Para Penguasa Batil Dalam Demokrasi
Sambungan
dari artikel sebelumnya
اتَّخَذُوا
أَحْبَارَهُمْ
وَرُهْبَانَهُمْ
أَرْبَابًا
مِنْ دُونِ
اللهِ وَالْمَسِيحَ
ابْنَ
مَرْيَمَ
وَمَا أُمِرُوا
إِلاَّ
لِيَعْبُدُوا
إِلَهًا
وَاحِدًا لاَ
إِلَهَ
إِلاَّ هُوَ
سُبْحَانَهُ
عَمَّا
يُشْرِكُونَ
“Mereka menjadikan
orang-orang alim dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah serta
mempertuhankan al-Masih putra Maryam. Padahal mereka hanya disuruh menyembah
Tuhan Yang Maha Esa. Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia.
Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” [QS. (9) at-Taubah: 31]
“Kedua golongan Ahlul Kitab itu diberitakan telah menjadikan ahbâr
dan râhib mereka sebagai arbâb (tuhan-tuhan) selain Allah
Swt. Kata al-ahbâr (bentuk jamak dari kata al-hibr atau
al-habr) berarti ulama.2
Kata ar-ruhbân
(bentuk jamak dari kata râhib) dari kata al-ruhbah berarti al-khâif
(orang yang takut).3
Dalam
perkembangan selanjutnya, al-ahbâr digunakan untuk sebutan ulama
Yahudi, sementara ar-ruhbân digunakan untuk ulama Nasrani.4
Kata arbâb
merupakan bentuk jamak dari kata rabb. Secara bahasa, kata rabb berarti
al-mâlik (pemilik), as-sayyid (tuan, pemimpin), al-mudabbir (pengatur),
al-murabbî (pendidik), al-qayyim (pelaksana, pihak yang
bertanggung jawab), dan al-mun‘im (pemberi nikmat). Jika tidak di-mudhâf-kan,
kata itu hanya digunakan untuk menyebut Allah ‘Azza wa Jalla. Jika
digunakan untuk menyebut selain-Nya, harus di-mudhâf-kan dengan kata
lainnya, seperti rabbu kadzâ. 5 Karena kata arbâb dalam
ayat ini tidak di-mudhâf-kan, maka bermakna tuhan-tuhan.
Hanya saja,
pentahbisan pendeta dan rahib sebagai tuhan-tuhan tidak dalam konteks
penyembahan (ritual), namun dalam konteks ketaatan mereka kepada pendeta dan
rahib mereka dalam al-tahlîl wa al-tahrîm (penetapan halal
dan haram). Mereka menjadikan pendeta dan rahib sebagai pemegang otoritas untuk
menetapkan halal dan haram. Asy-Syaukani menyatakan, “Sesungguhnya
mereka menaati pendeta-pendeta mereka, dalam perintah dan larangannya.
Pendeta-pendeta itu menempati kedudukan sebagai tuhan-tuhan karena mereka
ditaati sebagaimana layaknya tuhan-tuhan.”6
Penjelasan
senada juga dikemukakan oleh Hudzaifah bin al-Yamani, Ibnu Abbas, dan
lain-lain. Mareka menuturkan bahwa kaum Yahudi dan Nasrani itu mengikuti
pendeta dan rahib mereka dalam perkara yang mereka halalkan dan mereka
haramkan.7 Penafsiran demikian juga disampaikan ath-Thabari,
az-Zamakhsyari, ar-Razi, al-Alusi, Ibnu Katsir, al-Baghawi, Ibnu ‘Athiyah,
al-Khazin, Ibnu Juzyi al-Kalbi, dan hampir semua mufassir.8
Pengertian
itu didasarkan pada penjelasan Rasulullah Saw. terhadap ayat ini. Diriwayatkan dari
Adi bin Hatim:
Saya
mendatangi Rasulullah dengan mengenakan kalung salib dari perak di leherku.
Rasulullah Saw. bersabda, “Wahai Adi, lemparkanlah patung itu dari lehermu.”
Kemudian saya melemparkannya. Usai saya lakukan, Beliau membaca ayat ini: Ittakhadzû
ahbârahum wa ruhbânahum min dûni Allâh, hingga selesai. Saya
berkata, “Sesungguhnya kami tidak menyembah mereka.” Beliau bertanya, “Bukankah
para pendeta dan rahib itu mengharamkan apa yang dihalalkan Allah, lalu kalian
mengharamkannya; menghalalkan apa yang diharamkan Allah, lalu kalian
menghalalkannya.” Aku menjawab, “Memang begitulah.” Beliau bersabda,
“Itulah ibadah (penyembahan) mereka kepada pendeta-pendeta dan rahib-rahib
mereka.” (HR. ath-Thabrani dari Adi Bin Hatim).9
… Sekalipun
Allah Swt. jelas-jelas mewajibkan penerapan syariah dalam
kehidupan, perintah itu tidak boleh dijalankan sebelum mendapat
persetujuan dari lembaga legislatif terlebih dahulu. Jika lembaga itu
menyetujuinya, baru boleh diterapkan. Sebaliknya, jika lembaga itu menolaknya
maka syariah tidak boleh dijalankan.
Jika
demikian, apa bedanya para pembuat hukum itu dengan para pendeta dan rahib
yang dalam ayat ini disebut sebagai tuhan-tuhan selain Allah Swt.? Mereka
disebut demikian lantaran didudukkan sebagai pembuat hukum yang wajib ditaati.
