15. Pembangunan Porton Down di Inggris. Holland
Committee yang didirikan oleh pemerintah Inggris usai PD I untuk mengkaji
senjata kimia dan bagaimana kebijakan Inggris nantinya, telah merekomendasikan
agar fasilitas Porton Down dipertahankan di sebuah markas yang permanen. Agenda
Holland Committee ditambah dengan kajian dan pengembangan senjata kuman di
Porton Down. Holland Committee juga membuat sebuah pengakuan penting. Dikatakan
bahwa, ‘tidak mungkin memisahkan kajian tentang pertahanan dari gas dengan
penggunaan gas sebagai senjata ofensif, mengingat efisiensi sistem pertahanan
sangat bergantung kepada pengetahuan yang akurat tentang perkembangan yang
terjadi atau yang akan terjadi dalam hal penggunaan senjata tersebut secara
ofensif’. Pemerintah Inggris sedari awal mengetahui bahwasanya tidak akan
pernah ada yang namanya penelitian senjata kimia yang murni defensif. Alhasil,
pemerintah membantu para ilmuwan untuk merancang senjata paling mematikan yang
pernah mereka bayangkan, dengan asumsi dasar pengetahuan akan keampuhan senjata
tersebut harus lebih dulu diketahui agar bisa menyiapkan sistem pertahanannya.
Para ilmuwan di pangkalan senjata rahasia Porton Down mengetahui bahwa mereka
berisiko mengorbankan nyawa para sukarelawan muda yang digunakan sebagai
kelinci percobaan dalam pengujian gas syaraf, demikian menurut para ahli
toksikologi. Keluarga setiap korban dalam eksperimen itu menuduh para ilmuwan
sebagai pembunuh. Menurut Alastair Hay dari Universitas Leeds, catatan taklimat
yang dibuat para ilmuwan di markas Wiltshire menunjukkan bahwa para ilmuwan
sebenarnya menyadari dosis yang diberikan kepada para sukarelawan itu akan
berakibat fatal. ‘Mereka bermain dengan api, mereka memberikan senyawa yang
tidak hanya dapat membunuh satu orang saja, tetapi juga sejumlah orang lain’.
Beberapa sukarelawan yang diberi bayaran dan liburan ekstra atas partisipasinya
dalam pengujian itu, diberitahu bahwa percobaan itu adalah dalam rangka
menemukan obat demam. Menteri Pertahanan berulangkali menyangkal tuduhan telah
menyesatkan para sukarelawan. Sebuah tayangan dokumenter televisi pada tahun
1999 memperlihatkan salah seorang mantan ‘kelinci perbobaan’, Mike Cox, 68
tahun, dari Southampton, yang berada di samping sukarelawan Ronald Maddison
pada masa kematiannya di kamar gas tempat pengujian. Program televisi itu juga
memperlihatkan kerabat Mr. Maddison yang berbicara tentang peristiwa yang
berlangsung 46 tahun lalu tersebut. Lilias Clark, saudara perempuan Maddison,
berkata, ‘Jika ia tewas dalam perang, saya bisa mengerti, tapi mati karena
hal bodoh yang mereka (para ilmuwan) tempelkan di lengannya, yang seharusnya
tidak Anda lakukan kepada siapapun, maaf saja, saya pikir mereka telah
membunuhnya’.
16. Peran Senjata Kimia dan Biologi dalam
PD II. Senjata gas tidak digunakan selama PD II karena sulit membawa senjata
itu tanpa membahayakan pasukan dan untuk menjaga kemungkinan serangan balasan
mengingat negara-negara kuat waktu itu masing-masing menimbun ratusan ton senjata
kimia, khususnya gas mustard, untuk berjaga-jaga. Inggris membuat bom
anthraks untuk kali pertama pada tahun 1942. Sebuah bom sederhana diisi spora
anthraks diledakkan di Pulau Gruinard di lepas pantai Skotlandia. Domba-domba
yang ada di pulau tersebut pun mati. Sampai kini, Pulau Gruinard tidak dapat
didiami, dan pesawat terbang pun tidak diperkenankan mendarat di sana. Inggris
kemudian memproduksi 5 juta ‘kue anthraks (anthraks cakes)’ untuk
dijatuhkan di Jerman. Rencana Inggris untuk menjatuhkan bom anthraks ke Jerman
diperkirakan akan menewaskan 3 juta orang. Inggris juga bereksperimen dengan
racun mematikan B-IX, atau botulism. AS juga secara besar-besaran
mengembangkan program senjata kumannya selama PD II. Pada tahun 1940, The US
Health and Medical Committee of the Council for National Defence (Komite Medis
dan Kesehatan Dewan Pertahanan Nasional AS) mulai mempertimbangkan ‘potensi
defensif dan ofensif senjata biologi’. George Merck dari Merck Pharmaceuticals,
ditunjuk menjadi dierektur War Research Service (Dinas Penelitian Perang), yang
bertanggung jawab atas penelitian senjata kuman. Pada tahun 1943, Camp Detrick
didirikan di Maryland, dan langsung menjadi pusat program senjata kuman AS.
Antara tahun 1942-1945, AS menginvestasikan lebih dari US$ 40 juta untuk
membangun pabrik dan peralatan serta mempekerjakan lebih dari 4.000 orang di
Camp Detrick; di The Field Testing Station di Horn Island, Pascagoula,
Mississipi; pabrik produksi di Vigo, Indiana; dan di Dugway Proving Grounds. Di
Camp Detrick, anthraks, tularaemia, plague, tipus, penyakit
kuning (yellow fever), dan encephalitis diujicoba untuk digunakan
dalam perang. Juga berbagai jenis kutu beras, kentang, dan sereal. AS mengkaji
kemungkinan menghancurkan panen beras Jepang dengan senjata kuman. Pada bulan
Mei 1944, sebuah paket yang berisi 5000 bom anthraks selesai diproduksi di Camp
Detrick. Di Vigo, Indiana, AS membangun sebuah pabrik yang mampu memproduksi
500.000 bom anthraks per bulan dan 250.000 bom yang diisi botulism.
Untungnya, semua bom itu tidak pernah digunakan. AS membangun pabrik produksi
gas beracun terbesar di dunia selama PD II, yang mampu menghasilkan 135.000 ton
gas beracun. Berarti 20.000 ton lebih banyak dari total gabungan gas beracun
yang digunakan berbagai negara selama PD I. AS pun mulai mengungguli Inggris
dalam hal senjata kuman.
17. Belajar dari pengalaman Jepang. Usai PD II,
George Merck menghendaki agar program senjata kuman dilanjutkan. Pada tahun
1956, Camp Detrick berubah menjadi Fort Detrick, sebuah lembaga penelitian dan
pengembangan militer yang bersifat permanen. Disini diproduksi virus dan gas
paling mematikan yang menambah persenjataan AS, termasuk gas syaraf seperti gas
GB dan VX, yang begitu mematikan, sehingga jika kulit kita terkena satu tetes
kecil saja, kita akan mati dalam waktu kurang dari satu menit. Perang Dingin
juga berarti para mantan musuh direhabilitasi dan mendapat biaya perbaikan dari
AS. Ini berarti para kriminal perang Jepang yang telah bereksperimen
mengorbankan jiwa manusia kini terhindar dari tuntutan. Selama pendudukan
Jepang atas Cina yang begitu lama dan brutal antara tahun 1930-an hingga
1940-an, sebuah unit khusus Tentara Jepang yang dikenal dengan Unit 371,
dipimpin oleh Jenderal Ishii Shiro, banyak melakukan tindak kejahatan perang.
Misalnya, mereka menguji efek bom anthraks terhadap manusia dan menyuntikkan
tetanus, cacar, dan plague kepada tentara dan warga sipil Cina. Dari
sejumlah orang yang dipelajari oleh AS pada tahun 1947, anthraks menewaskan 31
orang, kolera 50 orang, gas mustard 16 orang, plague 106 orang, typhoid
22 orang, dan typhus 9 orang. Serta masih banyak lagi penyakit yang juga
diujicobakan. Rusia menghendaki agar anggota-anggota Unit 371, termasuk Shiro,
diadili. Tetapi AS menjamin kekebalan mereka. Sebagai imbalan, AS mendapat
hasil eksperimen mereka. Sebagaimana yang ditulis ahli sejarah, Robert Harris
dan Jeremy Paxman, ‘AS justru melindungi para bakteriologis Jepang dari
tuntutan kejahatan perang sebagai imbalan atas data-data eksperimen manusia’.
Informasi ini disembunyikan hingga selama 30 tahun setelah perang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar