Unduh BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Selasa, 11 Mei 2021

Tujuan Tidak Menghalalkan Segala Cara



Sebagian kaum muslim telah terseret oleh metode analogi akal (qiyas aqli) yang tidak didasarkan pada ammarah (indikasi-indikasi) syariat atau illat syar’iyyah (latar belakang pemberlakuan hukum, red.) yang terkandung di dalam nash. Menurut mereka, analogi akal (qiyas aqli) dapat dipahami dari seluruh nash syariat, tanpa harus ada nash-nash lain yang menunjukkannya. Analogi suatu hukum tehadap hukum yang lain semata-mata ditetapkan karena adanya kesejalanan dengan akal, tanpa harus ada illat hukum yang disebutkan oleh syariat, sekaligus berasal dari proses analisis akal terhadap kemashlahatan yang terdapat dalam hukum syariat itu sendiri.

Semua pandangan tadi tidak benar dan tidak berdasar sama sekali. Dalam pandangan mereka, syariat Islam seluruhnya bertujuan untuk menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Oleh karena itu, apa saja yang bisa menjaga 5 hal di atas, menurut pandangan mereka, merupakan kewajiban yang telah dituntut oleh syariat —kendati tidak secara langsung didasarkan pada hukum syariat itu sendiri, atau tidak digali dari illat syar’iyyah— karena adanya kemiripan pada 2 perkara di atas. Karena adanya faktor kemiripan pula, menurut mereka, ketika yang berada dalam kondisi darurat boleh memakan makanan yang haram atau meminum khamar, maka iapun dibolehkan untuk mengambil riba (bunga uang/barang) jika ia berada dalam kondisi yang (dianggap) sama.

Cara berpikir semacam ini jauh dari -bahkan bertentangan dengan- pemahaman yang benar. Pada kenyataannya, cara berpikir demikian adalah rusak, dan tidak layak untuk dijadikan sandaran ataupun diambil sebagai acuan dasar. Sebab, analogi akal (qiyas 'aqli) menetapkan adanya keharusan penyamaan dua kasus yang serupa atau keharusan pembedaan dua kasus yang saling berlawanan. Padahal, pada banyak kasus, kita sering menyaksikan bahwa, syariat acapkali membedakan dua perkara meskipun perkara tersebut serupa, atau menyamakan dua perkara meskipun dua perkara tersebut tampak bertentangan. Lebih dari itu, syariat juga sering memberikan ketetapan-ketetapan hukum yang tidak selamanya dapat dipahami oleh akal. Kenyataan ini saja sudah cukup untuk menggugurkan paradigma dasar metode berpikir yang mengagung-agungkan akal pikiran dalam menetapkan sesuatu, tanpa merujuk kepada bentuk tekstual nash, atau tanpa bersandar pada kaidah-kaidah ijtihad syar'i.

Pembedaan Dua Perkara yang Serupa

Dalam syariat Islam, banyak hal yang tampak serupa menurut pandangan akal namun hukumnya berbeda. Misalnya, keutamaan waktu bagi kaum Muslim. Syariat Islam telah memuliakan salah satu malam di bulan Ramadhan, yaitu Lailatul Qadar dibandingkan dengan malam-malam yang lain. Padahal, menurut akal manusia, malam satu dengan malam yang lain, tidak ada bedanya, sehingga mengharuskan hukum yang sama. Syariat Islam juga telah membedakan keutamaan tempat seperti mengutamakan Makkah dibandingkan dengan Madinah atau mengutamakan Makkah dan Madinah ketimbang tempat-tempat yang lain. Padahal, menurut akal manusia, tempat satu dengan tempat yang lain di atas muka bumi itu, tidak ada keistimewaannya. Syariat Islam juga telah membedakan shalat-shalat yang boleh di-qashr (disingkat) Syariat memberikan keringanan (rukhshah) pada shalat yang berjumlah empat rakaat tetapi tidak memberikan keringanan pada shalat yang jumlah rakaatnya tiga atau dua. Syariat telah menetapkan kewajiban untuk membasuh pakaian bila terkena air kencing bayi perempuan dan cukup memercikan air bila terkena air kencing bayi laki-laki. Padahal, menurut akal manusia pula, air kencing bayi, baik laki-laki ataupun perempuan sama saja. Syariat Islam juga telah menetapkan kewajiban untuk meng-qadha puasa bagi wanita haid, tetapi tidak menetapkan kewajiban bagi mereka untuk meng-qadha shalat. Syariat Islam juga telah menetapkan adanya 'iddah bagi wanita yang ditalak selama tiga kali suci, sedangkan ‘iddah bagi wanita yang ditinggal mati suaminya adalah 4 bulan 10 hari, padahal ada unsur kesamaan dalam dua kasus tersebut.

Semua contoh-contoh di atas mengandung unsur keserupaan, yang menurut akal manusia mengharuskan ketetapan hukum yang sama. Kenyataannya, Allah Swt. malah membedakan hukum satu perkara dengan perkara lainnya. Ini adalah bukti, bahwa akal manusia tidak bisa dijadikan rujukan, sekaligus menunjukkan kelemahan akal, karena tidak mengetahui hakikat atas suatu perkara.

Seandainya akal dibiarkan untuk menetapkan hukum pada masalah-masalah seperti di atas tentu akan terjadi kesalahan, dan penetapan hukumnyapun akan bertentangan dengan hukum yang ditetapkan oleh syariat. Dengan demikian, semua hal di atas menunjukkan bahwa metode analogi semacam ini adalah keliru.

Menyamakan Dua Perkara yang Berbeda

Sebaliknya, syariat Islam, dalam banyak hal, juga telah menyamakan hukum atas dua perkara, yang menurut akal manusia tampaknya kedua perkara itu berbeda. Meskipun hal ini tidak sejalan dengan metode analogi akal, namun Allah Swt. yang Maha Mengetahui hakikat segala sesuatu telah menyamakan hukum keduanya. Misalnya, syariat Islam telah menetapkan bahwa air dan tanah sama-sama boleh digunakan untuk bersuci, meskipun, secara lahiriah ataupun zatnya, kedua jenis benda itu berbeda, malah saling bertentangan sifatnya. Air, misalnya, memiliki sifat membersihkan, sedangkan tanah (debu) memiliki sifat mengotori. Syariat Islam juga telah mengharamkan riba fadhal pada emas (contohnya pertukaran 1 kg emas 24 karat dengan 1 kg emas 22 karat, red.) dan gandum (seperti antara 1 kg gandum yang berasal dari Syam dengan 1 kg gandum Yaman yang berbeda jenisnya, red), padahal fakta keduanya (yaitu emas dan gandum, red.) itu berbeda. Syariat telah menetapkan sanksi yang sama (meskipun cara pelaksanaan sanksinya berbeda), yakni hukuman bunuh, bagi orang yang murtad dan pezina muhshan. Padahal murtad itu hakikatnya berbeda dengan zina. Syariat Islam telah menetapkan bahwa seorang Muslim dan kafir dzimmi sama-sama terjaga darahnya, meskipun keduanya berbeda agama. Syariat Islam juga telah mewajibkan hukuman cambuk, masing-masing 80 kali, bagi orang yang menuduh zina dan peminum khamr, padahal antara minum khamar dengan menuduh orang lain berzina, keduanya berbeda.

Demikianlah, banyak fakta yang berbeda satu sama lain, tidak memiliki kesamaan sama sekali, tetapi telah diberikan ketetapan hukum yang sama oleh syariat Islam. Seandainya akal manusia dibiarkan melakukan analogi terhadap kasus-kasus tersebut, tentu ia akan menetapkan hukum yang berlawanan dengan ketetapan syariat Islam. Kenyataan ini, sekali lagi, menunjukkan bahwa metode analogi semacam ini yang mengagung-agungkan akal manusia adalah keliru.

Di luar contoh-contoh tersebut di atas, syariat Islam telah menetapkan sejumlah hukum yang acapkali tidak bisa dipahami oleh akal. Misalnya, syariat telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba, padahal keduanya mirip. Syariat Islam telah mensyaratkan persaksian dalam kasus perzinaan adalah empat orang laki-laki sedangkan dalam kasus pembunuhan cukup dua orang laki-laki, padahal pembunuhan itu kualitas perkaranya jauh lebih berat dibandingkan dengan zina. Dalam persaksian kasus rujuk, saksi harus Muslim, sedangkan dalam persaksian wasiat, saksi boleh dari orang kafir. Syariat Islam juga telah mewajibkan seorang laki-laki untuk berlaku ’iffah (menjaga kehormatan) atau menundukkan pandangannya terhadap wanita merdeka, meskipun buruk rupa; baik terhadap rambut ataupun kulitnya. Padahal biasanya, seorang laki-laki tidak akan tertarik kepada wanita semacam ini. Akan tetapi sebaliknya, ia tidak diwajibkan untuk menundukkan pandangan terhadap seorang budaknya yang wanita, meskipun budaknya tersebut cantik dan menarik hatinya. Syariat Islam telah mewajibkan seseorang untuk mengusap punggung sepatu, bukan pada bagian alasnya. Padahal membersihkan alas sepatu lebih utama (menurut akal manusia, karena itulah yang terkena kotoran/tanah, red.) Dalam konteks ini, Sayyidina Ali k.w. pernah berkata : 'Seandainya agama ini ditetapkan dengan qiyas (analogi akal), sungguh mengusap alas sepatu adalah lebih utama ketimbang mengusap punggungnya.

Pernyataan Sayyidina Ali di atas telah cukup untuk membantah bait syair, yang melecehkan ketetapan syariat Islam, yang dituturkan oleh seorang penyair terkenal, Abu al-A`la al-Ma'ari, yang berbunyi demikian: Tangan cukup didenda dengan lima ratus dinar, tapi dipotong karena seperempat dinar. Maksudnya, tangan yang diciderai oleh seseorang, pelakunya didenda dengan lima ratus dinar. Lalu, bagaimana mungkin pencuri dipotong tangannya hanya karena mengutil seperempat dinar? Dengan kata lain, jika didasarkan pada ketetapan akal, hukum potong tangan yang ditetapkan oleh syariat pada kasus pencurian seperempat dinar adalah tindakan kejam.

Oleh karena itu, seandainya akal diberi kewenangan untuk menetapkan illat dari keseluruhan hukum syariat, dari teks nash, atau dari adanya kesesuaian pada dua buah hukum sehingga qiyas (analogi) bisa dilakukan, maka sesungguhnya akal akan mengharamkan banyak hal yang telah dibolehkan Allah Swt. dan menghalalkan banyak hal yang telah diharamkan Allah Swt. Oleh karena itu, qiyas tidak boleh dilakukan kecuali sesuai dengan metode yang telah ditetapkan oleh syariat. Dengan kata lain, qiyas syar'i tidak akan terjadi kecuali pada nash yang di dalamnya mengandung ‘iIIat. Qiyas tidak boleh dilakukan pada nash yang tidak mengandung ‘iIlat syar’iyyah; qiyas tidak boleh didasarkan pada 'illat 'aqliyyah ('illat yang ditetapkan oleh akal); dan qiyas pun tidak boleh ditentukan dengan didasarkan pada 'illat syar’iyyah yang tidak disebutkan atau tidak ditentukan. Oleh karena itu pula, para fukaha membatasi `illat hanya pada ‘iIIat yang digali dari nash-nash syariat. Mereka menyatakan bahwa ‘iIlat kadang-kadang dipahami dari nash secara jelas (sharahah), melalui penunjukkan (dilalah), lewat penggalian (istinbath), atau dengan analogi (qiyas) (dalam hal ini, Anda bisa merujuk pada berbagai kitab ushul fikih).

Ketika menetapkan qiyas, Rasulullah Saw. juga menentukan jenisnya. 'Abdullah ibn Zubayr pernah menuturkan riwayat demikian: Seseorang dari suku Khulsam pernah mendatangi Rasulullah Saw. dan berkata. “Bapakku masuk Islam, sedangkan dia sangat tua dan tidak dapat berjalan. Padahal haji telah diwajibkan kepadanya. Apakah aku harus menghajikannya?" Rasulullah bertanya 'Apakah kamu anak laki-Iakinya yang tertua?" Orang itu menjawab, “Benar” Rasulullah Saw. bersabda, “ketahuilah, jika bapakmu memiliki utang kemudian engkau melunasinya, tentu ia tidak akan memiliki utang lagi.” Orang itu menjawab. "Benar" Rasulullah Saw. bersabda “Oleh karena itu, berhajilah untuknya" (HR. Imam Ahmad dan An-Nasa'i).

Haji adalah ibadah, sedangkan meminjam uang termasuk muamalat. Keduanya berbeda akan tetapi mengerjakan kewajiban haji dipandang sama dengan melunasi utang, yakni keduanya sama-sama harus ditunaikan. ‘Illat tentang kebolehan seorang anak berhaji untuk bapaknya dalam keadaan semacam ini esensinya adalah melunasi utang. Rasulullah Saw. mengidentikkan utang kepada Allah sebagaimana halnya utang kepada seorang hamba. Keduanya wajib untuk dilunasi. Seandainya Rasulullah Saw. tidak mensyariatkan hukum seperti ini, tentu akal kita tidak akan berpendapat semacam itu.

Penetapan 'ilIat suatu hukum merupakan petunjuk yang menjelaskan sebab dasar disyariatkannya hukum tersebut. ‘Illat harus diikuti manakala sudah ditemukan. Inilah yang disebut dengan qiyas (analogi), Rasulullah Saw. sendiri, ketika berkomentar tentang kucing dengan sabdanya, “Sesungguhnya kucing bukan najis,” beliau menjelaskan 'illat (alasan penetapan hukum)-nya, dengan sabdanya, “Sesungguhnya kucing biasa bergaul dengan kalian.” (HR. Al-Bukhari dan At-Turmudzi).

Oleh karena itu, semua yang biasa bergaul dengan manusia tidak dikategorikan sebagai najis, selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya. Rasulullah Saw. juga bersabda: Sesungguhnya izin itu ditetapkan demi menjaga pandangan (HR. Al-Bukhari dan MusIim). Artinya, seorang Muslim wajib meminta izin sebelum ia masuk ke rumah orang lain. Sebab, rumah memiliki kehormatan dan dianggap sebagai aurat.

Sabda beliau “demi menjaga pandangan” adalah 'illat disyariatkannya izin. Berdasarkan hal ini, seorang Muslim yang masuk ke dalam rumahnya sendiri tidak perlu meminta izin. Sebab jika 'illat tidak ada, hukumpun tidak ada; kecuali jika ada tamu atau ada sebab yang lain. Sebaliknya, ketika ‘illat ada, hukumpun berlaku. Dengan demikian, hukum bergantung pada ada atau tidak adanya 'illat. Jadi, qiyas sebetulnya merupakan perkara yang cukup rumit. Harus diketahui bahwa qiyas hanya merupakan kewenangan bagi orang yang telah sangat memahami nash-nash yang ada, hukum-hukum syariat, dan berbagai fakta yang terjadi. Tidak setiap orang berhak dan bisa melakukan qiyas sesuka hatinya sendiri. Qiyas hanya merupakan hak bagi orang yang diberi oleh Allah Swt. kecerdasan pemahaman. Jika tidak demikian, qiyas hanya akan merupakan salah satu sarana untuk menghancurkan Islam dan menjauhkan hakikat hukum Allah Swt.

Dalam konteks ini, Imam asy-Syafi'i pernah berkata, “Seseorang tidak boleh melakukan qiyas sampai ia memahami Sunnah Nabi, pendapat para ulama salaf, dan bahasa Arab; memiliki kecerdasan sehingga ia bisa membedakan hal-hal yang syubhat; tidak tergesa-gesa menyimpulkan pendapat; tidak mengabaikan pendapat orang yang mengkritiknya, sebab kritik akan membuatnya waspada dari keteledoran, dan waspada dari kesalahan yang diyakininya sebagai kebenaran.”

Artinya, qiyas membutuhkan pemahaman yang mendalam; seseorang tidak boleh melakukan qiyas untuk menggali suatu hukum, kecuali jika ia seorang mujtahid. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Download BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam