Berbagai
pandangan rusak mulai banyak muncul setelah berakhirnya penerapan sistem Islam
oleh Daulah Khilafah Islamiyah yang telah berlangsung selama lebih dari 1300
tahun. Setelah diruntuhkannya Khilafah pada 1924 oleh Inggris, sekutu-sekutu,
dan antek-anteknya; masyarakat Muslim tidak bisa lagi menyaksikan kesempurnaan
penerapan sistem hukum Islam.
Ditambah lagi ada upaya negara-negara kafir untuk
mengikis habis seluruh sistem hukum Islam hingga ke simbol-simbolnya. Semua ini
mengakibatkan sebagian masyarakat benar-benar “buta” terhadap hukum-hukum Islam
yang seharusnya menjadi keyakinan dan tolok-ukur mereka.
Aktivitas yang mengabaikan hukum-hukum syariah Islam adalah
tindakan pragmatis yang justru jauh dari Islam. Misalnya, seorang penguasa yang
menyatakan tidak akan menerapkan syariah Islam dalam kekuasaannya, atau
sikapnya yang tetap mempertahankan segala perjanjian internasional yang ada,
termasuk Perjanjian Camp David yang melegitimasi negara zionis Israel pencaplok
negeri Muslim, gubernur yang turut menerapkan hukum-hukum tidak-Islam. Ini
semua tentunya tidak termasuk aktivitas politik yang syar’i, melainkan hanya aktivitas politik pragmatis yang
bertentangan dan bahkan mengkhianati Islam.
Pada saat keadaan masyarakat bertentangan dengan Islam, maka
sesungguhnya tidak diperbolehkan menakwilkan Islam agar sesuai dengan keadaan,
sebab dengan usaha ini berarti telah mengubah Islam, menyimpang dari Islam.
Seharusnya, keadaan masyarakatlah yang harus diubah sehingga sesuai dengan
Islam dan diatur menurut syari’at Islam.
Mengubah masyarakat bukanlah menghancurkan masyarakat,
melainkan mengganti sistem kehidupan yang ada di tengah masyarakat. Mengubah
masyarakat berarti mengubah isinya, yakni mengubah kepribadian para anggota
masyarakat, pemikiran masyarakat (baik akidah maupun syariat), perasaan
masyarakat, dan sistem (nizham) yang mengatur berbagai interaksi sosial,
politik, ekonomi, dan budaya masyarakat.
Jika Anda meletakkan api di bawah periuk sehingga bisa
memanaskan air sampai mendidih, maka air yang mendidih ini berubah menjadi uap
yang akan mendorong tutup periuk, menghasilkan gerakan yang mendorong. Demikian
pula halnya dengan masyarakat, jika di tengah mereka diletakkan mabda’ (ideologi) Islam maka “panas” dari mabda’ (ideologi) tersebut akan menghasilkan
dorongan bagi umat untuk bergerak berdakwah, amar
ma’ruf nahi mungkar. Sebab itu, dakwah harus disebarluaskan ke seluruh
Dunia Islam dalam upaya melanjutkan kehidupan Islam.
Kebangkitan dan
perubahan hakiki sejatinya mengubah ketundukan manusia kepada sesama makhluk
menjadi ketundukan manusia hanya kepada Allah Swt. Pencipta manusia. Hal ini
ditunjukkan oleh tegaknya syariah Islam sebagai wujud ketundukan manusia pada
hukum-hukum-Nya. Keadaan ini akan melahirkan keamanan lahir dan batin dalam
berbagai bidang. Allah Swt. berfirman:
“Allah
telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan beramal salih di antara
kalian, bahwa Dia benar-benar akan menjadikan mereka berkuasa di bumi,
sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa; Dia
benar-benar akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah Dia ridhai untuk
mereka; dan Dia benar-benar akan menukar keadaan mereka sesudah mereka berada
dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah Aku tanpa
mempersekutukan Aku dengan sesuatupun. Siapa saja yang kafir sesudah janji itu,
mereka itulah orang-orang yang fasiq.” (QS.
an-Nur [24]: 55)
Dalam ayat tersebut Allah Swt. menjanjikan empat hal yang
saling terkait. Pertama:
kekuasaan/kekhilafahan (istikhlaf). Kedua: peneguhan ajaran Islam (tamkinu ad-din). Ketiga:
keamanan (al-amnu). Keempat: ibadah dan tidak syirik. Ujung dari
semua ini adalah “Mereka tidak takut kecuali kepada-Ku” (Tafsir ath-Thabari, XIX/210).
Inilah kebangkitan hakiki. Ayat itu menegaskan adanya
keterkaitan yang kuat antara kekuasaan Khilafah, penerapan syariah Islam,
keamanan, serta kesejahteraan baik dalam hal materi, ruhiyah, akhlak maupun
kemanusiaan (insaniyah). Dengan
perkataan lain, perubahan yang hakiki hanya ada dalam penerapan syariah lewat
kekuasaan Khilafah. Rasulullah Saw. pun bersabda:
يَكُوْنُ
فِيْ آخِرِ أُمَّتِيْ خَلِيْفَةٌ يَحْثُوْ الْمَالَ حَثْيًا لاَ يَعُدُّهُ عَدَدًا
“Akan ada pada akhir
umatku seorang khalifah yang memberikan harta secara berlimpah dan tidak
terhitung banyaknya.” (HR. Muslim)
Jalan kebangkitan umat Islam adalah jalan yang satu, yakni
dengan melanjutkan kehidupan Islam. Dan tidak ada jalan menuju kelanjutan
kehidupan Islam melainkan dengan adanya Daulah Islamiyah. Dan tidak ada jalan
lain menuju ke arah itu kecuali jika kita bertakwa mengambil Islam secara
paripurna (kâmilan) sesuai Kitabullah
dan Sunnah Rasulullah, yakni kita mengambilnya sebagai Aqidah, dan
menjadikannya sudut pandang kehidupan, dan juga menerapkan keseluruhan
sistemnya.
Itu berarti bertaqwa menerapkan syariah Islam secara
totalitas dalam semua urusan. Untuk itu mutlak memerlukan kekuasaan. Rasul Saw.
telah mencontohkan bagaimana Beliau memohon kekuasaan kepada Allah Swt. untuk
mewujudkan hal itu.
“…dan
berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong.” (TQS. al-Isra’
[17]: 80)
Imam Qatadah menjelaskan: “Nabi Saw. menyadari bahwa tidak
ada daya bagi Beliau dengan perkara ini kecuali dengan sulthân (kekuasaan). Karena itu Beliau memohon kekuasaan yang
menolong untuk Kitabullah, untuk hudûd
Allah, untuk kewajiban-kewajiban dari Allah dan untuk tegaknya agama Allah.
(Imam ath-Thabari, Tafsîr ath-Thabarî)
….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar