Unduh BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Sabtu, 18 Juni 2016

Terbebas Dari Racun Pemikiran


 

Di antara keistimewaan manhaj Islam adalah bahwa di dalamnya juga terdapat sistem ibadah, sistem ekonomi, sistem sosial, sistem politik dan sistem militer.

Di dalam sistem ekonomi terdapat hukum-hukum syara yang berkaitan dengan tanah, dengan kepemilikan, dengan industri, juga dengan perdagangan dalam dan luar negeri. Seluruh hukum-hukum ini maupun yang lainnya telah digantungkan oleh Syâri’ dengan Khalifah. Khalifahlah yang mengatur dan memelihara seluruh perkara tersebut, bukan partai ideologi Islam. Partai hanya berdakwah.

Di dalam sistem politik, Khilafah harus berdiri di atas pilar-pilar yang telah ditetapkan oleh syara’, dari Khalifah sampai mu’awin, termasuk wali dan qadhi, aparat administrasi hingga majelis umat. Khalifah memiliki wewenang dan tugas sebagaimana mu’awin; wali dan tentara memiliki tugas masing-masing, demikian juga dengan aparat administrasi yang memiliki tugas sendiri.

Bahkan termasuk dalam tentara Islam, seluruh persiapannya -yang dengan persiapan itu akan merealisasikan tujuan adanya tentara yaitu menyebarkan dakwah ke seluruh dunia -mengharuskannya mencakup level dunia, bukan hanya sampai tingkat gerakan saja; yang memungkinkan seorang muslim mampu mempelajari penggunaan senjata.

Di samping itu harus dimengerti bahwa ada jenis-jenis persenjataan yang hanya dimiliki oleh negara. Semua ini mengharuskan latihan (mobilisasi) pada level internasional (mencakup artileri, kapal-kapal penjelajah, pesawat-pesawat tempur, nuklir, pesawat ruang angkasa, dan sejenisnya); juga untuk mengembangkan berbagai penelitian dan pengembangan industri persenjataan, penyediaan lapangan-lapangan terbang serta pusat-pusat latihan.

Rasulullah Saw. ketika mempersiapkan dan melatih para sahabat, beliau tidak melakukannya dalam kapasitasnya sebagai pemimpin partai ideologi Islam, melainkan sebagai penguasa negara Islam. Meneladani beliau dalam perkara ini tidak boleh keluar dari perspektif ini.

Kewajiban partai ideologi Islam adalah mewujudkan Khalifah, yang akan menjalankan tugasnya untuk merealisir seluruh perkara tersebut. Sebab, Khalifahlah yang bertanggung jawab dalam perkara ini. Apabila umat lalai dalam mewujudkan Khalifah dan (berpaling dengan) berusaha untuk melaksanakan tugas-tugas Khalifah maka jamaah dalam hal ini telah menyeleweng dari syara’.

Partai ideologi Islam wajib mengadopsi konsep sistem-sistem yang ingin diterapkannya atas manusia ketika Allah memberikannya kemenangan untuk melaksanakannya. Partai ideologi Islam pun menetapkan struktur negara sistem Islam dan menetapkan UUD Khilafah, serta memberikan gambaran secara umum kepada manusia tentang hukum-hukum Islam, agar mereka melihat bahwa Islam mampu menyelesaikan problematika manusia, dan akan berjalan bersama mereka dalam mencapai peribadatan komprehensif mereka, dengan menjadikan mereka berada di dalam kancah nikmatnya penerapan hukum syara’ yang hanif atas mereka.

Partai ideologi Islam tsaqafah (khazanah keilmuan) Islam-nya harus luas, demikian juga lapangan aktivitasnya. Dia dituntut untuk melaksanakan seluruh perkara yang memang dituntut atasnya. Pemikirannya adalah pemikiran-pemikiran untuk mengatur/mengurus urusan umat dan mengadopsi kepentingan umat.

Terbebas Dari Racun Pemikiran

Ketika kaum Muslim mengalami kemerosotan yang amat dalam di bidang ruhiyah, keterbelakangan di bidang materi, kemunduran di bidang pemikiran dan politik Islam, maka pemikiran mereka menjadi sejalan dengan kenyataan-kenyataan buruk yang menimpa mereka.

Akibatnya, di tengah-tengah orang yang memiliki komitmen kepada Islam muncul pemikiran-pemikiran yang tidak menggambarkan hakikat Islam yang sebenarnya dan pandangan Islam tentang kehidupan. Pemikiran mereka lebih menggambarkan tentang buruknya pemahaman dan ketidaktahuan terhadap Islam dan petunjuk-petunjuk Islam di dalam kehidupan.

Pihak kafir imperialis yang menguasai urusan kaum Muslim dan mampu membolak-baliknya sekehendak hati, telah berhasil menanamkan pemahaman dan tolok ukur mereka di kalangan kaum Muslim. Mereka (kaum kafir) berhasil menanamkan berbagai pemikiran dengan berbagai citarasa yang terasa enak di mulut musuh-musuh kaum Muslim dan terasa manis diucapkan. Semua itu untuk kepentingan kaum kafir.

Penyebabnya bukan karena Islam, melainkan terpulang kepada para penganutnya yang telah kehilangan ikatan kuat terhadap Islam, dan hilangnya pemahaman yang benar di dalam diri mereka. Sebagian kaum Muslim itu berusaha melakukan perlawanan dengan bermodalkan pemahaman yang telah dipengaruhi oleh realitas dan tunduk kepada kepentingan (asas manfaat). Sayangnya perlawanan itu hanya usaha-usaha yang gagal dan langkah-langkah yang tertatih-tatih yang berakhir pada kegagalan, berujung pada kehinaan dan kepasrahan yang menyedihkan.

Orang–orang kafir menyerang Islam dengan mengatakan bahwa Islam tidak mampu menyesuaikan diri dengan zaman, dan Islam tidak mampu menyelesaikan masalah-masalah kontemporer yang bermunculan. Reaksi kaum Muslim terhadap lontaran ini adalah menciptakan solusi-solusi Islami dari berbagai perkara yang dilontarkan sistem kapitalis. Karena asas yang mendasari tegaknya sistem kapitalis berlawanan dengan asas tempat tegaknya Islam maka merekapun menyengaja mengkompromikan antara dua perkara yang (sesungguhnya) saling berlawanan. Mereka juga secara sengaja membuat-buat ta’wil (interpretasi) yang salah, yang pada gilirannya akan melahirkan pemahaman-pemahaman dan tolok ukur yang salah pula yang disandarkan kepada syara’ secara zalim dan dusta. Semua itu bertujuan untuk mengkompromikan di antara keduanya dan memberikan gambaran bahwa Islam mampu mengikuti perkembangan zaman.

Akibatnya, pemahaman-pemahaman dan tolok ukur semacam itu dianggap Islami dan digunakan untuk memahami Islam. Padahal, hakikatnya jika kita mengambil pemahaman dan tolok ukur semacam itu berarti sama saja dengan meninggalkan Islam dan mengikuti sistem kapitalis.

Setiap seruan untuk kompromi atau apapun yang dipengaruhi oleh seruan kompromi ini hakikatnya adalah seruan untuk mengambil kekufuran dan meninggalkan Islam. Ini berarti juga mengemban pemikiran kafir kepada kaum Muslim dan mengajak mereka untuk mengambilnya, seraya meninggalkan dakwah kepada Islam yang sebenarnya.

Dengan demikian, jika kaum Muslim sepanjang masa kemundurannya berusaha untuk membangkitkan umat dengan pemikiran-pemikiran yang semodel ini, maka usaha-usaha itu ibarat fatamorgana.
Dari sinilah kita mulai mendengar berbagai perbincangan yang melampaui batas-batas syari’at Islam, baik disertai dengan niat atau karena kebodohan, lalu menyatakan bahwa tidak masuk akal jika kita yang hidup pada masa lebih dari empatbelas abad sejak masa Rasulullah saw masih berpegang dengan pola pikir yang sama dengan pola pikir masa kenabian, harus dilakukan upaya tajdîd (pembaruan) kembali syari’at Islam agar bisa menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi. Menurut mereka, Islam harus diberi suntikkan pemikiran-pemikiran “modern.”

Bertolak dari sini sebagian kaum Muslim mengeluarkan sejumlah pemikiran yang menjadi bentuk kaidah-kaidah pemikiran mereka, dan menetapkan perspektif baru dalam kehidupan mereka. Itu terjadi ketika sebagian kaum Muslim beranggapan bahwa mengikuti perkembangan zaman dan mengambil manfaat dari pemikiran Barat yang sedang bangkit merupakan suatu keharusan yang Islami agar Islam tetap berada pada kemodernannya.

Sejak itu muncul pemikiran kontemporer yang melayani tujuan ini, seperti: inna ad-dîna marinun wa mutathawwir (agama Islam itu elastis dan mengikuti perkembangan), khudz wa thâlib (ambil dan tuntutlah hak anda), al-qabûl bimâ yuwâfiqu asy-syar’i aw bimâ lâ yukhâlifu asy-syar’i (menerima apapun yang sesuai dengan syara’ atau apapun yang tidak bertentangan dengan syara’), irtikâbu akhaffu adh-dhararain wa ahwanu asy-syarrain (pelaksanaan yang lebih ringan bahayanya dan yang lebih sedikit keburukannya), mâ lâ yu’khadzu kulluhu lâ yutraku jalluhu (apa yang tidak bisa dilaksanakan seluruhnya maka jangan ditinggalkan semuanya), at-tadarruj fi akhzi al-Islâm (bertahap dalam penerapan Islam), ad-dimuqrâthiyyah min al-Islâm (demokrasi adalah bagian dari Islam), lâ yunkaru taghayyur al-ahkâm bi taghayyuri az-zamân wa al-makân (tidak diingkari perubahan hukum dengan berubahnya waktu dan tempat), haitsuma takûnu al-maslahah fatsamma syar’ullâh (di mana ada maslahat di sana ada hukum Allah).

Pemikiran-pemikiran seperti ini menjadi titik tolak pemikiran atau kaidah berpikir bagi apa yang mereka namakan dengan ”kebangkitan Islam modern” yang dimotori oleh tokoh terpenting dalam masalah ini, yaitu Jamaluddin al-Afghani dan muridnya yang menjadi anggota organisasi Freemason, Muhammad Abduh, yang saat itu digelari syaikhul Islam.

Sesungguhnya perkataan semacam ini diucapkan oleh orang-orang yang memiliki niat buruk dan kebusukan yang tersembunyi dengan maksud bisa memisahkan kaum Muslim dengan sebab-sebab kekuatan mereka, dan mewariskan kepada mereka kelemahan yang membuatnya berdiam diri terhadap penerapan hukum-hukum Allah untuk kedua kalinya.

Perkataan tersebut juga dilontarkan oleh orang-orang yang berniat dan maksud yang baik, tetapi mereka mengira bahwa pemikiran tersebut merupakan obat mujarab yang menyembuhkan apa saja yang diderita kaum Muslim saat ini, yaitu berupa kemunduran dan kemerosotan.

Perkataan seperti ini, baik diucapkan dengan niat buruk atau baik, pengaruhnya terhadap realitas kaum Muslim sama saja. Pemikiran orang-orang kafir pasti kegagalannya secara riil, yang tidak melahirkan kebaikan dan tidak mampu mengusir keburukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Download BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam