Di antara keistimewaan manhaj Islam adalah bahwa di dalamnya juga terdapat sistem ibadah, sistem ekonomi, sistem sosial, sistem politik dan sistem militer.
Di dalam sistem
ekonomi terdapat hukum-hukum syara yang berkaitan dengan tanah, dengan
kepemilikan, dengan industri, juga dengan perdagangan dalam dan luar negeri.
Seluruh hukum-hukum ini maupun yang lainnya telah digantungkan oleh Syâri’ dengan Khalifah. Khalifahlah yang
mengatur dan memelihara seluruh perkara tersebut, bukan partai ideologi Islam.
Partai hanya berdakwah.
Di dalam sistem
politik, Khilafah harus berdiri di atas pilar-pilar yang telah ditetapkan oleh
syara’, dari Khalifah sampai mu’awin,
termasuk wali dan qadhi, aparat administrasi hingga majelis umat. Khalifah
memiliki wewenang dan tugas sebagaimana mu’awin;
wali dan tentara memiliki tugas masing-masing, demikian juga dengan aparat
administrasi yang memiliki tugas sendiri.
Bahkan termasuk dalam
tentara Islam, seluruh persiapannya -yang dengan persiapan itu akan
merealisasikan tujuan adanya tentara yaitu menyebarkan dakwah ke seluruh dunia
-mengharuskannya mencakup level dunia, bukan hanya sampai tingkat gerakan saja;
yang memungkinkan seorang muslim mampu mempelajari penggunaan senjata.
Di samping itu harus
dimengerti bahwa ada jenis-jenis persenjataan yang hanya dimiliki oleh negara.
Semua ini mengharuskan latihan (mobilisasi) pada level internasional (mencakup
artileri, kapal-kapal penjelajah, pesawat-pesawat tempur, nuklir, pesawat ruang
angkasa, dan sejenisnya); juga untuk mengembangkan berbagai penelitian dan
pengembangan industri persenjataan, penyediaan lapangan-lapangan terbang serta
pusat-pusat latihan.
Rasulullah Saw. ketika
mempersiapkan dan melatih para sahabat, beliau tidak melakukannya dalam
kapasitasnya sebagai pemimpin partai ideologi Islam, melainkan sebagai penguasa
negara Islam. Meneladani beliau dalam perkara ini tidak boleh keluar dari perspektif
ini.
Kewajiban partai
ideologi Islam adalah mewujudkan Khalifah, yang akan menjalankan tugasnya untuk
merealisir seluruh perkara tersebut. Sebab, Khalifahlah yang bertanggung jawab
dalam perkara ini. Apabila umat lalai dalam mewujudkan Khalifah dan (berpaling
dengan) berusaha untuk melaksanakan tugas-tugas Khalifah maka jamaah dalam hal
ini telah menyeleweng dari syara’.
Partai ideologi Islam
wajib mengadopsi konsep sistem-sistem yang ingin diterapkannya atas manusia
ketika Allah memberikannya kemenangan untuk melaksanakannya. Partai ideologi
Islam pun menetapkan struktur negara sistem Islam dan menetapkan UUD Khilafah, serta
memberikan gambaran secara umum kepada manusia tentang hukum-hukum Islam, agar
mereka melihat bahwa Islam mampu menyelesaikan problematika manusia, dan akan
berjalan bersama mereka dalam mencapai peribadatan komprehensif mereka, dengan
menjadikan mereka berada di dalam kancah nikmatnya penerapan hukum syara’ yang hanif atas mereka.
Partai ideologi Islam tsaqafah (khazanah keilmuan) Islam-nya harus
luas, demikian juga lapangan aktivitasnya. Dia dituntut untuk melaksanakan
seluruh perkara yang memang dituntut atasnya. Pemikirannya adalah
pemikiran-pemikiran untuk mengatur/mengurus urusan umat dan mengadopsi kepentingan
umat.
Terbebas
Dari Racun Pemikiran
Ketika kaum Muslim
mengalami kemerosotan yang amat dalam di bidang ruhiyah,
keterbelakangan di bidang materi, kemunduran di bidang pemikiran dan politik
Islam, maka pemikiran mereka menjadi sejalan dengan kenyataan-kenyataan buruk
yang menimpa mereka.
Akibatnya, di
tengah-tengah orang yang memiliki komitmen kepada Islam muncul
pemikiran-pemikiran yang tidak menggambarkan hakikat Islam yang sebenarnya dan
pandangan Islam tentang kehidupan. Pemikiran mereka lebih menggambarkan tentang
buruknya pemahaman dan ketidaktahuan terhadap Islam dan petunjuk-petunjuk Islam
di dalam kehidupan.
Pihak kafir imperialis
yang menguasai urusan kaum Muslim dan mampu membolak-baliknya sekehendak hati,
telah berhasil menanamkan pemahaman dan tolok ukur mereka di kalangan kaum
Muslim. Mereka (kaum kafir) berhasil menanamkan berbagai pemikiran dengan berbagai
citarasa yang terasa enak di mulut musuh-musuh kaum Muslim dan terasa manis
diucapkan. Semua itu untuk kepentingan kaum kafir.
Penyebabnya bukan
karena Islam, melainkan terpulang kepada para penganutnya yang telah kehilangan
ikatan kuat terhadap Islam, dan hilangnya pemahaman yang benar di dalam diri
mereka. Sebagian kaum Muslim itu berusaha melakukan perlawanan dengan bermodalkan
pemahaman yang telah dipengaruhi oleh realitas dan tunduk kepada kepentingan
(asas manfaat). Sayangnya perlawanan itu hanya usaha-usaha yang gagal dan
langkah-langkah yang tertatih-tatih yang berakhir pada kegagalan, berujung pada
kehinaan dan kepasrahan yang menyedihkan.
Orang–orang kafir
menyerang Islam dengan mengatakan bahwa Islam tidak mampu menyesuaikan diri
dengan zaman, dan Islam tidak mampu menyelesaikan masalah-masalah kontemporer
yang bermunculan. Reaksi kaum Muslim terhadap lontaran ini adalah menciptakan
solusi-solusi Islami dari berbagai perkara yang dilontarkan sistem kapitalis.
Karena asas yang mendasari tegaknya sistem kapitalis berlawanan dengan asas
tempat tegaknya Islam maka merekapun menyengaja mengkompromikan antara dua
perkara yang (sesungguhnya) saling berlawanan. Mereka juga secara sengaja
membuat-buat ta’wil (interpretasi) yang
salah, yang pada gilirannya akan melahirkan pemahaman-pemahaman dan tolok ukur
yang salah pula yang disandarkan kepada syara’ secara zalim dan dusta. Semua
itu bertujuan untuk mengkompromikan di antara keduanya dan memberikan gambaran
bahwa Islam mampu mengikuti perkembangan zaman.
Akibatnya,
pemahaman-pemahaman dan tolok ukur semacam itu dianggap Islami dan digunakan
untuk memahami Islam. Padahal, hakikatnya jika kita mengambil pemahaman dan
tolok ukur semacam itu berarti sama saja dengan meninggalkan Islam dan
mengikuti sistem kapitalis.
Setiap seruan untuk
kompromi atau apapun yang dipengaruhi oleh seruan kompromi ini hakikatnya
adalah seruan untuk mengambil kekufuran dan meninggalkan Islam. Ini berarti
juga mengemban pemikiran kafir kepada kaum Muslim dan mengajak mereka untuk
mengambilnya, seraya meninggalkan dakwah kepada Islam yang sebenarnya.
Dengan demikian, jika
kaum Muslim sepanjang masa kemundurannya berusaha untuk membangkitkan umat
dengan pemikiran-pemikiran yang semodel ini, maka usaha-usaha itu ibarat
fatamorgana.
Dari sinilah kita
mulai mendengar berbagai perbincangan yang melampaui batas-batas syari’at
Islam, baik disertai dengan niat atau karena kebodohan, lalu menyatakan bahwa
tidak masuk akal jika kita yang hidup pada masa lebih dari empatbelas abad
sejak masa Rasulullah saw masih berpegang dengan pola pikir yang sama dengan
pola pikir masa kenabian, harus dilakukan upaya tajdîd
(pembaruan) kembali syari’at Islam agar bisa menyesuaikan diri dengan situasi
dan kondisi. Menurut mereka, Islam harus diberi suntikkan pemikiran-pemikiran
“modern.”
Bertolak dari sini
sebagian kaum Muslim mengeluarkan sejumlah pemikiran yang menjadi bentuk
kaidah-kaidah pemikiran mereka, dan menetapkan perspektif baru dalam kehidupan
mereka. Itu terjadi ketika sebagian kaum Muslim beranggapan bahwa mengikuti
perkembangan zaman dan mengambil manfaat dari pemikiran Barat yang sedang
bangkit merupakan suatu keharusan yang Islami agar Islam tetap berada pada
kemodernannya.
Sejak itu muncul
pemikiran kontemporer yang melayani tujuan ini, seperti: inna ad-dîna marinun wa mutathawwir (agama
Islam itu elastis dan mengikuti perkembangan), khudz
wa thâlib (ambil dan tuntutlah hak anda), al-qabûl
bimâ yuwâfiqu asy-syar’i aw bimâ lâ yukhâlifu asy-syar’i (menerima
apapun yang sesuai dengan syara’ atau apapun yang tidak bertentangan dengan
syara’), irtikâbu akhaffu adh-dhararain wa
ahwanu asy-syarrain (pelaksanaan yang lebih ringan bahayanya dan yang
lebih sedikit keburukannya), mâ lâ yu’khadzu
kulluhu lâ yutraku jalluhu (apa yang tidak bisa dilaksanakan seluruhnya
maka jangan ditinggalkan semuanya), at-tadarruj
fi akhzi al-Islâm (bertahap dalam penerapan Islam), ad-dimuqrâthiyyah min al-Islâm (demokrasi
adalah bagian dari Islam), lâ yunkaru taghayyur
al-ahkâm bi taghayyuri az-zamân wa al-makân (tidak diingkari perubahan
hukum dengan berubahnya waktu dan tempat), haitsuma
takûnu al-maslahah fatsamma syar’ullâh (di mana ada maslahat di sana ada
hukum Allah).
Pemikiran-pemikiran
seperti ini menjadi titik tolak pemikiran atau kaidah berpikir bagi apa yang
mereka namakan dengan ”kebangkitan Islam modern” yang dimotori oleh tokoh
terpenting dalam masalah ini, yaitu Jamaluddin al-Afghani dan muridnya yang
menjadi anggota organisasi Freemason, Muhammad Abduh, yang saat itu digelari
syaikhul Islam.
Sesungguhnya perkataan
semacam ini diucapkan oleh orang-orang yang memiliki niat buruk dan kebusukan
yang tersembunyi dengan maksud bisa memisahkan kaum Muslim dengan sebab-sebab
kekuatan mereka, dan mewariskan kepada mereka kelemahan yang membuatnya berdiam
diri terhadap penerapan hukum-hukum Allah untuk kedua kalinya.
Perkataan tersebut
juga dilontarkan oleh orang-orang yang berniat dan maksud yang baik, tetapi
mereka mengira bahwa pemikiran tersebut merupakan obat mujarab yang
menyembuhkan apa saja yang diderita kaum Muslim saat ini, yaitu berupa
kemunduran dan kemerosotan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar