Unduh BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Selasa, 06 September 2016

PALESTINA: MELACAK AKAR KRISIS



Catatan Awal

Krisis apapun yang melanda dunia Islam tidak lepas dari rekayasa jahat musuh-musuh Islam. Jauh sebelum kekhilafahan Islam runtuh, mereka telah menyusun strategi secara sistematis untuk menghancurkan Daulah Islamiyah, serta membersihkan puing-puing reruntuhannya dengan memasang berbagai macam perangkap sehingga kaum Muslim benar-benar kehilangan 'keIslamannya'.

Krisis Palestina, Lebanon, Bosnia, Kosovo, Cyprus, Chechnya, Kashmir, Turkestan (Xinjiang), Eritrea, Chad, Pantai Gading, Somalia, hingga ke Moro (Pilipina), Maluku dan Irian Jaya, adalah paparan nyata dari rekayasa dan campur tangan musuh-musuh Islam. Sudah seharusnya kaum Muslim turut merasakan beban yang diderita oleh saudaranya di negeri-negeri lain. Sebab, kesengsaraan yang mereka alami saat ini, sesungguhnya adalah permalasahan kita juga. Amat keliru jika kita mengatakan bahwa krisis Palestina, misalnya, adalah krisis yang terkait dengan orang-orang Palestina saja. Pada hakikatnya, seluruh krisis yang menimpa kaum Muslim, di negeri manapun mereka berada, adalah krisis yang sama, yaitu krisis yang menimpa kaum Muslim. Artinya, problem yang dihadapi oleh kita adalah sama, yaitu problem kaum Muslim. Oleh karena itu, solusinya juga harus sama.

Tulisan ini memberikan informasi dari sisi sejarah salah satu krisis yang hingga sekarang tidak pernah selesai, yaitu krisis Palestina, sekaligus sikap yang seharusnya dimiliki oleh seluruh kaum Muslim, termasuk di Indonesia.

Menjelang Runtuhnya Khilafah Islamiyah

Kekuasaan Daulah Khilafah Utsmaniyah sangat luas. Sebelah Barat meliputi pantai Laut Atlantik di Benua Afrika hingga bibir pantai laut Pasifik di wilayah Timur Jauh. Dari belantara hutan di bagian tengah Benua Afrika, hingga ke kawasan pegunungan Ural dan Kaukasus di wilayah Rusia. Sejak munculnya sejarah manusia di muka bumi hingga saat itu, tidak pernah ada peradaban yang daerah kekuasaannya seluas Daulah Khilafah Utsmaniyah. Sampai awal abad ke 19, Khilafah Utsmaniyah masih menjadi kekuatan yang amat disegani.

Peradaban Barat-Kristen sudah jera menghadapi kekuatan militer kaum Muslim setelah berakhirnya Perang Salib. Cara-cara fisik mulai ditinggalkan untuk menghadapi kekuatan kaum Muslim. Mereka mulai beralih dengan memfokuskan serangan pada pemikiran/ideologi. Di antaranya adalah dengan menyusupkan paham nasionalisme ke berbagai daerah kekuasaan Daulah Islamiyah. Dengan licik, mereka memutarbalikkan fakta, menghasut, dan menghembuskan permusuhan antar kaum Muslim untuk melepaskan diri dari kekuasaan kekhilafahan, terutama di kawasan jazirah Arab dan kawasan Balkan.

Di samping itu, dengan dalih penjelajahan dan penemuan dunia baru untuk mencari sumber-sumber alam, Barat mulai melakukan penjelajahan melalui daerah-daerah yang ada di bawah kekuasaan Daulah Islamiyah. Persekutuan Barat mulai mengepung Daulah Islamiyah Utsmaniyah. Dari sebelah Utara, Rusia mulai mendesak ke kawasan Asia Tengah dan Laut Hitam. Pada tahun 1774, mereka berhasil merebut semenanjung Crimea, kemudian diikuti dengan jatuhnya wilayah Kaukasus, Turkestan, dan bagian Utara negeri Iran. Sementara itu, di sebelah Selatan dan Timur sudah menghadang kekuatan imperialis Portugis, Belanda, Perancis, dan Inggris. Inggris sendiri berhasil menguasai kawasan Teluk Bengal [India] melalui British East Company tahun 1756. Di sebelah Barat Laut, kerajaan Eropa Harsburg merebut kembali daerah yang sekarang dikenal dengan Hongaria dan Yugoslavia.

Napoleon Bonaparte, yang menjadi panglima perang angkatan bersenjata Perancis, menyerbu dan menduduki wilayah Mesir tetapi Inggris berhasil merampasnva pada tahun 1801, lalu merambah pula daerah Aden dan kawasan Teluk Persia. Pada abad ke-19, Inggris berhasil menguasai secara penuh India dan sekitarnya, termasuk Myanmar dan Malaysia. Belanda sendiri hanya memperoleh bagian kepulauan Indonesia. Inggris dan Rusia sepakat menjadikan kawasan Afghanistan dan bagian Utara Iran sebagai daerah buffer (penyangga). Bagian Utara Iran dikuasai oleh Rusia, sedangkan Afghanistan dicaplok oleh Inggris. Cara ini ditempuh inggris untuk menghambat laju pasukan Rusia ke kawasan Selatan benua Asia. Prancis sendiri berhasil menggulung banyak wilayah di benua Afrika. Aljazair dikuasai pada tahun 1830, Tunisia dan gurun Sahara bagian tengah dikuasai tahun 1881, berlanjut ke negeri Maroko, yang kemudian diubah menjadi daerah protektorat Prancis. Prancis juga menguasai jalur pelayaran di Laut Merah dengan mengendalikan kota pelabuhan Jibouti. Spanyol pun tidak ketinggalan, Mereka berhasil merebut sebagian daerah Maroko dan Sahara Barat. Jerman pun terlibat dalam aksi pencaplokan negeri-negeri Muslim dengan menguasai daerah kamerun dan sekitar Danau Tanganyika. Belgia memperoleh daerah Kongo yang dijadikan sebagai kerajaan pada masa Raja Leopold. Italia memperoleh bagian wilayah Eritrea dan membagi daerah Somalia dengan Inggris.

Sementara itu, kawasan Bosnia, Kosovo, Montenegro, Albania, Cyprus, Yunani, Rumania, dan sekitarnya di daerah Balkan mulai melepaskan diri dari kesatuan Wilayah Khilafah Utsmaniyah setelah Barat berhasil menghembuskan paham nasionalisme di kawasan tersebut.

Praktis pada penghujung abad ke-19, Daulah Islamiyah hanya menyisakan Turki saja, itupun sudah dikepung oleh kekuatan militer gabungan pasukan Kristen Barat. Sebab, Cyprus misalnya, lepas ke tangan Yunani. Hingga tahun 1920-an hanya daerah Anatolia di pedalaman Turki yang tidak sepenuhnya dikontrol oleh kekuatan Kristen Barat. Strategi perang Napoleon Bonaparte yang menggulung daerah-daerah pinggiran Daulah Islamiyah mulai menampakkan hasil. Sementara itu, runtuhnya kekhilafahan Islam saat itu tinggal menunggu waktu.

Liciknya Inggris, Culasnya Yahudi

Pada masa itu, Inggris adalah negara terkuat di wilayah Eropa. Bersama-sama dengan Prancis, Inggris menghasut negeri-negeri di kawasan Timur Tengah untuk memberontak terhadap Kekhilafahan Utsmaniyah. Mereka berhasil memperdayai orang-orang Arab sekaligus menggerogoti wilayah pinggir Daulah Islamiyah. Arab Saudi menjadi pelopor dengan 'memanfaatkan' keberadaan Gerakan Wahabi. Dengan didukung oleh rajanya saat itu, 'Abdul 'Aziz ibn 'Abdurrahman as-Sa`ud, mulai melepaskan diri dari wilayah Kekhilafahan Islamiyah. Dengan liciknya, Inggris menghendaki berdirinya negara boneka 'khilafah Islam' di Jazirah Arab, seraya mengatakan bahwa kekhilafahan itu seharusnya dijabat oleh orang Arab. Setelah berhasil menipu kaum Muslim di kawasan Timur Tengah agar mereka memberontak terhadap kekhilafahan Islamiyah di Istambul, bersama dengan Prancis, Inggris membagi-bagi kawasan tersebut. Inggris mendapatkan Irak, Palestina, dan kawasan Trans-Yordania. Sedangkan Perancis memperoleh Lebanon dan Syria. Daerah-daerah ini kemudian dilembagakan oleh mereka dalam bentuk negara-negara baru yang sekarang dikenal sebagai Syria, Yordania, Lebanon, Irak, Saudi Arabia, Palestina, dan sebagainya. Padahal, di masa sebelumnya, seluruh daerah itu berada di bawah naungan khilafah Islamiyah dengan satu pemimpin, yaitu khalifah, dan satu sistem UUD yaitu Islam.

Setelah mereka berhasil menggulung daerah pinggiran Kekhilafahan Islam, Inggris secara licik mendukung Gerakan Turki Fatah (Turki Muda) dengan bantuan tokoh-tokoh Yahudi Zionis. Mereka mempersiapkan Mustafa Kamal, seorang keturunan Yahudi suku Dunamah, untuk menggoyang pusat Kekhilafahan dan menjatuhkannya dari dalam.

Simbiosis Barat Kristen dengan kaum Zionis Yahudi menemukan bentuk idealnya ketika mereka bersama-sama menghadapi kekuatan kaum Muslim yang saat itu berada di bawah naungan Daulah Islamiyah Utsmaniyah. Orang-orang Yahudi 'rela' mengubur permusuhannya dengan orang-orang Eropa kristen. Padahal, mereka belum pupus ingatannya terhadap peristiwa yang menimpa warga Yahudi Eropa tatkala Raja Spanyol yang beragama Katholik bertanggung jawab terhadap pembantaian dan pemusnahan kaum Yahudi dari daratan Eropa, tidak lama setelah jatuhnya benteng Islam terakhir di wilayah Andalusia -sekarang menjadi daerah Portugal dan Spanyol-tahun 1492.

Sejak abad ke-19, para pecinta Zionisme (Choveve Zion) senantiasa berusaha dengan segala macam cara untuk mewujudkan negeri Yahudi. Yahudi sebagai gerakan politik sudah mulai diangkat oleh Thaodore Hertzel (1860- 1904). Ia menjadi peletak dasar doktrin zionis, yang gerakannya di kemudian hari lebih dikenal sebagai Zionisnie.

Palestina Sebelum krisis

Wilayah Palestina awalnya berada di bawah kekuasaan khilafah Utsmaniyah. Sejak lama, daerah ini menjadi pertemuan tiga agama besar: Islam, Yahudi, dan kristen. Perang Salib yang berlangsung selama hampir 200 tahun, antara kekuatan Muslim melawan kekuatan gabungan kerajaan Eropa -termasuk Inggris yang mewakili kristen- adalah dalam rangka memperebutkan tempat suci al-Quds dan sekitarnya. Pada awal abad ke-19, mayoritas penduduk Palestina adalah orang-orang Arab. Tahun 1170 orang Yahudi di daerah itu hanya berjumlah 1140 jiwa. Sampai tahun 1267, hanya dijumpai 2 kepala keluarga Yahudi di seluruh kota Al-Quds (Yerusalem). Namun pada tahun 1845, di seluruh Palestina telah bermukim kurang lebih 12.000 orang Yahudi, sedangkan penduduk Palestina sendiri saat itu kurang lebih 350.000 orang, Pada tahun 1882, warga Yahudi yang tinggal di kawasan itu meningkat menjadi 25.000 jiwa, sementara penduduk Muslim Palestina kira-kira 500.000 jiwa.

Protokolat Zionis dan Imigrasi Yahudi

Secara politis, tahun 1882 adalah titik-tolak keinginan tokoh-tokoh Yahudi untuk mewujudkan negara Zionis israel. Theodore Hertzl merupakan tokoh kunci yang mencetuskan ide pembentukan negara tersebut. Ia menyusun doktrin Zionismenya dalam bukunya bejudul 'der Judenstaad' (The Jewish State). Sejak tahun 1882, Zionisme merupakan sebuah gerakan politik yang secara sistematis berusaha mewujudkan negara Yahudi. Secara nyata, gerakan ini didukung oleh tokoh-tokoh Yahudi yang hadir dalam kongres pertama Yahudi Internasional di Basel (Swiss), tahun 1895. Kongres tersebut dihadiri oleh sekitar 300 orang, mewakili 50 organisasi Zionis yang terpancar di seluruh dunia. Mereka lalu mendirikan basis kekuatannya di Wina (Austria) tahun 1896.

Kongres itu sendiri amat rahasia dan sulit diketahui oleh masyarakat umum kalau saja tidak ada yang pengkhianatan yang dilakukan oleh seorang wanita keturunan Prancis yang menjadi anggota FreeMasonry. Ia berhasil membawa sebagian dokumen hasil keputusan kongres yang dibawa lari ke Rusia dan diserahkan kepada Alexis Nicolai Niefnitus, salah seorang tokoh di Rusia Timur pada masa Tsar Rusia. Dokumen itu kemudian berpindah tangan kepada seorang pendeta gereja ortodoks, yaitu Prof. Sergey Nilus. Dokumen inilah yang kemudian dibukukan dalam bahasa Rusia dengan judul 'Protokolat Zionisme’. Setelah rencana-rencana busuk Zionis yang ingin menghapuskan sistem Tsar di Rusia dan menggantinya dengan sistem Komunis terungkap, tidak lama kemudian, Rusia membantai sekitar 10.000 warga Yahudi, dan mengusir mereka dari wilayah Rusia.

Pada saat Revolusi Bolshevik, dokumen ini sempat dilarang untuk beredar secara luas di masyarakat oleh para pendukung revolusi tersebut. Namun demikian, sebuah dokumen berhasil diselundupkan ke Inggris oleh Victor B. Mars, wartawan harian The Morning Post.

Dari sini, dokumen itu kemudian tersebar luas dan diterjemahkan ke dalam berbagai macam bahasa. Terjemahan dalam bahasa Arab sendiri dilakukan oleh Muhammad Khalifah at-Tunisi yang dimuat dalam majalah Mimbar Asy-Syara tahun 1950.

Dokumen itu berisi rencana dan rekayasa Yahudi dengan menghalalkan segala cara untuk mewujudkan tujuannya, yaitu membentuk negara Yahudi. Yahudilah sebenarnya yang berada di balik munculnya revolusi Bolshevik untuk menggulingkan kekuasaan Tsar Rusia. Rencana itu terbukti, 15 tahun kemudian (tahun 1901) sejak dokumen itu diterbitkan. Inilah yang menjadi penyebab dilarangnya penyebaran dokumen ini di Rusia pada masa Revolusi Bolshevik. Di samping itu, mereka memiliki rencana untuk menghancurkan sistem Kekhilafahan Islam. Mereka amat paham bahwa syarat mutlak untuk mendirikan negara Yahudi adalah hancurnya sistem Khilafah Islam lebih dulu. Oleh karena itu, kekuatan Zionis berusaha sekuat tenaga dengan berkolaborasi dengan Inggris untuk mewujudkan tujuan mereka masing-masing. Mereka menyusupkan berbagai pemahaman yang bisa merusak loyalitas kaum Muslim kepada Khalifahnya. Merekapun menyusupkan orang-orang tertentu ke pusat Kekhilafahan di lstambul untuk menghancurkan institusi Khilafah dari dalam.

Kolaborasi Inggris-Yahudi

Yahudi dengan penjajah Inggris sudah sejak lama membina hubungan untuk mengerat-erat Daulah Khilafah Utsmaniyah dan bersekutu untuk menghancurkan Islam dan Sistem kekhilafahan Islam. Bahkan, negara-negara Barat yang mewakili Kristen, sejak dikalahkan dalam Perang Salib dendam kesumatnya belum pupus. Penolakan Balfour -menlu Inggris- terhadap gelombang imigrasi Yahudi ke dataran inggris adalah siasat yang ditempuh oleh Hertzl untuk mengalihkan gelombang pengungsian ke tempat yang mereka rancang menjadi cikal bakal berdirinya negara Yahudi, yaitu tanah Palestina.

Saat itu, Inggris tengah menguasai kawasan Palestina dan sekitarnya dan tengah merancang negara-negara boneka yang meliputi wilayah Bulan Sabit (yaitu Yordania, Mesir, Arab Saudi, kawasan Teluk Persia, dan Emirat).

Untuk mewujudkan keinginannya mendirikan negara Yahudi, Hertzl menggalang dukungan Menlu Jerman Von Bullow serta Kaisar Wilhelm II. Lobi pun dilakukan kepada Menlu Rusia Plahve dan Tsar Nicholas Il. Hertzl kemudian meminta surat pengantar dari Plahve (pada tahun 1902) yang ditujukan kepada Sultan Abdul Hamid II. Surat tersebut berisi tentang permintaan untuk memperoleh izin mendirikan tempat penampungan bagi orang-orang Yahudi di Palestina. Maklum saja, Rusia waktu itu memiliki tekanan politik yang cukup kuat terhadap kekhilafahan Islam, karena daerah-daerah potensial yang sebelumnya milik kaum Muslim jatuh ke tangan Rusia, dan daerah-daerah lain sewaktu-waktu dapat terancam.

Surat pengantar itu, kemudian ditolak mentah-mentah oleh Sultan Abdul Hamid Il, seraya membalas dengan perkataan tegasnya. “Bagaimana mungkin aku menyerahkan sebagian tanah-tanah itu, karena daerah itu bukan milikku. Tanah itu adalah milik kaum Muslim. Tanah itu diperoleh dan dipertahankan oleh mereka dengan cucuran keringat, darah, dan air mata ribuan prajurit. Selama aku masih hidup, jangan harap kalian bisa menguasai tanah Palestina".

Melihat ketegasan jawaban Khalifah, Hertzl tidak putus-asa. la kemudian menawarkan dana tunai tiga juta poundsterling emas ditambah dengan bonus untuk melunasi utang luar negeri, dengan syarat, orang-orang Yahudi diizinkan untuk berziarah dan tinggal di Palestina. Akan tetapi, tawaran menarik itupun ditampik oleh Sultan Abdul Hamid ll. Karena kesalnya, Hartzl dan seorang kawannya yang menyertainya, yakni Karsow (pemimpin Yahudi di daerah Salonika) mengancam Sultan agar berhati-hati terhadap pembalasan yang akan diberikan mereka atas penolakan Sultan. Ancamannya ini berhasil dibuktikan ketika Mustafa Kamal Ataturk, atas bantuan Inggris, berhasil membubarkan institusi Khilafah dan mengusir Sultan Abdul Hamid Il serta keluarganya pada tanggal 3 Maret 1924 dari wilayah Turki.

Tawaran Hertzl berupa sejumlah besar uang itu diperolehnya dari dana nasional yahudi (keren kayemet) yang didirikan tahun 1901 dan dipungut dari warga Yahudi yang tinggal di wilayah Eropa dan Amerika.

Penolakan Sultan menyebabkan Hertzl mencari jalan keluar lainnya. Karena ia mengetahui bahwa Inggris menguasai kawasan Palestina dan sekitarnya, maka tokoh-tokoh Inggris dan Zionis seperti Hertzl, Weizman, dan Balfour berkumpul di kota Manchester pada tahun 1906. Pertemuan itu menghasilkan langkah-langkah strategis untuk mewujudkan negara Israel. Mereka membuat target 50 tahun, cita-citanya berhasil terwujud.

Munculnya deklarasi Balfour menjadi momentum bagi warga Yahudi untuk mewujudkan keinginannya itu. Komunike bersama antara Menlu Inggris saat itu (Balfour) dengan salah seorang pemuka Yahudi, Eduard Rotschild, tanggal 2 Nopember 1917, berhasil membuka pintu yang kelak akan selalu menjadi duri bagi kaum Muslim di kawasan Timur Tengah. Penggalan pernyataan komunike bersama itu antara lain, “Inggris setuju atas pendirian negara Israel di Palestina. Inggris pun akan selalu berusaha sekuat tenaga untuk membantu mewujudkannya."

Munculnya Krisis Palestina

Hertzl dan tokoh-tokoh Zionis lainnya berupaya dengan sekuat tenaga agar orang-orang Yahudi bersedia pindah ke kawasan Palestina. Akan tetapi, langkah-langkah mereka mulanya menemui hambatan yang amat besar. Untuk itu, mereka membuat rekayasa politik maupun fisik/militer sehingga mampu memunculkan keinginan pada diri orang-orang Yahudi menetap di Palestina. Salah satunya adalah dengan menciptakan isu anti Semit (anti Yahudi). Cara ini berhasil meyakinkan orang-orang Yahudi, seolah-olah memang ada 'teror anti semit', yang akhirnya menggerakkan gelombang imigrasi besar-besaran ke kawasan Palestina… Setelah deklarasi Balfour, Palestina dijadikan wilayah protektorat lnggris dengan mengangkat Herbert Samuel, keturunan Yahudi, sebagai komisi pengawas tinggi yang bertanggung jawab atas daerah protektorat tersebut. Ini sesuai dengan deklarasi Sykes-Picot (antara Penjajah Inggris dan Prancis) yang memutuskan bahwa wilayah Palestina diserahkan pengelolaannya pada badan internasional. Padahal, lnggris secara licik berhasil menempatkan orang-orangnya dalam komisi tinggi, sehingga kepentingannya tetap terjaga. Artinya, rencananya dengan tokoh-tokoh Zionis tetap berjalan.

Melalui keputusan yang berasal dari Herbert Samuel, imigran Yahudi yang berasal dari kawasan Eropa Barat dan Eropa Timur, termasuk Rusia, berbondong-bondong memasuki kawasan Palestina...

Penderitaan Warga Palestina

Inggris mewariskan tanah Palestina milik kekhilafahan Utsmaniyah seluas 1,25 juta dunam (1 dunam=1000 m ) kepada warga Yahudi. 300.000 dunam di antaranya diberikan begitu saja, alias gratis. 600.000 dunam dibeli oleh orang-orang Arab Syria dan Lebanon. Luas wilayah Palestina saat itu sekitar 27 juta dunam. Setelah deklarasi Balfour, warga Yahudi memiliki 2,5 persen tanah Palestina. Inggris kemudian memberikan lagi tanah Palestina hingga pemilikan warga Yahudi meningkat menjadi 6,5 persen. Pembelian secara besar-besaran tanah milik warga Palestina oleh warga Yahudi terus berlangsung dengan berbagai cara. Sampai berakhirnya periode penggunaan dana nasional Yahudi, mereka mengklaim memiliki sekitar 2,1 juta dunam tanah Palestina. Ahli sejarah Arnold Toynbee pernah mengatakan bahwa sesungguhnya kekayaan Israel itu tidak pernah ada. Yang dimiliki Israel sekarang adalah hasil rampokan mereka yang diperoleh melalui cara-cara kekerasan dan kejam. Mereka hanya menyisakan setengah juta dunam saja bagi warga Palestina.

Tatkala negara Israel berdiri tanggal 14 Mei 1948, Israel mengusir sekitar satu juta warga Palestina, merampas semua hak milik warga Palestina seperti rumah dan harta benda lainnya, serta mencaplok begitu saja puluhan kota dan ratusan desa. Teror dan pembantaianpun marak di mana-mana, seperti Deir Yasin (tahun 1948), Kafr Kasem (29 Oktober 1956) atau pembantaian yang dilakukan oleh Unit 101 yang didirikan oleh Moshe Dayan dan dipimpin oleh Ariel Sharon si penjagal untuk menakut-nakuti warga Palestina agar keluar dari kampung halaman mereka. Pada tahun 1948 saja, tercatat 385 desa dari 475 buah desa Palestina yang dibuldoser dan diratakan dengan tanah.

Kurun waktu antara tahun 1920-an hingga tahun 1948 dipenuhi dengan bentrokan fisik antara warga Palestina dengan warga Yahudi yang berhasil mendiami tanah Palestina. Bentrokan itu sendiri sengaja dirancang oleh Inggris agar ada alasan untuk mendatangkan lebih banyak lagi jumlah imigran Yahudi ke kawasan itu.

Pada tahun 1922, melalui Winston Churchill, lnggris mengambil sumpah 'Abdullah ibn Husayn untuk mengakui eksistensi Israel di tanah Palestina. Untuk menjamin keberhasilan rencananya, Inggris kemudian mengangkat Amir Husayni sebagai ketua Majlis Tinggi Islam sekaligus mufti Palestina. Lewat sekutunya ini, orang-orang Yahudi dengan mudah memperoleh tanah di daerah Palestina. Dengan bantuan keluarga-keluarga al-Husayni, al-Fayyadh, 'Abdul Hadi, dan ar- Rasyid, rencana Inggris untuk menggerogoti pusat kekhilafahan Islam dengan pemberontakan mulai menampakkan hasilnya.

Pangkhianatan demi pengkhianatan mewarnai kolaborasi Inggris, Yahudi, dan sejumlah tokoh Arab yang tertipu dengan propaganda Inggris. Raja 'Abdullah dari Yordania, misalnya, mengizinkan tentaranya untuk membantu Yahudi melawan Mesir. Mesir sendiri gagal dalam perang pada tahun 1917-1948 atas pengkhianatan yang dilakukan oleh Raja Farouk. Kegagalan itulah yang mengakibatkan diserahkannya kota al-Quds oleh Raja 'Abdullah kepada lsrael.

Dalam perang tahun 1907, Raja Hussein dari Yordania menyerahkan tepi Barat sungai Yordan kepada Israel tanpa peperangan. Pada tahun yang sama, Mesir di bawah pimpinan Jamal Abdu Nasser melepaskan Gurun Sinai dan jalur Gaza kepada negara Yahudi. Tindakan itu diikuti oleh Syria di bawah pimpinan Hafedz al-Assad yang menyerahkan Dataran Tinggi Golan, tempat paling strategis di kawasan Syam.

Sejak itu, krisis Palestina selalu mewarnai perjalanan sejarah kaum Muslim di Timur Tengah. Keberadaan Israel sendiri oleh penjajah baru, yaitu AS, dijadikan “bom waktu" dan “tali layang-layang” dalam politik luar negerinya di kawasan Timur Tengah. AS memiliki kepentingan ekonomi, politik, dan militer yang amat kuat di wilayah bergolak itu, terutama untuk menjaga kepentingan- kepentingan ekonominya yang amat berharga di jazirah Arab dan kawasan Teluk Persia. Sedangkan Israel amat berkepentingan dengan eksistensi negaranya. Dua negara ini saling berkolaborasi untuk mempertahankan kepentingannya masing-masing dengan menindas dan menyisakan penderitaan yang tiada habisnya terhadap saudara-saudara kita, warga Palestina.

Keruntuhan institusi Khilafah Islam menjadi bencana total bagi seluruh kaum Muslim di berbagai negeri. Sebab, tidak ada lagi pelindung dan pembela kaum Muslim dalam menghadapi kekuatan Barat Kristen dan Yahudi Israel. Apakah kita masih mengharapkan uluran tangan dari para penguasa Muslim saat ini yang menjadi budak negara-negara Barat kafir dan tidak lagi mempedulikan kondisi rakyatnya yang mayoritas Muslim? Benarlah sabda Rasulullah Saw. sebagaimana dituturkan oleh Abu Hurayrah ketika beliau menyatakan (artinya): “Sesungguhnya seorang Imam (Khalifah/ kepala Negara) itu laksana perisai. Orang-orang akan berperang di belakangnya dan menjadikannya sebagai peIindung bagi dirinya”. (HR Muslim)

Orang yang mengamati perkembangan politik Israel, cenderung untuk membagi kondisi politik dalam 2 fase. Fase pertama, dimulai sejak berdirinya negara zionis Israel hingga dicaploknya sebagian besar daerah yang sebelumnya milik Mesir, Yordania, dan Syria (interval waktu 1947-1967).

Pada fase ini, Israel banyak melakukan berbagai perkara, seperti memantapkan eksistensinya, memperluas kawasannya secara geografis melalui berbagai ekspansi militer, membangun pilar-pilar ekonominya menjadi sebuah negara yang memiliki sistem ekonomi modern, modernisasi pertanian dan industri, dan mengokohkan kedigjayaannya dalam bidang militer dengan bantuan negara-negara blok Timur (pada masa sebelum dan pada perang dingin) maupun AS dan sekutunya. Pada saat-saat tertentu, di antara negara-negara pendukung itu juga saling bergabung untuk men-support eksistensi negara Zionis Israel. Seperti pada saat perang Israel-Mesir (tahun 1956). Inggris dan Perancis bahu-membahu membantu Israel menyerang Mesir, agar Mesir mau mengakui eksistensi Israel, dan memberi peringatan kepada negara-negara Arab lain yang mencoba-coba mengganggu Israel. Rusia juga sejak awal berdirinya negara Yahudi, amat intens membantu membangun eksistensi negara itu, dengan mendorong imigrasi orang-orang Yahudi yang tinggal di kawasan Rusia agar pindah ke wilayah Palestina. Bahkan Rusia termasuk negara pertama yang mengakui secara politis eksistensi negara lsrael.

Fase kedua dimulai sejak tahun 1957, tatkala pecah perang terbuka antara Israel dengan Mesir dan Syria. Pada fase ini, Israel berhasil meyakinkan kepada dunia terutama negara-negara Arab, bahwasanya mereka memiliki kekuatan yang paling unggul di kawasan Timur Tangah.

Secara politis dan militer, Mesir bertekuk lutut di hadapan Israel, yang saat itu memang sudah mempersiapkan diri untuk memenangkan pertempuran, meski gambaran hebatnya Israel hanyalah rekayasa yang dibuat oleh AS. Karena, sudah menjadi rahasia umum, kalau kepala negara Mesir, Gamal Abdun Nasser adalah kaki tangan AS. Image semacam itu berhasil dihunjamkan ke dalam benak para prajurit Mesir, sehingga mereka telah kalah mental, dan menganggap Israel tidak mungkin dilawan maupun dikalahkan. Kenyataan sejarah menunjukkan, Mesir bertekuk lutut. Nasser berhasil meyakinkan rakyatnya bahwa kekalahan Mesir pada peperangan tahun 1967-1968 dari Israel itu wajar-wajar saja, karena 'digjayanya' Israel. Keculasannya dilanjutkan dengan berpura-pura mengundurkan diri. Taktik ini dilakukannya untuk mengetahui apakah rakyat masih mencintainya meskipun Mesir kalah dalam perangnya melawan Israel, atau rakyat sudah tidak suka dengan kepemimpinannya. Setelah ia mengetahui bahwa rakyat masih mencintainya, ia menjalankan rencana berikutnya, yaitu berdamai dengan Israel. Perdamaian ini berujung pada diserahkannya Jalur Gaza dan Gurun Sinai kepada negara Zionis Israel.

Sesungguhnya perang tahun 1907-1908 antara Israel yang didukung negara-negara Barat melawan Mesir, Syria, dan Yordania adalah peperangan yang penuh tipu daya dan rekayasa. Peperangan itu sudah diatur untuk meraih target jangka panjang. Akhir dari peperangan ini berupa diserahkannya Jalur Gaza dan Gurun Sinai oleh Mesir, dataran tinggi Golan oleh Syria, dan kawasan tepi Barat sungai Yordan oleh Yordania.

Kecuali Gurun Sinai, seluruh daerah yang dicaplok Israel pada perang 1967-1968 dipersiapkan untuk pemukiman warga Palestina dalam sebuah negeri yang merdeka berazaskan nasionalisme. Lebih jauh, Israel bersama-sama dengan AS bermaksud menyerahkan urusan Palestina ke tangan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), bukan ke tangan rakyat Palestina, apalagi ke tangan kaum muslimin. Jadi AS ingin urusan Palestina itu, bukan lagi urusan kaum muslimin, tetapi urusan PLO agar mudah disetir sesuai dengan rencana mereka. AS juga berhasil memaksa negara-negara yang berada di bawah dominasinya, seperti Mesir, Syria, dan Arab Saudi agar tidak melakukan penyerangan terhadap Israel.

Pengkhianatan Arafat

Pada tahun 1964 diadakan konferensi liga Arab di Kairo. Salah satu keputusan penting yang dikeluarkan peserta konferensi itu adalah dibentuknya Organisasi Pembebasan Palestina (PLO). Ketua pertamanya Ahmad Sukhairi. Keberadaan PLO didukung oleh negara-negara Teluk, Arab Saudi dan Tunisia. Diam-diam Inggris pun mendukung pembentukannya, dengan catatan sebagai benih untuk pembentukan negara sekular dan nasionalis Palestina. Tujuan ini pula yang selalu diperjuangkan oleh PLO hingga kini.

Yaser Arafat diangkat sebagai ketua PLO pada tahun 1969, sekaligus menjadi wakil Palestina yang berbicara di depan sidang umum PBB, atas rekomendasi dari liga Arab. Pada tahun 1971, ia diangkat sebagai panglima umum revolusi pembebasan organisas-organisasi Palestina.

Dalam perang tahun 1973 antara Israel dengan Arab, ada beberapa tujuan yang hendak dicapai. Pertama, mengokohkan kedudukan Anwar sadat (Presiden Mesir) dan Hafedz Assad (Presiden Syria) yang merupakan sekutu setia AS. Kedua, melalui perang tersebut, ada alasan bagi sekutu-sekutu AS, terutama Yordania, Mesir, Syria dan Libanon, ketika 'kalah' perang untuk mengakui eksistensi Israel melalui jalan dialog dan perundingan.

Mesir, yang diwakili Anwar Sadat mempersiapkan dialog itu di KM 101 Gurun Sinai. Ini merupakan cikal bakal hingga sampai ke perundingan Camp David, yang menyepakati tidak ada perang sama sekali dengan Israel. Tahun 1977 Sadat mengunjungi Tel Aviv (Israel). Kunjungan ini dianggapnya sebagai sebuah kemenangan. Padahal, hakekatnya merupakan tindakan menghina diri dan kaum muslimin. Hafedz Assad sendiri secara intens melakukan berbagai perundingan rahasia bersama Israel di Geneva. Dua manuver ini merupakan katalisator yang memuluskan diterimanya resolusi PBB No. 242 oleh Yaser Arafat, yang berisi pengakuan eksistensi Negara Israel.

Seluruh tindakan yang dirintis dan dilakukan, baik secara rahasia maupun terang-terangan oleh para pemimpin pengkhianat itu berhasil mengukuhkan target-target yang disusun AS dan Israel. Seluruh negara Arab, akhirnya mengakui eksistensi Israel sebagai sebuah negara yang berdaulat, tanpa bisa dicegah lagi. `Loyo'nya negara-negara Arab amat gamblang dipertontonkan pada saat Israel memasuki kawasan Libanon (tahun 1982), tanpa ada satu negara Arab pun yang berani mengusiknya. Dengan didukung milisi Kristen Phalangis, dan Presiden Libanon Basyir Gemayel, Israel memporak-porandakan kawasan Selatan Libanon dengan dalih memburu dan menangkapi gerilyawan-gerilyawan Palestina.

Semua ini terjadi karena tindakan Arafat, Meski dalam anggaran dasar PLO nyata-nyata Israel itu dicap sebagai musuh dan kewajiban PLO untuk mengusir Israel, namun Arafat tanpa rasa malu menerima resolusi PBB No. 242 dan 338 yang mengakui eksistensi negara Israel.

PLO dan Arafat

Setelah diusirnya ribuan gerilyawan Palestina dari wilayah Libanon, pemerintah pengasingan Palestina terbentuk. Cita-cita mereka hanya satu, yaitu berhasil mewujudkan negara Palestina di Wilayah jalur Gaza dan tepi barat sungai Yordan. Maka diaturlah berbagai macam perundingan yang amat panjang, dengan kompensasi pengakuan PLO akan eksistensi negara Israel. Untuk melicinkan rencananya itu Arafat tidak segan-segan menyingkirkan tokoh garis keras PLO, Abu Musa dan kawan-kawan. la dibunuh di Tripoli (Libanon). Ia juga membiarkan begitu saja tangan kanannya, Abu Nidal, dibunuh oleh Yahudi, tanpa bereaksi ataupun membalasnya.

Penyimpangan PLO yang dipimpin Arafat makin kentara, dengan merubah anggaran dasar PLO yang mencantumkan kata-kata Israel sebagai teroris yang harus diperangi. Ini diikuti dengan larangan kepada warga Palestina untuk memusuhi dan membunuh warga Yahudi. Dahulu orang-orang Yahudi dianggap musuh yang harus dimusnahkan… Orang-orang yang memusuhi Yahudi dan proses perdamaian dicapnya sebagai pengkhianat dan musuh.

Martabat Arafat yang telah melacurkan dirinya untuk AS dan Yahudi sudah sangat jelas. Sejak pengakuannya terhadap eksistensi Israel, diterimanya ide pemerintahan pengasingan Palestina di Tunisia agar Israel dengan semena-mena menjalankan rencananya di tanah Palestina, berdamai dengan Yahudi (Camp David), merasa puas dengan diberinya secuil tanah (Jericho) sebagai pusat pemerintahan Palestina, hingga diserahkannya al-Quds di bawah kontrol PBB yang nyata-nyata dicukongi AS, adalah bukti-bukti nyata tindakan Arafat yang menjijikkan. Belum lagi kesengajaannya membiarkan tragedi Black September, Sabra dan Shatilla, hingga yang terakhir dikorbankannya ratusan pemuda-pemuda Palestina dalam peristiwa dua bulan lalu sebagai tumbal untuk memuluskan rencananya bersama Yahudi dan AS, dalam rangka mengokohkan perdamaian abadi di tanah Palestina bersama-sama dengan Yahudi. Bukankah tanah Palestina adalah tanah milik kaum muslimin yang dirampas oleh Yahudi melalui peperangan. Maka bagaimana mungkin akal sehat menerima sikap Arafat yang rela hidup berdamai dengan si perampas tanah yang telah membunuh ribuan jiwa kaum muslimin, mengusir, memenjarakan, menganiaya ribuan lagi lainnya. Lebih celaka lagi bahwa ia mau menerima eksistensi negara Israel, di atas tanah miliknya dan milik kaum muslimin. Dan mengusir serta memerangi siapapun dari kaum muslimin yang ingin mengusir dan melawan Israel. Menyedihkan!

Jika demikian keadaannya, mengapa kaum muslimin masih menaruh harapan dan percaya kepada Arafat dan para pemimpin negara-negara Arab, yang jelas-jelas telah berkhianat terhadap Islam dan kaum muslimin. Tidakkah bukti-bukti tersebut sudah lebih dari cukup?

Harapan Membentang

Melihat perjalanan panjang krisis Palestina, tampak jelas bahwa keadaan yang ada sekarang tidak lepas dari rekayasa jahat musuh-musuh Islam. Ide berdirinya negara Palestina yang sekuler dan berazaskan nasionalisme, hanyalah mengukuhkan kedudukan Israel dan negara-negara Barat, yang menjadi pendukung zionis. Itu berarti makin menyulitkan kaum muslimin menyatukan negeri-negeri Islam dalam naungan satu negara, yaitu negara khilafah Islamiyah. Oleh karena itu ide mendirikan negara Palestina harus ditolak!

Selain itu keberadaan negara zionis Israel di atas tanah Palestina sudah jelas, yaitu sebagai perampas yang mengambil paksa melalui pengusiran, pemenjaraan, penganiayan dan pembunuhan atas kaum muslimin selama hampir seratus tahun. Tangan-tangan najis Yahudi telah mengotori tanah yang diberkati Allah Swt., tempat yang di dalamnya terdapat masjid al Aqsha, tempat suci ketiga bagi kaum muslimin. Shalat di dalamnya diganjar 500 kali dibandingkan dengan masjid-masjid lainnya. Tempat mi'raj-nya Nabi Saw. Dan tanah kaum muslimin yang berada dalam naungan Daulah Khilafah sejak masa Umar bin Khaththab ra. Selama 13 abad tanah milik kaum muslimin itu diperoleh dan dipertahankan dengan mengorbankan ratusan ribu syuhada. Dengan demikian, tanah palestina dan masjid al-Aqsha terkait dengan akidah Islam dan hukum-hukum khusus menyangkut tempat suci tersebut. Lalu, bagaimana mungkin tanah itu dilepaskan dan diberikan kepada Yahudi -makhluk terhina di dunia- begitu saja oleh Yaser Arafat dan para penguasa Arab yang berkomplot dengan AS dan Yahudi?

Solusi dan jalan satu-satunya menghadapi krisis Palestina hanya satu, yaitu berjihad fi sabilillah, untuk mengusir dan memerangi Yahudi Israel di atas tanah Palestina hingga keluar dari wilayah itu dan negeri-negeri lslam lainnya. Dan hukumnya adalah fardhu. Meskipun kita menyadari, bahwa jihad fi sabilillah yang sesungguhnya tidak mungkin bersandar pada para penguasa-penguasa muslim yang ada sekarang. Sebab mereka semuanya adalah kaki tangan dan agen-agen negara Barat, terutama AS. Jihad yang sesungguhnya baru bisa dijalankan jika kaum muslimin berada di bawah kekuasan yang satu, pemimpin tunggal yang menjalankan sistem Islam secara total, yang teritorialnya mencakup seluruh negeri-negeri Islam. Dengan kata lain, hal itu baru bisa diwujudkan setelah ada Daulah Khilafah Islamiyah.
Sumber: Majalah al-Wa’ie edisi 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Download BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam