(Catatan Pengantar Bedah Buku Negara Islam)
Oleh: Muhammad Shiddiq al-Jawi
Daulah Islamiyah (Negara Islam) dapat dianggap salah satu kata paling kontroversial dalam wacana pemikiran umat Islam. Betapa tidak, di satu sisi ada yang menganggap Daulah Islamiyah sebagai kewajiban yang tidak diragukan lagi dalam Islam, namun di sisi lain ada yang berpendapat sebaliknya: menolak adanya ide Negara Islam. Nurcholis Madjid, misalnya, dalam bukunya Tidak Ada Negara Islam mengatakan bahwa dalam al-Qur`an tidak ada perintah mendirikan Daulah Islamiyah karena tidak ada kata daulah (negara). Yang ada adalah kata duulah (peredaran/pergiliran) dalam surat al-Hasyr [59]: 7.
Nurcholis Madjid barangkali lupa, bahwa meski kosakata Daulah Islamiyah belum dikenal pada masa Rasulullah SAW dan juga masa para fuqoha terdahulu, namun mereka telah menggunakan istilah-istilah lain dengan pengertian yang relatif sama, yaitu Darul Islam dan Khilafah (Imamah). Dengan demikian, argumentasi Nurcholis Madjid sebenarnya amatlah dangkal dan gegabah. Kelemahan argumentasi Nurcholis Madjid nampak makin nyata tatkala kita mencoba menerapkan alur pikir argumentasinya itu dalam penerimaannya terhadap ide-ide Barat seperti konsep republik dan demokrasi. Sungguh aneh bin ajaib, ternyata Nurcholis Madjid telah menerima ide republik dan demokrasi, meskipun kata ad-dimuqratiyah dan al-jumhuriyah tidak pernah ada dalam al-Qur`an!
Jadi apa sebenarnya yang menjadi tujuan Nurcholis Madjid dengan menolak negara Islam? Dengan mengingat realitas hegemoni Barat atas Dunia Islam, maka tujuan Nurcholis Madjid dan juga para intelektual muslim lainnya yang sependapat dengannya -yang sebenarnya lebih patut disebut ‘orientalis muslim’- adalah memberikan legitimasi atas imperialisme Barat yang kafir atas Dunia Islam, dengan cara mementahkan ide negara Islam dan mengopinikan bahwa ide-ide Barat yang kufur seperti konsep republik dan demokrasi adalah ide-ide yang Islami. Dengan demikian, umat Islam digiring untuk membuang ajaran Islam yang asli dan pada saat yang sama mereka ditipu untuk rela menerima ide-ide kafir dari Barat.
Di tengah kontroversi ada-tidaknya negara Islam ini, kehadiran buku Negara Islam karya Taqiyuddin An-Nabhani patut disambut hangat. Meskipun buku ini ditulis pada tahun 1953, namun pembahasannya tetap relevan untuk masa sekarang. Sebab buku ini memang sedang dibutuhkan oleh umat saat ini, bukan sekedar untuk kepentingan melayani pertarungan pemikiran (ash-shira’ al-fikri) dengan para intelektual antek-antek Amerika, namun juga untuk membekali mereka dengan pemikiran-pemikiran yang jernih dan shahih seputar negara Islam.
Pemikiran-pemikiran ini sangat dibutuhkan saat ini mengingat kaum muslimin memang banyak mengalami kesulitan untuk menggambarkan hal ihwal negara Islam. Ini terjadi karena dua sebab: Pertama, karena generasi muslim sekarang tidak pernah hidup dalam naungan negara Islam, setelah hancurnya Khilafah Islamiyah di Turki tahun 1924. Mereka kini hidup dalam cengkeraman pola hidup Barat yang sekuler, sehingga ketika mereka mencoba menganalisis sejarah umat Islam terdahulu, mereka tak dapat melepaskan diri dari standar-standar demokrasi yang rusak dan dipaksakan atas umat Islam. Karenanya, tatkala mereka mendapatkan fakta bahwa Khalifah menjadi pemimpin atas pilihan umat, mereka mengatakan bahwa pada masa Khulafa` Rasyidin, sistem demokrasilah yang diterapkan. Sebab, katanya, demokrasi itu berprinsip bahwa pemimpin merupakan hasil pilihan rakyat. Ketika mereka menjumpai bahwa hak kepemimpinan Khalifah terbuka bagi setiap warga negara, mereka mengatakan bahwa pada masa Khulafa` Rasyidin, telah diterapkan sistem republik. Karena menurut mereka pada sistem republik, setiap orang mempunyai kedudukan yang sama, sehingga masing-masing berhak untuk mendapatkan kedudukan sebagai pemimpin. Demikian pula tatkala mereka membaca sejarah umat pasca Khulafa` Rasyidin, mereka mengatakan bahwa sistem pemerintahan yang diterapkan adalah monarki (kerajaan), karena hak kepemimpinan negara telah diwariskan secara turun temurun sebagaimana halnya dalam sistem monarki.
Kedua, generasi umat Islam sekarang banyak yang menganut tsaqafah (kebudayaan) Barat, yang membawa pola pikir tertentu yang dapat melahirkan kesulitan menggambarkan negara Islam. Bahkan pola pikir itu dapat menghasilkan sikap penolakan terhadap negara Islam. Misalnya saja, ide sekulerisme dan nasionalisme. Dengan ide sekulerisme (pemisahan agama dari kehidupan), orang bisa menilai bahwa negara Islam adalah negara yang terbelakang, karena menempatkan agama secara ekstrem, seperti halnya negara-negara Eropa pada Abad Pertengahan (V – XV M). Padahal Eropa baru bisa bangkit dari masa-masa kegelapan dan keterbelakangan setelah mereka melepaskan diri dari dominasi agama (Katolik) serta memisahkan urusan kehidupan mereka dari agama. Dengan ide nasionalisme, bisa saja orang menilai bahwa negara Islam adalah negara yang bersifat primordial dan tidak sesuai dengan semangat pluralisme. Karena menurut nasionalisme, negara harus didirikan di atas semua golongan dan agama, tidak boleh didirikan menurut salah satu agama.
Kedua sebab itulah yang membuat generasi sekarang sulit membayangkan, bagaimana sih negara Islam itu ? Karenanya, ketika menyinggung negara Islam, tak jarang sebagian orang mengatakan, “Sekarang ini mana coba yang disebut negara Islam? Apakah Iran, Saudi Arabia, Pakistan, dan Sudan dapat disebut negara Islam?” Tentu saja ini adalah pertanyaan retoris yang bodoh. Sebab mereka telah terpenjara dengan ide positivisme yang menganggap bahwa sebuah ide baru dikatakan benar kalau ada faktanya. Jika sebuah ide tak ada faktanya, maka ide itu hanya omong kosong belaka. Bagaikan mimpi di siang hari bolong.
Dengan demikian, adanya penjelasan yang gamblang mengenai negara Islam sangatlah diperlukan. Dan buku Negara Islam karya Taqiyuddin An-Nabhani ini adalah salah satu buku terbaik yang menjelaskan fakta negara Islam. Dalam bukunya, beliau banyak menguraikan fakta-fakta historis negara Islam. Namun demikian, dalam Mukadimah buku tersebut, Taqiyuddin An-Nabhani menyatakan bahwa buku Negara Islam tidaklah bertujuan untuk menceritakan sejarah negara Islam, melainkan mempunyai tujuan-tujuan lain, yaitu: Pertama, menjelaskan bagaimana Rasulullah SAW berjuang mendirikan negara Islam. Kedua, menjelaskan bagaimana negara-negara Barat menghancurkan negara Islam. Ketiga, bagaimana umat Islam berjuang untuk mendirikan kembali negara Islam.
Bagaimana Rasulullah SAW berjuang mendirikan negara Islam, diterangkan mulai awal buku hingga kira-kira pertengahan buku (s/d hal. 192 dari total 351 halaman). Perjuangan ini diawali dari mulai diangkatnya Muhammad sebagai Rasul ketika beliau berumur 40 tahun. Selanjutnya beliau berjuang melalui tahap pembinaan dan pengkaderan (marhalah tsaqafah), tahap berinteraksi dengan masyarakat (marhalah tafa’ul) dan tahap pendirian negara (marhalah iqamat ad-daulah). Setelah berdirinya Daulah Islamiyah di Madinah setelah Baiat Aqabah II, Rasulullah menjalankan politik dalam negeri dan luar negeri dari negara Islam. Politik dalam negeri dilaksanakan dengan menerapkan hukum-hukum Allah untuk mengatur berbagai urusan umat. Sedang politik luar negeri dilaksanakan dengan menyebarkan Islam ke luar negeri dengan jalan dakwah dan jihad fi sabilillah. Setelah wafatnya Rasulullah SAW, negara Islam selanjutnya terus berlangsung untuk masa yang demikian lama dengan berbagai pasang surutnya.
Bagaimana negara-negara Barat menghancurkan negara Islam, diterangkan dalam buku ini dalam bab-bab yang menjelaskan berbagai langkah negara-negara Barat yang bertujuan untuk melenyapkan negara Islam (hal. 240 s/d hal. 315). Negara Islam yang sudah mengalami kelemahan dalam pemahaman dan penerapan Islam, harus menerima beban tambahan berupa serangan Barat. Serangan misionaris (al-ghazw al-tabsyiri) dan serangan politik (al-ghazw al-siyasi) terhadap Dunia Islam, merupakan sebagian ulah Barat untuk menghancurkan negara Islam. Negara-negara Barat akhirnya berhasil menghancurkan negara Islam di Turki pada tahun 1924, melalui konspirasi antar mereka dengan memperalat agennya Musthafa Kamal Ataturk. Negara-negara Barat pun terus melakukan berbagai upaya untuk menghalangi berdirinya negara Islam.
Bagaimana umat Islam berjuang untuk mendirikan kembali negara Islam, diterangkan dalam buku ini (dari hal. 326 s/d hal 351). Penjelasannya diawali dengan pembahasan hukum wajib mendirikan negara Islam beserta dalil-dalilnya yang terperinci. Diterangkan pula berbagai hambatan yang ada dalam perjuangan mengembalikan negara Islam. Pada ujung buku, diterangkan metode yang harus ditempuh umat untuk mengembalikan negara Islam, yaitu dengan mengemban dakwah Islamiyah (haml al-dakwah al-Islamiyah) (hal. 347), yang tentunya wajib berpedoman pada hukum syara’ dan sirah Rasulullah SAW.
Dari berbagai ulasan dalam buku ini, kiranya ada 2 (dua) catatan yang patut kita perhatikan : Pertama, negara Islam, bukanlah suatu utopia atau khayalan hampa yang hanya mengawang-awang di langit. Negara Islam adalah suatu kenyataan yang pernah menjadi fakta sejarah yang konkret, yang telah ada sepanjang sejarah umat Islam. Negara Islam, Insya Allah, akan segera wujud kembali, karena faktor-faktor yang mengarah pada pendiriannya lebih kuat daripada faktor-faktor yang menafikan langkah untuk mengadakannya kembali. Kedua, mendirikan negara Islam adalah wajib hukumnya atas kaum muslimin. Jadi perjuangan untuk negara Islam bukanlah perjuangan berdasar ambisi politik atau kekuasaan, melainkan perjuangan yang dilandasi oleh ketakwaan, yakni semata-mata dilaksanakan karena perintah Allah Azza wa Jalla. Pada asalnya, hukum mendirikan negara Islam adalah fardhu kifayah. Namun karena sekarang kifayah (kecukupan) itu belum terwujud, maka status hukumnya adalah fardlu ‘ain. Jadi mendirikan negara Islam kini merupakan tanggung jawab setiap muslim, seperti halnya sholat lima waktu dan shaum Ramadhan.
Mudah-mudahan negara Islam berhasil ditegakkan kembali oleh kaum muslimin dalam waktu dekat ini, sesuai janji Allah dan Rasul-Nya. Meskipun demikian, umat Islam hendaknya selalu sadar, bahwa perjuangan ini bukanlah sesuatu yang mudah. Berbagai rintangan dan hambatan menghadang di jalan. Negara-negara Barat yang kafir serta antek-anteknya dari kalangan penguasa dan intelektual tidak akan tinggal diam. Namun akhirnya, kehendak Allah jualah yang akan terwujud, insya Allah. Islam akan kembali tegak dan jaya, meskipun orang-orang kafir membencinya. Allah berfirman:
“Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir benci.” (Qs. ash-Shaff [61]: 8).[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar