Allah Swt. tidak membiarkan manusia hidup tanpa larangan dan
perintah-Nya. Seorang Muslim diperintahkan untuk memastikan bahwa seluruh
perbuatannya bersumber dari wahyu Allah Swt., dan tidak bersumber pada hawa
nafsu, atau ajaran-ajaran selain Islam.
“Atau adakah kamu mempunyai sebuah kitab (yang
diturunkan Allah) yang kamu membacanya?, bahwa di dalamnya kamu benar-benar
boleh memilih apa yang kamu sukai untukmu?” (QS. Al-Qalam: 37-38)
“Atau apakah kamu memperoleh janji yang diperkuat
dengan sumpah dari Kami, yang tetap berlaku sampai hari kiamat; sesungguhnya
kamu benar-benar dapat mengambil keputusan (sekehendakmu)?” (QS. Al-Qalam: 39)
Umat Islam dilarang mengambil metode atau manhaj kebangkitan
umat dari orang-orang kafir, seperti menggunakan jalan demokrasi, maupun metode
ala orang sosialis.
Rasulullah
Saw. pernah membuat garis di depan para sahabatnya dengan satu garis lurus di
atas pasir, sementara di kanan kiri itu Beliau menggariskan garis-garis yang
banyak. Lalu Beliau bersabda, “Ini adalah jalanku yang lurus, sementara ini adalah
jalan-jalan yang di setiap pintunya ada setan yang mengajak ke jalan itu.” Kemudian Nabi Saw. membaca QS. al-An’am [6]: 153.
“dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang
lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain),
karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu
diperintahkan Allah agar kamu bertakwa.” (QS. Al-An’am: 153)
Selain itu, Allah Swt. telah mengancam siapa saja yang
menyalahi perintah Rasulullah Saw. dengan ancaman musibah dan adzab yang pedih.
“maka
hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan
atau ditimpa azab yang pedih.” (QS. An-Nur [24]: 63)
Tidak ada satupun tahapan metode menegakkan negara dari
Rasulullah Saw. kecuali dijelaskan dalam sīrah
(perjalanan dakwah) Beliau. Kaum Muslimin tentu harus mempelajari dan mendalami
metode ini serta menerapkannya tanpa penyimpangan sedikitpun.
Sirah Nabawiyyah selama berasal dari riwayat yang shahih maka
terhitung sebagai dalil syara’ dan bisa digunakan sebagai hujjah (argumen). Ia tak ubahnya seperti
hadits Nabi Saw. yang lain, karena di dalamnya juga mengandung perkataan,
perbuatan, dan persetujuan Rasulullah Saw. (An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, juz 1 hlm 352).
Memulai
Perjuangan
Rasulullah Muhammad Saw. dalam mengubah dunia dimulai di Makkah, dan berbuah
setelah hijrah ke Madinah. Keberhasilan ini tidak mungkin terjadi bila Rasul
tidak menempuh fase pengkaderan dan pembinaan di Makkah yang memang memakan
waktu cukup lama, yaitu 13 tahun. Waktu sepanjang itu diperlukan untuk
menanamkan fikrah Islam di tengah masyarakat.
Dalam mengawali langkah dakwahnya, Rasulullah Saw. mendatangi
orang-orang terdekat Beliau dan melakukan kontak dengan orang-orang Makkah
untuk mengajari mereka al-Qur’an. Rumah al-Arqam bin Abi al-Arqam (Dar al-Arqam) di sebelah barat bukit Shafa
oleh Beliau dijadikan sebagai pusat pembinaan (Al-‘Allamah Shafiyyu ar-Rahman
al-Mubarakfuri, ar-Rahiq al-Makhtum: Bahts[un]
fi as-Sirah an-Nabawiyyah ‘ala Shahibiha Afdhala as-Shalata wa as-Salam, Dar
Ihya’ at-Turats, Beirut, t.t. hal. 80). Pembinaan awal yang masih tersembunyi
ini berlangsung selama 3 tahun.
Sejak diangkat menjadi Nabi dan Rasul di tahun 622 M, Nabi
Muhammad adalah sel pertama partai. Dari sel pertama ini, Baginda Saw.
membentuk sel-sel berikutnya. Istri Beliau Khadijah, sahabat Beliau Abu Bakar,
maulanya Zaid bin Haritsah, dan sepupu Beliau ‘Ali bin Abi Thalib direkrut dan
dibina, hingga menjadi sel-sel berikutnya. Setelahnya Abu Bakar merekrut
‘Utsman bin Madz’un, ‘Abdurrahman bin ‘Auf, Thalhah bin ‘Ubaidillah, ‘Ustman
bin ‘Affan, dan generasi awal Islam yang lainnya.
Pembinaan akidah dan syariah dilakukan hingga terbentuk para
kader berkepribadian Islam. Rasulullah Saw. membina mereka untuk
meningkatkan taraf berpikir dan merefleksikan ayat-ayat al-Qur’an yang
diturunkan Allah Swt. Beliau menanamkan keyakinan yang kokoh kepada mereka
sehingga bekas-bekas paham kekufuran dan konsep-konsep kejahiliyahan lenyap
dalam diri mereka dan digantikan dengan Islam. Ketika ayat-ayat tentang aqidah
turun, sedangkan ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum belum banyak turun, maka
kaum Muslim –saat itu– bertanggung jawab terhadap Islam seluruhnya, yaitu
sampai pada batas-batas yang telah dijelaskan nash-nash syara’ yang telah
turun.
Seorang Muslim memiliki kesadaran bahwa menegakkan Islam
dalam seluruh aspek kehidupan merupakan kewajiban bagi dirinya dan berdiam diri
terhadap ‘aqidah dan sistem kufur adalah kemaksiatan. Seorang Muslim
menjadikan ‘aqidah Islam sebagai pandangan hidupnya dan syariah Islam sebagai
tolok ukur perbuatannya, menggunakan pandangan Islam ketika melihat suatu
pemikiran, kejadian, ataupun perbuatan.
Setiap pelajaran
Islam merupakan pelajaran yang bersifat amaliyah (praktis) dan berpengaruh,
dengan tujuan untuk diterapkan dalam kehidupan dan dikembangkan di
tengah-tengah umat.
Merekapun memiliki pola jiwa yang Islami (nafsiyah Islamiyah), sehingga akan menjadikan
kecenderungannya senantiasa mengikuti Islam, serta menentukan
langkah-langkahnya atas dasar Islam. Mereka ridha kepada sesuatu yang diridhai
Allah dan Rasul-Nya, marah dan benci kepada hal-hal yang membuat Allah dan
Rasul-Nya murka. Mereka mendapatkan “celupan” Islam, menyatu dengan Islam.
Dengan begitu mereka mampu menjadi orang-orang yang pantas
dan layak mengemban dakwah Islam dan mampu memikul beban dakwah. Melalui
aktivitas ini para kader ditempa dengan pemahaman Islam hingga berubah secara
fundamental menjadi kader yang mujahid
(pejuang), muta’abbid (ahli
ibadah), mufakkir (pemikir),
dan siyasi (politisi). Misalnya,
Beliau telah menjadikan Umar bin al-Khaththab dari seseorang yang pernah
mengubur anak perempuannya hidup-hidup hingga menjadi seseorang yang rela
mengorbankan jiwa dan hartanya demi tegaknya Islam. Umar ra. menjadi seseorang
sebagaimana yang disabdakan Rasulullah Saw., “Tidak
ada satu setanpun yang berjumpa denganmu pada suatu lorong jalan melainkan dia
akan mencari lorong lain yang tidak kamu lalui.” (Shahih Bukhari no.3051)
“dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam pernah berdo’a:
اللَّهُمَّ
أَعِزَّ الْإِسْلَامَ بِأَحَبِّ هَذَيْنِ الرَّجُلَيْنِ إِلَيْكَ بِأَبِي جَهْلٍ
أَوْ بِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ
"Ya
Allah, muliakanlah Islam dengan salah satu di antara kedua orang yang paling
Engkau cintai, Abu Jahal atau Umar bin Khaththab." Ibnu Umar berkata:
"Dan ternyata yang lebih Allah cintai di antara keduanya adalah Umar bin
Khaththab." (Sunan Tirmidzi
no.3614)
….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar