Sebagaimana
telah dimaklumi, sesungguhnya yang dituntut oleh syariat bukanlah semata-mata
keharusan adanya suatu partai, tetapi, lebih dari itu, adalah adanya partai
ideologi Islam yang mampu melaksanakan tugas dakwah ini. Dalil-dalil mengenai
keharusan adanya partai dakwah ideologi Islam telah menjelaskan hal itu kepada
kita.
Allah
Swt. berfirman:
“Hendaklah ada di antara kalian segolongan umat
yang menyerukan al-Khayr (al-Islâm),
menyuruh kebajikan, dan mencegah kemungkaran. Mereka itulah orang-orang yang
beruntung.” (TQS. Ali ‘Imran [3]: 104)
Melalui
ayat di atas, syariat Islam telah mewajibkan umat Islam untuk mendirikan partai
politik yang berideologikan Islam serta mengemban sejumlah pemikiran dan
hukum-hukum syariat yang diperlukan untuk mencapai tujuannya, yaitu tampil ke
permukaan (izhhâr), melakukan
konsolidasi (tamkîn), dan kemudian
melakukan transformasi kekuasaan (istikhlâf).
Yang dimaksud tentu
bukan sekadar adanya sebuah partai semata; tetapi adanya partai yang dapat
merealisasikan tujuannya yaitu mendakwahkan Islam, memerintahkan kebajikan, dan
mencegah kemungkaran. Lebih dari itu, yang dituntut juga bukan sekadar adanya partai
yang mendakwahkan Islam, memerintahkan kebajikan, dan mencegah kemungkaran;
tetapi partai yang melaksanakan
semua itu dalam upaya merealisasikan tujuan lain yaitu tampil ke permukaan (izhhâr), melakukan konsolidasi (tamkîn), dan kemudian melakukan perubahan (dan
penerapan) kekuasaan (istikhlâf).
Rasulullah
Saw. bersabda:
“Tidak
halal atas tiga orang yang berada di muka bumi kecuali mereka mengangkat salah
seorang di antara mereka menjadi amir (pemimpin).” (HR. Ahmad ibn Hanbal)
Hadis
di atas menunjukkan, bahwa setiap kerja kolektif yang dituntut atas umat Islam
untuk dilaksanakan harus segera direalisasikan sampai terlaksana, seperti
adanya seorang amir yang wajib ditaati dalam hal yang karenanya dia diangkat,
dan adanya partai yang memiliki komitmen terhadap perintah amir. Dengan adanya
kerja kolektif ini, akan dihasilkan apa yang memang dikehendaki sesuai dengan
tuntutan syariat.
Kita
telah memahami bahwa Allah Swt. telah membebankan banyak kewajiban atas umat
Islam, termasuk yang pelaksanaannya bagi Khalifah semata, bukan yang lain.
Konsekuensinya, umat Islam harus mengangkat seorang Khalifah untuk menegakkan
berbagai kewajiban tersebut. Kitapun telah memahami bahwa pengangkatan Khalifah
dan penegakkan ke-Khilafahan tidak mungkin dapat direalisasikan kecuali dengan
adanya partai Islam. Implikasinya, harus ada partai Islam yang didirikan dalam
rangka mengangkat Khalifah dan untuk menegakkan keKhilafahan. Ketentuan semacam
ini didasarkan pada kaidah syariat berikut:
Selama
suatu kewajiban tidak bisa direalisasikan dengan sempurna kecuali dengan adanya
sesuatu, maka sesuatu itu hukumnya wajib.
Dengan
demikian, jelaslah bahwa keberadaan partai Islam terkait erat dengan adanya
tujuan syariat yang dituntut. Partai yang dimaksud bukanlah partai yang
didirikan untuk sekadar mengemban dakwah Islam atau tabligh semata. Lebih dari
itu, partai Islam yang ada haruslah ditujukan dalam rangka menegakkan Islam di
dalam realitas kehidupan umat Islam melalui pendirian Daulah Khilafah
Islamiyah. Daulah Islamiyahlah yang dianggap sebagai metode syariat untuk
menerapkan setiap hukum Islam.
Partai ideologi Islam
mengadopsi seluruh pemikiran, hukum, dan pendapat —yang sesuai dengan syariat
Islam— yang dibutuhkan bagi aktivitas perjuangannya, sekaligus terikat dengan
ketiganya; baik dalam pemikiran, perkataan, maupun tindakan. Alasannya, di antara
fungsi pengadopsian (tabanni) —dalam
pemikiran, hukum, dan pendapat— adalah untuk mempersatukan para anggota partai
ideologi Islam.
Sebuah partai yang
para anggotanya memiliki berbagai pemikiran dan menganut berbagai ijtihad
—meskipun mereka bersatu dalam satu tujuan dan dalam Islam secara umum— tidak
bisa tidak, akan mudah ditimpa oleh keretakan dan perpecahan. Bahkan, lebih
jauh, akan muncul di dalam tubuh partai itu sejumlah ‘partai kecil’ dan akan
lahir sejumlah ‘jamaah’ di dalam jamaah; dakwahnya akan berubah dari upaya
mengajak orang lain berjuang secara bersama-sama untuk menegakkan kewajiban ini
ke arah upaya mengajak masuk ke dalam kelompoknya; mereka akan saling
bertengkar; dan masing-masing menginginkan agar pendapatnyalah yang dipakai di
dalam partai.
Dari sini, tampak
jelas, betapa penting adanya adopsi (pemikiran, hukum, pendapat) dan
legislasinya bagi partai ideologi Islam. Alasannya, kesatuan partai ideologi
Islam sangat dituntut oleh syariat, dan tidak ada yang dapat menjaga kesatuan
partai ideologi Islam kecuali dengan adanya adopsi (pemikiran, hukum, pendapat)
yang dibutuhkan partai ideologi Islam dalam aktivitas perjuangannya.
Dalam hal ini, para
aktivis partai ideologi Islam jelas wajib juga untuk mengadopsi apa yang telah
diadopsi oleh partainya. Adopsi (tabanni)
merupakan tuntutan syariat berdasarkan kaidah, “Mâ
lâ yatim al-wâjib illâ bihî fahuwa wâjib.”
Selama berbagai
pemikiran, hukum, dan pendapat untuk beraktivitas pada sebuah partai ideologi
Islam sesuai dengan syariat serta selama para aktivisnya menaruh kepercayaan
penuh pada partai ideologi Islam, maka partai boleh mewajibkan para aktivisnya
untuk mengikatkan diri secara penuh pula dengan apa yang telah diadopsinya. Hal
ini didasarkan pada kebolehan seorang bagi Muslim untuk meninggalkan
pendapatnya dan beramal dengan pendapat orang lain.
Utsman ibn ‘Affan
r.a., misalnya, ketika dibaiat menjadi Khalifah, rela meninggalkan ijtihadnya
untuk mengambil ijtihad Abu Bakar dan ‘Umar r.a., meskipun pendapat keduanya
bertentangan dengan pendapatnya. Para sahabat telah menyetujui sikap ‘Utsman
dan mereka pun membaiat ‘Utsman.
Hanya saja, hal ini
merupakan sesuatu yang boleh, bukan suatu kewajiban. Alasannya, Sayidina ‘Ali
r.a. tidak mau meninggalkan ijtihadnya untuk mengambil pendapat Abu Bakar dan
‘Umar, sementara tidak ada seorangpun dari para sahabat yang mengingkari hal itu.
Ada pula ada hadis
sahih dari asy-Sya‘bi yang menyebutkan bahwa Abu Musa pernah meninggalkan
pendapatnya dan mengambil pendapat Ali; Zaid meninggalkan ijtihadnya dan
mengambil pendapat ‘Ubay ibn Ka‘ab; ‘Abdullah meninggalkan pendapatnya dan
mengambil pendapat ‘Umar. Banyak pula hadis yang meriwayatkan bahwa Abu Bakar
dan ‘Umar pernah meninggalkan pendapat mereka dan mengambil pendapat ‘Ali. Hal
ini menunjukkan bolehnya seorang mujtahid meninggalkan pendapatnya dan
mengambil pendapat orang lain dengan didasarkan pada keyakinan pada ijtihadnya.
Namun demikian, para aktivis partai ideologi Islam harus berpegang teguh pada
pemahaman partainya sehingga akan tumbuh pada diri mereka suatu kesatuan
pemikiran dan perasaan….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar