PENETAPAN AWAL AKHIR RAMADHAN, DAN PERSATUAN UMAT ISLAM
KRITIK ATAS MATHLA’
Persoalan
berikutnya adalah mathla’ (tempat lahirnya bulan). ‘Ulama Syafi’iyyah
menyatakan bahwa bila satu kawasan melihat bulan, maka daerah dengan
radius 4 farsakh dari pusat ru’yat bisa mengikuti hasil ru’yat daerah
tersebut. Sedangkan daerah di luar radius itu boleh melakukan ru’yat
sendiri, dan tidak harus mengikuti hasil ru’yat daerah lain. Mereka
menyandarkan alasan mereka dengan riwayat dari Kuraib,
Diriwayatkan
dari Kuraib bahwa Ummul Fadl telah mengutusnya untuk menemui Muawiyyah
di Syam. Kuraib berkata, ‘Aku memasuki Syam lalu menyelesaikan urusan
Ummul Fadl. Ternyata bulan Ramadhan tiba sedangkan aku masih berada di
Syam. Aku melihat hilal (bulan sabit) pada malam Jum’at. Setelah itu aku
memasuki kota Madinah pada akhir bulan Ramadhan. Ibnu Abbas lalu
bertanya kepadaku dan menyebut persoalan hilal’. Dia bertanya, ‘Kapan
kalian melihat hilal?’ Aku menjawab, ‘Kami melihatnya pada malam
Jum’at’. Dia bertanya lagi, ‘Apakah kamu sendiri melihatnya?’. Aku jawab
lagi: ‘Ya, dan orang-orang juga melihatnya. Lalu mereka berpuasa,
begitu pula Muawiyyah’. Dia berkata lagi: ‘Tapi kami (di Madinah)
melihatnya pada malam Sabtu. Maka kami terus berpuasa hingga kami
menyempurnakan bilangan tiga puluh hari atau hingga kami melihatnya’.
Aku lalu bertanya: ‘Tidak cukupkah kita berpedoman pada ru’yat dan puasa
Muawiyyah?’. Dia menjawab: ‘Tidak, (sebab) demikianlah Rasulullah SAW
telah memerintahkan kepada kami’." (HR. Jama’ah kecuali Bukhari dan
Ibnu Majah).
Hadits
ini mereka gunakan sandaran keabsahan mathla’. Padahal bila kita
meneliti lebih lanjut pendapat para penganut mathla’, kita akan dapatkan
sesungguhnya pendapat mereka adalah lemah.
Pertama, sebenarnya
dalil yang mereka gunakan adalah ijtihad Ibnu Abbas, bukan hadits yang
diriwayatkan secara marfu’. Walaupun hadits itu secara lafdziyyah
seakan-akan menunjukkan marfu’, yakni perkataan Ibnu Abbas, “Tidak, (sebab) demikianlah Rasulullah SAW telah memerintahkan kepada kami’, namun
bila kita bandingkan riwayat-riwayat lain yang juga diriwayatkan oleh
Ibnu Abbas sendiri, maka terlihatlah bahwa perkataan Ibnu Abbas itu
adalah hasil ijtihad beliau sendiri. Ibnu Abbas sendiri banyak
meriwayatkan hadits marfu’ yang bertentangan dengan hadits riwayat dari
Kuraib di atas. Semisal riwayat dari Ibnu Abbas dari Nabi Saw.,
“Janganlah
kalian berpuasa hingga kalian melihat hilal. Dan janganlah kalian
berbuka berpuasa (mengakhiri Ramadhan) hingga kalian melihatnya pula.
Maka jika (pandangan) kalian terhalang, sempurnakanlah bilangan sebanyak
tiga puluh hari". (HR. Bukhari Muslim).
Atas dasar itu, hadits dari Kuraib adalah ijtihad pribadi Ibnu Abbas. Ijtihad shahabat tidak layak digunakan dalil untuk menetapkan hukum.
Kedua, hadits tentang perintah ru’yat bersifat umum, dan khithab (seruannya) berlaku bagi seluruh kaum muslimin. Kata “shuumuu liru’yatihi” adalah lafadz umum. Artinya, bila satu daerah telah melihat bulan, maka wilayah yang lain harus berpuasa karena hasil ru’yat daerah tersebut.
Imam Syaukani
menyatakan, "Sabda beliau ini tidaklah dikhususkan untuk penduduk satu
daerah tertentu tanpa menyertakan daerah yang lain. Bahkan sabda beliau
ini merupakan khithab (seruan) yang tertuju kepada siapa saja di antara
kaum muslimin yang khithab/ seruan itu telah sampai kepadanya. "Apabila
penduduk suatu negeri telah melihat hilal, maka (dianggap) seluruh kaum
muslimin telah melihatnya. Ru’yat penduduk negeri itu berlaku pula bagi
kaum muslimin lainnya."
Imam
Syaukani menyimpulkan, “Pendapat yang layak dijadikan pegangan adalah,
apabila penduduk suatu negeri telah melihat bulan sabit (ru’yatul
hilal), maka ru’yat ini berlaku pula untuk seluruh negeri-negeri yang
lain." [lihat pula pendapat Imam Ibnu Hajar al-Asqalaniy; Fath
al-Baariy; Bab Shiyaam].
Kedua, riwayat
Kuraib tersebut merupakan ijtihad seorang sahabat. Atas dasar itu, ia
tidak bisa digunakan sebagai dalil atau apapun untuk mentakhsis
(mengkhususkan) keumuman lafadz yang terdapat dalam hadist “shuumuu liru’yatihi”.
Sebab, yang bisa mentakhsis dalil syara’ harus dalil syara’ pula.
Sehingga, hadist-hadist tersebut tetap dalam keumumannya. Sebagaimana
kaidah ushul: "Sebuah dalil yang bersifat umum tetap pada kemumumannya, selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya".
Ketiga, selain
itu ijtihad Abdullah Ibnu Abbas ra. di atas bertentangan dengan makna
yang shorih (eksplisit) hadits yang diriwayatkan dari sekelompok sahabat
Anshor;
"Hilal
bulan Syawal tertutup oleh mendung bagi kami sehingga kami tetap
berpuasa pada keesokan harinya. Menjelang sore hari datanglah beberapa
musafir dari Mekkah ke Madinah. Mereka memberikan kesaksian di hadapan
Nabi SAW bahwa mereka telah melihat hilal kemarin (sore). Maka
Rasulullah SAW memerintahkan mereka (kaum Muslimin) untuk segera berbuka
dan melaksanakan sholat ‘Ied pada keesokan harinya". (HR Imam Ahmad,
Abu Dawud, An Nasa’i, dan Ibnu Majah, disahihkan oleh Ibnu Mundir dan
Ibnu Hazm)
Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah SAW memerintahkan kaum muslimin
untuk membatalkan puasa setelah mendengar informasi ru’yatul hilal
bulan Syawal dari beberapa orang yang berada di luar Madinah Al-Munawarah. Peristiwa itu terjadi ketika ada serombongan orang dari luar
Madinah yang memberitakan bahwa mereka telah melihat hilal Syawal di
suatu tempat di luar Madinah Al-Munawarah sehari sebelum mereka sampai
di Madinah. Kebolehan mathla’ juga akan bertentangan dengan riwayat Ibnu
Abbas sendiri,
"Telah datang seorang Arab Badui kepada Nabi Muhammad SAW kemudian
berkata, ‘Sungguh saya telah melihat hilal’. Rasulullah bertanya,
‘Apakah anda bersaksi bahwa tidak ada ilah selain Allah?’ Dia menjawab,
‘Ya’. Rasulullah bertanya lagi, ‘Apakah Anda bersaksi bahwa sesungguhnya
Muhammad adalah Rasulullah?’ Orang tersebut menjawab, ‘Ya’. Lalu
Rasulullah bersabda, ‘Wahai Bilal umumkan kepada manusia (masyarakat)
agar mereka berpuasa besok." (HR Imam yang lima, disahihkan oleh Ibnu
Khuzaimah & Ibnu Hiban)
Keempat, perbedaan
mathla’ secara ‘aqli pun akan sangat janggal. Daerah yang terletak
dalam satu bujur harusnya bisa memulai dalam waktu yang sama. Sebab,
daerah yang terletak sebujur, sejauh apapun jaraknya tidak akan berbeda
atau berselisih waktu. Namun, faktanya dengan adanya negara-negara
bangsa (paham kufur nasionalisme), daerah-daerah yang terletak satu
bujur memulai puasa tidaklah serentak, padahal secara astronomi harusnya
bisa memulai puasa secara bersamaan.
Selain
itu, daerah yang terletak beda bujur, selisih waktu terjauh tidak
sampai sehari. Jika demikian, tidak mungkin ada selisih waktu lebih dari
sehari. Adanya mathla’ memungkinkan suatu daerah berbeda dengan daerah
lain, meskipun secara astronomi harusnya tidak terjadi perselisihan dan
perbedaan pendapat dalam memulai atau mengakhiri puasa Ramadhan.
Kenyataan seperti ini mengharuskan kita meninggalkan mathla’.
Kelima,
dengan memperhatikan persatuan dan kesatuan umat Islam seluruh dunia,
kaum muslimin akan lebih arif memilih pendapat untuk serentak melakukan
puasa Ramadhon di seluruh dunia. Harapannya, langkah semacam ini
merupakan titik awal menuju persatuan umat Islam seluruh dunia.
Referensi : Muhammad Ramadhan al-Muhtasib, Fikih Puasa Praktis
Bunga Rampai Pemikiran Islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar