-->
LAPORAN #5
SERI HIMMATY
KOREKSI KRITIK ARTIKEL RISALAH JUM'AT
SIKAP HATI-HATI DALAM AGAMA
Koreksi, nasihat, kritik Risalah Jum'at Edisi 35/XVII – 05 Ramadhan 1429 H – 05 September 2008 M
oleh Annas I. Wibowo
Risalah Jum'at 5 September 2008 diterbitkan oleh majelis tabligh dan dakwah khusus pimpinan muhammadiyah DIY berjudul Tujuan Puasa ditulis oleh Waris Sumarwoto Sumber: Dr. M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an, 2002
Bismillahirrohmanirrohim
Penulisan koreksi ini urutannya mengikuti urutan tulisan yang terdapat di Risalah Jum'at.
Mari kita cermati apa yang tertulis
Paragraf pertama mengenai puasa, bahwa puasa dilakukan juga oleh banyak orang atau berbagai kaum dengan berbagai sebab/ kepentingan antara lain memelihara kesehatan, merampingkan tubuh, demo mogok makan, solidaritas seperti suku-suku di india dan lainnya. Penulis menyimpulkan bahwa beragam bentuk dan tujuan puasa orang-orang yang tidak ada syariatnya itu memiliki esensi pengendalian diri. Penjelasan seperti ini tidak perlu dan tidak dapat digunakan untuk memotivasi umat Islam dalam puasanya. Apalagi untuk menerangkan QS Al-Baqarah 183. Mengapa harus menceritakan berbagai puasa tanpa dasar syariat, yang dilakukan oleh berbagai macam orang?
Paragraf kedua “....menjadi khalifah (pengganti) Tuhan dalam memakmurkan bumi.”
Pernyataan ini salah. Manusia menjadi khalifah di muka bumi tidak untuk menjadi pengganti Yang Maha Kuasa dalam memakmurkan bumi.
Dalam kalimat berikutnya: “Dalam kitab Perjanjian Lama, demikian pula dalam kitab-kitab hadits....”
Ini adalah kesalahan yang FATAL. Perkara ini sangat fundamental. Umat Islam tidak mengakui kitab Perjanjian Lama. Kitab itu adalah bagian dari bibel milik orang kristen, yang bibel jelas bukan berasal dari Allah SWT. Kalau yang dimaksud kitab-kitab terdahulu seperti taurat atau injil, maka sebut saja dalam kitab-kitab terdahulu. Tetapi tampaknya bukan itu yang dimaksud penulis.
Terjadi pensejajaran antara kitab Perjanjian Lama dengan kitab-kitab hadits. Yang demikian ini jelas SALAH. Kata “kitab-kitab hadist” menjadi memberi legitimasi diakuinya kitab Perjanjian Lama.
Paragraf ketiga dan keempat menjelaskan teori kebutuhan manusia, yaitu kebutuhan manusia dipenuhi secara berurutan dari kebutuhan fa'ali, ketentraman keamanan, keterikatan dengan kelompok, rasa penghormatan, pencapaian cita-cita. Ini adalah teori hierarki kebutuhan Maslow, yang telah banyak dikritik dan direvisi terutama dalam hal bahwa kebutuhan-kebutuhan itu harus dipenuhi secara berurutan.
Pernyataan “.... seorang yang mampu mengendalikan dirinya dalam kebutuhan pertama, akan dengan mudah mengendalikan kebutuhan-kebutuhannya yang berada pada posisi berikutnya”, menjadi tidak dapat dibuktikan karena teori Maslow itu salah. Sangat mungkin terjadi seorang yang tidak makan dan tidak minum sepanjang masa puasa tidak dapat mengendalikan “kebutuhannya” akan berghibah, atau marah-marah, atau berbohong, atau pamer, atau menghina orang. Seseorang mampu mengendalikan nafsunya ketika berpuasa adalah karena niatnya dan karena pertolongan Allah SWT.
Paragraf terakhir halaman dua:
“Kalau ditinjau dari segi hukum puasa, maka sifat Tuhan yang diusahakan untuk diteladani oleh orang yang berpuasa adalah: (1) bahwa Dia (Tuhan) memberi makan dan (tidak) diberi makan (QS Al-An'am {6}: 14); (2) Dia (Tuhan) tidak memiliki teman wanita (istri) QS Al-An'am {6}: 101).”
Terdapat perbedaan yang sangat tidak perlu dan merugikan antara kalimat di atas dengan terjemahan Al Qur'an. Bandingkan kedua-duanya:
Katakanlah: "Apakah akan aku jadikan pelindung selain dari Allah yang menjadikan langit dan bumi, padahal Dia memberi makan dan tidak diberi makan?" Katakanlah: "Sesungguhnya aku diperintah supaya aku menjadi orang yang pertama kali menyerah diri (kepada Allah), dan jangan sekali-kali kamu masuk golongan orang musyrik." (QS [6] Al An'aam 14)
Dia Pencipta langit dan bumi. Bagaimana Dia mempunyai anak padahal Dia tidak mempunyai isteri. Dia menciptakan segala sesuatu; dan Dia mengetahui segala sesuatu. (QS [6] Al An'aam 101)
Perbedaan di atas sangat aneh. Bagaimana bisa terjadi?
Di halaman tiga penulis mengutip pernyataan filosof muslim Ibnu Sina. Siapakah Ibnu Sina? Seorang filosof? Mengapa tidak mengutip ulama atau Nabi SAW? Seseorang tidak boleh mempelajari filsafat-filsafat yunani maupun filsafat-filsafat lain. Kalau filsafat tidak bertentangan dengan apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, mengapa ada ilmu yang bernama filsafat, dengan banyak area bahasan yang sama dengan agama Islam?
Pernyataan Ibnu Sina: “Ia tidak akan marah atau tersinggung walaupun melihat orang mungkar sekalipun, karena jiwanya selalu diliputi rahmat kasih sayang....”
Orang yang demikian menurut Nabi SAW adalah tidak memiliki iman. Orang yang beriman bila melihat kemungkaran maka harus mengubahnya dengan tangan, jika tidak bisa maka dengan ucapan, jika tidak bisa maka dengan hati. Mengubah dengan hati adalah selemah-lemah iman. Mengubah dengan hati yaitu dengan mengingkari perbuatan mungkar itu, menyadari bahwa perbuatan itu mungkar dan tidak ridho dengannya. Seorang yang beriman harus bisa marah/ membenci suatu kemungkaran karena Allah SWT. Pernyataan Ibnu Sina tersebut jelas MENYELISIHI Nabi SAW.
Demikian pula pernyataan Ibnu Sina berikutnya “apabila ia mengajak kepada kebaikan ia akan mengajak dengan lemah lembut, tidak dengan kekerasan, dan tidak pula dengan kecaman dan kritik”
Nabi SAW pernah bersabda dalam kondisi marah karena perilaku sebagian penduduk madinah yang tidak sholat berjamaah di masjid karena kemunafikan. Juga dalam peristiwa-peristiwa lainnya seperti ketika melerai suku aus dan khazraj yang terprovokasi seorang yahudi. Juga ketika bersabda mengenai seorang imam suatu daerah yang bacaan sholatnya sangat panjang menyusahkan jamaahnya.
Pernyataan Ibnu Sina lagi: “Ia akan selalu pemaaf. Betapa tidak, karena dadanya demikian lapang, sehingga mampu menampung segala kesalahan orang.” Pernyataan ini memiliki semangat yang sama dengan pernyataan sebelumnya yang menyelisihi Nabi SAW. Umat Islam diwajibkan menegakkan hukum Allah SWT, menjadikan Nabi SAW sebagai hakim.
Di halaman empat, “....mengantarkan kepada takwa, yang mempunyai ciri yang sangat luas, sama halnya dengan Al-Shirath Al-Mustaqim (jalan yang luas dan lurus), sehingga karena keluasan dan kelurusannya ia dapat menampung banyak jalan yang berbeda-beda selama jalan-jalan tersebut penuh dengan kedamaian”
Apa artinya: takwa mempunyai ciri yang sangat luas? Benarkah Al-Shirath Al-Mustaqim mengandung arti/ makna: luas? Apa maksud dari banyak jalan yang berbeda-beda tapi masing-masing penuh dengan kedamaian? Maksudnya dapat diketahui dari pernyataan berikutnya dari penulis sekaligus pernyataannya yang terakhir.
Penulis memberikan sebuah ayat:
Allah berfirman: “Tuhan memimpin dengan kitab suci Al-Qur'an, orang yang mengikuti keridhaan-Nya menuju jalan-jalan kedamaian, mengeluarkan mereka dari gelap gulita menuju cahaya yang terang benderang, dan (akhirnya) mengantar mereka ke jalan yang luas lagi lurus” (QS Al-An'am {6}: 16).
Ternyata QS Al-An'am {6}: 16 bunyinya tidak seperti itu, tetapi ini:
“Barangsiapa yang dijauhkan azab dari padanya pada hari itu, maka sungguh Allah telah memberikan rahmat kepadanya. Dan itulah keberuntungan yang nyata.”
Jadi kemungkinan terjadi salah ketik. Lalu yang benar surat apa, ayat berapa? Ayat yang paling dekat redaksi terjemahannya dengan yang di atas adalah:
“Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang-benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” (QS [5] Al Maa'idah 16)
Benarkah Al-Shirath Al-Mustaqim mengandung arti: luas?
Penulis mengartikan atau memahami QS [5] Al Maa'idah 16 dengan pemahaman demikian: “Ini berarti bahwa perbedaan-perbedaan jalan selalu dapat ditampung oleh Al-Shirath Al-Mustaqim, selama jalan-jalan tersebut bercirikan kedamaian, keamanan, dan keselamatan”
Yang menjadi misteri terbesar dari pernyataan terakhir penulis di atas adalah apa yang dimaksud dengan jalan-jalan yang bercirikan kedamaian, keamanan, dan keselamatan yang dapat ditampung Al-Shirath Al-Mustaqim yang luas?
Jelas, jalan yang berbeda-beda tapi masing-masing penuh kedamaian mestinya bukan agama-agama selain Islam yang semuanya mengaku penuh kedamaian, keamanan, dan keselamatan. Apakah ini yang dimaksud oleh penulis? Juga jelas tidak bisa diartikan aliran-aliran “Islam” sesat yang keseluruhan bisa mengaku dan dianggap penuh kedamaian, keamanan, dan keselamatan.
Ternyata yang dimaksud "jalan yang berbeda-beda" oleh penulis hanya berhenti pada pernyataannya itu sendiri. Yang jika demikian, aliran-aliran sesat dapat juga tercakup di dalamnya. Pernyataan penulis tidak bisa konklusif, rinci, dan nyata. Padahal seharusnya sama sekali tidak perlu seperti itu, yang dapat merugikan, menimbulkan kebingungan dan keburukan, kerusakan mengarah ke paham pluralisme, liberalisme yang jelas salah dan sesat.
“Alif, laam raa. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang-benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.” (QS [14] Ibrahim 1)
“dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain)[521], karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa.” (QS [6] Al An'aam 153)
[521] Maksudnya: janganlah kamu mengikuti agama-agama dan kepercayaan yang lain dari Islam.
Al-Shirath Al-Mustaqim merupakan satu-satunya jalan yang diridhoi Allah SWT, yaitu jalan yang lurus.
Apa arti membumikan Al Qur'an? Al Qur'an mengangkat manusia ke derajat yang tinggi dengan aqidah dan syariahnya.
Terdapat satu hal lagi yaitu penggunaan kata “Tuhan” yang konsisten, di sepanjang tulisan yang ditujukan untuk umat muslim. Seharusnya seorang muslim banyak menggunakan nama-nama Allah SWT.
Koreksi ini telah disampaikan ke redaksi risalah jum'at.
Semoga Yang Maha Kuasa melindungi agama kami. Aamiin.
Alhamdulillah, Wallahu a'lam.[]
berhati-hati dalam agama
hati-hati dalam menulis buletin
berhati-hati dalam membuat tulisan
koreksi kritik buletin risalah jumat
koreksi kritik nasihat artikel tulisan buletin agama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar