5.
Pengembangan
bom hidrogen. Tidak puas dengan keampuhan bom atom, AS
mengembangkan bom hidrogen atau bom super. Yaitu bom yang –dalam bahasa para
ilmuwan yang merekomendasikannya ke pemerintah AS– akan ‘memiliki daya ledak
tidak terbatas kecuali dalam hal pengirimannya’. Komite penasehat umum
Atomic Energy Commission yang bertanggung jawab atas pengembangan senjata atom
di AS merekomendasikan agar AS tidak menjalankan program percepatan untuk
membuat bom-H (bom hidrogen) karena, ‘itu bukan senjata, yang biasa
digunakan hanya untuk tujuan menghancurkan instalasi militer atau semi-militer.
Penggunaan bom-H jauh lebih parah ketimbang bom atom, suatu kebijakan yang akan
memusnahkan penduduk sipil’. Posisi militer AS sendiri dalam pengembangan
bom hidrogen dengan gamblang dinyatakan oleh Kepala Staf Gabungan, ‘Pihak AS
akan berada pada keadaan yang amat berat, jika pihak yang berpotensi menjadi
musuh memiliki bom itu sedangkan AS tidak’.
6.
Dampak
uji nuklir AS. Untuk mengetahui dampak ledakan nuklir terhadap
kapal perang, bangunan, peternakan dan objek lain, serta untuk memperbaiki dan
meningkatkan teknologi senjatanya, AS telah melakukan uji pengembangan bom atom
dan bom-H selama beberapa dekade setelah PD II. Tempat uji pertama pasca perang
yang AS pilih adalah pulau Bikini, di Samudera Pasifik. Pulau yang merupakan
bagian dari kepulauan Marshal tersebut direbut dari kekuasaan Jepang. Dua tahun
setelah mengklaim kekuasaan atas pulau itu, Commodore Ben H. Wyatt, Gubernur
Militer kepulauan Marshal, melakuan misi perjalanan ke Bikini. Seusai misa
gereja Minggu di bulan Februari 1946, Wyatt mengumpulkan penduduk setempat dan
meminta mereka meninggalkan rumah mereka ‘untuk sementara’ agar AS dapat
menguji bom atom ‘demi kebaikan umat manusia dan mengakhiri setiap
peperangan di dunia’.
7.
Raja Juda beserta penduduk Bikini bingung dan
tertekan, seraya merundingkan permintaan AS itu. Akhirnya, Raja Juda
berkata pada Wyatt, ‘kami akan pergi dengan mempercayakan segala sesuatunya
kepada Tuhan’. Selama beberapa dekade penduduk Bikini menderita kekurangan
gizi, dipindahkan dari satu pulau ke pulau lain, terkena radiasi radioaktif
–semua masalah yang diakibatkan pengujian bom oleh AS. Lebih dari lima puluh
tahun sejak dimulainya uji coba bom di pulau Bikini, penduduk pulau masih
mengajukan petisi menuntut AS untuk membayar ganti rugi yang dijanjikan atas
kerusakan tanah dan kehidupan mereka. Tempat uji coba kedua yang AS gunakan
adalah Nevada Proving Ground, di Yucca Flat, kira-kira 65 mil sebelah utara Las
Vegas. Selama tahun 1950-an dan 1960-an, telah dilakuan 90 kali uji coba bom
nukir di gurun Nevada. Pada tahun 1990-an, sebuah lembaga pemerintah AS,
National Cancer Institute (NCI), memeriksa pengaruh uji coba bom itu. Mereka
menyatakan bahwa uji coba bom itu menimbulkan awan buangan radioaktif hampir ke
seluruh wilayah Amerika Serikat. Dan di antara zat berbahaya yang turut
tersebar akibat ledakan adalah isotop yang dikenal dengan iodine-131 (I-131).
Partikel radioaktif ini, yang berakumulasi dalam kelenjar gondok diduga kuat
menjadi penyebab kanker. Baru-baru ini NCI memperkirakan sekitar 10,000-75,000
kasus kanker tiroid di AS disebabkan oleh radioaktif isotop iodine-131 dari
buangan bom-A di Nevada. Selain personel militer yang terkena radiasi tingkat
tinggi di sekitar tempat pengujian, ribuan warga AS –sesuai arah angin– harus
membayar mahal akibat pengujian bom atom tersebut. Ini menjadi contoh nyata
bahwa warga AS telah menjadi korban senjata pemusnah massal pemerintahnya
sendiri.
8.
Pengembangan
nuklir selama era perang dingin. Pada masa perang dingin, AS mempelopori
perlombaan senjata dengan Uni Soviet dan menimbun ribuan senjata nuklir. Mereka
juga mengembangkan berbagai cara untuk menghasilkan sejumlah persenjataan
termasuk: pesawat pembom B-52, beragam tipe rudal balistik darat antar benua,
juga rudal balistik laut. AS pun menempatkan ribuan senjata nuklir taktis di
setiap perbatasan Uni Soviet, di Eropa Barat, Turki, Korea Selatan, Jepang, dan
lain-lain., untuk mempersiapkan kemampuan serangan pertama dan menghalangi
agresi Uni Soviet. Namun, ketika Kuba mengundang Uni Soviet untuk menempatkan
rudal nuklirnya di Kuba dalam rangka menghambat agresi AS –sejak 1960 AS telah
menunjukkan upaya keras menjatuhkan Fidel Castro dari tampuk kekuasaan– serta
merta AS murka dan mendorong Soviet untuk menarik mundur seluruh rudal dengan
ancaman akan melakukan perang secara habis-habisan.
9.
Pengendalian
senjata nuklir. Banyak perjanjian pengendalian senjata nuklir yang
telah AS tandatangani, termasuk ‘Strategic Arm Limitation Talks’ (SALT 1 dan
SALT 2), ‘Strategic Arms Reduction Treaty’ (START 1 dan START 2), ‘Nuclear
Non-Proliferation Treaty’, ‘Comprehensive Test Ban Treaty’, ‘Intermediate Range
Nuclear Forces Treaty’ (INF) dan lain-lain. Tetapi, dengan kemajuan teknologi,
akurasi rudal, jangkauan jarak, dan keampuhan rudal siluman, yang terjadi
selama beberapa dekade terakhir, didukung dengan data hasil uji coba yang
begitu lengkap, tidak satupun perjanjian di atas yang mampu menghambat
kemampuan AS untuk melakukan atau mengancam serangan nuklir terhadap bangsa
lain. Beberapa perjanjian itu justru diberlakukan secara diskriminatif terhadap
bangsa-bangsa lain di dunia. Misalnya, Non-Proliferation Treaty (NPT), yang
diberlakukan pada tahun 1970 dan didukung penuh oleh AS, bertujuan membatasi
penyebaran senjata nuklir. Sejumlah 187 negara penandatangan NPT dibagi menjadi
dua kategori: kelompok negara-negara yang memiliki senjata nuklir, termasuk AS,
Rusia, Cina, Perancis, Inggris; dan kelompok negara-negara yang tidak memiliki
senjata nuklir. Berdasarkan perjanjian NPT, lima negara pemilik senjata nuklir
berkomitmen untuk berupaya mencapai pelucutan senjata nuklir secara menyeluruh,
sedangkan negara-negara yang tidak memiliki senjata nuklir bersepakat untuk
tidak mengembangkan atau memiliki senjata nuklir. Dengan keanggotaannya yang
hampir mendunia, NPT menjadi perjanjian pengendalian senjata dengan anggota
terbanyak, mengingat hanya Kuba, India, Israel, dan Pakistan saja yang tidak
ikut serta. Jika keempat negara ini ingin berpartisipasi, mereka akan berstatus
sebagaimana negara yang tidak memiliki senjata nuklir, karena perjanjian itu
membatasi status negara pemilik senjata nuklir sebagai negara yang ‘membuat
dan meledakkan sebuah senjata nuklir atau perangkat ledak nuklir lain sebelum 1
Januari 1967’. Bagi India, Israel, dan Pakistan –ketiganya dikenal atau
dicurigai memiliki senjata nuklir– berpartisipasi dalam perjanjian tersebut
dengan status sebagai negara yang tidak memiliki senjata nuklir akan
mengharuskan mereka untuk melucuti senjata nuklirnya dan menyerahkan
bahan-bahan pembuatan nuklir di bawah perlindungan internasional. Dengan adanya
NPT, setiap negara yang tidak memiliki senjata nuklir namun berupaya
memilikinya, dengan mudah akan dianggap sebagai ‘anak nakal’ dan akan
dijadikan sasaran, seperti yang terjadi dengan Irak, Iran dan Korea Utara
baru-baru ini. Sedangkan AS, meski tetap menjadi negara adidaya tunggal, tetap
merasa berhak mengancam negara-negara lain dengan menggunakan senjata nuklir
untuk kali pertama, dalam rangka menghalangi musuh-musuh potensialnya. Pada
prakteknya, tidak satupun dari lima negara pemilik senjata nuklir yang
menunjukkan niat serius melucuti senjata mereka sebagaimana yang ditetapkan
oleh perjanjian. Justru mereka –dipimpin oleh AS– berupaya mempertahankan
kontrol monopoli atas senjata nuklir dengan mengingkari peraturan yang
memayungi seluruh negara anggota, sebuah bentuk lain dari sikap standar ganda
mereka. Sejauh ini, AS melihat NPT hanya sebagai alat untuk menekan
negara-negara berkemampuan nuklir seperti Iran, Irak, dan Korea Utara, serta
sebagai jalan untuk menjaga perkembangan nuklir Rusia dan Cina, dengan tanpa
melakukan langkah-langkah progresif dalam perkara pelucutan senjatanya sendiri.
Bahkan AS berencana mengembangkan senjata nuklir model baru. Hal ini dilihat
sebagai perilaku hipokrit AS. AS baru saja secara unilateral keluar dari Anti
Ballistic Missile Treaty dengan Uni Soviet untuk mengembangkan ‘sistem
pertahanan rudal’, akan tetapi pada saat yang sama mengutuk Irak dan Korea
Utara dengan alasan melanggar perjanjian yang menetapkan larangan bagi dua
negara tersebut untuk membuat senjata nuklir sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar