Pernah suatu hari saya
ditanya oleh kolega, ”Siapa yang berhak menyandang gelar ustadz atau ulama?”
Terus terang, saya selalu sulit bila ditanya pertanyaan model begini. Sebab
bila salah jawabannya, maka bukan hanya sesat jadinya tapi juga menyesatkan.
Apalagi di
tengah-tengah kondisi seperti ini, banyak yang dikatakan ulama tapi jelas-jelas
menentang hukum Islam, bahkan kecenderungannya kepada orang kafir. Jawaban yang
sangat menentukan bagaimana sikapnya terhadap Islam.
Sekejap, saya langsung
teringat firman yang Allah sampaikan dalam Al-Qur’an Surah Fathir ayat 28 yang
berbunyi (artinya), ”Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara
hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha
Pengampun."
Ulama artinya adalah
orang yang alim, orang yang berilmu. Dan dalam ayat tersebut, yang dikatakan
sebagai ulama adalah yang ilmunya mampu mengantarkan dia untuk takut kepada
Allah, khawatir akan amal-amalnya dan juga amal-amal orang lain yang belum pas
atau tidak diridhai Allah.
Maka semua manusia
yang takut hanya kepada Allah, maka mereka sudah mendapatkan sejatinya ilmu,
dan merekalah yang disebut dengan ulama. Sebab saat orang sudah takut kepada
Allah, maka senantiasa ia akan menaati perintah Allah dan menjauhi larangannya,
dan ini adalah takwa.
Sengaja Allah
memberikan pada kita firman-Nya dengan mendahulukan lafadz Allah dan
mengakhirkan lafadz ulama, sebab memberikan kesan mendalam bagi kita bahwa
semua yang takut akan Allah pastilah berilmu, sementara yang berilmu belum
tentu takut pada Allah.
Atau, semua yang ulama
pastilah berilmu, walau tidak semua yang berilmu pasti ulama. Sebab ilmu yang
dimiliki yang menjadikan dia ulama adalah takut kepada Allah.
Inipun disampaikan
oleh Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Majmu
Al-Fatawa, ”Hal ini menunjukkan bahwa setiap yang takut kepada Allah
maka dialah orang yang alim, dan ini adalah haq. Dan bukan berarti setiap yang
alim akan takut kepada Allah.”
Dan tentu takut kepada
Allah ini tidak muncul secara tiba-tiba, tapi didapatkan melalui perenungan
mendalam tentang alam semesta, manusia dan kehidupan, sehingga ia mengetahui
hakikat kehidupan ini dari mana, akan ke mana, dan apa yang harus dilakukan. Saat
semua jawaban itu sudah mengemuka, maka seseorang akan muncul rasa takut
terhadap Allah, sebab keagungan dan kebesaran-Nya.
Di sisi yang lain dia
akan merasa lemah dan tak berdaya, harus diatur dan diberitahu. Inilah ilmu
para ulama, takut pada Allah. Maka dia akan dengan senang hati mengikuti segala
arahan yang Allah berikan, meninggalkan apapun yang Allah cegah atasnya dengan
rela meskipun dia melihat itu enak dan nikmat dilakukan, semua karena takut
pada Allah.
Dari situ, kita bisa
membedakan mana yang ulama mana yang bukan. Mereka yang justru cenderung pada
orang kafir, padahal kafir itu kalau tidak dimurkai Allah ya tersesat, ini
pasti bukan ulama.
Atau mereka yang sibuk
memutarbalikkan ayat atau memelintir tafsir demi kepentingan politik praktis,
mencegah syiar-syiar dakwah dengan mengadu antara sesama Muslim. Mereka ini
yang ilmunya tidak mengantarkan kepada rasa takut pada Allah.
Sebaliknya, mereka
yang takut hanya pada Allah akan konsisten menyuarakan penerapan Islam dalam
seluruh sendi kehidupan. Dan mereka takkan pernah bisa diam saat melihat
kezaliman di depan mata mereka. Mereka akan terus melawan dan menyampaikan
kebenaran walau nyawa adalah taruhannya, apalagi hanya sekadar di-bully atau difitnah. Karena mereka takut hanya
pada Allah, bukan manusia.
Begitulah ulama
pewaris para Nabi, bukan yang panjang titelnya atau jubahnya, bukan yang besar
namanya atau surbannya; tapi yang terpenting adalah mereka yang paling takut
pada Allah.
Felix Y. Siauw
Member @YukNgajiID
Sumber: Tabloid Media
Umat edisi 190
---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar