Negara Islam Menerapkan Sistem Islam, Hukum-Hukum Islam Keseluruhan dalam Semua Aspek Kehidupan Masyarakat & Pemerintahan Negara
Khilafah Conference 2010 - Emerging World Order Hizb ut Tahrir America - http://hizb-america.org |
NEGARA ISLAM
Negara Islam adalah dipimpin seorang khalifah yang menerapkan hukum syara'. Negara Islam merupakan kekuatan politik praktis yang berfungsi untuk menerapkan dan memberlakukan hukum-hukum Islam, serta mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia sebagai sebuah risalah dengan dakwah dan jihad. Negara Islam inilah satu-satunya thariqah (metode) yang dijadikan oleh Islam untuk menerapkan sistem dan hukum-hukumnya secara menyeluruh dalam kehidupan dan masyarakat. Inilah yang merupakan pilar hidup dan matinya Islam dalam kehidupan. Tanpa adanya negara, eksistensi Islam sebagai sebuah ideologi serta sistem kehidupan akan menjadi pudar; yang ada hanyalah Islam sebagai upacara ritual serta sifat-sifat akhlak semata. Karena itu, negara Islam harus tetap ada dan bukan hanya temporal keberadaannya.
Negara Islam hanya berdiri di atas landasan akidah Islam, dan akidah Islam inilah yang menjadi asasnya. Secara Syar'i akidah Islam, dalam keadaan apapun, tidak boleh terlepas dari negara. Sehingga sejak pertama kali, ketika Rasulullah Saw. membangun sebuah kekuasaan di Madinah serta memimpin pemerintahan di sana, beliau segera membangun kekuasaan dan pemerintahannya dengan landasan akidah Islam. Maka setelah itu, ayat-ayat tentang perundang-undangan tidak pernah turun lagi.
Beliau telah menjadikan syahadat La Ilaha Illa Allah Wa Anna Muhammadar Rasulullah sebagai asas kehidupan bagi kaum muslimin, yang sekaligus merupakan asas dalam hubungan, secara horisontal, di antara sesama manusia (baik muslim dengan muslim, muslim dengan kafir dzimmi, maupun muslim dengan kafir harbi), termasuk dasar pijakan untuk menjaga terjadinya kedzaliman, serta pijakan dalam menyelesaikan persengketaan. Dengan kata lain, akidah Islam merupakan dasar bagi semua masalah kehidupan termasuk landasan pemerintahan dan kekuasaan.
Hanya saja hal itu belum cukup, sehingga Islam memerintahkan berjihad, bahkan mewajibkannya untuk seluruh kaum muslimin agar akidah ini bisa mereka emban kepada seluruh manusia. Rasulullah Saw. bersabda:
"Aku diperintahkan untuk memerangi orang hingga mereka menyatakan LA ILAHA ILLA ALLAH MUHAMMADUR RASULULLAH, maka bila mereka menyatakannya darah dan harta mereka akan terlindungi dariku kecuali dengan cara yang dibenarkan."
Bahkan, menjaga keberlangsungan akidah Islam sebagai landasan negara hukumnya adalah fardlu bagi seluruh kaum muslimin. Di mana beliau memerintahkan mereka agar mengangkat senjata dan berperang bila kemudian telah nampak kekufuran yang nyata. Yaitu apabila akidah Islam tidak lagi dijadikan sebagai landasan pemerintahan dan kekuasaan.
Maka, ketika Rasulullah Saw. ditanya tentang pemerintahan yang dzalim: "Tidakkah kita perangi saja mereka itu dengan pedang (wahai Rasulullah)?" beliau menjawab: "Jangan, selagi mereka masih menegakkan shalat (hukum Islam)." Beliau juga memerintahkan agar kaum muslimin tidak merebut bai'at dari tangan ulil amri (khalifah) kecuali kalau mereka menyaksikan terjadinya kekufuran secara nyata. Dalam hadits Auf Bin Malik tentang kebobrokan para pemimpin dinyatakan:
"Ditanyakan (kepada Rasul): 'Ya Rasulullah, tidakkah kita perangi saja mereka itu dengan pedang?' Beliau menjawab: 'Jangan, selama mereka masih menegakkan shalat (hukum Islam).'"
Dalam riwayat At Thabrani, beliau menyatakan dengan kata kufran sharrahan (bukan kufran bawwahan). Sedangkan dalam riwayat lain:
"Kecuali jika kalian menyaksikan kemaksiatan kepada Allah secara nyata."
Semuanya ini membuktikan bahwa asas negara Islam adalah akidah Islam. Karena Rasulullah Saw. telah membangun kekuasaan berdasarkan asas tersebut. Bahkan, beliau memerintahkan agar mengangkat pedang dalam rangka menjaga keberlangsungan akidah sebagai landasan kekuasaan, serta memerintahkan berjihad dengan tujuan menegakkan akidah tersebut. Karena itu, negara Islam tidak diperbolehkan memiliki satu pun pemikiran, pemahaman, hukum ataupun standar yang tidak digali dari akidah Islam. Sebab, tidak cukup dengan menjadikan landasan negara Islam tersebut hanya sebatas nama, yaitu akidah Islam --namun dalam prakteknya tidak. Bahkan, adanya landasan itu harus tercermin dalam segala hal yang berhubungan dengan keberadaan negara Islam. Termasuk dalam hal-hal yang kecil maupun yang nampak menonjol dalam urusan negara secara keseluruhan. Karena itu, negara Islam tidak diperbolehkan memiliki satu pun konsep tentang kehidupan atau hukum selain yang lahir dari akidah Islam. Akidah Islam pun tidak akan mentolelir konsep dan pemahaman apapun yang tidak lahir dari sana.
Karena itu, negara Islam tidak akan mentolelir konsep demokrasi untuk kemudian diadopsi dalam tubuh negara Islam. Karena demokrasi bukan konsep yang lahir dari akidah Islam. Di samping karena pemahaman-pemahaman yang lahir dari konsep Demokrasi tersebut bertentangan dengan akidah Islam. Konsep Nasionalisme --yang lahir dari demokrasi-- misalnya, dengan lebel apapun tetap tidak diperbolehkan. Karena konsep tersebut tidak lahir dari akidah Islam. Di samping konsep-konsep yang lahir dari akidah Islam telah mengecam dan mencegah serta menjelaskan bahaya-bahayanya. Konsep Patriotisme (wathaniyah), apapun dan bagaimanapun bentuknya, tetap tidak diperbolehkan. Karena konsep tersebut lahir bukan dari akidah Islam. Di samping karena Patriotisme bertentangan dengan konsep-konsep yang lahir dari akidah Islam.
Begitu pula dalam struktur negara Islam tidak terdapat kementerian sebagaimana dalam tradisi pemahaman Demokrasi, termasuk pemahaman-pemahaman yang sama status hukumnya dengan demokrasi, seperti pemahaman kekaisaran, monarchi, ataupun republik. Karena semuanya itu tidak dilahirkan dari akidah Islam. Bahkan, semuanya tadi bertentangan dengan konsep yang lahir dari akidah Islam. Di samping, karena dilarang melakukan muhasabah (koreksi) kepada negara Islam dengan landasan selain akidah Islam, baik yang dilakukan oleh individu, gerakan maupun organisasi yang lain. Bahkan, dilarang mendirikan gerakan, organisasi, atau partai-partai dengan landasan selain akidah Islam. Karena dengan adanya akidah Islam sebagai landasan sebuah negara, maka semuanya menjadi suatu keharusan. Semuanya tadi diharuskan kepada penguasa beserta seluruh rakyat yang diperintah oleh negara Islam.
Dengan dijadikannya akidah Islam sebagai landasan negara Islam, maka mengharuskan undang-undang dasarnya serta perundang-undangan yang lain harus digali dari kitabullah serta sunnah Rasulullah. Allah SWT. telah memerintahkan kepada para penguasa agar menerapkan hukum sesuai dengan apa yang diturunkan oleh Allah SWT. kepada Rasul-Nya. Allah SWT. juga telah mengklaim orang-orang yang menerapkan hukum dengan selain hukum yang diturunkan oleh-Nya sebagai orang kafir, apabila dia meyakini apa yang dia terapkan. Juga yakin bahwa apa yang diturunkan oleh Allah kepada Rasul-Nya tidak memiliki otoritas apa-apa. Namun, Allah SWT. hanya akan mengklaim orang tersebut sebagai orang yang melakukan maksiat, baik fasik maupun dzalim, apabila dia menerapkan hukum tersebut namun tidak meyakini kebenaran hukum yang dia terapkan.
Sedangkan perintah Allah SWT. kepada penguasa agar menerapkan hukum sesuai dengan hukum yang diturunkan oleh Allah tadi telah ditetapkan berdasarkan Al Qur'an dan As Sunah. Allah SWT. berfirman:
"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan." (Q.S. An Nisa': 65)
"Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah." (Q.S. Al Maidah: 49)
Karena itulah, maka perundang-undangan negara Islam dibatasi hanya berdasarkan hukum yang diturunkan oleh Allah SWT. Bahkan, Allah sendiri mengancam orang yang menerapkan hukum selain hukum yang diturunkan-Nya, yaitu hukum-hukum kufur, dengan firman-Nya:
"Dan barang siapa yang tidak menerapkan hukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah, maka mereka adalah orang-orang yang kafir." (Q.S. Al Maidah: 44)
Rasulullah saw. juga bersabda:
"Setiap perbuatan yang tidak mengikuti perintahku, maka perbuatan itu akan tertolak."
Semuanya ini menunjukkan bahwa seluruh perundang-undangan negara Islam, baik undang-undang dasar maupun undang-undang yang lain ditentukan hanya berdasarkan hukum-hukum Syara' yang digali dari akidah Islam. Yaitu hukum-hukum yang ada di dalam Al Kitab dan As Sunah yang diturunkan oleh Allah SWT. kepada Rasul-Nya serta di dalam sumber hukum yang ditunjukkan oleh keduanya, yaitu ijma' sahabat dan qiyas (dalil analogi berdasarkan illat dan ma'lul).
Tatkala seruan As Syari' (Allah) tersebut berhubungan dengan aktivitas manusia serta mengharuskan seluruh manusia dalam setiap aktivitasnya terikat dengan seruan tersebut, maka sistem yang berhak mengatur aktivitas tersebut harus dibuat oleh Allah SWT. Di mana Syari'at Islam diturunkan berhubungan dengan seluruh aktivitas manusia beserta seluruh hubungan mereka, baik hubungan mereka, secara vertikal, dengan Allah atau dengan diri mereka sendiri maupun hubungan mereka, secara horisontal, dengan sesamanya. Karena itu, di dalam Islam tidak ada tempat untuk membuat undang-undang negara, yang bersumber dari produk otak manusia, yang dipergunakan untuk mengatur seluruh hubungan mereka. Sebab, mereka semua terikat dengan hukum syara'. Allah SWT. berfirman:
"Dan apa yang telah dibawa oleh Rasulullah, maka ambillah. Serta apa yang dicegah olehnya, maka tinggalkanlah." (Q.S. Al Hasyr: 7)
"Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya tekah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka." (Q.S. Al Ahzab: 36)
Rasulullah SAW. juga bersabda:
"Sesungguhnya Allah telah memfardlukan beberapa kewajiban, maka janganlah kalian melenyapkannya. Dan Dia telah melarang beberapa hal, maka janganlah kalian melanggarnya. Dia juga telah menetapkan batasan-batasan, maka janganlah kalian melampauinya."
"Dan barang siapa yang membuat-buat (hal baru) dalam urusanku ini, yang tidak ada tuntunannya maka perbuatan (yang baru) tersebut tertolak."
Karena itu, esensinya Allah-lah yang mensyari'atkan hukum, dan bukan penguasa. Dia-lah sesungguhnya yang telah memaksa seluruh manusia termasuk penguasa, agar mengikuti-Nya dalam mengatur seluruh hubungan serta aktivitas mereka. Di samping telah membatasi mereka hanya dengan hukum tersebut, dan melarang mereka untuk mengikuti hukum yang lain.
Karena itu, tidak ada tempat bagi manusia di dalam negara Islam untuk membuat hukum yang dipergunakan untuk mengatur seluruh hubungan manusia, termasuk di antaranya adalah membuat undang-undang dasar atau perundang-undangan yang lain. Dan tidak ada tempat lagi bagi penguasa untuk memaksa manusia atau memberikan alternatif kepada mereka agar mengikuti ketentuan serta hukum buatan manusia dalam mengatur interaksi mereka.
.......
Negara Islam Menerapkan Seluruh Sistem Islam, Hukum-Hukum Islam dalam Semua Aspek Kehidupan Masyarakat & Pemerintahan Negara
Sistem Pemerintahan Islam - Nidzam Hukm Islam - Hizb ut-Tahrir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar