Unduh BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Selasa, 28 Juli 2020

IMF: Penolong atau Penyolong?



Semenjak keruntuhan komunisme dan berakhirnya Perang Dingin di penghujung tahun 80-an, menurut Didin S. Damanhuri (Problem Utang dalam Situasi “Hegemoni Ekonomi Global, 2000), praktis secara politik dunia memasuki periode Pax Americana. Artinya, yakni semua negara, mau tidak mau, harus melakukan political adjustment terhadap kekuatan politik dan militer AS dan sekutu-sekutunya. Kenyataan ini membawa konsekuensi secara ekonomi, yakni masuknya dunia secara monolitik ke dalam sistem perekonomian global neoliberal yang terlembagakan ke dalam perjanjian-perjanjian internasional seperti WTO. Keadaan ini membawa pengaruh dan perubahan-perubahan yang sangat dahsyat, di antaranya adalah di bidang finansial.

Pada awal tahun 1980, kalangan MNC, yang bermula berpangkalan di AS dalam rangka meningkatkan kapasitas permodalan, memanfaatkan dana-dana nganggur semisal yang berada di lembaga-lembaga dana pensiun, asuransi, dan sebagainya. Mereka juga memburu dana murah di pasar modal atau bermain valas dalam pasar uang. Cara ini lantas menjalar ke negara-negara industri lainnya di Eropa dan Jepang, kemudian ke negara-negara industri baru: Singapura, Hongkong dan seterusnya, hingga menghinggapi semua negara dan menjalar ke semua level perusahaan. Keadaan itu membuat terjadinya peningkatan arus moneter yang luar biasa dahsyatnya tanpa diimbangi oleh peningkatan arus barang dan jasa yang setara.

Pakar manajemen dunia, Peter Drucker, menyebut gejala ketidakseimbangan antara arus moneter serta arus barang dan jasa tersebut sebagai “decoupling”. Apalagi, bersamaan dengan itu, marak pula fenomena kegiatan ekonomi dan bisnis spekulatif (terutama di dunia pasar modal, pasar valas, dan properti). Akibatnya, dunia terjangkit penyakit ekonomi balon (bubble economy); sebuah ekonomi yang besar dalam perhitungan kuantitas moneternya, tetapi tidak diimbangi oleh sektor real, bahkan sektor real itu amat jauh ketinggalan. Sebagai perbandingan, dana yang berputar di sektor non-real dalam satu tahun berjumlah sekitar 700 triliun dolar AS, sementara di sektor real hanya sekitar 7 triliun dolar AS atau hanya seper-seratusnya. Hal ini menunjukkan bahwa uang kini makin tidak lagi sekadar sebagai alat tukar, tetapi telah menjadi komoditas yang diperjualbelikan atau dispekulasikan. Dengan itu, orang dapat meraup keuntungan miliaran dolar dalam waktu sekejap, tetapi dalam sekejap lagi kemudian bisa rugi miliaran dolar juga.

Satu lagi fenomena dalam hegemoni ekonomi global adalah bahaya jebakan utang atau debt trap. Dengan utang yang kini berjumlah lebih dari 140 miliar dolar AS. Indonesia misalnya, praktis menjadi negara pengutang terbesar di dunia. Bila sebelumnya utang dianggap sebagai jalan keluar pintas untuk memburu target pertumbuhan, sejak tahun 80-an, utang telah dipersepsikan sebagai bentuk baru kolonialisme dan imperialisme.

Bukan hanya Indonesia, krisis utang terjadi di banyak negara berkembang lainnya, dan itu sangat mempengaruhi dunia ekonomi. Di negara berkembang saat ini, tidak ada faktor lain yang lebih besar pengaruhnya terhadap perubahan ekonomi dan politik selain utang luar negeri. Lantas, apa penyebab utama utang ini dalam arti yang luas? Apa pula pengaruhnya dalam proses pembangunan sebuah negara?

Jebakan Mematikan

Menurut Rudolf H. Strahm (Kemiskinan Dunia Ketiga, 1999), sebab utama utang negara-negara berkembang adalah politik negara-negara industri yang menjual produk ekspornya dengan kredit yang diobral ke negara-negara tersebut. Motto mereka adalah, “BeIi sekarang bayar belakangan.” Hanya dengan politik ini, negara-negara industri bisa mengatasi krisis penjualan barang-barang produk dunia industri mereka. Pada prinsipnya, negara maju hanya menjadikan negara berkembang sebagai tempat sampah untuk membuang kelebihan industrinya. Defisit neraca pembayaran ini, mau tidak mau, harus ditutup dengan pinjaman luar negeri.

Sementara itu, bank-bank asing saling berlomba untuk memberikan kredit dan pinjaman kepada negara-negara berkembang. Akibatnya, utang semakin membengkak karena tagihan yang jatuh tempo, sementara jumlah bunga yang harus dibayarkan telah melampaui kredit baru yang akan didapat.

Didik J. Rachbini (Risiko Pembangunan yang dibimbing Utang, 1995) mengatakan bahwa utang luar negeri yang tidak terkendali adalah beban yang berat bagi sistem ekonomi. Dalam jangka panjang, utang luar negeri akan membahayakan pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Faktor-faktor seperti itulah yang sesungguhnya merupakan titik kritis dari pengelolaan ekonomi secara makro, meskipun lembaga-lembaga internasional seperti IMF dan World Bank selalu memprediksikan pertumbuhan ekonomi secara optimis.

Pertumbuhan ekonomi sangat ditentukan oleh seberapa besar pengeluaran pembangunan yang diputuskan pemerintah setiap tahun. Pada sisi pengeluaran rutin, APBN NKRI dijebak oleh pengembalian utang pokok dan bunganya.

Dari tahun ke tahun, upaya rezim adalah dengan peningkatan penerimaan pajak dan sektor migas, minerba. Akan tetapi, jumlah yang dikumpulkan dari keringat rakyat dan eksploitasi sumber alam tidak cukup untuk membayar cicilan utang pokok dan bunganya setiap tahun. Jadi, jika NKRI tidak mendapat utang baru dari negara donor, praktis tidak dapat membangun, karena tidak ada dana yang tersisa untuk pembangunan langsung. Semua dana yang diperoleh habis digunakan untuk membayar cicilan utang dan bunganya.

Cicilan utang pokok dan bunganya cenderung meningkat dan cenderung lebih besar daripada perolehan utang baru. Transfer negatif mulai terjadi sejak tahun 1986/1987, karena utang yang diperoleh waktu itu sebesar 3,795 triliun rupiah jauh lebih kecil daripada cicilan sebesar 5,059 triliun rupiah. Pada tahun 1988, defisitnya meningkat karena utang yang didapat hanya sekitar 6,2 triliiun, sementara cicilan dan bunganya mencapai 8,2 triliun rupiah. Pada tahun-tahun berikutnya, defisit itu makin membesar. Pada tahun 1993/1994, utang yang didapat hanya 9,126 triliun, sementara cicilan dan bunga yang harus dibayar sebesar 16,712 triliun rupiah.

Sementara itu, pada tahun 1990, terjadi aliran modal keluar (negative out-flow) sebesar 2 miliar dolar AS, karena pinjaman yang didapat hanya sekitar 4,8 miliar dolar AS. Pada tahun 1991/1992, kewajiban membayar cicilan dan bunga utang luar negeri ini mencapai 9 miliar dolar AS, sementara utang baru yang didapat dari CGI hanya sekitar 4,9 miliar dolar AS. Andaikata utang yang didapat lebih besar dari utang yang harus dibayar tetaplah sangat merugikan penduduk negeri ini.

Pola pembangunan yang dibimbing utang luar negeri lebih banyak didikte negara-negara donor dan sebagian besar aliran uang tersebut kembali ke negara asalnya. Untuk kasus ODA Jepang, menurut Prof. Murai, sekitar 70 persen dari nilai total pinjaman kembali ke negara asalnya melalui perusahaan-perusahaan yang menjadi pelaksana proyek pembangunan tersebut. Melalui mekanisme pelaksanaan yang diatur, kontraktor dan segala penyediaan kebutuhan pembangunan lewat jalur utang di negara peminjam didominasi oleh negara donor.

Walhasil, negara berkembang harus membayar lebih banyak daripada yang mereka dapatkan. Menurut Didik J. Rachbini, selama periode sembilan tahun, aliran dana dari negara donor ke negara pengutang sebesar 927 miliar dolar AS. Akan tetapi, pada periode yang sama, negara-negara pengutang itu mengalirkan balik 1.345 miliar dolar AS ke negara-negara pemberi utang. Artinya, melalui mekanisme utang luar negeri ini, negara-negara Dunia Ketiga kini malah justru memberi subsidi kepada negara maju.

IMF: Penolong atau Penyolong?

Negara-negara berkembang yang sedang dalam kesulitan, seperti Indonesia, harus tunduk patuh pada kemauan IMF. Oleh karena itu, IMF tampak seperti pencekik berdarah dingin. Tuntutan-tuntutan di bidang politik dan ekonomi yang diajukan IMF biasanya berjalan seperti ini: menghapus subsidi bahan pokok -Indonesia telah menghapus sebagian subsidi BBM yang membuat harganya menaik- sehingga akan meningkatkan harga bahan pokok; mengurangi pengeluaran sosial sehingga akan merugikan pusat kesehatan, sekolah, dan badan-badan sosial; membolehkan laba ditarik ke luar negeri melalui kebijakan rezim devisa bebas sehingga akan menguntungkan perusahaan multinasional.

