Dulu, saat saya masih
belasan tahun, ibu saya senantiasa mengingatkan saat saya diminta untuk
melakukan tugas rutin pekanan, membersihkan rumput taman dari gulma pengganggu.
”Lix, kalau nyabut gulma yang bersih, sampai ke akar-akarnya, kalau hanya
atasnya percuma, nanti 2-3 hari tumbuh lagi."
Mencabut gulma
pengganggu memang tidak semudah mencabut daunnya saja, sebab perlu tenaga
lebih, teknik mencabut yang baik, dan tentu waktu yang lebih lama, tapi
hasilnya tentu jauh lebih menghemat energi, ketimbang hanya mencabut bagian
atasnya saja.
Hanya saja, tak semua
mau sabar untuk mengerjakannya, bahkan lebih banyak lagi yang tidak awas,
bahwasanya gulma sebenarnya itu adalah akarnya, bukan saja daunnya, sebab gulma
pengganggu akan menyerap unsur hara yang harusnya diperuntukkan bagi tanaman utama,
tumbuh besar dan akhirnya dengan daunnya dia menghalangi sinar matahari yang
Seharusnya bagi tanaman utama.
Kekufuran itu persis
seperti gulma pengganggu, keberadaannya menghisap dan menjadi benalu, merusak
dan mematikan, karenanya harus disingkirkan dan dikendalikan, itulah namanya nahi munkar.
Hanya saja, tidak
semua memahami akar kekufuran itu ada di mana, hingga bisa menghancurkan
maksiat dari dasarnya, hingga runtuhlah bangunan-bangunan yang dibangun di
atasnya, agar kita bisa membangun kebenaran dan kebaikan di sana, di atas
puing-puing kekufuran yang sudah dihancurkan.
Sebagaimana gulma
pengganggu tadi, yang tampak memang hanya daunnya tapi permasalahan sebenarnya
ada pada akarnya. Sederhananya, ada sebab ada akibat. Pada gulma, daun yang
terlihat hanya akibat masalah, dan akarnya adalah sebab masalahnya, sebabnya
yang harus dicabut, maka tercabut pula akibat masalahnya.
Adanya problematika
kaum Muslim terancam dipimpin oleh orang kafir, ini juga akibat, bukan sebab.
apa yang menjadi sebabnya? Yaitu tidak diterapkannya hukum Islam, karena itu
orang kafir boleh dicalonkan, boleh didukung, boleh memimpin dan menguasai.
Artinya, bila kali ini
pun sang penista agama tidak jadi penguasa karena kalah dalam Pilkada, bukan
berarti masalahnya selesai, karena belum dicabut sampai ke akarnya, sebabnya
masih ada. Bila sang penista agama besok kalah, besok-besok bisa ada lagi kafir
yang mencalonkan jadi gubernur, atau bahkan presiden, lalu sampai kapan kita
akan selesai dari akibat masalah?
Tapi bila sistem
kapitalisme sekuler ini dicampakkan, lalu umat menerapkan sistem Islam, maka
barulah masalahnya selesai, karena dalam sistem Islam, orang kafir jangankan
boleh dipilih, mencalonkan saja tidak bisa. End
of problem.
Kita masih lebih suka
fokus pada akibat masalah, seperti bagaimana caranya supaya semua Muslim
memilih pasangan Muslim, atau bagaimana caranya agar tidak golput. Tapi kita
lupa, bahwa semua ini terjadi karena sistemnya memperbolehkan, karena sistemnya
bukan sistem Islam.
Hanya, memahamkan
sebab masalah ini memang perlu waktu, perlu kesabaran dan energi ekstra.
Memahamkan bahwa Allah mewajibkan 2 hal bagi kita, yaitu pemimpin Muslim dan
sistem Islam sebagai satu paket, juga bukan pekerjaan mudah. Tapi karenanya
kita akan diganjar dengan balasan terbaik, yaitu ridha dan ampunan Allah saat
berjumpa kelak.
Tugas kita masih jauh
dari selesai, yaitu mendekatkan umat pada solusi yang hakiki, penerapan aturan
Allah dalam kehidupan secara total, yang pasti akan memberikan kebaikan dan
kesejahteraan bagi seluruh umat. Sebab hari-hari ini, kebanyakan kita masih melihat
lebih kepada akibatnya bukan pada sebabnya.
Apa yang bisa menjadi
jembatan untuk memahamkan pada umat tentang sebab dan akibat dari masalah?
Tidak lain dan tidak bukan, tentunya pemahaman tentang akidah yang benar.
Karena Islam itu mencerahkahkan dan memberi pengertian, termasuk bagaimana cara
menyelesaikan masalah dengan benar, yaitu dengan mencabut sampai ke
akar-akarnya. []
Felix Y. Siauw
Member @YukNgajiID
---
Sumber: Tabloid Media
Umat edisi 191
Tidak ada komentar:
Posting Komentar