Woman's Day
diperingati 8 Maret lalu. Tahun ini mengusung tema 'Be bold for change’.
Maksudnya, agar
perempuan lebih militan untuk membawa perubahan. Lebih berani mengambil risiko
demi meraih mimpinya, dan menyingkirkan segala penghalang yang merintangi
mimpi-mimpi tersebut.
Perempuan diharapkan
mampu berkontribusi untuk membawa perubahan pada dunia dan masa depan yang
lebih baik. Misalnya, didorong untuk menjadi pemimpin di lingkungan
terdekatnya, sekaligus menuntut kesetaraan gender. Sebab, menurut Forum Ekonomi
Dunia, kesetaraan gender tidak akan terpenuhi hingga tahun 2186. Ini dirasa
terlalu lama. Karena itu, tema tersebut diangkat untuk mempercepat tercapainya
tingkat kesetaraan perempuan di segala bidang. Akankah tercapai?
Hanya
Bualan
Mengejar kesetaraan
perempuan dan laki-laki ibarat mengejar fatamorgana. Tidak akan pernah
berhasil. Di Amerika Serikat saja, rahim yang membidani lahirnya gerakan gender equality, hingga kini masih menyisakan
ketimpangan gender. Presiden Trump yang memerintah saat ini, dibenci sebagian
kaum perempuan AS sendiri, karena dinilai belum pro kesetaraan gender.
Lebih dari itu,
definisi kesetaraan gender juga debatable.
Seperti kegaduhan yang ditimbulkan artis yang juga feminis, Emma Watson,
baru-baru ini. Di cover Majalah Vanity Fair, dia berpose setengah bugil. Kontan
mengundang kecaman dari penggiat feminis lainnya. Betty Friedan mengatakan,
penggiat gerakan persamaan wanita, seharusnya menolak menjadikan wanita sebagai
obyek. Namun apa yang dilakukan Emma justru membuat dirinya sebagai tontonan.
Kolumnis ternama asal Inggris, Julia Hartley-Brewer juga menyerang Emma Watson
yang telah melakukan blunder.
Di laman elle.com,
Jumat (3/3/17), aktivis Mollie Goodfellow menambahkan. “salah satu cara untuk
membuat dirimu memang seorang feminis, dengan meninggalkan pendapat orang lain
mengenai penampilan fisik” (Iiputan6.com). Begitulah, pemeran Belle dalam film
Disney ‘Beauty and the Beast’ ini pun di-bully
sebagai ‘beauty and the breast’.
Namun, Emma membela
diri. Kritikan membuatnya sadar, ada yang salah pengertian terhadap feminisme.
"Feminisme adalah tentang memberikan pilihan pada perempuan. Feminisme
bukan tongkat yang digunakan untuk memukul perempuan lain. Ini tentang kemerdekaan,
pembebasan, persamaan," ujarnya.
Selama ini, Emma
beberapa kali berbicara vokal di PBB soal hak wanita. Ia juga meluncurkan HeForShe, kampanye yang mendorong pria untuk
ikut aktif melawan ketidaksetaraan yang dialami perempuan. Namun, ucapannya itu
kini dianggap hanya buaian.
Persis seperti ide
kesetaraan gender yang sesungguhnya tak lebih dari bualan. Sulit diwujudkan,
karena perempuan dan laki-laki memang berbeda. Selamanya tidak akan pernah bisa
disamakan seperti impian Barat. Tetapi, jangan-jangan militansi seperti Emma yang
diharapkan Woman's Day dengan kampanye #BeBoldForChange. Berani mengekspose
tubuh molek dengan dalih kebebasan hak-hak perempuan?
Korban
Liberalisme
Isu kesetaraan gender
kontraproduktif dengan cita-cita mengangkat harkat dan martabat perempuan.
Wacana persamaan hak-hak perempuan dengan laki-laki justru menjerumuskan
perempuan dalam jurang kehinaan. Para perempuan berani mendobrak fitrah mereka
sendiri yang pemalu dan ingin dilindungi, menjadi perempuan liar yang bebas
tanpa perlindungan. Akibatnya, mereka menjadi mangsa yang diterkam tanpa ampun
oleh para pemuja kebebasan.
Emma Watson sendiri,
jika mau jujur, adalah contoh korban feminisme. Penampilan santunnya selama
ini, diakui karena dirinya seorang pemalu. Namun sebagai feminis, rupanya ia
menantang rasa malunya sendiri. Ia, sebagaimana perempuan Barat lainnya yang
dididik oleh ajaran liberalisme, telah mempraktikkan keberanian untuk menjadi
sosok perempuan bebas.
Karena, stereotype perempuan ideal versi Barat antara
lain: pertama, memiliki kebebasan untuk mengendalikan tubuhnya sendiri, yakni
bebas dari kekangan agama. Seperti hak untuk bekerja, hak hamil atau aborsi,
hak orientasi seksual, hak mengekspos tubuhnya sendiri, dll. Kedua, mandiri
secara ekonomi. Boleh berprofesi apapun, meski mengeskploitasi tubuhnya,
membahayakan kewanitaannya, meninggalkan tugas domestik, dll.
Ketiga, menuntut
kepemimpinan di berbagai sektor, sejajar dengan pria atau jika perlu lebih
tinggi. Baik di dunia kerja maupun di panggung politik. Keempat, mengutamakan
penampilan fisik seperti cantik, langsing, putih, tinggi dan mancung.
Dengan stereotype seperti itu, maka militansi
perjuangan perempuan liberal tersebut tidak akan jauh-jauh dari: (l)
memperjuangkan hak-hak perempuan, kalau bisa lewat jalur struktural alias
undang-undang; (2) mengasah kemampuan yang menunjang eksistensi diri; (3)
mempelajari skill untuk memenuhi dunia
kerja, kemudian sibuk berkarir; (4) mengejar jabatan setingg-tingginya; (5)
menghabiskan waktu dan uang untuk perawatan tubuh, program diet pelangsingan
dan permak wajah, dll. Tak lebih dari itu.
Muslimah
Berbeda
Apapun definisi Barat
tentang kesetaraan gender, selayaknya dicampakkan perempuan di seluruh dunia.
Terlebih para Muslimah. Gender equality,
sekali lagi, bertentangan dengan fitrah perempuan. Hanya menimbulkan petaka
baik bagi kaum perempuan, kaum laki-laki maupun anak-anak.
Lebih dari itu,
Muslimah punya militansi perjuangan sendiri yang arahnya lurus, sesuai
fitrahnya. Apa itu? Sebagai manusia, perempuan memang diciptakan setara dengan
laki-laki dalam hal takwa. Maka, arah perjuangan perempuan jika ingin setara
dengan laki-laki hanyalah berlomba-lomba menjalankan perintah Allah SWT dan
menjauhi larangan-Nya.
Sementara sebagai
perempuan dengan organ tubuh, karakter dasar dan sifat keperempuanannya, jelas
tidak bisa mengejar kesetaraan dengan pria. Arah perjuangan sebagai perempuan
sesuai wahyu Ilahi adalah menjalankan tugas suci sebagai istri bagi suami, ibu bagi
anak dan anggota masyarakat. Inilah militansi perjuangan perempuan
sesungguhnya. Termasuk militan dalam memperjuangkan ditegakkannya sistem Islam,
karena sistem inilah yang menjamin hak dan kewajiban perempuan seutuhnya.
---
Bacaan: Tabloid Media
Umat edisi 193
Tidak ada komentar:
Posting Komentar