Pil pahit dari IMF yang harus ditelan ini, secara sistematis akan mengurangi daya beli kaum lemah masyarakat tersebut, karena negara yang bersangkutan harus menghemat pengeluarannya guna membayar utang dan bunga. Tindakan pengencangan ikat pinggang tanpa pandang bulu ini selalu menimbulkan penolakan sosial. Tanpa campur tangan aparat keamanan dan militer, keputusan politik tadi tidak akan bisa dijalankan. Pendek kata, mekanisme utang ini hanya akan menyebabkan makin terinjaknya kaum lemah hingga terdesak jauh di bawah garis kemiskinan. Oleh karenanya, proses ini lebih pantas disebut sebagai pembangunan yang salah arah.

Akibatnya, krisis utang membawa keruntuhan sistem ekonomi dan kekacauan politik. Bunga dan cicilan yang harus dibayar memaksa rakyat negara tersebut terus-menerus mengencangkan ikat pinggang. Sementara itu, kebijaksanaan ekonomi yang didikte oleh pihak luar pada dasarnya hanya akan semakin menyengsarakan kalangan bawah bangsa tersebut.

Ironisnya lagi, orang yang menikmati keuntungan dari utang ini biasanya hanyalah kalangan atas yang jumlahnya sangat sedikit. Sementara itu, beban berat untuk melunasi utang dan membayar bunganya harus dipikul oleh rakyat secara umum.

Oleh karena itu, tidak ada satu negarapun di bawah strategi Bank Dunia dan IMF yang menunjukkan prestasi baik dalam pembangunan ekonominya. Kebanyakan negara-negara yang mengadopsi strategi dan berutang pada lembaga-lembaga multilateral tersebut terjerembab ke dalam jebakan utang yang membahayakan, demikian simpulan dari seminar ekonomi di Universitas Boston AS.

Sikap Menghadapi Utang

Apakah ada penyelesaian yang tepat untuk menanggulangi krisis utang di negara-negara Dunia Ketiga? Benyamin Weiner, presiden perusahaan Probe Internasional Stanford, menjawab, “Tidak ada." Jumlah utang, yang telah mencapai lebih dari setengah triliun dolar AS pada pertengahan tahun 1980-an, tidak akan pernah terbayar kembali, bahkan cenderung membengkak dari waktu ke waktu. Sampai tahun 1990, akumulasi utang, negara-negara berkembang telah mencapai lebih dari 900 miliar dolar AS.

Bahkan, Henry Kissinger juga merasa pesimis terhadap upaya-upaya untuk menyelesaikan masalah krisis utang negara-negara berkembang, karena setiap utang baru yang diperoleh harus dibayarkan kembali untuk pembayaran cicilan plus bunga. Cara yang terakhir inilah yang disebut “gali lubang tutup lubang”. Celakanya, lubang yang digali selalu lebih dalam dari tanah untuk menutupnya. Akhirnya, lubang yang digali, kian hari kian dalam. Inilah cara penyelesaian paling buruk dan memeras Dunia Ketiga. Kissinger mengatakan, “Kita berada di dalam suatu periode yang rumit dari apa yang boleh Anda sebut sebagai kapitalisasi bunga, yakni peminjaman uang baru yang kemudian kembali lagi dalam bentuk bunga, yang selalu membuat utang selalu bertambah.”

Menghadapi problematika utang luar negeri, paling tidak, ada tiga kelompok sikap umat:
Pertama, kelompok progresif radikal. Kelompok ini melihat bahwa utang luar negeri sekarang bukan lagi sekadar sebagai instrumen ekonomi belaka, tetapi lebih sebagai alat politik untuk melanggengkan dominasi ekonomi global, khususnya terhadap Dunia ketiga yang kebanyakan merupakan negeri Muslim. Oleh karena itu, mengharapkan ada penyelesaian rasional atas problematika utang tak ubahnya seperti meminta kepada lawan untuk mengubah strategi di saat ia tahu sedang di atas angin, itu hal yang mustahil. Oleh karena itu, harus ada tindakan yang sangat berani untuk menolak sama sekali pembayaran bunga karena bunga itu haram, menyetop pinjaman berikutnya, dan memaksakan penjadwalan pembayaran utang-utang pokok.

Kedua, kelompok progresif-realistik. Kelompok ini menyadari bahayanya jebakan utang, tetapi menganggap bahwa meninggalkannya sama sekali adalah suatu yang tidak mungkin. Belum lagi memperhitungkan reaksi dari negara maju yang mungkin saja melakukan sanksi ekonomi berupa embargo atau bahkan tindakan militer kepada negara yang dinilainya tidak kooperatif.

Ketiga, kelompok kompromistik. Kelompok ini menilai bahwa masalah ini adalah suatu kenyataan yang -sekalipun pahit- harus dihadapi, sambil terus mencari formula penyelesaian yang menguntungkan semua pihak. Akan tetapi, mungkinkah, di saat dunia telah dirasuki oleh adagium might is right?
Bacaan: Majalah al-Wa’ie edisi 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Download BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam