Unduh BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Senin, 28 Maret 2011

Bentuk Pemerintahan Negara Islam - Daulah Khilafah Islam

BENTUK PEMERINTAHAN ISLAM


          Sistem pemerintahan Islam adalah sebuah sistem yang lain sama sekali dengan sistem-sistem pemerintahan yang ada di dunia. Baik dari aspek asas yang menjadi landasan berdirinya, pemikiran, pemahaman, standar serta hukum-hukum yang dipergunakan untuk melayani kepentingan umat, maupun dari aspek undang-undang dasar serta undang-undang yang diberlakukannya, ataupun dari aspek bentuk yang menggambarkan wujud negara tadi, maupun hal-hal yang menjadikannya beda sama sekali dari seluruh bentuk pemerintahan yang ada di dunia.

A. Pemerintahan Islam Bukan Monarchi

          Sistem pemerintahan Islam tidak berbentuk monarchi. Bahkan, Islam tidak mengakui sistem monarchi, maupun yang sejenis dengan sistem monarchi.

Kalau sistem monarchi, pemerintahannya menerapkan sistem waris (putra mahkota), di mana singgasana kerajaan akan diwarisi oleh seorang putra mahkota dari orang tuanya, seperti kalau mereka mewariskan harta warisan. Sedangkan sistem pemerintahan Islam tidak mengenal sistem waris. Namun, pemerintahan akan dipegang oleh orang yang dibai'at oleh umat dengan penuh ridla dan bebas memilih.

          Sistem monarchi telah memberikan hak tertentu serta hak-hak istimewa khusus untuk raja saja, yang tidak akan bisa dimiliki oleh yang lain. Sistem ini juga telah menjadikan raja di atas undang-undang, di mana secara pribadi memiliki kekebalan hukum. Dan kadangkala raja hanya simbol bagi umat, dan tidak memiliki kekuasaan apa-apa, sebagaimana raja-raja di Eropa. Atau kadangkala menjadi raja dan sekaligus berkuasa penuh, bahkan menjadi sumber hukum. Di mana raja bebas mengendalikan negeri dan rakyatnya dengan  sesuka hatinya, sebagaimana raja di Saudi, Maroko, dan Yordania.

          Lain halnya dengan sistem Islam, sistem Islam tidak pernah memberikan kekhususan kepada khalifah atau imam dalam bentuk hak-hak istimewa atau hak-hak khusus. Khalifah tidak memiliki hak, selain hak yang sama dengan hak rakyat biasa. Khalifah juga bukan hanya sebuah simbol bagi umat yang menjadi khalifah namun tidak memiliki kekuasaan apa-apa. Di samping khalifah juga bukan sebuah simbol yang berkuasa dan bisa memerintah serta mengendalikan negara beserta rakyatnya dengan sesuka hatinya. Namun, khalifah adalah wakil umat dalam masalah pemerintahan dan kekuasaan, yang mereka pilih dan mereka bai'at dengan penuh ridla agar menerapkan syari'at Allah atas diri mereka. Sehingga khalifah juga tetap harus terikat dengan hukum-hukum Islam dalam semua tindakan, hukum serta pelayanannya terhadap kepentingan umat.

          Di samping itu, dalam pemerintahan Islam tidak mengenal wilayatul ahdi (putra mahkota). Justru Islam menolak adanya putra mahkota, bahkan Islam juga menolak mengambil pemerintahan dengan cara waris. Islam telah menentukan cara mengambil pemerintahan yaitu dengan bai'at dari umat kepada khalifah atau imam, dengan penuh ridla dan bebas memilih.
....
Sistem Pemerintahan Islam - Nidzam Hukm Islam - Hizb ut-Tahrir

Wahai Tentara Yaman! Realisasikan Berita Gembira Rasulullah

...dengan Menghapus Pemerintahan Diktator dan Dirikan Daulah Khilafah Rasyidah Kedua Apa yang diderita kaum Muslim baik kerusakan, kemiskinan, kezaliman, pertumpahan darah … adalah hasil dari penjajah dengan dua wajahnya (penguasa dan oposisi). Keduanya bersekutu dalam berbagai bencana dan krisis yang menimpa kaum Muslim, yang asalnya adalah pemeri...


Negara Islam Menerapkan Sistem Hukum-Hukum Islam Keseluruhan

...Negara Islam Menerapkan Sistem Islam, Hukum-Hukum Islam Keseluruhan dalam Semua Aspek Kehidupan Masyarakat & Pemerintahan NegaraKhilafah Conference 2010 - Emerging World OrderHizb ut Tahrir America - http://hizb-america.orgNEGARA ISLAM     Negara Islam adalah dipimpin seorang khalifah yang menerapkan hukum syara'. Negara Islam merupakan ...


Para Pejabat Pemerintahan Negara Islam - Para Sahabat Rasul SAW

...dalam Struktur Pemerintahan Negara Islam Rasulullah - Para Sahabat Rasul SAW     Dengan asas akidah Islamitulah, Rasulullah Saw. benar-benar telah berhasil mendirikan negara Islam di Madinah Al Munawwarah.  Di mana di atas asas tersebut, tegaklah dasar, pilar, struktur, pasukan serta hubungan ke dalam dan ke luar negara beliau. Maka, semenjak b...


Negara Islam Menerapkan Sistem Hukum-Hukum Islam Keseluruhan

...Negara Islam Menerapkan Sistem Islam, Hukum-Hukum Islam Keseluruhan dalam Semua Aspek Kehidupan Masyarakat & Pemerintahan NegaraKhilafah Conference 2010 - Emerging World OrderHizb ut Tahrir America - http://hizb-america.orgNEGARA ISLAM     Negara Islam adalah dipimpin seorang khalifah yang menerapkan hukum syara'. Negara Islam merupakan ...


PEMERINTAHAN ISLAM - Pemerintahan Menurut Islam

...PEMERINTAHAN ISLAMPemerintahan Dalam Perspektif Islam       Menurut makna bahasa, kata al hukmu bermakna al qadla' (keputusan). Sedangkan kata al haakim bermakna munaffidzul hukmi (pelaksana keputusan ataupemerintahan). Adapun menurut istilah, kata al hukmu maknanya adalah sama dengan kata al mulku dan as sulthan. Yaitu, kekuasaan yang mela...


Tugas Wakil Kepala Negara Islam dalam Pemerintahan

...Kepala Negara Islam dalam PemerintahanC. TUGAS MU'AWIN TAFWIDHTugas mu'awin tafwidh adalah menyampaikan kepada khalifah apa yang menjadi perencanaannya dalam mengatur urusan-urusan pemerintahan, lalu dia melaporkan tindakan-tindakan yang telah dia lakukan dalam mengurusi urusan tersebut kepada khalifah, kamudian dia melaksanakan wewenang...


Pemerintahan dan Administrasi Negara Khilafah

...Pengantar Negara Islam (Khilafah) adalah negara kesatuan. Artinya, seluruh wilayah kekuasaan Khilafah merupakan satu kesatuan kepemimpinan dan wilayah. Dalam negara Islam tidak ada pemimpin ganda, dan tidak ada wilayah yang independen dari kekuasaan pusat, sebagaimana dalam sistem pemerintahan federasi. Seluruh wilayah dan rakyat yang hidup di d...


HT Amerika: Khilafah Satu-satunya Jalan Perubahan Bagi Kondisi Kaum Muslim

...yang disiapkan pemerintahan-pemerintahan yang silih berganti. Kaum Muslim harus memahami bahwa kebaikan ada dalam keikhlasan kepada Allah, agama-Nya, dan kaum Muslim. 3.       Setiap hari terungkap sejauh mana kehipokritan barat dan ketidakpeduliannya terhadap kaum Muslim. Barat telah membantu para penguasa itu selama bertahun-tahun tanpa peduli...


Bentuk Pemerintahan Negara Islam - Daulah Khilafah Islam

Sabtu, 26 Maret 2011

Para Pejabat Pemerintahan Negara Islam - Para Sahabat Rasul SAW

Para Pejabat dalam Struktur Pemerintahan Negara Islam Rasulullah - Para Sahabat Rasul SAW


     Dengan asas akidah Islam itulah, Rasulullah Saw. benar-benar telah berhasil mendirikan negara Islam di Madinah Al Munawwarah.  Di mana di atas asas tersebut, tegaklah dasar, pilar, struktur, pasukan serta hubungan ke dalam dan ke luar negara beliau. Maka, semenjak beliau datang ke Madinah beliau langsung memimpin kaum muslimin, melayani kepentingan mereka, me-manage urusan-urusan mereka, membentuk masyarakat Islam, serta mengadakan perjanjian dengan orang Yahudi. Baru kemudian dengan Bani Dhamrah serta Bani Mudlij, lalu dengan orang kafir Quraisy, penduduk Ailah, Jarba' dan Adzrah. Beliau melakukan perjanjian agar jangan sampai ada orang yang menghalang-halangi orang yang akan menunaikan ibadah haji. Juga agar tidak seorang pun yang ditakut-takuti pada syahrul haram (bulan Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharram, serta Rajab). Beliau juga pernah mengirim Hamzah Bin Abdul Muthallib, Muhammad Bin Ubaidah Bin Al Harits, serta Sa'ad Bin Abi Waqas dalam sebuah detasmen untuk menyerang penduduk Dumatul Jandal. Dalam beberapa pertempuran, kadang beliau sendiri yang memimpin langsung pasukannya. Bahkan beliau juga terjun langsung dengan pasukannya dalam sebuah pertempuran yang dahsyat. Beliau juga pernah mengangkat para wali (pemimpin daerah tingkat I) untuk daerah-daerah tertentu, serta para amil (pemimpin daerah tingkat II) untuk beberapa negari. Beliau pernah menunjuk Utab Bin Usaid untuk menjadi wali di Makkah setelah kota ini ditaklukkan. Kemudian setelah Badzan Bin Sasan memeluk Islam, dia diminta untuk menjadi wali di Yaman. Beliau juga pernah mengangkat Mu'ad Bin Jabal Al Khazraji untuk menjadi wali di Janad. Khalid Bin Walid menjadi amil di Shun'a'. Ziyad Bin Lubaid Bin Tsa'labah Al Anshari menjadi wali di Hadramaut. Abu Musa Al Asy'ari menjadi wali di Zabid dan Adn. Amru Bin Al Ash di Oman. Abu Dujanah menjadi amil di Madinah.

     Ketika beliau menunjuk para wali tersebut, beliau senantiasa memilih orang yang paling sempurna dalam melaksanakan tugasnya di antara mereka, untuk menjadi wali atau amil beliau. Beliau juga senantiasa menanamkan iman dalam benak mereka yang akan diterjunkan ke daerah yang telah ditentukan oleh beliau. Beliau juga selalu menanyai mereka tentang cara yang akan mereka pergunakan dalam menentukan keputusan mereka. Diriwayatkan dari beliau, bahwa beliau pernah bertanya kepada Mu'ad Bin Jabal Al Khazraji, ketika beliau mengutusnya ke Yaman:

"Dengan apa kamu akan memutuskan (suatu perkara)?, (Mu'ad) menjawab: 'Dengan kitab Allah'. Beliau bertanya: 'Jika kamu tidak menemukan?', (Mu'ad) menjawab: 'Dengan sunah Rasul-Nya'. Beliau bertanya lagi: 'Jika kamu tidak menemukannya?' (Mu'ad) menjawab: 'Saya akan berijtihad dengan pendapatku'. Beliau lalu bersabda: 'Segala puji hanya milik Allah, yang telah memberikan taufik kepada utusan Rasulullah dengan sesuatu yang amat dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya."

     Diriwayatkan juga bahwa ketika Nabi Saw. menunjuk Aban Bin Sa'id menjadi wali di Bahrain, beliau bersabda kepadanya:

"Mintalah nasihat kebajikan kepada Abdi Qais serta muliakanlah penduduknya."

     Rasulullah Saw. selalu mengutus orang yang terbaik, yang telah masuk Islam. Beliau biasanya memerintahkan mereka agar mengajari masalah agama kepada orang-orang yang baru masuk Islam, serta mengambil zakat dari mereka. Dalam berbagai keadaan, beliau menyerahkan urusan tersebut kepada para wali agar wali tersebut yang menarik zakat. Beliau juga menyerukan kepada mereka agar memberikan kabar gembira kepada seluruh manusia, serta mengajarkan Al Qur'an kepada mereka, dan mendidik mereka dalam hal keagamaan hingga betul-betul faqih (ahli). Beliau juga mengingatkan mereka agar tidak bersikap lemah dalam masalah yang jelas-jelas benar. Bahkan, beliau menganjurkan agar bersikap keras terhadap kedzaliman. Dan mencegah orang-orang agar tidak memprovokasikan kesukuan dan ras tertentu, sehingga provokasi mereka hanya kepada Allah semata, yang tidak akan mereka persekutukan dengan apapun yang lain. Serta mengambil khumus al amwal (1/5 dari harta temuan)  dan sedekah-sedekah yang telah telah diwajibkan atas kaum muslimin (zakat mal dan sejenisnya).

     Orang Yahudi dan Nasrani yang telah memeluk Islam dengan tulus dari lubuk hati mereka sendiri, maka mereka adalah orang-orang mukmin. Di mana mereka berhak mendapatkan hak dan kewajiban sebagaimana layaknya orang mukmin yang lain. Sedangkan mereka yang tetap dalam kenasranian dan keyahudiannya, tetap akan dilindungi. Sebagaimana yang tertuang dalam pernyataan Rasulullah kepada Mu'ad Bin Jabal, saat beliau mengutusnya ke Yaman:

"Sesungguhnya kamu akan mendatangi kaum ahli kitab, maka hendaklah yang pertama kali kamu sampaikan kepada mereka adalah ibadah kepada Allah. Jika mereka telah mengenal Allah, sampaikan kepada mereka bahwa Allah memfardlukan kepada mereka zakat yang akan diambil dari mereka yang kaya, kemudian akan diberikan kepada yang miskin. Jika mereka menaatinya, maka ambillah (zakat) dari mereka, dan kehormatan hartanya pun akan dijaga. Berhati-hatilah, terhadap doa orang-orang yang terdzalimi. Sebab antara mereka dengan Allah tidak terdapat hijab (tabir pemisah)."

     Dalam keadaan tertentu Rasulullah Saw. mengirim orang khusus untuk mengurusi masalah harta. Karenanya, setiap tahun Rasul selalu mengutus Abdullah Bin Rawwahah kepada orang-orang Yahudi Khaibar untuk memungut kharaj dari hasil tanaman mereka. Mereka pernah mengadu kepada utusan Rasul tersebut karena beban pemungutannya terlampau berat, lalu mereka ingin menyogok Abdullah Bin Rawwahah. Mereka kemudian mengumpulkan cincin istri-istri mereka. Dan mereka katakan kepada Abdullah: "Ini (hadiah) untukmu dan peringanlah (pungutan) yang menjadi beban kami. Dan bagilah secara merata." Abdullah kemudian menjawab: "Hai orang-orang Yahudi, (dengarkan) bagi kami kalian adalah orang yang paling dimurkai Allah. Harta ini tidak akan aku ambil dengan harapan aku akan memperingan (pungutan) yang menjadi kewajiban kalian. Suap yang kalian berikan ini, sesungguhnya merupakan suht (harta haram). Dan sungguh kami tidak akan memakannya." Mereka kemudian berkomentar: "Karena sikap seperti inilah, maka langit dan bumi ini senantiasa tetap akan tegak."

     Rasulullah Saw. juga senantiasa mengorek keadaan para wali dan amil beliau. Beliau juga memperhatikan informasi-informasi tentang mereka yang disampaikan kepada beliau. Beliau pernah memberhentikan Ila' Bin Al Hadhrami dari jabatannya sebagai amil beliau di Bahrain, karena ada utusan dari Abdi Qaid yang mengadukannya kepada Nabi. Dan Rasul pun memenuhi kritik yang ditujukan kepada amil beliau. Beliau juga selalu mengontrol anggaran dan pengeluaran mereka.

     Rasul juga telah mempergunakan seseorang yang secara khusus mengambil zakat. Maka tatkala kembali, beliau mengontrolnya kemudian orang tersebut mengatakan: "Ini untukmu (Ya Rasul), sedangkan ini telah dihadiahkan kepadaku." Beliau lalu bersabda:

"Mengapa bisa terjadi pada orang yang aku utus untuk melaksanakan tugas tertentu yang Allah berikan kepada kami, lalu mengatakan: 'Ini adalah untukmu, sedangkan yang ini telah dihadiahkan kepadaku.' Mengapa dia tidak tinggal diam di rumah bapak-ibunya saja lalu kita lihat, apakah dia akan mendapat hadiah atau tidak."

          Beliau melanjutkan sabdanya:

"Orang yang telah kami tugaskan untuk melaksanakan amal tertentu, kemudian kami bayar dengan bayaran tertentu, maka jika masih mendapatkan di luar itu tidak ada lain kecuali ghulul (harta haram)."

     Penduduk Yaman pernah melapor tentang bacaan yang dibaca Mu'ad Bin Jabal ketika menjadi imam shalat, yang terlampau panjang, maka Nabi segera menegurnya. Dan beliau bersabda:

"Barang siapa yang menjadi imam orang lain (dalam shalat) hendaknya memperingan (bacaannya)."

     Nabi Saw. pernah mengangkat para qadli untuk menegakkan hukum di tengah-tengah rakyat. Beliau pernah mengangkat Ali Bin Abi Thalib sebagai qadli di Yaman dan Abdullah Bin Naufal sebagai qadli di Madinah. Beliau juga pernah menugaskan Mu'ad Bin Jabal dan Abu Musa Al Asy'ari untuk menjadi qadli di Yaman (Yaman Utara dan Selatan). Rasul pernah menanyai mereka berdua:

"Dengan apa kalian (berdua) akan menghukumi?" Mereka berdua menjawab: 'Jika kami tidak menemukannya di dalam Al Kitab dan As Sunah, kami akan menganalogkan (mengqiyaskan) satu masalah dengan masalah lain. Mana yang lebih mendekati kepada kebenaran, maka itulah yang akan kami pergunakan.'"

     Dan Nabi pun membenarkannya. Sikap beliau ini menunjukkan, bahwa beliau senantiasa memilih para qadli serta menentukan tata cara mereka mengambil keputusan. Dan ternyata tidak hanya menentukan para qadli biasa, bahkan beliau menetapkan qadli madhalim (PTUN). Beliau pernah menugaskan Rasyid Bin Abdullah sebagai kepala qadli sekaligus qadli madhalim. Kemudian, beliau memberikan wewenang kepadanya untuk memutuskan perkara-perkara kedzaliman.

     Nabi Saw. juga mengatur seluruh kepentingan rakyat. Beliau mengangkat para penulis untuk mengatur kepentingan tersebut. Mereka itu layaknya seperti dirjen sebuah departemen. Ali Bin Abi Thalib adalah penulis perjanjian, apabila Nabi sedang melakukan perjanjian serta penulis perdamaian, apabila beliau sedang melakukan perdamaian. Harits Bin Auf Al Mari mengurusi cincin beliau (yang menjadi stempel negara beliau). Mu'aiqib Bin Abi Fatimah menjadi penulis ganimah (harta hasil rampasan perang, setelah mengalami kemenangan dalam peperangan). Hudzaifah menjadi pencatat hasil pendapatan tanah Hijaz. Zubeir Bin Awwam menjadi pencatat zakat. Mughirah Bin Syu'bah menjadi pencatat hutang-hutang serta transaksi-transaksi mu'amalah. Surahbil Bin Hisan menjadi penulis surat kepada raja-raja. Dalam setiap urusan beliau selalu mengangkat notulen (penulis), yang bertugas mengurus urusan tersebut meskipun yang diurusi juga beragam kepentingannya.

     Nabi Saw. sering bermusyawarah dengan para sahabat beliau. Beliau tidak pernah lepas dari saran-saran ahli ra'yu (para pemikir) serta orang yang beliau pandang memiliki kecemerlangan berfikir dan kelebihan. Di mana mereka semua memberikan penjelasan berdasarkan kekuatan iman serta ketakwaan mereka, dalam rangka menyebarkan dakwah Islam. Mereka berjumlah, tujuh orang dari kaum Anshar dan tujuh  yang lainnya dari kaum Muhajirin. Di antaranya adalah Hamzah, Abu Bakar, Ja'far, Ali, Umar, Ibnu Mas'ud, Salman, Ammar, Hudzaifah, Abu Dzar, Miqdad, dan Bilal Bin Rabbah. Beliau juga pernah meminta pendapat kepada yang lain, selain mereka. Hanya saja bedanya, frekuensi beliau bermusyawarah dengan mereka lebih intens. Jadi, mereka layaknya adalah seperti majelis syura.

     Nabi Saw. telah menetapkan harta atas kaum muslimin serta yang lain, termasuk atas tanah, hasil panen, serta hewan, yang berupa zakat, usyur (pungutan 1/10 di daerah perbatasan), fai' (harta rampasan yang telah ditinggal oleh pemiliknya tanpa terjadinya peperangan), kharaj, jizyah. Di mana anfal serta ghanimah tersebut menjadi milik baitul mal. Sedangkan distribusi zakat, diberikan kepada delapan kelompok, yang telah dinyatakan di dalam Al Qur'an. Dan sedikit pun tidak akan diberikan kepada kelompok yang lain. Begitu pula dalam urusan negara, negara Islam tidak akan mengambil sedikitpun dari sana. Untuk melayani kebutuhan rakyat, mereka akan disuplai dengan harta yang berasal dari fai', kharaj, jizyah, serta ghanimah. Semuanya itu cukup untuk mengurusi kebutuhan negara beserta angkatan bersenjatanya. Dan negara tidak akan pernah merasa membutuhkan lagi harta yang lain.

     Demikianlah, Rasulullah saw. membangun struktur negara Islam sendiri, kemudian beliau sempurnakan semasa hidup beliau. Dan beliaulah yang menjadi kepala negaranya. Beliau juga memiliki dua mu'awin (pembantu), wali, amil, qadli, pasukan, dirjen-dirjen departemen-departemen serta majelis syura. Struktur ini, dengan segala bentuk dan otoritasnya, adalah thariqah yang wajib diikuti. Semuanya tadi telah dinyatakan berdasarkan riwayat yang mutawatir.

     Rasulullah Saw. senantiasa menjalankan tugas sebagai kepala negara semenjak tiba di Madinah hingga beliau wafat, sementara Abu Bakar dan Umar Bin Khattab adalah mu'awin beliau. Para sahabat, sepeninggal beliau,  juga telah sepakat untuk mengangkat kepala negara yang menjadi penerus Rasulullah Saw. dalam memimpin negara, bukan sebagai penerus kerasulan dan penerus kenabian. Sebab, kenabian dan kerasulan ini telah berakhir pada beliau saja. Demikianlah Rasulullah Saw. telah membangun struktur negara secara sempurna dalam kehidupan beliau. Beliau telah meninggalkan bentuk pemerintahan dan struktur negara yang telah sedemikian dikenal dan teramat jelas.

Para Pejabat dalam Struktur Pemerintahan Negara Islam Rasulullah - Para Sahabat Rasul SAW
Sistem Pemerintahan Islam - Nidzam Hukm Islam - Hizb ut-Tahrir 

Negara Islam Menerapkan Sistem Hukum-Hukum Islam Keseluruhan

Negara Islam Menerapkan Sistem Islam, Hukum-Hukum Islam Keseluruhan dalam Semua Aspek Kehidupan Masyarakat & Pemerintahan Negara

Khilafah Conference 2010 - Emerging World Order
Hizb ut Tahrir Americahttp://hizb-america.org

NEGARA ISLAM


     Negara Islam adalah dipimpin seorang khalifah yang menerapkan hukum syara'. Negara Islam merupakan kekuatan politik praktis yang berfungsi untuk menerapkan dan memberlakukan hukum-hukum Islam, serta mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia sebagai sebuah risalah dengan dakwah dan jihad. Negara Islam inilah satu-satunya thariqah (metode) yang dijadikan oleh Islam untuk menerapkan sistem dan hukum-hukumnya secara menyeluruh dalam kehidupan dan masyarakat. Inilah yang merupakan pilar hidup dan matinya Islam dalam kehidupan. Tanpa adanya negara, eksistensi Islam sebagai sebuah ideologi serta sistem kehidupan akan menjadi pudar; yang ada hanyalah Islam sebagai upacara ritual serta sifat-sifat akhlak semata. Karena itu, negara Islam harus tetap ada dan bukan hanya temporal keberadaannya.

     Negara Islam hanya berdiri di atas landasan akidah Islam, dan akidah Islam inilah yang menjadi asasnya. Secara Syar'i akidah Islam, dalam keadaan apapun, tidak boleh terlepas dari negara. Sehingga sejak pertama kali, ketika Rasulullah Saw. membangun sebuah kekuasaan di Madinah serta memimpin pemerintahan di sana, beliau segera membangun kekuasaan dan pemerintahannya dengan landasan akidah Islam. Maka setelah itu, ayat-ayat tentang perundang-undangan tidak pernah turun lagi.

     Beliau telah menjadikan syahadat La Ilaha Illa Allah Wa Anna Muhammadar Rasulullah sebagai asas kehidupan bagi kaum muslimin, yang sekaligus merupakan asas dalam hubungan, secara horisontal, di antara sesama manusia (baik muslim dengan muslim, muslim dengan kafir dzimmi, maupun muslim dengan kafir harbi), termasuk dasar pijakan untuk menjaga terjadinya kedzaliman, serta pijakan dalam menyelesaikan persengketaan. Dengan kata lain, akidah Islam merupakan dasar bagi semua masalah kehidupan termasuk landasan pemerintahan dan kekuasaan.

     Hanya saja hal itu belum cukup, sehingga Islam memerintahkan berjihad, bahkan mewajibkannya untuk seluruh kaum muslimin agar akidah ini bisa mereka emban kepada seluruh manusia. Rasulullah Saw. bersabda:

"Aku diperintahkan untuk memerangi orang hingga mereka menyatakan LA ILAHA ILLA ALLAH MUHAMMADUR RASULULLAH, maka bila mereka menyatakannya darah dan harta mereka akan terlindungi dariku kecuali dengan cara yang dibenarkan."

     Bahkan, menjaga keberlangsungan akidah Islam sebagai landasan negara hukumnya adalah fardlu bagi seluruh kaum muslimin. Di mana beliau memerintahkan mereka agar mengangkat senjata dan berperang bila kemudian telah nampak kekufuran yang nyata. Yaitu apabila akidah Islam tidak lagi dijadikan sebagai landasan pemerintahan dan kekuasaan.

     Maka, ketika Rasulullah Saw. ditanya tentang pemerintahan yang dzalim: "Tidakkah kita perangi saja mereka itu dengan pedang (wahai Rasulullah)?" beliau menjawab: "Jangan, selagi mereka masih menegakkan shalat (hukum Islam)." Beliau juga memerintahkan agar kaum muslimin tidak merebut bai'at dari tangan ulil amri (khalifah) kecuali kalau mereka menyaksikan terjadinya kekufuran secara nyata. Dalam hadits Auf Bin Malik tentang kebobrokan para pemimpin dinyatakan:

"Ditanyakan (kepada Rasul): 'Ya Rasulullah, tidakkah kita perangi saja mereka itu dengan pedang?' Beliau menjawab: 'Jangan, selama mereka masih menegakkan shalat (hukum Islam).'"

Dalam riwayat At Thabrani, beliau menyatakan dengan kata kufran sharrahan (bukan kufran bawwahan). Sedangkan dalam riwayat lain:

"Kecuali jika kalian menyaksikan kemaksiatan kepada Allah secara nyata."

     Semuanya ini membuktikan bahwa asas negara Islam adalah akidah Islam. Karena Rasulullah Saw. telah membangun kekuasaan berdasarkan asas tersebut. Bahkan, beliau memerintahkan agar mengangkat pedang dalam rangka menjaga keberlangsungan akidah sebagai landasan kekuasaan, serta memerintahkan berjihad dengan tujuan menegakkan akidah tersebut.            Karena itu, negara Islam tidak diperbolehkan memiliki satu pun pemikiran, pemahaman, hukum ataupun standar yang tidak digali dari akidah Islam. Sebab, tidak cukup dengan menjadikan landasan negara Islam tersebut hanya sebatas nama, yaitu akidah Islam --namun dalam prakteknya tidak. Bahkan, adanya landasan itu harus tercermin dalam segala hal yang berhubungan dengan keberadaan negara Islam. Termasuk dalam hal-hal yang kecil maupun yang nampak menonjol dalam urusan negara secara keseluruhan. Karena itu, negara Islam tidak diperbolehkan memiliki satu pun konsep tentang kehidupan atau hukum selain yang lahir dari akidah Islam. Akidah Islam pun tidak akan mentolelir konsep dan pemahaman apapun yang tidak lahir dari sana.

     Karena itu, negara Islam tidak akan mentolelir konsep demokrasi untuk kemudian diadopsi dalam tubuh negara Islam. Karena demokrasi bukan konsep yang lahir dari akidah Islam. Di samping karena pemahaman-pemahaman yang lahir dari konsep Demokrasi tersebut bertentangan dengan akidah Islam. Konsep Nasionalisme --yang lahir dari demokrasi-- misalnya, dengan lebel apapun tetap tidak diperbolehkan. Karena konsep tersebut tidak lahir dari akidah Islam. Di samping konsep-konsep yang lahir dari akidah Islam telah mengecam dan mencegah serta menjelaskan bahaya-bahayanya. Konsep Patriotisme (wathaniyah), apapun dan bagaimanapun bentuknya, tetap tidak diperbolehkan. Karena konsep tersebut lahir bukan dari akidah Islam. Di samping karena Patriotisme bertentangan dengan konsep-konsep yang lahir dari akidah Islam.

     Begitu pula dalam struktur negara Islam tidak terdapat kementerian sebagaimana dalam tradisi pemahaman Demokrasi, termasuk pemahaman-pemahaman yang sama status hukumnya dengan demokrasi, seperti pemahaman kekaisaran, monarchi, ataupun republik. Karena semuanya itu tidak dilahirkan dari akidah Islam. Bahkan, semuanya tadi bertentangan dengan konsep yang lahir dari akidah Islam. Di samping, karena dilarang melakukan muhasabah (koreksi) kepada negara Islam dengan landasan selain akidah Islam, baik yang dilakukan oleh individu, gerakan maupun organisasi yang lain. Bahkan, dilarang mendirikan gerakan, organisasi, atau partai-partai dengan landasan selain akidah Islam. Karena dengan adanya akidah Islam sebagai landasan sebuah negara, maka semuanya menjadi suatu keharusan. Semuanya tadi diharuskan kepada penguasa beserta seluruh rakyat yang diperintah oleh negara Islam.

     Dengan dijadikannya akidah Islam sebagai landasan negara Islam, maka mengharuskan undang-undang dasarnya serta perundang-undangan yang lain harus digali dari kitabullah serta sunnah Rasulullah. Allah SWT. telah memerintahkan kepada para penguasa agar menerapkan hukum sesuai dengan apa yang diturunkan oleh Allah SWT. kepada Rasul-Nya. Allah SWT. juga telah mengklaim orang-orang yang menerapkan hukum dengan selain hukum yang diturunkan oleh-Nya sebagai orang kafir, apabila dia meyakini apa yang dia terapkan. Juga yakin bahwa apa yang diturunkan oleh Allah kepada Rasul-Nya tidak memiliki otoritas apa-apa. Namun, Allah SWT. hanya akan mengklaim orang tersebut sebagai orang yang melakukan maksiat, baik fasik maupun dzalim, apabila dia menerapkan hukum tersebut namun tidak meyakini kebenaran hukum yang dia terapkan.

     Sedangkan perintah Allah SWT. kepada penguasa agar menerapkan hukum sesuai dengan hukum yang diturunkan oleh Allah tadi telah ditetapkan berdasarkan Al Qur'an dan As Sunah. Allah SWT. berfirman:

"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan." (Q.S. An Nisa': 65)

"Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah." (Q.S. Al Maidah: 49)

     Karena itulah, maka perundang-undangan negara Islam dibatasi hanya berdasarkan hukum yang diturunkan oleh Allah SWT. Bahkan, Allah sendiri mengancam orang yang menerapkan hukum selain hukum yang diturunkan-Nya, yaitu hukum-hukum kufur, dengan firman-Nya:

"Dan barang siapa yang tidak menerapkan hukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah, maka mereka adalah orang-orang yang kafir." (Q.S. Al Maidah: 44)

            Rasulullah saw. juga bersabda:
"Setiap perbuatan yang tidak mengikuti perintahku, maka perbuatan itu akan tertolak."

     Semuanya ini menunjukkan bahwa seluruh perundang-undangan negara Islam, baik undang-undang dasar maupun undang-undang yang lain ditentukan hanya berdasarkan hukum-hukum Syara' yang digali dari akidah Islam. Yaitu hukum-hukum yang ada di dalam Al Kitab dan As Sunah yang diturunkan oleh Allah SWT. kepada Rasul-Nya serta di dalam sumber hukum yang ditunjukkan oleh keduanya, yaitu ijma' sahabat dan qiyas (dalil analogi berdasarkan illat dan ma'lul).

     Tatkala seruan As Syari' (Allah) tersebut berhubungan dengan aktivitas manusia serta mengharuskan seluruh manusia dalam setiap aktivitasnya terikat dengan seruan tersebut, maka sistem yang berhak mengatur aktivitas tersebut harus dibuat oleh Allah SWT. Di mana Syari'at Islam diturunkan berhubungan dengan seluruh aktivitas manusia beserta seluruh hubungan mereka, baik hubungan mereka, secara vertikal, dengan Allah atau dengan diri mereka sendiri maupun hubungan mereka, secara horisontal, dengan sesamanya. Karena itu, di dalam Islam tidak ada tempat untuk membuat undang-undang negara, yang bersumber dari produk otak manusia, yang dipergunakan untuk mengatur seluruh hubungan mereka. Sebab, mereka semua terikat dengan hukum syara'. Allah SWT. berfirman:

"Dan apa yang telah dibawa oleh Rasulullah, maka ambillah. Serta apa yang dicegah olehnya, maka tinggalkanlah." (Q.S. Al Hasyr: 7)

"Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya tekah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka." (Q.S. Al Ahzab: 36)

          Rasulullah SAW. juga bersabda:
"Sesungguhnya Allah telah memfardlukan beberapa kewajiban, maka janganlah kalian melenyapkannya. Dan Dia telah melarang beberapa hal, maka janganlah kalian melanggarnya. Dia juga telah menetapkan batasan-batasan, maka janganlah kalian melampauinya."

"Dan barang siapa yang membuat-buat (hal baru) dalam urusanku ini, yang tidak ada tuntunannya maka perbuatan (yang baru) tersebut tertolak."

     Karena itu, esensinya Allah-lah yang mensyari'atkan hukum, dan bukan penguasa. Dia-lah sesungguhnya yang telah memaksa seluruh manusia termasuk penguasa, agar mengikuti-Nya dalam mengatur seluruh hubungan serta aktivitas mereka. Di samping telah membatasi mereka hanya dengan hukum tersebut, dan melarang mereka untuk mengikuti hukum yang lain.

     Karena itu, tidak ada tempat bagi manusia di dalam negara Islam untuk membuat hukum yang dipergunakan untuk mengatur seluruh hubungan manusia, termasuk di antaranya adalah membuat undang-undang dasar atau perundang-undangan yang lain. Dan tidak ada tempat lagi bagi penguasa untuk memaksa manusia atau memberikan alternatif kepada mereka agar mengikuti ketentuan serta hukum buatan manusia dalam mengatur interaksi mereka.

.......
Negara Islam Menerapkan Seluruh Sistem Islam, Hukum-Hukum Islam dalam Semua Aspek Kehidupan Masyarakat & Pemerintahan Negara
Sistem Pemerintahan Islam - Nidzam Hukm Islam - Hizb ut-Tahrir 

Jumat, 25 Maret 2011

PEMERINTAHAN ISLAM - Pemerintahan Menurut Islam

PEMERINTAHAN ISLAM
Pemerintahan Dalam Perspektif Islam


       Menurut makna bahasa, kata al hukmu bermakna al qadla' (keputusan). Sedangkan kata al haakim bermakna munaffidzul hukmi (pelaksana keputusan atau pemerintahan). Adapun menurut istilah, kata al hukmu maknanya adalah sama dengan kata al mulku dan as sulthan. Yaitu, kekuasaan yang melaksanakan hukum dan aturan. Juga bisa disebut dengan aktifitas kepemimpinan yang telah diwajibkan oleh syara' atas kaum muslimin. Aktifitas kepemimpinan ini merupakan kekuasaan yang dipergunakan untuk menjaga terjadinya tindak kedzaliman serta memutuskan masalah-masalah yang dipersengketakan. Atau dengan ungkapan lain, kata al hukmu juga bisa disebut wilayatul amri.  Sebagaimana dalam firman Allah:

"Taatilah Allah, dan taatilah rasulullah, serta ulil amri (para pemimpin) di antara kalian." (Q.S. An Nisa': 89)

"Dan kalau seandaianya mereka mengembalikan masalah itu kepada Rasulullah serta kepada ulil amri (para pemimpin) di antara mereka." (Q.S. An Nisa': 47)

Jadi, para pemimpin itulah yang esensinya melaksanakan pelayanan terhadap urusan-urusan umat secara langsung.

       Sebagai sebuah ideologi bagi negara, masyarakat serta kehidupan, Islam telah menjadikan negara beserta kekuasaannya sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari dirinya. Di mana Islam juga telah memerintahkan kaum muslimin agar mendirikan negara dan pemerintahan, serta memerintah dengan hukum-hukum Islam. Berpuluh-puluh ayat Al Qur'an yang menyangkut masalah pemerintahan dan kekuasaan telah diturunkan. Di mana ayat-ayat tersebut memerintahkan kaum muslimin agar menerapkan pemerintahan dengan berdasarkan apa yang diturunkan oleh Allah SWT. Allah berfirman:

"Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu." (Q.S. Al Maidah: 48)

"Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan oleh Allah SWT. dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu." (Q.S. Al Maidah: 49)

"Dan barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan oleh Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir." (Q.S. Al Maidah: 44)

"Dan barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan oleh Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang dzalim." (Q.S. Al Maidah: 45)

"Dan barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan oleh Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik." (Q.S. Al Maidah: 47)

"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap keputusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (Q.S. An Nisa': 65)

"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul-Nya serta ulil amri (para pemimpin) di antara kamu." (Q.S. An Nisa': 59)

"Dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan cara yang adil." (Q.S. An Nisa': 48)

Dan masih berpuluh-puluh ayat yang lain, yang menyangkut masalah pemerintahan dari segi pemerintahan dan kekuasaan itu sendiri. Di samping itu, banyak lagi ayat-ayat lain yang menunjukkan pembahasan pemerintahan secara detail. Bahkan, ada ayat-ayat yang membahas tentang hukum perang, politik, pidana, kemasyarakatan, hukum perdata dan lain-lain. Allah SWT. berfirman:

"Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang ada di sekitar kalian itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan itu ada padamu." (Q.S. At Taubah: 123)

"Jika kamu menemukan mereka dalam peperangan, maka cerai-beraikanlah orang-orang yang ada di belakang mereka dengan (menumpas) mereka, supaya mereka mengambil pelajaran. Dan jika kamu khawatir akan terjadinya penghianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur." (Q.S. Al Anfal: 57-58)

"Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dengan bertawakkal  kepada Allah." (Q.S. Al Anfal: 61)

"Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu." (Q.S. Al Maidah: 1)

"Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan cara yang batil dan (janganlah) kamu membawa urusan harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (cara berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui." (Q.S. Al Baqarah: 188)

"Dan dalam qishas itu ada jaminan kelangsungan hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal." (Q.S. Al Baqarah: 179)

"Laki-laki dan perempuan yang mencuri. potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang telah mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah." (Q.S. Al Maidah: 38)

"Dan jika mereka menyusui (anak-anak)-mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya." (Q.S. At Thalaq: 6)

"Hendaklah orang yang mampu memberikan nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberikan nafkah dari harta yang diberikan oleh Allah kepadanya." (Q.S. At Thalaq: 7)

"Ambilah zakat dari sebagian harta mereka dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan." (Q.S. At Taubah: 103)

       Dan demikianlah, kita senantiasa akan menemukan garis-garis besar undang-undang perdata, kemiliteran, pidana, perpolitikan, serta mu'amalah dengan jelas di dalam beratus-ratus ayat Al Qur'an. Di samping banyak hadits shahih --yang menjelaskan hal-hal yang serupa-- bertebaran. Di mana kesemuanya itu diturunkan berkaitan dengan suatu keharusan untuk menjalankan serta menerapkan kekuasaan berdasarkan garis-garis besar tersebut. Bahkan, semuanya itu telah berhasil diterapkan dalam kehidupan yang sesungguhnya pada masa Rasulullah, Khulafaur Rasyidin, serta penguasa-penguasa Islam sepeninggal beliau. Kenyataan ini menunjukkan dengan jelas, bahwa Islam memiliki sistem pemerintahan dan kenegaraan, serta sistem yang bisa menjamin keberlangsungan masyarakat, kehidupan, umat serta individu-individunya. Sebagaimana Islam telah menunjukkan bahwa negara tidak akan begitu saja memerintah sebuah pemerintahan, melainkan dengan sistem Islam. Di mana Islam tidak akan pernah terlihat kecuali kalau Islam hidup dalam sebuah negara yang menerapkan hukum-hukumnya.

       Maka, Islam adalah agama dan ideologi, di mana pemerintahan dan negara adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari dirinya. Negara adalah thariqah (tuntunan operasional) satu-satunya yang secara Syar'i dijadikan oleh Islam untuk menerapkan dan memberlakukan hukum-hukumnya dalam kehidupan secara menyeluruh. Di mana Islam tidak akan tampak hidup, kalau tidak ada sebuah negara yang menerapkannya dalam segala hal. Inilah negara dengan sistem perpolitikan yang sangat manusiawi, bukan negara ketuhanan (otokrasi) dengan sistem pendewaannya. Juga bukan negara yang memiliki sifat takdis apapun, begitu pula kepala negaranya tidak memiliki kema'suman --sebagaimana layaknya seorang Nabi dan Rasul.

       Dan sistem pemerintahan Islam adalah sistem yang menjelaskan bentuk, sifat, dasar, pilar, struktur, asas yang menjadi landasan, pemikiran, pemahaman, serta standar-standar yang dipergunakan untuk melayani kepentingan umat, serta undang-undang dasar dan perundang-undangan yang diberlakukan.

       Dialah sistem yang khas dan sama sekali lain bagi sebuah negara yang unik, yang berbeda dengan semua sistem pemerintahan manapun yang ada di dunia dengan perbedaan yang mendasar. Baik dari segi asas yang dipergunakan sebagai landasan sistem tersebut, atau dari segi pemikiran, pemahaman serta standar yang dipergunakan untuk melayani kepentingan umat, atau dari segi bentuk yang terlukis dari sana, maupun undang-undang dasar serta perundang-undangan yang diberlakukannya.

PEMERINTAHAN ISLAM - Pemerintahan Menurut Islam Islami
Sistem Pemerintahan Islam - Nidzam Hukm Islam - Hizb ut-Tahrir 

Kamis, 24 Maret 2011

Tugas Wakil Kepala Negara Islam dalam Pemerintahan

Tugas Wakil Kepala Negara Islam dalam Pemerintahan


C. TUGAS MU'AWIN TAFWIDH

Tugas mu'awin tafwidh adalah menyampaikan kepada khalifah apa yang menjadi perencanaannya dalam mengatur urusan-urusan pemerintahan, lalu dia melaporkan tindakan-tindakan yang telah dia lakukan dalam mengurusi urusan tersebut kepada khalifah, kamudian dia melaksanakan wewenang dan mandat yang dia miliki. Sehingga dia dalam melaksanakan wewenang-wewenangnya bukan sebagaimana layaknya khalifah itu sendiri. Jadi, tugas mu'awin adalah menyampaikan laporan kegiatannya serta melaksanakan laporannya selagi tidak ada teguran atau dihentikan oleh khalifah.

Dalil yang berkaitan dengan hal itu adalah realitas mu'awin itu sendiri, di mana dia merupakan wakil khalifah. Karena seorang wakil hanya melaksanakan kegiatannya berkaitan dengan statusnya sebagai wakil orang yang diwakili. Sehingga dia tidak bisa terlepas sama sekali dari khalifah, melainkan harus senantiasa melaporkan secara penuh setiap tindakan yang dia lakukan kepada khalifah, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Umar ketika menjadi wazir Abu Bakar. Dimana Umar senantiasa melaporkan apa yang menjadi kebijakannya kepada Abu Bakar. Kemudian dia selalu melaksanakan sesuai dengan apa yang menjadi keputusan Abu Bakar.

Makna penyampaian laporan mu'awin kepada khalifah itu tidak berarti, mu'awin senantiasa meminta izin kepada khalifah dalam setiap persoalan secara detail, karena hal ini justru bertentangan dengan realitas mu'awin itu sendiri. Tetapi, makna penyampaian laporan tersebut adalah mu'awin harus selalu menyampaian setiap hal --baik yang masih menjadi perencanaan maupun yang telah dilakukan-- kepada khalifah. Semisal, ada satu wilayah yang membutuhkan seorang wali yang betul-betul mampu atau menyelesaikan masalah yang dikeluhkan oleh masyarakat, mungkin karena minimnya persediaan bahan makanan di pasar ataupun masalah-masalah negara yang lain. Atau hanya sekedar menyampaikan masalah-masalah tersebut kepada khalifah, agar dia bisa meneliti masalah-masalahnya, lalu mu'awin itu mengikuti apa yang diputuskan oleh khalifah.

Jadi, adanya laporan itu saja sudah cukup agar dia bisa melaksanakan tiap-tiap kegiatan yang telah dinyatakan di dalam laporan tersebut, secara rinci. Karena untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan itu, mu'awin tidak perlu mendapat izin dahulu. Tetapi, kalau ada hal-hal yang tidak boleh dilaksanakan dalam laporan tadi, maka dia tidak boleh melaksanakannya. Jadi, laporan tersebut hanya sekedar menyampaikan beberapa hal atau semata-mata agar mengetahui hal-hal tersebut, bukan untuk meminta izin supaya bisa melaksanakannya. Sehingga, selama tidak dihentikan atau distop oleh khalifah, maka mu'awin boleh melaksanakan terus apa yang telah dia laporkan.

Seorang khalifah wajib mengontrol tugas-tugas serta kebijakan-kebijakan dalam mengatur berbagai hal, yang telah dilakukan oleh mu'awin tafwidhnya, sehingga tidak dibiarkan begitu saja. Di mana kalau ada yang benar, khalifah harus menerimanya serta kalau ada yang salah dia pun bisa mengetahuinya. Karena masalah mengatur urusan-urusan umat itu telah diwakilkan dan diberikan kepada khalifah dengan mengikuti ijtihadnya.

Hal itu didasarkan pada hadits tentang tanggungjawab mengurusi urusan umat, yaitu sabda Rasulullah saw.:

"Imam (khalifah) itu merupakan pelayan, di mana dialah yang bertanggungjawab untuk mengurusi (urusan) rakyatnya."
Khalifahlah yang diserahi untuk mengatur berbagai urusan umat, maka dialah yang paling bertanggungjawab terhadap masalah rakyatnya. Sedangkan seorang mu'awin tafwidh bukanlah penanggungjawab urusan rakyat, tetapi hanya bertanggungjawab terhadap tugas-tugas yang dia lakukan. Di mana tanggungjawab untuk mengurusi urusan rakyat itu hanya menjadi otoritas seorang khalifah. Oleh karena itu, dia wajib mengontrol tugas-tugas dan kebijakan-kebijakan mu'awin. Sehingga dia tetap dianggap melaksanakan tanggungjawab untuk mengurusi rakyatnya. Dan boleh jadi, mu'awin tafwidh melakukan suatu kesalahan sehingga kesalahan yang telah dilakukannya itu  harus diketahui oleh seorang khalifah. Karena itu, khalifah harus senantiasa mengontrol semua tugas mu'awinnya.

Karena dua hal itulah, yaitu melaksanakan tanggungjawab untuk mengurusi urusan rakyat, serta mengetahui kesalahan mu'awin tafwidh, maka khalifah wajib untuk mengontrol semua tindakan mua'win tafwidh. Kalau seorang mu'awin tafwidh telah mengatur suatu urusan, lalu disepakati oleh khalifah, maka mu'awin boleh melaksanakannya tanpa menambah dan menguranginya. Sedangkan kalau khalifah menolak dan mu'awin tidak menerima karena apa yang telah dilakukannya itu ditolak, maka harus diteliti dulu. Kalau yang dilakukan mu'awin adalah masalah hukum, di mana dia menerapkan masalah itu dengan pendapatnya atau urusan harta yang dia tetapkan sendiri, maka dalam hal ini pendapat mu'awinlah yang harus dilaksanakan. Karena esensinya, pendapat mu'awin adalah pendapat khalifah --sebab dia telah mewakilkan urusan tersebut kepada mu'awin—di mana seorang khalifah tidak boleh menarik kembali hukum-hukum yang telah dia lakukan, serta menarik harta-harta yang telah dia distribusikan. Namun, kalau apa yang telah ditetapkan oleh mu'awin selain itu, semisal penyerahan jabatan wali atau penataan pasukan, maka khalifah boleh menolak tindakan mu'awin tafwidh kemudian pendapat yang dilaksanakan adalah pendapat khalifah, sedangkan kegiatan-kegiatan mu'awin tersebut tidak dipakai, sebab khalifah berhak untuk menarik kegiatan itu sendiri, sehingga dia juga berhak untuk menarik kegiatan mu'awinnya.

Inilah gambaran, bagaimana mu'awin tafwidh melaksanakan tugas-tugasnya serta bagaimana seorang khalifah mengontrol kegiatan-kegiatan mu'awin tersebut. Kesemuanya ini diambil dari hal-hal yang menjadi hak khalifah di mana dia bisa mencabutnya, serta kegiatan-kegiatan mana yang tidak boleh dia cabut, sebab kegiatan mu'awin tafwidh itu bisa dianggap sebagai kegiatan khalifah. Dengan penjelasan tadi, maka seorang mu'awin tafwidh boleh untuk menetapkan hukum sendiri, juga boleh menunjuk para hakim (semisal, wali dan amil) sebagaimana hal itu boleh dilakukan oleh khalifah. Karena syarat-syarat pemerintahan dalam hal ini sudah jelas. Dia boleh memberi pendapat dalam masalah madzalim (kedzaliman-kedzaliman) serta menunjuk wakil dalam masalah ini, karena syarat-syarat madzalim dalam hal ini juga jelas. Dia boleh memimpin perang secara langsung, juga boleh menunjuk orang lain untuk memimpinnya, karena syarat-syarat perang di sini juga jelas. Dia boleh mengurusi pelaksanaan urusan-urusan yang telah ditetapkan, juga boleh menunjuk wakil untuk melaksanakannya sebab syarat-syarat untuk mengurusinya juga jelas. Hanya saja, selama mu'awin melaporkan apa saja yang telah dia lakukan bukan berarti tidak bisa dihapus oleh khalifah. Tetapi, yang dimaksud adalah mu'awin memiliki wewenang seperti yang dimiliki oleh khalifah, namun tetap saja statusnya sebagai wakil khalifah dan bukan berdiri sendiri serta terlepas sama sekali dari khalifah.

Karena itu, khalifah boleh tidak setuju terhadap apa saja yang telah dilakukan oleh mu'awin, bahkan meniadakan apa saja yang telah dilakukan oleh mu'awin. Namun, sebatas kegiatan-kegiatan yang boleh ditarik oleh khalifah itu saja. Sehingga ketika mu'awin menerapkan hukum, di mana dia menerapkan dengan pendapatnya, atau urusan harta yang dia tetapkan sendiri. Kemudian setelah hal itu dilaksanakan, khalifah tidak setuju maka ketidaksetujuan khalifah tersebut tidak ada artinya, dan pendapat mu'awinlah yang dipakai. Bahkan, pendapat khalifah tersebut harus ditolak. Karena, esensinya apa yang telah dilakukan oleh mu'awin adalah pendapat khalifah. Di mana dalam hal seperti ini, khalifah tidak boleh menarik pendapatnya sendiri, atau meniadakan apa yang telah dilaksanakan secara tuntas. Sehingga dalam hal ini,  dia juga tidak boleh meniadakan kegiatan mu'awinnya.

Apabila mu'awin telah mengangkat seorang wali atau pegawai atau komandan pasukan atau pengangkatan-pengangkatan yang lain, atau membuat strategi ekonomi, kebijakan militer atau maket industri atau yang lain, maka seorang khalifah diperbolehkan untuk tidak memakainya. Karena, sekalipun masalah tersebut esensinya  merupakan pendapat khalifah, namun dalam hal ini khalifah boleh untuk mencabutnya, kalau seandainya dia yang melaksanakan sendiri. Sehingga dia juga boleh meniadakan kegiatan-kegiatan wakilnya, maka dalam hal ini dia juga boleh meniadakan kegiatan-kegiatan mu'awin tersebut. Kaidah yang berkaitan dengan hal ini adalah: "Kegiatan khalifah yang boleh dicabut oleh khalifah sendiri, maka dia boleh mencabut kegiatan-kegiatan mu'awinnya. Dan setiap kegiatan khalifah sendiri yang tidak boleh dicabut oleh khalifah sendiri, maka dia juga tidak boleh mencabut kegiatan mu'awinnya."

Mu'awin tafwidh tidak dikhususkan untuk menangani salah satu departemen atau bidang-bidang tertentu. Karena wewenangnya memang umum, di samping itu dia tidak menangani masalah-masalah teknis (administrasi). Di mana mu'awin tafwidh justru bertugas menangani perangkat administrasi negara (departemen-departemen) secara umum.

Itulah yang dijelaskan oleh kata waziraya (dua pembantuku) di dalam hadits yang telah dikeluarkan oleh Imam At Tirmidzi di atas, bahwa mu'awin tersebut adalah pembantu khalifah dalam kekhilafahan. Maka, kegiatan mu'awin itu mencakup semua wewenang yang dimiliki oleh khalifah. Oleh karena itu, tidak boleh mengangkat seorang mu'awin khalifah untuk menduduki satu departemen tertentu, semisal Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Karena dengan begitu, maknanya bertentangan dengan makna syara' dari kata tersebut.

Apabila, pengangkatan mu'awin tersebut wewenangnya dibatasi maka akad terhadap mu'awin itu tidak sah. Dengan begitu, dia belum bisa dianggap sebagai mu'awin khalifah, karena akadnya tidak sah. Sedangkan pengangkatan ketua qadli, tidak bisa dianggap sebagai pengangkatan wewenang tertentu bagi mu'awin khalifah dalam bidang peradilan. Karena hal itu hanya merupakan pengangkatan wewenang bagi seorang wali dengan wewenang tertentu, seperti mengurusi pasukan, mengurusi shadaqah (harta benda), dan sebagainya. Di mana dia bisa diangkat dengan wewenang-wewenang yang diberikan kepadanya, yang berbeda dengan penyerahan jabatan sebagai mu'awin tafwidh.

Dan ketua qadli (qadli qudlat) merupakan seorang pemimpin, yang telah diberi wewenang untuk mengangkat para qadli, dan menentukan kebijakan dalam peradilan serta kebijakan untuk memutuskan perkara di tengah seluruh manusia, dan dia bukanlah seorang mu'awin.

Karena itu, tidak boleh membatasi wewenang mu'awin tafwidh dalam satu departemen, sehingga apabila terjadi pembatasan dalam satu departemen tertentu maka batal-lah akad pengangkatannya. Karena syarat sah atau tidaknya penyerahan mu'awin tafwidh tersebut adalah agar akad tersebut mempergunakan lafadz yang jelas, yang mencakup dua syarat. Yang pertama adalah keumuman wewenang, dan kedua adalah menjadi wakil. Maka, pembatasan mu'awin dalam satu departemen jelas telah menggugurkan salah satu syarat tersebut, sehingga batal akad pengangkatannya.

Adapun ketidakbolehan seorang mu'awin melaksanakan urusan-urusan administrasi, adalah karena orang-orang yang melaksanakan urusan-urusan administrasi tersebut adalah para pekerja dan bukan hakim. Padahal, mu'awin adalah hakim bukan seorang pekerja. Di mana kegiatannya adalah melayani urusan-urusan umat, bukan melaksanakan kegiatan-kegiatan yang untuk melaksanakannya dengan menyewa para pekerja.

Karena itu, dia tidak melaksanakan urusan-urusan administrasi, namun tidak berarti dilarang sama sekali untuk melaksanakan kegiatan administrasi. Maksudnya adalah, dia tidak dibatasi untuk menangani kegiatan-kegiatan administrasi, tetapi kegiatan-kegiatan secara umum.

Tugas Wakil Kepala Negara Islam dalam Pemerintahan
Sistem Pemerintahan Islam - Nidzam Hukm Islam - Hizb ut-Tahrir 

Download BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam