Pemilu Dalam Demokrasi Selalu Memihak Kapitalis Dan Penguasa (yaitu 1% dari Populasi)
Setelah pemilu di tengah masa pemerintahan di 2010 para sekular liberal menerima biangnya ketidakberuntungan dalam pemilu yang baru saja terjadi di dunia Muslim itu. Di Tunisia, di Maroko, di Mesir, jutaan para pemilih secara jelas menunjukkan penentangannya terhadap nilai-nilai sekular liberal dan keinginan kuat mereka terhadap pemerintahan Islami. Sungguh, hal yang paling mengejutkan adalah bahwa para liberal sangatlah terkejut dengan hasilnya. Bagi banyak analis barat, pemilu-pemilu di masa lalu tampak otomatis sama dengan memilih para liberal, beberapa hal memang menyebabkan pemilu-pemilu itu tidak bisa mengukur bahwa rakyat sebenarnya ingin visi politik yang berbeda. Sementara kebanyakan para komentator barat menilai sentimen popular dengan garis waktu Twitter, kebangkitan Islam sejati telah terjadi di desa-desa dan kota-kota seantero dunia Muslim. Sementara barat terus terpaku pada tindakan-tindakan para tokoh, orang biasa telah berkorban setiap hari untuk memicu perubahan sesungguhnya. Ini diilustrasikan oleh Eksekutif Google yang ditempatkan di puncak daftar majalah Time 100 "orang paling berpengaruh di dunia" untuk protesnya terhadap Mubarak. Sekarang, seorang pejabat AS mengatakan dengan nada mengejek saat wawancara dengan Kolumnis Financial Times: "Dia mungkin orang paling berpengaruh di dunia, tapi malangnya dia tidak tampak punya pengaruh di Mesir."
Namun demikian, sebelum kaum Muslim terhanyut, mereka harus waspada seperti warga barat, bahwa sistem politik telah dipasang untuk melawan mereka. Protes-protes telah meletup di seantero globe di bawah Occupy Movement, untuk suatu alasan. Dari New York, ke Athena, ke London, para pemrotes seantero globe sekarang berdiri melawan ketidakadilan sistem kapitalis global. Muak dengan para bankir, para pemodal dan dampak negatif Wall Street, orang-orang sekarang percaya bahwa sistem kapitalis demokrasi itu dipasang sebagai jebakan, bahwa para politisi itu korup dan bahwa 99% dari populasi tidaklah mendapat bagian yang adil. Para non-Muslim akan mulai terbiasa dengan mantra judi yang tidak peduli berapa kali kamu berusaha untuk memenangkan uang, keberuntungan selalu memihak si bandar. Ini sama dengan politik barat di mana kemenangan selalu terkumpul bukan untuk yang 99%!
Meski pemilu-pemilu adalah bagian pokok dari sistem politik apapun (termasuk bagi Khilafah), pemilu-pemilu yang kita lihat di dunia Muslim adalah seperti yang kita lihat di Barat, yaitu benar-benar cacat. Proses politik meskipun umumnya bebas dan tidak curang, tetap saja tidak punya hubungan dengan penggunaan kekuasaan dalam masyarakat barat. Kebijakan ekonomi tidaklah diputuskan oleh para politisi terpilih, tapi oleh lobby perbankan kaya. Kebijakan terhadap Palestina tidaklah ditentukan oleh para politisi, tapi oleh lobby Yahudi berpengaruh. Kebijakan atas pembelian di bidang pertahanan tidak ditentukan oleh para politisi terpilih tapi oleh lobby industri senjata. Kekuasaan didistribusikan ke politisi atau institusi yang berbeda-beda, bukan untuk kepentingan cek-dan-perimbangan, tapi untuk mendorong perpecahan dan untuk menghentikan kepemimpinan yang kuat. Sungguh, pemilu-pemilu adalah layar asap untuk menampilkan ilusi partisipasi sosial untuk menutupi realitas sebenarnya bahwa kekuasaan dipegang oleh para elit tak terpilih itu. Memiliki banyak institusi seperti dewan atas atau dewan bawah atau pembatasan konstitusional adalah untuk memastikan bahwa tidak ada hal yang terlalu radikal yang bisa dilakukan.
Sistem politik bayangan inilah, seperti sistem finansial bayangan yang menjadi masalah utama dalam masyarakat barat. Seperti perbankan yang aktivitasnya sangat kabur, tidak dipahami banyak orang, sangat menghancurkan, sangat jauh dari pertanggungjawaban, sistem politik bayangan bekerja di balik layar membeli para politisi, menulis legislasi dan membentuk kebijakan-kebijakan. Di Barat, pemilihan diadakan secara rutin, untuk memilih seseorang ke parlemen, seseorang ke Congress atau seseorang untuk memimpin negara. Tapi siapa yang memilih para pelobi, para industrialis, para pemodal, para juragan media massa, para jenderal militer, orang-orang dengan kekuasaan sebenarnya di negara, orang-orang yang bisa menetapkan atau membuang para politisi, yang bisa melicinkan tangan mereka dan yang punya akses terus-menerus. Jawabannya adalah tidak seorangpun dan itulah poin terpenting masalahnya bahwa pemilihan-pemilihan bukanlah solusi. Pemilihan-pemilihan beroperasi di dalam sistem yang terpasang, yang membolehkan kamu bermain tapi hanya menurut aturan-aturan yang telah ditulis sebelumnya oleh suatu kelompok tak terpilih. Pertanyaan sesungguhnya bagi kita bukanlah apakah mengadakan pemilihan atau tidak, tapi adalah apakah pemilihan bisa benar-benar mengubah paradigma kekuasaan dalam suatu masyarakat?
Pemilu-pemilu yang baru saja diadakan di dunia Muslim tidak akan mengubah status quo. Pemilu di Mesir, Tunisia, dan Maroko diadakan di bawah satu set aturan yang telah dipasang. Di Maroko aturan-aturan itu membolehkan seorang Raja penindas untuk tetap memegang kekuasaan sebenarnya. Di Mesir, meski ada dukungan besar untuk aturan Islam, sisa-sisa rezim Mubarak dan Supreme Council of the Armed Forces (SCAF) masih mendiktekan aturan-aturan permainannya. Di Tunisia katalis perubahan berada dalam sistem yang didesain untuk memastikan bahwa tidak ada kelompok terpilih yang bisa mendapatkan kekuatan yang cukup. Ambil Mesir sebagai contoh, di sini partai-partai Islam mendapat 2/3 suara dalam pemilihan, tapi kekuatan sejati apa yang akan diperoleh the People's Assembly (dewan bawah) atau the Syura Council (dewan atas)? Jawabannya adalah minimal! Sungguh, dengan proses konstitusional yang ada adalah terpatri seperti itu, pemilu Presidensial pada Juni 2012 (yang akan membatasi parlemen) dan SCAF masih banyak terlibat dalam menulis aturan-aturan mainnya, adalah jelas bahwa sistem politiknya dipatri untuk melindungi 1% populasi (kapitalis dan penguasa) di Mesir. Kebanyakan orang menduga bahwa setelah Ben Ali, Mubarak dan Gaddafi dunia Muslim akan memeluk agenda yang tercerahkan. Voting dan Pemilihan, bagaimanapun juga harus memiliki arti! Tapi bukannya "perubahan", kepentingan-kepentingan yang bermain dengan cepat melindungi status quo dalam kebijakan domestik maupun yang dieksekusi dalam panggung internasional.
Di panggung domestik, akuntabilitas tetap lemah dengan kekuasaan sebenarnya tetap ada pada elit bayangan, di Mesir SCAF berlanjut menangkapi dan menyiksa para pemrotes, dan berusaha mereformasi perekonomian untuk menguntungkan kaum kaya dan barat yang menyokongnya. Di medan internasional, rezim-rezim menerapkan strategi kuno yang sama, mendukung hubungan-hubungan dengan Israel, membolehkan kehadiran basis-basis barat dan terus mendukung para diktator lain di wilayah itu. Tidaklah mengherankan ada begitu banyak orang yang menjadi tersadarkan dari ilusi.
Ini akan berubah di bawah sistem yang benar-benar Islam di mana pemimpin terpilih diberi kekuasaan riil. Di bawah sistem politik Islam yang teruji, menjegal kemiskinan, memenuhi kebutuhan pekerjaan dan perumahan bagi semua warga tanpa pandang keyakinan akan diprioritaskan. Tanpa terhalang birokrasi politik, Khalifah terpilih bisa benar-benar mengatasi perkara-perkara, tanpa terhalang oleh pemilu rutin dia bisa membuat keputusan-keputusan jangka panjang, tanpa terhalang oleh para pelobi dia bisa membuat kebijakan untuk menguntungkan rakyat bukannya korporasi. Semakin banyak kaum Muslim menyadari bahwa mereka masih bisa punya pemilihan, akuntabilitas dan keadilan dalam Khilafah, dan tanpa masuk dalam proses terpatri yaitu ilusi demokrasi barat, ataupun teokrasi jahil.
Kegagalan mentransformasi pemerintah ini di dunia Muslim dari posisi yang melayani para elit, bukannya mereka yang paling membutuhkan dalam masyarakat, diilustrasikan secara tepat di Maroko. Raja Muhammad memiliki reputasi sebagaimana Mubarak dan Gaddafi, tapi barat tidak punya masalah dengan diktator yang satu ini. Barat tertarik dengan si Raja, karena dia lebih siap membantu Wall Street daripada Muslim Street, Israel daripada orang Palestina, para Elit daripada rakyat biasa. Si Raja, seperti para diktator lain di wilayah itu menyalahkan para Islamis atas kekerasan, tapi mengabaikan kekerasan pasukan keamanannya sendiri. Mereka beralasan bahwa para Islamis akan mengambil alih kekuasaan, tapi tidak melihat ironi dalam keluarga mereka sendiri mengambil kekuasaan, mereka mengklaim konstitusi sekular akan melindungi semua orang, tapi bahagia menyiksa para Islamis di lubang penyiksaan karena menginginkan sistem yang berbeda. Mereka mengklaim mau menghasilkan kekayaan untuk massa, tapi semua yang mereka inginkan sesungguhnya adalah kekayaan pribadi di rekening-rekening bank di Switzerland dan London.
Tapi bukan hanya para diktator saja yang merosot, sistem yang ditampilkan sebagai teladan bagi dunia Muslim itu sendiri telah nyata keropos. Pertamanya melalui keruntuhan finansial dan kemudian dengan pembusukan politik yang sangat parah, sehingga para teknokrat tak terpilihlah yang sekarang mengendalikan Yunani dan Italia. Belum pernah dalam bidang politik propaganda barat yang sangat digemborkan oleh banyak orang, sekarang tampak jelas miskin solusi.
Sekarang, beberapa pihak mungkin akan mengabaikan karakterisasi politik barat sebagai tidak lebih dari bualan ideologis dan konspirasional. Tapi apa yang tidak diragukan lagi adalah bahwa politik barat sekarang jadi opera sabun lengkap, siapa naik dan siapa turun, siapa menang dan siapa kalah, bukannya tentang memperbaiki kehidupan rakyat. Tidak juga diragukan bahwa barat hari ini dipimpin oleh sekumpulan kerdil bukan raksasa, sehingga ia punya sistem kapitalis yang memprioritaskan kerakusan bukannya keadilan dan ia punya sistem politik yang secara institusional didesain untuk mengkamuflase siapa yang sesungguhnya berkuasa. Dengan bahasanya Abraham Lincoln, itu benar-benar sistem dari 1% untuk 1% dan oleh 1%.
Sajjad Khan :: Khilafah Magazine :: Januari 2012
Poin-poin:
Di Tunisia, di Maroko, di Mesir, jutaan para pemilih secara jelas menunjukkan penentangannya terhadap nilai-nilai sekular liberal dan keinginan kuat mereka terhadap pemerintahan Islami.
Sementara kebanyakan para komentator barat menilai sentimen popular dengan garis waktu Twitter, kebangkitan Islam sejati telah terjadi di desa-desa dan kota-kota seantero dunia Muslim. Sementara barat terus terpaku pada tindakan-tindakan para tokoh, orang biasa telah berkorban setiap hari untuk memicu perubahan sesungguhnya.
Muak dengan para bankir, para pemodal dan dampak negatif Wall Street, orang-orang sekarang percaya bahwa sistem kapitalisme demokrasi dipasang sebagai jebakan, bahwa para politisi itu korup dan bahwa 99% dari populasi tidaklah mendapat bagian yang adil.
Proses politik meskipun umumnya bebas dan tidak curang, tetap saja tidak punya hubungan dengan penggunaan kekuasaan.
Sungguh, pemilu-pemilu adalah layar asap untuk menampilkan ilusi partisipasi sosial untuk menutupi realitas sebenarnya bahwa kekuasaan dipegang oleh para elit kapitalis.
Apa yang tidak diragukan lagi adalah bahwa politik barat sekarang jadi opera sabun lengkap, siapa naik dan siapa turun, siapa menang dan siapa kalah, bukannya tentang memperbaiki kehidupan rakyat.
Semakin banyak kaum Muslim menyadari bahwa mereka masih bisa punya pemilihan, akuntabilitas dan keadilan dalam Khilafah, dan tanpa masuk dalam proses terpatri yaitu ilusi demokrasi barat, ataupun teokrasi jahil.
Pemilu Dalam Demokrasi Selalu Memihak Kapitalis Dan Penguasa (yaitu 1% dari Populasi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar