Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin setelah
munculnya gelombang aksi bela Al-Qur’an dan bela ulama. Kasus penistaan agama
juga membangkitkan keberanian dan kesadaran umat untuk mengkritisi posisi dan
kebijakan pemerintahan yang dianggap main mata dengan pelaku penistaan
agama dan sering merugikan kepentingan umat Islam.
Kuat dugaan bahwa
kebijakan ini mengarah pada sikap pemerintah yang kian otoriter dan represif.
Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (Wantim MUI) Din Syamsuddin
menilai kebijakan ini justru melebihi tindakan rezim Orde Baru. "Rezim
Orde Baru saja yang sering disebut represif tidak memberlakukan standardisasi
dan sertifikasi khatib atau ulama,” ujarnya.
Membungkam
Umat
Baru dua tahun
berjalan pemerintahan Jokowi-JK memang menuai banyak kontroversi dan kritik.
Skandal ‘papa minta saham’ yang melibatkan politisi Golkar Setya Novanto juga
menyeret nama Luhut Binsar Panjaitan yang saat itu menjabat Menkopolhukam.
Hanya saja Luhut terus-menerus berkelit ketika namanya dikaitkan dengan skandal
saham PT Freeport. Saat itu tak ada reaksi serius Presiden Jokowi untuk
menangani skandal tersebut.
Presiden Jokowi juga
dapat dianggap terlalu mengakomodir dan memberi karpet merah kepada konglomerat
koruptor dana BLBI. Adalah Samadikun mantan Presiden Komisaris PT Bank Modern,
yang telah mengakibatkan kerugian negara Rp169.472.986.461,52. Namun kemudian
disambut di istana oleh Presiden Jokowi, bukan sebagai terpidana korupsi.
Pemerintah juga
dapat dianggap diskriminatif terhadap umat Islam. Dalam kasus kerusuhan Tolikara,
pelaku pembakaran masjid dari umat Kristiani alih-alih ditindak, justru dijamu
di istana kepresidenan. Sementara itu pemerintah bersikap sebaliknya terhadap
umat Muslim yang diduga terlibat dalam kerusuhan Tanjungbalai dan Singkil.
Terakhir, dalam kasus
pelecehan Al-Qur’an dengan terdakwa Ahok, pemerintah Jokowi dan aparat dapat dinilai
malah berpihak pada Ahok. Sikap ini yang memicu gelombang aksi besar-besaran
sekaligus protes keras dari berbagai pihak. Namun sikap kritis umat justru ditanggapi
negatif oleh pemerintah dan aparat keamanan. Sekarang satu persatu tokoh GNPF
MUI dan penggagas aksi umat diperkarakan oleh kepolisian.
Tindakan pemerintah
ini menguatkan dugaan ada upaya sistematis untuk membungkam suara-suara vokal
mengkritisi langkah pemerintah yang keliru. Apalagi kepolisian juga semakin
menggencarkan pemberlakukan UU ITE terkait hoax
dan penyebaran ujaran kebencian (hate speech).
Namun yang dicemaskan bila gencarnya pemberlakuan UU ITE malah ditujukan untuk
menutup-nutupi informasi yang tidak dimuat di media mainstream, yang justru mengandung kebenaran, tapi kemudian
dituding hoax dan mengandung ujaran
kebencian.
Kini, khusus umat
Muslim kini digulirkan gagasan sertifikasi khatib dan ulama. Langkah ini bukan
saja represif tapi juga mengandung sejumlah bahaya.
Bahaya
Sertifikasi Khatib
Sertifikasi khatib dan
ulama ini rancu, tidak jelas dan berbahaya. Rancu dan tidak jelas, karena apa
yang menjadi standar seseorang layak mendapat sertifikasi berceramah dan
mendapat status ulama? Bila kategori khatib dan ulama hanya ditujukan kepada
mereka yang berasal dari dunia pesantren atau dunia pendidikan Islam, maka
bagaimana dengan hukum wajibnya berdakwah yang menjadi kewajiban setiap Muslim?
Tidak ada syarat yang ditetapkan para ulama yang mu'tabar bahwa seorang yang
berdakwah harus lulusan pesantren atau kampus Islam, apalagi harus mengantongi
sertifikat dari lembaga tertentu.
Untuk khutbah maka
para ulama telah menyepakati syarat-syarat dan rukun khutbah. Misalnya dalam
khutbah Jum'at harus berisi wasiat takwa dan dilakukan dua kali dengan diselingi
duduk, serta diadakan sebelum shalat Jumat ditegakkan. Menambah syarat seorang
khatib harus bersertifikasi malah bisa masuk kategori bid'ah.
Sertifikasi khatib dan
ulama juga berbahaya karena akan melanggengkan tindakan represif dan
penyelewengan penguasa, dan membiarkan berlakunya hukum-hukum kufur di tengah
umat. Upaya mengarahkan kepada hal ini jelas, karena Menteri Agama menyatakan
bahwa materi khutbah harus mengarahkan umat pada Islam moderat.
Padahal terminologi
dan konten Islam moderat adalah sesuatu yang baru, hasil rekayasa Barat untuk
memanipulasi ajaran Islam kaffah. RAND Corp beberapa tahun silam
mengeluarkan hasil penelitian komprehensif tentang ”Building Moderate
Moslem Network - Membangun Jaringan kaum muslim Moderat” yang menempatkan kelompok
Islam moderat sebagai lawan Islam garis keras atau radikal. Ciri-ciri ajaran
Islam moderat adalah meninggalkan pemberlakukan hukum Islam secara
legal-formal, demokratis, menjalankan HAM, termasuk mengakui hak murtad bagi
seorang Muslim, juga kehadiran kelompok LGBT.
Bila ini
yang diinginkan menjadi materi khutbah dan ceramah para mubaligh di tanah air,
maka sungguh selain membungkam mulut mulia kaum alim juga akan meracuni umat
dengan ajaran kufur demokrasi-liberalisme. []iwan januar, anggota lajnah siyasiyah dpp
Kecenderungan
Menteri Agama Ke Mana?
Ketika sejutaan lebih
umat Muslim berkumpul di Masjid Istiqlal melakukan zikir bersama, Menteri Agama
Lukman Hakim Saifuddin justru memilih menghadiri perayaan Cap Go Meh di Bogor.
Padahal beberapa hari sebelum perayaan hari raya pemeluk Kong Hu Cu tersebut,
Ketua MUI Bogor KH Adam Ibrahim telah menghimbau agar warga Muslim tidak
menghadirinya karena haram dan mengandung mudlarat. Entah mendengar fatwa itu
atau tidak, Menag justru menghadirinya.
Menag Lukman Hakim
bukan sekali dua kali membuat polemik. Pada bulan Ramadlan lalu, Menag bukannya
menghimbau umat Muslim untuk bersungguh-sungguh menjalankan shaum Ramadlan, ia
malah meminta publik untuk menghormati orang yang tidak berpuasa, meski kemudian
ia sibuk meralat cuitannya sendiri di twitter.
Lukman
Hakim juga memfasilitasi kegiatan Syiah di kantor Kemenag, padahal mayoritas
Muslim di tanah air adalah Sunni, dan saat ini sedang memprihatinkan nasib kaum
Muslimin Sunni di Suriah yang ditindas Rezim Assad penganut Syiah Alawiyah. []ij/ls
-----
Bacaan: Tabloid Media
Umat edisi 191
Tidak ada komentar:
Posting Komentar