Dengan demikian, siapapun yang ditahbiskan memiliki otoritas yang sama,
merekapun layak disebut sebagai arbâb min dûni Allâh, tuhan-tuhan selain
Allah Swt.
Jika
demikian, alasan apa lagi yang dapat digunakan untuk mendukung demokrasi?!”
2 al-Baghawi, Ma’âlim
al-Tanzîl, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 241;
al-Biqa’i, Nazhm al-Durar, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, 1995), 302
3 Ibnu ‘Athiyyah, al-Muharrar
al-Wajîz, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 25
4 al-Razi, al-Tafsîr
al-Kabîr,vol. 16 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990), 30; al-Syaukani,
Fath al-Qadîr, vol. 2 (Beirut: Dar al-Fikr, tt), 452;
Nizhamuddin al-Naisaburi, Tafsîr Gharâib al-Qur’ân, vol. 3 (Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyyah, 1996), 457; al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 2
(Kairo: Nahr al-Khair, 1993), 360; al-Biqa’i, Nazhm al-Durar, vol. 3,
302
5 Ibnu Mandzur, Lisân
al-‘Arab, vol. 1 (Beirut: Dar Shadir, tt), 399
6 al-Syaukani, Fath
al-Qadîr, vol. 2, 452
7 al-Suyuthi, al-Durr
al-Mantsûr, vol. 3, 354-355; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol.
2 (Riyadh: Dar ‘Alam al-Kutub, 1997), 432.
8 al-Thabari, Jâmi’
al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 6 (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, 1992), 354; al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, vol. 2 (Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 256; al-Razi, al-Tafsîr al-Kabîr,vol.
16, 31-32; al-Nasafi, Madârik al-Tanzâ3, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, 1995), 495; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 5 (Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 276; Ibnu Katsir, Tafsîr
al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 2 (Riyadh: Dar Alam al-Kutub, 1997), 432;
al-Baghawi, Ma’âlim al-Tanzîl, vol. 2, 241; Ibnu ‘Athiyyah, al-Muharrar
al-Wajîz, vol. 3, 25; al-Khazin, Lubâb al-Ta’wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol.
2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 353; Ibnu Juzyi al-Kalbi, al-Tashîl
li ‘Ulûm al-Tanzîl, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 35;
al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 2 , 360; al-Sa’di, Taysîr al-Karîm
al-Rahmân, 2 (Beirut: Alam al-Kutub, tt), 250;
9 Bisa juga dilihat dalam
al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’aân, vol. 6, 354;
al-Suyuthi, al-Durr al-Mantsûr, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, 1990), 354; al-Wahidi al-Naisaburi, al-Wasîth fî Tafsîr
al-Qur’ân al-Majîd, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1999), 489.
Hadits serupa dengan sedikit perbedaan redaksional bahasa dapat dijumpat dalam
banyak kitab tafsir, seperti: al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol.
8 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 77; al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf,
vol. 2, 256; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 2, 432;
al-Qasimi, Mahâsin al-Ta’wîl, vol. 5 (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, 1997), 394
[Ust. Rokhmat
S. Labib, http://hizbut-tahrir.or.id/2008/04/01/keharaman-menaati-hukum-selain-hukum-allah-tafsir-qs-at-taubah-9-31/]
Seorang
Muslim tentu tidak layak mengatakan kepada orangtuanya bahwa saudara-saudaranya
harus taat kepada dirinya, dan bahwa perintah maupun larangan apapun dari
orangtuanya –meski sesuai dengan Syariah– tetap tidak boleh dilaksanakan oleh
saudara-saudaranya itu kecuali jika telah diputuskan oleh dirinya apakah boleh
dilaksanakan ataukah tidak.
Diterapkannya
sistem kufur demokrasi berarti memaksa umat untuk tunduk kepada tuhan-tuhan
palsu pembuat hukum.
Sungguh
ekstrim penyimpangan yang dilakukan oleh para pelaku sistem kufur demokrasi.
Jika ada
sekelompok preman yang secara de facto menguasai sebuah pasar dan
membuat sekaligus menerapkan aturan-aturan yang dipaksakan pada para penjual di
pasar itu –termasuk wajibnya pajak untuk diberikan pada para penguasa itu– maka
sesungguhnya perbuatan para preman tersebut adalah kezaliman dan kekuasaan
mereka adalah batil. Dan jika sebagian penjual di pasar itu menyetujui dan
mendukung perbuatan para preman tersebut maka perbuatan para preman menguasai
para penjual di pasar itu tetap kezaliman, serta kekuasaannya tetap batil.
Sebab acuan yang benar bagi pemikiran dan perbuatan manusia adalah ideologi
(akidah dan Syariah) Islam.
Standar
pemikiran dan perbuatan yang harus digunakan oleh manusia adalah ideologi Islam
bukan pendapatnya Montesquieu, Plato, Aristoteles, Machiavelli, Karl Marx,
Hitler, Ratu Elizabeth, Raja Saud, Benjamin Franklin, bukan pula parlemen
Amerika, DPR, bukan pula rakyat Mesir, rakyat Inggris, bukan pula pendapatnya
Iblis.
Para Penguasa
Batil Dalam Demokrasi
Bersambung ke
artikel selanjutnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar